Kamis, 14 Juli 2016

Sosiolinguistik Interaksional dan Pragmatik

Oleh: Audi Yundayani (7317150067), Frimadhona Syafri (7317150237),
Lidwina Sri Ardiasih (7317150075), dan Arini Noor Izzati (7317150065)

Abstrak

Dalam makalah ini akan diberikan dua topik pembahasan, yaitu yang pertama pemahaman tentang definisi interaksional sosiolinguistik sebagai suatu pendekatan analisis wacana yang dikontribusi oleh tiga interdisiplin ilmu yaitu antropologi, sosiologi, dan bahasa itu sendiri serta dilengkapi dengan contoh analisisnya. Bagian kedua membahas topik pragmatik yang juga digunakan sebagai pendekatan analisis wacana disertai dengan contoh-contohnya.

Kata kunci: interaksional, sosiolinguistik, pragmatik

A.     Pendahuluan
Sosiolinguistik Interaksional (Interactional Sociolinguistics)merupakan salah satu pendekatan analisis wacana yang melibatkan tiga ilmu yang disajikan secara interdisipliner yaitu antropologi (budaya), sosiologi (masyarakat), dan linguistik (bahasa). Tiga ahli yang akan dilibatkan untuk memberikan kontribusi pada sosiolinguistik interaksional dalam pembahasan ini adalah 1) John Gumperz yang merupakan ahli bahasa yang lebih menyoroti sisi budayanya, yang dilengkapi oleh 2) Erving Goffman seorang ahli sosiologi yang ternyata setelah dilakukan pengkajian lebih detil, hasil-hasil penelitiannya sangat erat hubungannya hasil penelitian John Gumperz, serta 3) ditinjau dari sisi linguistiknya beberapa linguis seperti Brown dan Levinson (1987), Schiffrin (1987a), dan Tannen (1989a) telah menerapkan gagasan-gagasan Gumperz dan Goffman dalam kajian linguistiknya secara luas.
Pragmatik sebagai pendekatan analisis wacana juga memiliki peran yang sangat penting terkait dengan tiga konsep yaitu makna, konteks, dan komunikasi. Dilihat dari cakupan materi yang didiskusikan, sangatlah jelas pembahasan mengenai pragmatik ini sangat luas. Namun demikian, pada makalah ini pembahasan akan berfokus pada Gricean Pragmatics.
Dengan demikian, makalah ini bertujuan untuk membahas 1) definisi sosiolinguistik interaksional dan pragmatik sebagai pendekatan analisis wacana, serta 2) contoh-contoh analisis wacana dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut.

B.     Pembahasan
1.      Sosiolinguistik Interaksional (Interactional Sociolinguistics)
a.      Definisi Sosiolinguistik Interaksional
Dalam sebuah analisis wacana perlu digunakan pendekatan-pendekatan yang tepat untuk memperoleh sekaligus memberikan informasi hasil analisis yang akurat mengenai suatu wacana. Salah satu pendekatan analisis wacana yang ditawarkan adalah sosiolinguistik interaksional (interactional sociolinguistics). Kata sosiolinguistik interaksional menunjukkan adanya hubungan atau interaksi antara beberapa ilmu penting yaitu antropologi, sosiologi, dan linguistik.
       Gagasan ini berakar dari John Gumperz dari disiplin antropologi dan Erving Goffman dari disiplin sosiolinguistik. Gumperz memberikan pemahaman tentang bagaimana seseorang menggunakan bahasa bersama-sama dengan pengetahuan gramatikalnya pada konteks yang berbeda-beda, sedangkan Goffman memberikan suatu deskripsi tentang bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sosial yang nyata. Gagasan dari kedua disiplin ilmu ini diaplikasikan oleh para linguis sehingga menghasilkan pendekatan analisis wacana. Berikut penjelasan gagasan-gagasan sosiolinguistik interaksional secara rinci sesuai dengan kontribusi disiplin ilmunya masing-masing.

1). Gagasan Sosiolinguistik Interaksional dari Gumperz ditinjau dari disiplin Antropologi

Dalam sebagian besar esainya mengenai Discourse Strategies, Gumperz menyatakan bahwa iamencoba mengembangkan pendekatan dari susut sosiolinguistik untuk menganalisis proses pertemuan tatap muka” [1]Dil yang dipublikasikan tahun 1971 merupakan kumpulan esainya yang memiliki fokus ganda yaitu 1) bahasa dan ragam dialek dan 2) penggunaan bahasa dan interaksi sosial. Hasil penelitian pada esai tersebut secara kesekuruhan menyiratkan asumsi dasar pada antropologi sosial budaya yaitu dilihat dari makna, struktur, dan penggunaan bahasanya yang diilustrasikan melalui sudut pandang yang berbeda. Misalnya pada proyek Gumperz di India yang menyoroti perbedaan ragam bahasa pada proses alih kode (code switching) bahasa Hindi-Punjabi dan bahasa lisannya (tatap muka), tidak hanya berfokus pada struktur linguistiknya tetapi bagaimana struktur tersebut menjadi bagian dari repertoar verbal pada interaksi kelompok sosialnya. Menurut Gumperz terdapat dua jenis alih kode yaitu 1) situasional code switching (kecenderungan komunitas bilingual atau multilingual untuk menggunakan bahasa atau ragam bahasa yang berbeda pada situasi sosial yang berbeda, 2) metaphorical code switching(kecenderungan dalam masyarakat bilingual atau multibahasa untuk beralih kode (bahasa atau ragam bahasa) dalam percakapan untuk membahas topik ke dalam wilayah percakapan lain).
Hubungan antara budaya, masyarakat, individu, dan kode kemudian dikembangkan dalam strategi wacana (discourse strategies). Pada esainya Gumperz menyatakan bahwa “cognition and language, then, are affected by social and culture forces: the way we behave and express ourselves in relation to a linguistic code and the underlying categories of the code itself are open to external influence.” [2]Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa kekuatan sosial budaya sangat berpengaruh pada kognisi dan bahasa yaitu pada cara seseorang berperilaku dan mengungkapkan kode-kode linguistiknya. Dalam rangka memahami pengaruh-pengaruh tersebut dibutuhkan teori umum komunikasi verbal yang mengintegrasikan hal-hal yang telah diketahui seperti tata bahasa, budaya, dan kesepakatan interaktif ke dalam kerangka konsep dan prosedur analitis yang menyeluruh. Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari gagasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru yaitu isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kesinambunganmengenai siapa kita, nyaingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduksi dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh konteks lokal yang  merupakan bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada di mana pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi melalui cara dan penekanan yang berbeda.

