Oleh: Audi Yundayani (7317150067), Frimadhona Syafri (7317150237),
Lidwina Sri Ardiasih (7317150075), dan Arini Noor Izzati
(7317150065)
Abstrak
Dalam makalah ini akan diberikan dua topik pembahasan, yaitu yang pertama pemahaman
tentang definisi interaksional sosiolinguistik sebagai suatu
pendekatan analisis wacana yang dikontribusi oleh tiga interdisiplin ilmu yaitu
antropologi, sosiologi, dan bahasa itu sendiri serta dilengkapi dengan contoh
analisisnya. Bagian kedua membahas topik pragmatik yang juga digunakan sebagai
pendekatan analisis wacana disertai dengan contoh-contohnya.
Kata
kunci: interaksional,
sosiolinguistik, pragmatik
A. Pendahuluan
Sosiolinguistik
Interaksional (Interactional
Sociolinguistics)merupakan salah satu pendekatan analisis wacana yang
melibatkan tiga ilmu yang disajikan secara interdisipliner yaitu antropologi
(budaya), sosiologi (masyarakat), dan linguistik (bahasa). Tiga ahli yang akan
dilibatkan untuk memberikan kontribusi pada sosiolinguistik interaksional dalam
pembahasan ini adalah 1) John Gumperz yang merupakan ahli bahasa yang lebih
menyoroti sisi budayanya, yang dilengkapi oleh 2) Erving Goffman seorang ahli
sosiologi yang ternyata setelah dilakukan pengkajian lebih detil, hasil-hasil
penelitiannya sangat erat hubungannya hasil penelitian John Gumperz, serta 3)
ditinjau dari sisi linguistiknya beberapa linguis seperti Brown dan Levinson
(1987), Schiffrin (1987a), dan Tannen (1989a) telah menerapkan gagasan-gagasan
Gumperz dan Goffman dalam kajian linguistiknya secara luas.
Pragmatik sebagai
pendekatan analisis wacana juga memiliki peran yang sangat penting terkait
dengan tiga konsep yaitu makna, konteks, dan komunikasi. Dilihat dari cakupan
materi yang didiskusikan, sangatlah jelas pembahasan mengenai pragmatik ini
sangat luas. Namun demikian, pada makalah ini pembahasan akan berfokus pada Gricean Pragmatics.
Dengan demikian, makalah
ini bertujuan untuk membahas 1) definisi sosiolinguistik interaksional dan
pragmatik sebagai pendekatan analisis wacana, serta 2) contoh-contoh analisis
wacana dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut.
B. Pembahasan
1.
Sosiolinguistik
Interaksional (Interactional
Sociolinguistics)
a.
Definisi
Sosiolinguistik Interaksional
Dalam sebuah analisis wacana perlu digunakan
pendekatan-pendekatan yang tepat untuk memperoleh sekaligus memberikan
informasi hasil analisis yang akurat mengenai suatu wacana. Salah satu
pendekatan analisis wacana yang ditawarkan adalah sosiolinguistik interaksional
(interactional sociolinguistics). Kata
sosiolinguistik interaksional menunjukkan adanya hubungan atau interaksi antara
beberapa ilmu penting yaitu antropologi, sosiologi, dan linguistik.
Gagasan
ini berakar dari John Gumperz dari disiplin antropologi dan Erving Goffman dari
disiplin sosiolinguistik. Gumperz memberikan pemahaman tentang bagaimana
seseorang menggunakan bahasa bersama-sama dengan pengetahuan gramatikalnya pada
konteks yang berbeda-beda, sedangkan Goffman memberikan suatu deskripsi tentang
bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sosial yang nyata. Gagasan dari
kedua disiplin ilmu ini diaplikasikan oleh para linguis sehingga menghasilkan pendekatan
analisis wacana. Berikut penjelasan gagasan-gagasan sosiolinguistik
interaksional secara rinci sesuai dengan kontribusi disiplin ilmunya
masing-masing.