2). Gagasan Sosiolinguistik Interaksional dari Goffman ditinjau dari disiplin Sosiologi

Erving Goffman merupakan seorang tokoh dari disiplin sosiologi yang  juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional. Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada interaksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakkan bahasa (dan pengkodean) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan praduga (presuppositions) temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk pengkodean makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks-konteks tersebutmemungkinkan seseorang lebih menyeluruh dalam mengidentifikasi dan menghargai praduga kontekstual yang tergambar dalam perkiraan mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya  untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tapi terabaikan yaitu interaksi sosial tatap muka. Kerja Goffman tersebut memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses praduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dikonstruk dengan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir berfokus pada penutur. Gagasan tersebut terbangun atas pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan melalui seperangkat posisi di mana individu di dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
       Terkait dengan bahasa, budaya, dan masyarakat yang ‘disituasikan’ (situated), terdapat dua fokus perhatian yang berbeda, yaitu pada 1) bahasa dan budaya (language and culture), dan 2) diri pribadi dan masyarakat (self and society).Berdasarkan kedua fokus tersebut, terdapat dua isu inti dari gagasan Gumperz dan Goffman yang menyediakan kesatuan sosiolinguistik interaksional yaitu “interaksi antara individu secara pribadi dan orang lain” dan “konteks”. Hasil karya Gumperz berfokus pada ‘bagaimana kritisnya interpresentasi konteks  terhadap komunikasi informasi dan terhadap pemahaman orang lain terhadap intensi/tujuan penutur dan/atau strategi wacananya, sedangkan hasil karya Goffman  berfokus pada ‘bagaimana organisasi kehidupan sosial (pada institusi, interaksi, dan lain-lain) menyediakan konteks-konteks di mana antara perilaku diri dan komunikasi dengan orang lain bisa dapat ‘dipahami’.
       Selain itu, kedua gagasan tersebut menyajikan pandangan bahasa sebagai petunjuk (indexical) terhadap dunia sosial, di mana bagi Gumperz bahasa adalah petunjuk terhadap latar belakang pemahaman budaya yang menyediakan pengetahuan yang tersembunyi tetapi kritis tentang bagaimana membuat acuan (inferences)apa yang dimaksud pada suatu ujaran, sedangkan bagi Goffman, bahasa adalah satu dari sejumlah sumber simbolis yang menyediakan petunjuk terhadap identitas sosial dan hubungan yang terus menerus dibangun selama berinteraksi.
       Pada akhirnya, kedua tokoh tersebut memungkinkan bahasa memiliki peran yang lebih aktif menciptakan dunia daripada hanya sekedar istilah ‘petunjuk’ saja. Isyarat kontekstualisasi dapat mengubah tidak hanya makna suatu pesan, tetapi kerangka partisipasi suatu percakapan, seperti tujuan dan penyajian berbeda yang ditampilkan melalui perubahan kecilpada ujaran. Oleh karena itu, pada intinya peran bahasa dalam konteks dan cara penyampaiannya dalam komunikasi bagi kedua tokoh tersebut adalah sama.

b.    Analisis Contoh: ‘Speaking for Another’
Sosiolingusitik interaksional selalu menggambarkan timbulnya interaksi secara alami pada data. Gumperz dan para pengikutnya fokus kepada bahasa  yang digunakan penutur daripada perbedaan latar belakang budaya (lihat kumpulan makalah dalam Gumperz 1982b)[3]. Sosiolinguistik interaksional juga digambarkan pada percakapan yang terjadi secara alami di antara teman (Tannen)[4]. Pada akhirnya, sosiolinguistik interaksional memberikan perhatian yang besar kepada ciri-ciri transkripsi penutur yang menyimpan isyarat kontekstual.
Dalam bukunya, Schiffrin[5]menjelaskan bahwa fokus awalnya adalah tuturan tunggal dari seorang penutur. Pada saat percakapan sedang berlangsung, Zelda mengatakan She’s on diet tentang Irene kepada Henry dan saya. Pada hakikatnya, tuturan ini memperluas jawaban No Irene kepada pertanyaan Henry Y’want a piece of candy? dan memberikan tanggapan yang bukan pemenuhan Irene atas tawaran Henry. Pada analisis tindak tutur di sini difokuskan pada kerangka kerja partisipan yang ditimbulkan ketika Zelda membuat hubungan terhadap perubahan Irene dengan Henry. Tuturan ini dapat dinyatakan sebagai  sebuah tindakan seseorang “bertutur untuk orang lain”.bukan hanya urutan tindakan yang harus didiskusikan dengan topik tindak tutur,tetapi isu yang muncul pada analisis kerangka kerja partisipan.
 Secara kontekstualisasi tindak “bertutur untuk orang lain sebagai cara menemukan makna interaksi. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa bertutur untuk orang lain dapat memperhatikan paling sedikit dua perbedaan penjajaran partisipan dalam sebuah gagasan dari bagian perpindahan interaksional dan penjajaran ini sejajar dengan identitas gender.
Schiffrin dalam bukunya Approaches to Discourse ini tidak memulai dari analisisnya pada bentuk linguistik ataupun masalah tertentu, namun dia berfokus pada tuturan tertentu  (Zelda’s She’s on a diet). Dia berusaha menemukan makna dari tuturan ini melalui perbandingan antara tuturan dan interaksi mitra tutur.

3.1 Bertutur untuk Orang lain: “Ia sedang diet (She’s on a diet)”
Berikut ini bahasan analisis Schiffrin mengenai tindak tutur dalam percakapan tertentu. Topik yand diangkat adalah percakapan Zelda’s She’s on diet.
1.    Henry        : (a) Y’ want a piece of Candy? ‘Kamu mau permen?’
Irene         : (b) No ‘tidak’
Zelda        : (c) She’s on a diet ‘ia sedang diet’
Debby      : (d) Who’s not on  (a diet) ‘siapa yang sedang diet’
Irene         : (e) I’am on ‘saya’
                        I am a diet ‘saya diet’ 
                    (f) and my brother [buys=’dan ibu saya [membeli’
Zelda        : (g) [You’re not ![kamu tidak1
Irene         : (h) My mother buys three mints ‘ Ibu saya membeli tiga mint’
Debby      : (i) oh yes I ammhhh  ‘oh ya saya’
Zelda        : (j) oh yeh ‘oh ya

      Percakapan ‘She’s on a diet ‘ merupakan perluasan (sebuah rangkaian unit yang memberikan informasi tambahan kepada unit sebelumnya) dan laporan  (penjelasan penolakan Irene atas tawaran Henry). Perluasan danlaporan adalah tindak relasional: perlasan tambahan informasi untuk tindakan sebelumnya telah diputuskan (yaitu pantas, sopan, menghina) dalam beberapa cara.
Analisis  kerangka kerja partisipasi Goffman[6] memberikan beberapa kehususan terhadap peranan ini. Menurutnya, seorang (penutur) mengahasilkan pesan berisi berisi bertanggung jawab kepada mitra tutur (pengirim), dapat dikatakan bahwa seseorang bertindak sebagai animator kepada orang lain yang memiliki peranan prinsipal.  Maka, ketika Zelda mengatakan She’s on a diet,  ia adalah animator untuk prinsipal Irene. Tuturan Zelda dalam posisi berurutan yang menjadikan Irene dapat mengerti  dirinya (orang yang sering memberikan laporan  pada mereka sendiri ketika mereka menolak tawaran) dan hubungan yang utama pada perubahan  di antara Irene dan Henry (Irene menolak tawaran Henry).
3.2 Bertutur untuk Orang lain “untuk Penempatan Makna”
Salah satu kiat untuk memahami sosialinguistik interaksional adalah penempatan makna. Sebagaimana dinyatakan oleh Bennet (1978)[7]     misalnya struktur giliran –berbicara selama seseorang  dua cara yang berbeda: “interupsi” (dengan makna negatif) atau “tumpang tindih” (dengan konotasi netral atau bahkan positif).

3.2.1 Pelurusan: “menyela atau mencampuri”
Bertutur untuk orang lain mempunyai keterpaduan makna dalam maupun pada penutur itu sendiri. Hal itu dapat diinterpretasikan sebagai makna positif seperti “menyela (chipping in)” atau makna  negatif seperti “mencampuri (butting in)”.

Schiffin[8] berkesimpulan tentang bagaimana menganalisis pergantian kerangka kerjapartisipan yang ditimbulkan oleh Zeldas’She’s on a diet. Setelah mengidentifikasi percakapan She’s on a diet merupakan contoh dari “percakapan”, lalu dilakukan observasi beberapa perbedaan yang mungkin timbul dalam makna interaksi pembicaraan dan peranan tindakan tertentu, tapi makna yang lebih umum yang mungkin dapat diterapkan pada peranan Zelda. Diasumsikan bahwa Zelda menunjukkan kedekatan dan ketergantungan yang menguntungkan. Itu terjadi pada dua level: huungan sosial eksternal pada  pembicaraan dan partisipasi dalam percakapan. Perlu diingat bahwa analisis ini tidak membicarakan tujuan atau maksud Zelda tetapi menjelaskan Zelda dilihat dari cara berbicara (berbicara kepada) yang mungkin digunakan dengan seseorang yang telah mempunyai hubungan tertentu ( misalnya: persahabatan).

3.2.2 Tindakan Sosial: Memberikan penjelasan untuk Penutur dan Mitra Tutur
Meninjau kembali kepada Zelda’s She’s on a diet dan cerita diet Irene, Zelda dan Irene menimalkan potensi penolakan Zelda terhadap tawaran Henry. Hal itu menunjukkan adanya keinginan Henry dan Zelda  berinteraksi dan mempertahankan persahabatan mereka. Dengan menunjukkan mereka bahwa penolakan Irene tidaklah mengurangi rasa hormatnya terhadap Henry maka Henry tetap punya harga diri dan Irene bisa menolak tawaran tersebut.

Jadi, terlihat bahwa makna tindak sosial dapat diformulasikan dalam istilah konsekuensi interpersonal dan interaksional mereka, kemudian memberikan konteks dengan cara makna tuturan   ditempatkan. Dapat dilihat di sini bahwa identitas penutur memberikan sisi konteks lain dengan cara ancangan interaksional menempatkan makna tuturan: maka, bertutur untuk tidak hanya menjadi strategi wacana dengan cara memelihara solidaritas, tetapi juga sebuah isyarat kontekstualisasi yang menandakan hubungan identitas dan hubungan penutur.

3.2.3 Tampilan Identitas –Mikro dan Identitas- Makro: Penjajaran  dan Jender
Analisa berikut mempertmbangkan konteks siapa yang bertutur lakii-laki atau perempuan) . Dalam hal ini, tdak hanaya mempertimbangkan bagaimana  bertutur untuk orang lain dapat menunjukkan identitasa seseorang, tetapi juga bagaimana identitas penutur memberikan sisi konteks lain yang bisa menemukan makna tuturan. Untuk itu diskusi berikut ini memperbandingkan singkat partisipan mitra tutur menjajarkan ulang di antara penutur yang sama.

1.    Henry        : (a) Y’ want a piece of Candy? ‘Kamu mau permen?’
Irene         : (b) No ‘tidak’
Zelda        : (c) She’s on a diet ‘ia sedang diet’
Debby      : (d) Who’s not on  (a diet) ‘siapa yang sedang diet’
Irene         : (e) I’am on ‘saya’
                        I am a diet ‘saya diet’ 
                    (f) and my brother [buys=’dan ibu saya [membeli’
Zelda        : (g) [You’re not ![kamu tidak1
Irene         : (h) My mother buys three mints ‘ Ibu saya membeli tiga mint’
Debby      : (i) oh yes I ammhhh  ‘oh ya saya’
Zelda        : (j) oh yeh ‘oh ya

Dalam hal ini Schiffrin[9] lebih menekankan bahwa Zelda’s She’s on a diet telah menciptakan topik yang melibatkan dua wanita lain dalam percakapan tersebut, tetapi hal ini tidak dilakukan oleh Henry (tipe topik ini merupakan karakteristik dari gaya etnik dari si penutur). Sepertinya topik ini lebih tepat untuk wanita, misalnya secara tradisional wanita lebih sesuai dengan topik tersebut daripada pria dengan topik personalnya tentang penampilan fisik termasuk berat badan mereka

Contoh (2) berikut ini merupakan contoh yang tepat untuk mengenai jalur perbedaan interaksional- cara  yang sepertinya berhubungan dengan gender-yang  dilakukan oleh Henry dan Zelda. 

2.    DEBBY    : (a) Well, Irene, is there anybody aaround here that you would call a best friend? (Baiklah, Irene apakah di sekitar sini ada seseorang yang kamu sebut teman?)
IRENE      : (b) Now? ‘sekarang?’
DEBBY    : (c) Yeh “ya” hhh
HENRY    : (d) In front of us ‘di depan kita’
ZELDA     : (e) No, we’re not her (best friends, we’re her = tidak, kita bukan teman dekatnya, kita adalah...’
HENRY    : (f) [No! She’s got a best friend. Tidak, dia punya teman dekat’
ZELDA     : neighbors! ‘tetangganya”
IRENE      : No, Idon’t really think any one person I could say. “Tidak, saya pikir saya tidak punya teman seseorang pun
HENRY    : [But she’s more of a friend to a person= tapi dia lebih sebagai teman bagi seseorang........
(selanjutnya bisa lihat Schiffrin (1994) hal 117

Perhatikan pertanyaan DEBBY (a) mengikuti format interview. Percakapan antara HENRY dan ZELDA (d dan e)  mengubah format interview oleh karena komentar mereka berdua tentang pertanyaan daripada mengizinkan Irene untuk menjawab pertanyaan untuk IRENE yang kedengarannya seperti menyemangati (f). Dia segera menggunakan pendapatnya sendiri, walaupun membuat ketidakadilan antara cara IRENE mempelakukan orang lain (secara positif) dengan cara orang lain memperlakukannya (secara negatif). Henry menunjukkan  (h,j)nilai lebih Irene daripada yang diharapkan Irene, Irene setuju dengan Henry (k).  Sementara itu, ketika Irene mempunyai “kesulitan”,  Zelda segera menunjukkan rasa simpati dengan cara personal dengan bertanya (n). Sedangkan Henry menggunakan penjelasan Irene sebagai kesepakatan mengenai pendapatnya sendiri(s). Oleh karena itu, Zelda mendukung berdasarkan implikasi personal aras apa yang telah dikatakan Irene. Henry menggunakan situasi Irene sebagai dasar untuk memperkuat taksiran umum atas dilema yang dialami Irene.
 Schiffrin menyimpulkan bahwa datanya Zelda’s She’s on a diet mengajukan sebuah penjajaran interaksional yang lebih bertipe pernyataan yang dikemukakan oleh wanita daripada pria.

c.    Interactional Sociolinguistics’ sebagai Pendekatan Wacana
Schiffrin[10] melihat bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana yang berfokus pada peletakan makna. Dalam ancangan ini, terdapat penggabungan gagasan antropolog John Gumperz dan sosiolog Erving Goffman. Apa yang dikontribusikan Gumperz ke dalam ancangan ini adalah seperangkat konsep dan piranti yang memberikan kerangka kerja di dalam analisis yang menggunakan bahasa selama komunikasi interpersonal; Gumperz memandang bahasa secara sosial dan kultural sebagai konstruk sistem simbol yang merefleksikan dan menciptakan level makro makna sosial dan level mikro makna interpersonal.  Kerja Erving Gofman juga berfokus pada penempatan pengetahuan, penutur, dan konteks sosial dengan cara bahwa pelengkap fokus Gumperz berfokus pada ditempakannya inference (dugaan): Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna.
3.3 Bertutur untuk orang lain dan mengambil peran mitra tutur