1). Gagasan
Sosiolinguistik Interaksional dari Gumperz ditinjau dari disiplin Antropologi
Dalam sebagian besar esainya mengenai Discourse Strategies, Gumperz menyatakan bahwa ia “mencoba
mengembangkan pendekatan dari susut sosiolinguistik untuk menganalisis proses
pertemuan tatap muka” [1]Dil
yang dipublikasikan tahun 1971 merupakan kumpulan esainya yang memiliki fokus
ganda yaitu 1) bahasa dan ragam dialek dan 2) penggunaan bahasa dan interaksi
sosial. Hasil penelitian pada esai tersebut secara kesekuruhan menyiratkan
asumsi dasar pada antropologi sosial budaya yaitu dilihat dari makna, struktur,
dan penggunaan bahasanya yang diilustrasikan melalui sudut pandang yang
berbeda. Misalnya pada proyek Gumperz di India yang menyoroti perbedaan ragam
bahasa pada proses alih kode (code
switching) bahasa Hindi-Punjabi dan bahasa lisannya (tatap muka), tidak hanya
berfokus pada struktur linguistiknya tetapi bagaimana struktur tersebut menjadi
bagian dari repertoar verbal pada interaksi kelompok sosialnya. Menurut Gumperz
terdapat dua jenis alih kode yaitu 1) situasional
code switching (kecenderungan komunitas bilingual atau multilingual untuk
menggunakan bahasa atau ragam bahasa yang berbeda pada situasi sosial yang
berbeda, 2) metaphorical code switching(kecenderungan
dalam masyarakat bilingual atau multibahasa untuk beralih kode (bahasa atau ragam
bahasa) dalam percakapan untuk membahas topik ke dalam wilayah percakapan lain).
Hubungan antara
budaya, masyarakat, individu, dan kode kemudian dikembangkan dalam strategi
wacana (discourse strategies). Pada
esainya Gumperz menyatakan bahwa “cognition
and language, then, are affected by social and culture forces: the way we
behave and express ourselves in relation to a linguistic code and the
underlying categories of the code itself are open to external influence.” [2]Dari
kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa kekuatan sosial budaya sangat
berpengaruh pada kognisi dan bahasa yaitu pada cara seseorang berperilaku dan
mengungkapkan kode-kode linguistiknya. Dalam rangka memahami pengaruh-pengaruh
tersebut dibutuhkan teori umum komunikasi verbal yang mengintegrasikan hal-hal
yang telah diketahui seperti tata bahasa, budaya, dan kesepakatan interaktif ke
dalam kerangka konsep dan prosedur analitis yang menyeluruh. Teori komunikasi verbal yang
diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang
terbangun dari gagasan
awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru yaitu isyarat kontekstualisasi. Isyarat
kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan
tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz
adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem
simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro
(misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro
(apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur
adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan
hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan
indikasi kesinambunganmengenai siapa kita, nyaingin
berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan
memproduksi
dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi
oleh konteks lokal yang merupakan
bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut
ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada di mana pengetahuan ditempatkan, penutur,
dan konteks sosial, tetapi melalui cara dan penekanan yang berbeda.
2). Gagasan Sosiolinguistik Interaksional dari Goffman
ditinjau dari disiplin Sosiologi
Erving Goffman merupakan seorang tokoh dari disiplin sosiologi yang juga memberi kontribusi ke arah
pengembangan sosiolinguistik interaksional.
Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada interaksi sosialnyamelengkapi fokus
Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakkan bahasa (dan pengkodean) dalam konteks sosial dan
interpersonal yang sama seperti penetapan praduga
(presuppositions)
temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk pengkodean makna. Ada tambahan dari Goffman,
yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks-konteks
tersebutmemungkinkan seseorang lebih menyeluruh dalam mengidentifikasi dan menghargai praduga kontekstual yang tergambar dalam perkiraan mitra tutur terhadap makna penutur.
Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik
dan mengaplikasikannya untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas
strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tapi terabaikan
yaitu interaksi sosial tatap muka. Kerja Goffman tersebut memberikan elaborasi praduga
kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses praduga, dan sebagai tawaran pandangan
makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dikonstruk dengan menentukan
keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian
besar kerja Goffman yang terakhir berfokus pada
penutur. Gagasan tersebut terbangun atas pembagian awalnya
melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan melalui seperangkat posisi di mana individu di dalam batas perseptual
tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan
empat posisi atau status partisipan: Animator,
Author, Figure, dan Prinsipal. Animator
memproduk tuturan, Author menciptakan
tuturan, Figure dipotret lewat
tuturan, dan Prinsipal merespon
tuturan.
Terkait
dengan bahasa, budaya, dan masyarakat yang ‘disituasikan’ (situated), terdapat dua fokus perhatian yang berbeda, yaitu pada 1)
bahasa dan budaya (language and culture),
dan 2) diri pribadi dan masyarakat (self
and society).Berdasarkan kedua fokus tersebut, terdapat dua isu inti dari
gagasan Gumperz dan Goffman yang menyediakan kesatuan sosiolinguistik
interaksional yaitu “interaksi antara individu secara pribadi dan orang lain”
dan “konteks”. Hasil karya Gumperz berfokus pada ‘bagaimana kritisnya
interpresentasi konteks terhadap
komunikasi informasi dan terhadap pemahaman orang lain terhadap intensi/tujuan
penutur dan/atau strategi wacananya, sedangkan hasil karya Goffman berfokus pada ‘bagaimana organisasi kehidupan
sosial (pada institusi, interaksi, dan lain-lain) menyediakan konteks-konteks
di mana antara perilaku diri dan komunikasi dengan orang lain bisa dapat
‘dipahami’.
Selain itu,
kedua gagasan tersebut menyajikan pandangan bahasa sebagai petunjuk (indexical) terhadap dunia sosial, di
mana bagi Gumperz bahasa adalah petunjuk terhadap latar belakang pemahaman
budaya yang menyediakan pengetahuan yang tersembunyi tetapi kritis tentang
bagaimana membuat acuan (inferences)apa
yang dimaksud pada suatu ujaran, sedangkan bagi Goffman, bahasa adalah satu
dari sejumlah sumber simbolis yang menyediakan petunjuk terhadap identitas
sosial dan hubungan yang terus menerus dibangun selama berinteraksi.
Pada
akhirnya, kedua tokoh tersebut memungkinkan bahasa memiliki peran yang lebih
aktif menciptakan dunia daripada hanya sekedar istilah ‘petunjuk’ saja. Isyarat
kontekstualisasi dapat mengubah tidak hanya makna suatu pesan, tetapi kerangka
partisipasi suatu percakapan, seperti tujuan dan penyajian berbeda yang
ditampilkan melalui perubahan kecilpada ujaran. Oleh karena itu, pada intinya
peran bahasa dalam konteks dan cara penyampaiannya dalam komunikasi bagi kedua
tokoh tersebut adalah sama.
b. Analisis Contoh: ‘Speaking for Another’
Sosiolingusitik interaksional selalu menggambarkan
timbulnya interaksi secara alami pada data. Gumperz dan para pengikutnya fokus
kepada bahasa yang digunakan penutur
daripada perbedaan latar belakang budaya (lihat kumpulan makalah dalam Gumperz
1982b)[3].
Sosiolinguistik interaksional juga digambarkan pada percakapan yang terjadi
secara alami di antara teman (Tannen)[4].
Pada akhirnya, sosiolinguistik interaksional memberikan perhatian yang besar
kepada ciri-ciri transkripsi penutur yang menyimpan isyarat kontekstual.
Dalam bukunya, Schiffrin[5]menjelaskan
bahwa fokus awalnya adalah tuturan tunggal dari seorang penutur. Pada saat
percakapan sedang berlangsung, Zelda mengatakan She’s on diet tentang Irene kepada Henry dan saya. Pada hakikatnya,
tuturan ini memperluas jawaban No
Irene kepada pertanyaan Henry Y’want a
piece of candy? dan memberikan tanggapan yang bukan pemenuhan Irene atas
tawaran Henry. Pada analisis tindak tutur di sini difokuskan pada kerangka
kerja partisipan yang ditimbulkan ketika Zelda membuat hubungan terhadap
perubahan Irene dengan Henry. Tuturan ini dapat dinyatakan sebagai sebuah tindakan seseorang “bertutur untuk
orang lain”.bukan hanya urutan tindakan yang harus didiskusikan dengan topik
tindak tutur,tetapi isu yang muncul pada analisis kerangka kerja partisipan.
Secara
kontekstualisasi tindak “bertutur untuk orang lain sebagai cara menemukan makna
interaksi. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa bertutur untuk orang lain dapat
memperhatikan paling sedikit dua perbedaan penjajaran
partisipan dalam sebuah gagasan dari bagian perpindahan interaksional dan
penjajaran ini sejajar dengan identitas gender.
Schiffrin dalam bukunya Approaches to Discourse ini tidak
memulai dari analisisnya pada bentuk linguistik ataupun masalah tertentu, namun
dia berfokus pada tuturan tertentu (Zelda’s She’s on a diet). Dia berusaha
menemukan makna dari tuturan ini melalui perbandingan antara tuturan dan
interaksi mitra tutur.
3.1
Bertutur untuk Orang lain: “Ia sedang diet (She’s on a diet)”
Berikut ini bahasan analisis Schiffrin
mengenai tindak tutur dalam percakapan tertentu. Topik yand diangkat adalah
percakapan Zelda’s She’s on diet.
1. Henry :
(a) Y’ want a piece of Candy? ‘Kamu mau permen?’