Pada bagian ini dibahas mengenai analisis terhadap tuturan terhadap orang lain yang dianggap sebagai  bagian dari dua level tertinggi dari konstruksi analisis yang saling berhubungan. Bertutur untuk orang lain merupakan suatu tindakan di mana seseorang berperan sebagai orang lain dan mengambil peran orang lain tersebut merupakan cara menunjukkan koherensi saling berkesinambungan. Pembahasan ini diawali dengan hasil observasi kritis Goffman terhadap analisis wacananya di mana dua orang (atau lebih) berkumpul, mereka tidak hanya menanggapi permintaan institusional atau interaksional di mana mereka dapat menemukan diri mereka sendiri, namun mereka juga merupakan pendamping konstruktor dari permintaan tersebut. Masukan bahasa pada hubungan ini (khususnya yang bersifat mudah merembet/berkembang)sangat sederhana karena ujaran kini menciptakan serangkaian konteks yang potensial di mana ujaran selanjutnya akan dapat menanggapinya dengan mudah. Sangatlah mudah untuk mengamati bagaimana peran bahasa yang merefleksikan konteks dan menciptakan konteks tersebut menempatkan ujaran sebagai bagian dari permintaan institusional. Sebagai contohnya, ujaran ‘Drink?’ Pada saatdiujarkan oleh seorang bartender kepada seseorang yang duduk di bar, kita memahami ‘Drink?’ sebagai tawaran untuk menjual sesuatu (atau sebagai petunjuk suatu tempat memesan) dalam suatu pertemuan tertentu. Kita juga tahu kemungkinan tanggapan yang tepat adalah ‘Michelob’ (sejenis bir Eropa), bukan No, thanks atau I’m not thirsty. Hal ini dikarenakan ‘Drink?’ tidak dipahami sebagai tawaran menjual minuman di konteks yang lain (seperti di sebuah dinner party) atau di antara peserta suatu pertemuan (seperti dikatakan seorang pembeli kepada pembeli yang lain), di sini ‘Drink?’ merefleksikan latar belakang institusionalnya. Hal ini juga membantu menciptakan interpretasi latar belakangnya di mana pertemuan layanan menggunakan cara yang tidak digunakan pada ujaran lainnya.
            Ujaran juga merefleksikan dan menciptakan penjelasan permintaan interaksional. Apabila kita mencoba mengambil peran Irine yang menolak (No)penawaran  permen Henry(Want a piece of candy?)  sebagai ujaran kini, kita dapat membayangkan sejumlah ujaran selanjutnya yang berbeda-beda dari Henry.
HENRY          : Want a price of candy?
IRENE            : No.
Kemungkinan ujaran selanjutnya:
HENRY:         a. Oh c’mon.
                        b. There’s nothing wrong with it!
                        c. Suit yourself.
                        d. Just testing you! I know you’re on a diet.
                        e. What?
                        f. I didn’t hear you.
                        g. What time did the teachers leave?
            h. Y’know I bought this candy at that new place in the mall, and when I
               was there/continues/ [11]

Kedelapan jawaban Henry tersebut memberikan aspek yang berbeda terhadap jawaban No dari Irene di mana jawaban-jawaban tersebut menyajikan konteks interpretatif terhadap pasangan ujaran. Jawaban a sampai d secara jelas berhubungan dengan ujaran sebelumnya, sedangkan jawaban e sampai h menunjukkan produksi bahasa pada aspek yang lebih umum. Contoh di atas menunjukkan bahwa ujaran selanjutnya yang merupakan tanggapan didasarkan pada  aspek-aspek yang berbeda dari ujaran kini. Dengan kata lain, ujaran selanjutnya adalah celah di mana penutur dapat memberikan tanggapan sekaligus menciptakan konteks terdahulu (prior context).
















2.   Pragmatik
a.    Definisi Pragmatik
Pragmatik merupakan pendekatan dalam wacana yang memiliki 3 konsep; makna, konteks dan komunikasi. Morris dalam Schiffrin mendefinisikan pragmatik sebagai cabang dari semiotik yang merupakan kajian tentang tanda. Proses bagaimana sesuatu berfungsi sebagai sebuah tanda atau yang disebut semiosis memiliki 4 bagian, 1) Tanda atau signyang merupakan seperangkat tindakan, 2) Designatumyang merupakan penanda atau kepada apa tanda tersebut mengacu, 3) interpretantmerupakan efek dari tanda pada orang yang menginterpretasi tanda tersebut dan 4) interpreter adalah individu yang terkena pengaruh atau efek dari tanda tersebut. Morris mengistilahkan semiosis sebagai sesuatu yang ditandai penanda definite (a-mediated-taking-account-of). Mediator merupakan sarana tanda, interpretant merupakan penerima yang memperhatikan tanda, interpreter adalah perantara dari proses dan apa yang diperhatikan adalah designate. Untuk mendefinisikan aspek yang berbeda dari proses semiosis, Morriss mengidentifikasikan 3 cara dalam mempelajari tanda; syntax yang terkait dengan kajian hubungan formal antar tanda, semantic yang merupakan kajian bagaimana tanda dihubungkan dengan objek yang sesuai (designata), pragmatik merupakan kajian terkait hubungan tanda dengan interpreter. Jadi, pragmatik merupakan kajian tentang bagaimana interpreter mengikutsertakan dalam memperhatikan designate (kontruksi interpretant) terhadap tanda itu sendiri. [12]

1). Makna Penutur
Makna penutur merupakan konsep penting dalam pragmatik Grice. Makna penutur tidak hanya memperbolehkan perbedaan antara 2 jenis makna (antara makna semantik dan makna pragmatik), tetapi juga terkait persepsi individu.
Grice membedakan antara non-natural meaningatau komunikasi yang dilakukan dengan memiliki maksud tertentu dan natural meaning yang meniadakan maksud atau tujuan komunikasi. Contohnya pada kalimat, “Those three rings on the bell (of the bus).” Kalimat tersebut bermakna bahwa bis telah penuh, makna yang ingin disampaikan kepada penumpang melalui efek dari bel. 
Strawson dalam Sciffrin membedakan maksud dalam formulasi Grice ke dalam 3 bagian yaitu,
a)    Ujaran yang disampaikan S tentang x sehingga menghasilkan respon r yang dilakukan A sebagai mitra tutur
b)    A memahami maksud yang disampaikan S
c)    Pemahaman A terhadap maksud S (a) berfungsi sebagai bagian dari alasan yang digunakan A sehingga melakukan response r.

2). Prinsip Kerja Sama
Untuk memahami prinsip kerja sama, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu  pandangan Grice terkait makna logis terhadap bahasa alami. Topik yang akan dibahas berfokus pada konsep implikatur yang merupakan kesimpulan tentang maksud penutur yang timbul dari penggunaan makna semantik atau makna logis mitra tutur dan prinsip percakapan. Implikatur terkait dengan makna semantik, sehingga dalam makna non-natural, “tanda” merupakan suatu hal yang penting. Implikatur juga terikat dengan prinsip percakapan. Konteks menghubungkan pengguna tanda.
Grice menjelaskan bahwa tuturan bahasa alami tidak terlihat menyampaikan makna yang sama dalam proposisi logis berikut,
Merupakan hal yang biasa dalam logika filosofi bahwa ada perbedaan anntara makna, di lain pihak, setidaknya ada beberapa hal  yang disebut alat formal - ~,ᴧ, ˅, ᴝ, (x), ᴟ (x), ∫(x) dan di sisi lain hal tersebut merupakan analogi dari ekspresi seperti not, and, or, if all, some, or (setidaknya satu), the. (Grice 1975:41)
Contohnya dalam ujaran I went to the store and I put gas in the car, mungkin diwakilkan sebagai “P & Q” (“P” merupakan proposisi klausa pertama dan “Q” untuk kedua. Interpretasi drai ujaran tersebut lebih luas daripada makna logikal penghubung “&”. Makna logikal “&”  dapat mengatakan contohnya “P & Q” adalah benar jika kedua P dan Q adalah benar. Grice membedakan pemahaman makna logical dengan menyatakan bahwa makna logical merupakan bagian dari apa yang dikatakan seseorang.  “To say” erat kaitannya dengan makna konvensional kata atau kalimat yang diujarkan. Makna yang ditambahkan dan muncul dalam ujaran merupakan implikatur yang lebih tepat daripada prinsip kerjasama dalam komunikasi.



Grice membuat observasi terkait dengan percakapan,
Pembicaraan kami tidak secara normal terdiri kata atau tanda yang tidak tersambung dan tidak rasional. Dengan sifat yang khas mereka, tidak akan ada rasional jika dilakukan. Terdapat beberapa tingkat, tujuan yang sama atau setidaknya tujuan yang diterima sama pada tiap tingkatan, beberapa percakapan yang dikeluarkan sebagai percakapan yang tidak sesuai.

Prinsip kerjasama terdiri dari 4 maksim utama,
·         Kuantiti : Pastikan apa yang disampaikan memiliki informasi ynag jelas dan jangan membuat menjadi lebih informatif dari yang dibutuhkan
·         Kualitas : Pastikan yang disampaikan adalah benar. Jangan mengatakan apa yang kamu percaya salah. Jangan mengatakan sesuatu yang tidak pasti dan tanpa bukti
·         Relasi : Relevan/memiliki hubungan
·         Cara : Sampaikan dengan cara yang mudah dipahami, hindari ketidakjelasan ekspresi, hindari ambigu/makna ganda, sampaikan dengan rinci dan tersusun
Yang harus dicatat bahwa maksim terjadi bukan karena percakapan yang alami tetapi fakta bahwa percakapan merupakan sebuah kasus khusus atau variasi tindakan yang memiliki tujuan dan sebagai hasil pemikiran yang rasional.

Untuk memahami sebuah implikatur percakapan yang terjadi, Grice (p.50) dalam Schiffrin, menyampaikan beberapa hal yang harus dilakuan mitra tutur,
1)    Makna yang lazim dari kata yang digunakan, termasuk referensi yang terkait
2)    Prinsip komunikasi dan maksim
3)    Konteks, kebahasaan dari tuturan
4)    Hal lain terkait latar belakang pengetahuan
5)    Fakta atau dugaan yang terkait dengan topik yang ada sebelumnya termasuk apa yang mereka pahami
Implikatur dapat dilakukan dari 1 diantara 3 cara: a) maksim dapat diikuti sebuah penjelasan secara langsung, b) maksim dapat dilanggar karena adanya pertentangan dengan maksim lainnya, c) maksim dapat ditolak.
Perhatikan contoh kalimat berikut, “I went to the store and I put gas in the car”, hal yang bisa dilihat dari kalimat tersebut adalah,
1)    kalimat ini menunjukkan bagaimana implikatur bisa dijelaskan secara langsung(1)
2)    apa yang disampaikan merupakan makna yang lazim, termasuk hubungan logis “&”
3)    sebaiknya urutan kejadian disampaikan misalnya I went yo the store before I put gas in the car. Dari apa yang disampaikan Grice, kita perlu membuat asumsi secara umum bahwa penutur dan mitra tutur memahami prinsip komunikasi dan maksimnya (2) begitu juga konteks ujaran (3) dan latar belakang pendidikan (4).

Meskipun maksim terkait dengan implikatur, yang harus diingat adalah implikatur akan muncul tanpa muncul asumsi pendengar, dan ini melanggar maksim : implikatur dapat disimpulkan dengan menggunakan asumsi langsung.

Meskipun makna yang lazim merupakan bagian yang harus diipahami untuk memperhitungkan implikatur, tetapi tidak berperan dalam implikatur ketika disampaikan langsung. Contoh yang disampaikan Grice,

A: Where does C live?
B: Somewhere in South of France

Penjelasan terhadap percakapan tersebut adalah tidak ada alasan untuk menduga jawaban yang diberikan B; jawaban yang diberikan kurang informative. Pelanggaran terhadap maksim kuantiti dapat diterangkan hanya dengan dugaan bahwa B menyadari untuk lebih informative sehingga tidak melanggar maksim kuantiti, jangan menyatakan sesuatu yang kita tidak cukup memiliki bukti. Sehingga B menyampaikan bahwa dia tidak tahu dimana C tinggal.
b.    Istilah-istilah Acuan: Proses Pragmatik Wacana
Berikut ini adalah istilah yang digunakan dalam melakukan proses pragmatik dalam wacana;
1)    Acuan sebagai sebuah proses pragmatik dalam wacana
Pada dasarnya istilah terkait acuandan referensi banyak didiskusikan dalam ilmu filsafat dan kebahasaan, para ahli tetap berpendapat bahwa proses referensi wacana merupakan pragmatik, karena dalam prosesnya melibatkan pembicara, maksud dan tujuannya, tindakan dan pengetahuan.
Givon (1989:175) dalam Schiffrin menyatakan bahwa :
Referensi dalam dunia wacana merupakan crypto pragmatic. Hal tersebut karena dunia wacana terbuka (nyata) – untuk tujuan apapun – oleh penutur. Dan penutur bermaksud menyampaikan sesuatu melalui wacana. Dan ini terlihat dalam bahasa bahwa maksud referensi adalah berdasarkan acuan tata bahasa.
Searle (1969) dalam Schiffrin melihat referensi sebagai tindak tutur yang diatur oleh keadaan yang sesuai dengan tindakan, seperti janji atau permintaan. Clark dan Wilkes-Gibbs melihat referring sebagai proses kolaboratif, artinya harus ada kerja sama atau kesepakatan antara penutur dan mitra tutur dalam memahami  konteks dan pengetahuan sebelumnya atau praanggapan. Jika dilihat dari sudut pandang mitra tutur dan penutur, maka ekspresi yang mengacu pada sesuatu wujud dapat dilihat sebagai pragmatik, tidak hanya semantik atau truth-conditional, tetapi juga melibatkan prinsip kerjasama dan pemahaman yang sama..

Jika pragmatik hanya melihat identitas referent, maka semantik merupakan suatu kajian bagaimana tanda dihubungkan dengan objek. Pragmatik juga merupakan kajian hubungan tanda untuk diinterpretasikan. Grice juga berpendapat bahwa maksim kuantiti dan relevansi terkait dengan pilihan makna berdasarkan penutur, yang dikaitkan dengan hubungan antara bahasa dengan pemahaman terhadap suatu wacana.
Proses acuan berdasarkan pragmatik akan membedakan bentuk definite(penggunaan artikel the, possessive, pronoun , nama, gelar)  dan indefinite(noun phrase dengan menggunakan artikel a), dalam bentuk implisit dan eksplisit. Meskipun mudah membedakan istilah referringdefinite dan indefinite, tetapi tidak mudah untuk mendefinisikan perbedaan fungsi mereka, misalnya untuk mengungkapkan kondisi istilah yang berbeda. Referen dalam sebuah wacana biasanya menggunakan istilah indefinite dan eksplisit.  Suatu referen dalam wacanaterkadang menggunakan istilah indefinitedan explicit (womanI work with) dan definite serta inexplicit (she). Hal tersebut dapat disampaikan berdasakan pragmatik. Bentuk definite mengindikasikan  maksud penutur dan berharap bahwa mitra tutur dapat mengidentifikasikan berdasarkan tekstual dan konteks yang ada. Bentuk indefinite mengindikasikan bahwa istilah yang digunakan dalam wacana adalah merupakan hal yang baru – tanpa melihat apakah pembicara mengetahui persepsi pendengar.
Keekplisitan suatu istilah dapat dilihat sebagai pragmatik. Yang membedakan eksplisit dan in-eksplisit adalah lebih kontinu daripada yang diskrit. Proses referensi merupakan pragmatik sederhana, akrena melibatkan penutur, maksud atau tujuan mereka, tindakan serta pengetahuan. Definite dan eksplisit ditentukan dalam peristilahan pragmatik. Definiteness terkait dengan maksud dan harapan terhadap mitra tutur, sementara eksplisit merupakan tujuan kerjasama yang diajukan penutur sehingga mitra tutur memahami referen yang dikehendaki.
2)    Analisis pokok model Grice: Kuantitas dan relevansi
Perbedaan istilah definiteness dan eksplisit tidak hanya dapat diasosiasikan dengan pragmatik atau maksim kuantitas dan relevansi model Grice. Deskripsi definitedalam kalimat my husband Louis, he, Dr. Scavo, the man i live with, dan deskripsi indefinitedalam kalimat an adult I live with, someone I met in college, meskipun mungkin merujuk orang yang sama, tetapi tidak semua ekspresi tersebut membantu untuk memahami pesan yang dimaksud. Kalimat someone I met in college merupakan kalimat yang akurat, tetapi tidak cukup eksplisit. Kalimat tersebut tida menggambarkan secara khusus siapa yang sedang dibicarakan. Dalam maksim Grice, meskipun sesuai dengan maksim kualitas, tetapi secara maksim kuantitas, tidak tepat.
Hal yang sama penting terkait dengan kuantitas adalah relevansi. Perhatikan percakapan di bawah ini,
Sue : (a) I always wanted to marry an Italian guy
Iver  : (b) How come
Sue  : (c) I just wanted to
         : (d) And i said it
         : (e) And I did
Frase an Italian guy tidak dapat kita pahami dengan mudah apakah yang dimaksud adalah gambaran lelaki Italia (a). Meskipun Sue menikah dengan Italian guy (e).
Perhatikan percakapan berikut,
Sue : (a) So she was the oldest daughter
          (b) And she broke the ice for me like she said
          (c) You know, for Tony, my husband
Iver : (d) How did you meet Tony?
Dalam kalimat (c) disebutkan suami dalam cara yang berbeda (Tony) dan relevansinya (my husband). Percakapan 1 dan 2 memberikan gambaran deskripsi: suku, nama dan relevansi
Berdasarkan contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa relevansi memasukkan pilihan tentang acuan peristilahan tanpa pembatas dalam kuantitas.
3)    Acuan sebagai Proses Wacana
Analisis wacana fokus pada pola-pola tahapan, seperti klausa, gerakan, tindakan. Hal ini terjadi karena wacana menciptakan pilihan-pilihan sintagmatis. Wacana juga sering dianggap sebagai pembatas, misalnya membatasi cara sebuah tuturan yang akan didengar.
Fokus pada tahapan acuan membuat kita dapat membedakan first-mentions yang berupa indefinite noun phrase (an+ NP) dan eksplisit, nominal bukan pronominal dari next-mentionsyang sedikit digunakan (pronouns dari nominals).Fungsi utama dari distribusi ini adalah status informasi. Yang dapat disimpulkan adalah pertanyaan beda dapat ditanyakan bergantung pada tempat wacana atau konteks.
4)    Pentingnya Metode dan Data
Kajian yang asli dari pragmatik model Grice dalah dalam filsafat dan prgamatik kontemporer merupakan bagian dari linguistik yang mengambil data konteks suatu hipotesis dan menyebutnya dalam sebuah tuturan. Jika pragmatik Grice akan digunakan sebagai sebuah pendekatan dalam melakukan analisis wacana, maka dapat menganalisis bagaimana orang menggunakan ujaran untuk berkomunikasi antar sesama, kemudian kita butuh untuk membuata penyesuaiannya. (Levinson 1983; Schiffrin 1987). Yang terpenting adalah membuat susunan kalimat seolah-olah ujaran yang diatur dalam konteks, haus menggunakan ujaran yang sesungguhnya yang dihasilkan oleh penutur dalam konteks. Pragmatik model Grice merupakan sebuah cerita bermakna merupakan analisis yang ditunjukkan dalam bagian besar dengan tahapan yang mengacu dalam cerita, bukan mencari relevansi abstrak antarmaksim.

c.    Analisis Contoh: ‘Rangkaian Acuan dalam Narasi’
Analisis sampel pada pada bagian ini berdasarkan pada ekspresi-ekspresi penunjuk dalam wacana khusus sebuah narasi. Setelah menyajikan narasi dapat ditunjukkan bagaimana maksim kuantitas dan relevansi membantu memerhatikan tahapan rujukan dalam wacana yang spesifik.
Data :
Penutur mengkontruksi sebuah alur cerita dimana kesatuan-kesatuan yang jumlahnya terbatas bertindak dan berinteraksi satu sama lain dalam sebuah tempat dan dalam jangka waktu yang ditentukan. Walaupun cerita-cerita tersebut ditempatkan dalam percakapan, lingkup alur cerita dapat agak bebas dan dapat melibatkan waktu yang berbeda. (dan informasi) bergeser atau berpindah dari lingkup tersebut. 
Berikut contoh cerita dalam baris-baris narasi itu sendiri.
Iver       : Have you ever been robbed? Pernahkah dirimu dirampok
Gary     : I was robbed. At night. saya telah dirampok. Pada malam hari.
Iver       : When was this? Kapan ini terjadi
Gary    : I guess about six or eight weeks ago. Saya kira sekitar 6 atau 8 minggu lalu.
Iver       : How’d happen? Bagaimana kejadiannya.
Gary   : (a) I picked up a fare (1) at Board and Elm. Saya mengambil ongkos perjalanan di Board dan Elm.
              (b) He (1) was a colored guy. Dia seorang kulit hitam
               (c) He (1) flagged me down. Dia menarik tangan saya ke bawah.
              (d) So I wasn’t-it was late at night. ‘Saya tidak tahu maknanya saya terlambat pada malam itu)
              (e) It was around one thirty in the morning. Pada pagi harinya kebingungan.
              (f)  And I was gonna turn it (1) down. Dan saya kembali lagi.
              (g) So I figured, y’know, I’d pick him (1) up anyway. Kemudian saya bayangkan, kamu tahu, sya menangkapnya.
              (h) But then two gonna turn it (1) down. Tetapi kemudain dua kawannya keluar’
              (i)  So they (?3) said, “We’re only going right around the corner more or less, y’know. “Could you take us up? Kemudian mereka berkata: “Kami hanya mengelilingi sudut tidak lebih atau sekadar yang kamu tahu. “Dapatkah kamu membuktikan kepada kami?”
              (j)  They (?3) gave an addres.’Mereka memberiku alamat.”
              (k)   They (?3) said, “We’ll get show you how to get there.” Mereka berkata, “Kami akan menunjukkanmu bagaimana mendapatkannya di sana.’
               (l)  So it was maybe only there blocks away.’ Barangkali hanya ada tiga blok saja.’
              (m) so they (?3) said-I think they (?3) gave me an address that’s at the center of the block, “Kemudian mereka berkata – Saya pikir mereka memberiku alamat blok yang ada di tengah.’
              (n) and there was a small light on at the house./Mhm/’dan ada sebuah lampu kecil di dalam rumah.
              (o) So I pulled up, ‘Kemudian saya berhenti’
              (p) I turned on the light, ‘ saya nyalakan lampu’
              (q) and the guy he (?1) grabbed from the back on my head’ dan dia orang tersebut memukulkan dari belakang pada kepala saya.
              (r) and (?1) put a gun to it.’ dan saya mengambil senjatanya’
                   Andhh uh

Iver       : Oh my God. Oh Tuhan.
Gary     : (s) I had about fifty dollars in my sock. ‘Saya memilki kira lima puluh dollar di dalam kaos kaki.
              (t) and I had about nine dollars on me.”dan saya mempunyai kira-kira 9 dollar yang ada pada saya.’
              (u) So I give ‘ em (?3) the nine dollars on me. Kemudian saya memberi 9 dollar’
              (v) and they (?3) wanted more.’ Dan mereka menginginkan lebih’
              (w) So they (?3) took my wallet. Kemudian mereka mengambil dompet saya.
              (x) I didn’t want to give them (?3) the money. Saya tidak ingin memberi mereka uang.’
              (y) So then the guy up front he (?4) stuck a gun on my temple, asking for more money. Kemudian orang tersebut dari arah depan dia menodongkan senjata pada pelipis saya, minta uang yang lebih.
              (z) They(/3) were gonna, y’know shoot me. ‘ Mereka mengancam untuk menembak saya’
              (aa) So I gave them (/3) the rest of the money. Kemudian saya memberi mereka sisa uang.’
Iver : (1) In your ssock, right. ‘Di dalam kaos kaki’
         (2) Iyeh.
         (3) If you had not pulled out the money in your sock, do you think they (?3) would’he looked? Jika kamu tidak mengeluarkan uang dalam kaos kakimu, apa yang mereka lakukan padamu?
         (4) Do they (?3) know you keep it here?’ Apa mereka mengetahui kamu meletakkan di sini?’
Gary : (5) No ‘tidak’
                   (6) But, from what other cab drivers (5) told me, Tetapi saya tahu dari pengemudi taksi yang lainyang mengatakan kepada saya’
                   (7) (5) said I probably would’ve been shot. ‘Katanya saya mungkin akan ditembak’
        Iver :   (8) Oh, Gary.
        Gary : (9) That’s what they (5) tell me’ Itulah yang mereka katakana pada saya’
                   (10) Maybe they’re (5) doing it to scare me.’ Mungkin mereka melakukannya untuk menakuti saya’
                   (bb) But, I gave em (?3) the money. “Tetapi, saya memberinya uang’
                   (cc) Like I figured’ Seperti yang saya bayangkan’
                   (dd) I didn’t really get upset. “Saya tidak sungguh-sungguh mendapatkannya kembali
                   (ee) I wasn’t scared. ‘ Saya tidak takut’
                   (ff)  I wasn’t scare till after it was all over with. Saya tidak takut sampai semua berlalu.
                   (gg) At the time I don’t think it never even. ‘ Waktu saya tidak pernah berpikir ini akan terjadi’
                   (hh) All I thought of was Diane and the baby. “Semua pikiran saya adalah Diana dan bayinya’
           Istilah-istilah referen yang didiskusikan termasuk dalam nomor indeks referen dan membantu melacak ungkapan mereka melalui teks. Beberapa ekspresi (misalnya, they) ambigu, mereka memiliki tanda-tanda pertanyaan mengawali keraguan mereka. Analisis sampel ini lebih dibatasi oleh tujuan, menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip model Grice menyediakan dasar interpretatif untuk berbagai kemungkinan referen yang mereka ciptakan.
            Analisis yang berfokus pada setiap referen manusia dengan eksistensi kaitannya dalam cerita. Hal itu didaftar berikut ini dengan pengalokasian  (ungkapan pertama dan selanjutnya) dari setiap istilah referen.
            Analisis
            Ungkapan pertama           
            Referen 1 ‘passengger’ (penumpang)
            Referen 2 ‘two friends’
           Referen 3 ‘they’
            Referen 4 ‘guy up front’
            Referen 5 ‘other cab driver’
           
            Ringkasan: Tahapan, Relevansi, dan Kuantitas Acuan.
            Satu cara pragmatis model Grice menerapkan analisis wacana adalah dengan memberikan deskripsi tentang kondisi pragmatis selama istilah acuan yang berbeda diinterpretasikan. Maksim kuantitas membantu membimbing menuju informasi yang bisa menyediakan petunjuk tentang identitas referen. Maksim relevansi mengarahkan untuk menyelidiki relevansi referen definite, walaupun maksim-maksim tersebut melakukan pekerjaan uang serupa untuk penyebutan pertama dan penyebutan berikutnya, urutan lokasi referen, memengaruhi sumber informasi dalam relevansinya dengan interpretasi.
            Didapatkan lebih banyak wawasan tentang kontribusi pragmatic model Grice terhadap analisis wacana dengan melihat bagaimana sensitifnya tahapan rujukan atau acuan dalam cerita Gary (4) terhadap maksim kuantitas dan maksim relevansi.
            Referen dikenalkan dengan cara yang relevan dengan informasi sekelilingnya, awalnya definite (they, the guy up front) relevan dengan informasi yang disajikan sebelumnya, yaitu digunakan ketika penutur bisa mengasumsikan kemampuan mitra tutur untuk menggunakan teks atau konteks untuk mengacu ke keberadaan dan relevansi referen definite.
            Penyebutan berikutnya kelihatannya adalah definite dan kurang eksplisit daripada penyebutan pertama. Hal ini menyatakan bahwa sesuai dengan istilah acuan lain, kondisi pragmatis yang mendasari penyebutan berikutnya berbeda dari pragmatis yang mendasari penyebutan pertama. Namun, pragmatis model Grice juga memberikan deskripsi tentang penyebutan berikutnya yang serupa dengan penyebutan pertama.
            Selanjutnya ditemukan satu contoh maksim kuantitas dan relevansi bekerja sama dengan cara yang relatif eksplisit, yaitu perubahan anatar  he dan it sebagai penyebutan berikutnya untuk pasenger’.
            Tahapan acuan lain dalam cerita Gary menyatakan bahwa pelanggaran kuantitas dapat dieksplisitkan dalam maksim relevansi. Melihat kembali tentang penyebutan berikutnya yang eksplisit . Dengan demikian dapat dijelaskan penggunaan the guyhe untuk ‘passenger’ dan the guy untuk guy up front dalam hal pertukaran anatar leksikal informatif dan relevansi yang dihentikan. Penyebutan berikutnya yang eksplisit dapat dianggap sebagai pelanggaran maksim kuantitas yang dirancang untuk menunjukkan relevan.
            Linguis sering menggunakan perspektif model Grice untuk menganalisis tuturan tersebut adalah dengan kalimat hipotesi dalam konteks hipotesis, Namun penggunaan tuturan memberikan situasi nyata tempat bahasa digunakan situasi yang melibatkan penutur dan mitra tutur yang memerlukan, bertujuan, dan ingin ditoleransi secara sosial dan kultural definite dibatasi dengan komunikasi .
            Jadi, maksim adalah prinsip komunikasi umum, aplikasi kea rah percakapan khusus atau fenomena linguistic berupa hasil, cara yang digunakan melalui seorang mitra tutur untuk menyimpulkan makan penutur.  Maksim kuantitas menutun mitra tutur untuk menyelidiki informasi yakni sejumlah informasi dalam teks, sejumlah informasi dalam deskripsi itu sendiri. Maksim relevansi menutun mitra tutur untuk menggunakan informasi secara definite, yakni untuk memperoleh relevansi pada teks dan konteks  yang tersituasi. Maksim relevansi  dan kuantitas tidak memberikan mitra tutur dengan identitas referen yang dilakukan penutur, agaknya, mereka menuntun mitra tutur ke arah informasi dan memberikan makna
            terhadap penggunaan informasi tersebut untuk membantu mitra tutur menyimpulkan tujuan referensial penutur. 

d.    Pragmatik Gricean sebagai Pendekatan Wacana
Prinsip komunikasi khususnya maksim kuantitas dan relevansi menggambarkan kondisi bagaimana ekspresi yang berbeda digunakan untuk berkomunikasi dengan maksud komunikasi refrential dalam wacana. Tahapan acuan merupakan hasil secara pragmatikberdasarkan pilihan terkait ketepatan kuantitas informasi dalam cara yang relevan pada sebuah struktur wacana melalui prinsip kerjasama.
Ide Grice terkait kuantitas dan relevansi informasi dapat digunakan untuk memecahkan masalah terkait dengan interpretasi tuturan berdasarkan nilai kontribusi berbagai jenis konteks. Penggunaan prinsip kerja sama dalam wacana menuntun ke arah pandangan tertentu suatu wacana dan analisisnya; wacana sebagai sebuah teks dengan konteks (kognitif, sosial dan konteks kebahasaan) memperbolehkan interpretasi dari makna penutur dalam ujaran. Pragmatik model Grice mengemukakan seperangkat prinsip yang membatasi tahapan pilihan dalam teks dan memberikan mitra tutur untuk memahami maksud penutur dengan mengubungkan apa yang penutur sampaikan dalam ujaran terkait teks dan konteksnya.
Pendekatan yang ditawarkan pragmatik Grice terkait dengan analisis wacana berdasrkan pada prinsip umum kerasionalan komunikasi yang terjadi (prinsip komunikasi) yang disampaikan penutur dan mitra tutur bagaimana memamhi dan menggunakan informasi yang ditawarkan dalam sebuah teks dikaitkan dengan latar belakang pengetahuan yang ada (termasuk pengetahuan dalam konteks sosial yang terjadi) , untuk menyampaikan dan memahami lebih dari apa yang disampaikan dalam berkomunikasi. Penggunaan prinsip ini menuntun ke arah pandangan struktur wacana yang terikat dalam tahapannya – batasan dalam suatu bagian wacana yang muncul dalam teks – karena pengaruh prinsip komunikasi pada realisasi makna kebahasaan penutur pada waktu yang berbeda. Contoh dalam analisis tahapan, informasi tekstual dan kontekstual disajikan pada posisi awal dalam wacana sebagai latar belakang untuk menentukan berapa banyak informasi yang sesuai dengan tahapan yang berikutnya. Penggunaan prinsip kerja sama dalam satu bagian wacana membantu membatasi pilihan; secar fungsional berdasarkan saling ketergantungan yang akan membantu untuk menciptakan karakteristik wacana dan memberikan kebebasan untuk menggunakan baik dalam teks dan konteks sebagai  sumber untuk berkomunikasi satu sama lain. Pragmatik Grice dalam analisis wacana melihat bagaiman asumsi partisipan pada konteks kerja sama dalam berkomunikasi (konteks termasuk pengetahuan, teks dan situasi) yang memberikan kontribusi makna dan bagaimana asumsi ini membantu untuk menciptakan tahapan dalam pola bicara.

Simpulan  
Sosiolinguistik Interaksional (Interactional Sociolinguistics)merupakan salah satu pendekatan analisis wacana yang melibatkan tiga ilmu yang disajikan secara interdisipliner yaitu antropologi (budaya), sosiologi (masyarakat), dan linguistik (bahasa).Tiga ahli yang akan dilibatkan untuk memberikan kontribusi pada sosiolinguistik interaksional dalam pembahasan ini adalah 1) John Gumperz yang merupakan ahli bahasa yang lebih menyoroti sisi budayanya, yang dilengkapi oleh 2) Erving Goffman seorang ahli sosiologi yang ternyata setelah dilakukan pengkajian lebih detil, hasil-hasil penelitiannya sangat erat hubungannya hasil penelitian John Gumperz, serta 3) ditinjau dari sisi linguistiknya beberapa linguis seperti Brown dan Levinson (1987), Schiffrin (1987a), dan Tannen (1989a) telah menerapkan gagasan-gagasan Gumperz dan Goffman dalam kajian linguistiknya secara luas
Pragmatik merupakan pendekatan dalam wacana yang memiliki 3 konsep; makna, konteks dan komunikasi. Morris dalam Schiffrin mendefinisikan pragmatik sebagai cabang dari semiotik yang merupakan kajian tentang tanda. Proses bagaimana sesuatu berfungsi sebagai sebuah tanda atau yang disebut semiosis memiliki 4 bagian, 1) Tanda atau signyang merupakan seperangkat tindakan, 2) Designatumyang merupakan penanda atau kepada apa tanda tersebut mengacu, 3) interpretantmerupakan efek dari tanda pada orang yang menginterpretasi tanda tersebut dan 4) interpreter adalah individu yang terkena pengaruh atau efek dari tanda tersebut.


Daftar Pustaka

Bennet, A. 1078. Interruption and the Interpretation of Conversation. Proceedings of the   
      Fouth Annual Meeting in the Berkeley Linguistics Society.

Gofman,  E1967. The Nature of Difference and Demeanor.  In intereaction  Ritual.   
      New York: Anchor  Books.

 Gumperz, J. 1982.  Language and Sosial Identity.Cambridge:Cambridge Univeristy.

Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Massachusetts: Blackwell Publishing
Tannen, D.1984.  Conversational Style.Norwood, NJ: Ablex Press.



[1]Deborah Schiffrin, Approaches to Discourse, (Massachusetts: Blackwell Publisher, 1994), h. 98
[2]Ibid., h. 99
[3] John Gumperz.  Language and Sosial Identity.Cambridge:Cambridge Univeristy Press. (1982b)
[4] D Tannen. Conversational Style.Norwood, NJ: Ablex Press. (1984)
[5] Deborah Schriffin, Approaches to Discourse. Cambridge: Blackwell Publisher (1994. h.106)
[6] E Gofman.  The Nature of Difference and Demeanor.  In intereaction  Ritual.   New York: Anchor  Books, (1967b. h h. 49-95)
[7] A.Bennet. Interruption and the Interpretation of Conversation. Proceedings of the Fouth Annual Meeting in the Berkeley Linguistics Society (1978. Hh. 557-575)
[8] Deborah schiffrin.oc.it. h.109
[9] Deborah schiffrin.oc.it.h.117
[10] Deborah schiffrin.oc.it.h.133
[11]Debora Schiffrin, Approaches to Discourse Analysis, (Massachusetts: Blackwell Publisher, 1994), h. 129
[12] Deborah Schiffrin. Approaches to Discourse. Massachusetts: Blackwell, 1994. h. 190-191

Tidak ada komentar:

Posting Komentar