Irene :
(b) No ‘tidak’
Zelda :
(c) She’s on a diet ‘ia sedang diet’
Debby :
(d) Who’s not on (a diet) ‘siapa yang
sedang diet’
Irene :
(e) I’am on ‘saya’
I am a diet ‘saya diet’
(f) and my brother [buys=’dan ibu saya
[membeli’
Zelda :
(g) [You’re not ![kamu tidak1
Irene :
(h) My mother buys three mints ‘ Ibu saya membeli tiga mint’
Debby :
(i) oh yes I ammhhh ‘oh ya saya’
Zelda :
(j) oh yeh ‘oh ya
Percakapan
‘She’s on a diet ‘ merupakan perluasan (sebuah rangkaian unit
yang memberikan informasi tambahan kepada unit sebelumnya) dan laporan (penjelasan penolakan Irene atas tawaran
Henry). Perluasan danlaporan adalah tindak relasional: perlasan tambahan
informasi untuk tindakan sebelumnya telah diputuskan (yaitu pantas, sopan,
menghina) dalam beberapa cara.
Analisis kerangka kerja partisipasi Goffman[6]
memberikan beberapa kehususan terhadap peranan ini. Menurutnya, seorang
(penutur) mengahasilkan pesan berisi berisi bertanggung jawab kepada mitra
tutur (pengirim), dapat dikatakan bahwa seseorang bertindak sebagai animator kepada orang lain yang memiliki
peranan prinsipal. Maka, ketika Zelda mengatakan She’s on a diet, ia adalah animator
untuk prinsipal Irene. Tuturan
Zelda dalam posisi berurutan yang menjadikan Irene dapat mengerti dirinya (orang yang sering memberikan
laporan pada mereka sendiri ketika
mereka menolak tawaran) dan hubungan yang utama pada perubahan di antara Irene dan Henry (Irene menolak
tawaran Henry).
3.2 Bertutur untuk Orang lain “untuk
Penempatan Makna”
Salah
satu kiat untuk memahami sosialinguistik interaksional adalah penempatan makna.
Sebagaimana dinyatakan oleh Bennet (1978)[7]
misalnya struktur giliran –berbicara selama
seseorang dua cara yang berbeda:
“interupsi” (dengan makna negatif) atau “tumpang tindih” (dengan konotasi
netral atau bahkan positif).
3.2.1 Pelurusan: “menyela atau
mencampuri”
Bertutur
untuk orang lain mempunyai keterpaduan makna dalam maupun pada penutur itu
sendiri. Hal itu dapat diinterpretasikan sebagai makna positif seperti “menyela
(chipping in)” atau makna negatif
seperti “mencampuri (butting in)”.
Schiffin[8]
berkesimpulan tentang bagaimana menganalisis pergantian kerangka
kerjapartisipan yang ditimbulkan oleh Zeldas’She’s on a diet. Setelah mengidentifikasi percakapan She’s on a diet merupakan contoh dari
“percakapan”, lalu dilakukan observasi beberapa perbedaan yang mungkin timbul
dalam makna interaksi pembicaraan dan peranan tindakan tertentu, tapi makna
yang lebih umum yang mungkin dapat diterapkan pada peranan Zelda. Diasumsikan
bahwa Zelda menunjukkan kedekatan dan ketergantungan yang menguntungkan. Itu
terjadi pada dua level: huungan sosial eksternal pada pembicaraan dan partisipasi dalam percakapan.
Perlu diingat bahwa analisis ini tidak membicarakan tujuan atau maksud Zelda
tetapi menjelaskan Zelda dilihat dari cara berbicara (berbicara kepada) yang
mungkin digunakan dengan seseorang yang telah mempunyai hubungan tertentu (
misalnya: persahabatan).
3.2.2 Tindakan Sosial: Memberikan
penjelasan untuk Penutur dan Mitra Tutur
Meninjau
kembali kepada Zelda’s She’s on a diet dan
cerita diet Irene, Zelda dan Irene
menimalkan potensi penolakan Zelda terhadap tawaran Henry. Hal itu menunjukkan
adanya keinginan Henry dan Zelda
berinteraksi dan mempertahankan persahabatan mereka. Dengan menunjukkan
mereka bahwa penolakan Irene tidaklah mengurangi rasa hormatnya terhadap Henry
maka Henry tetap punya harga diri dan Irene bisa menolak tawaran tersebut.
Jadi,
terlihat bahwa makna tindak sosial dapat diformulasikan dalam istilah
konsekuensi interpersonal dan interaksional mereka, kemudian memberikan konteks
dengan cara makna tuturan ditempatkan.
Dapat dilihat di sini bahwa identitas penutur memberikan sisi konteks lain
dengan cara ancangan interaksional menempatkan makna tuturan: maka, bertutur
untuk tidak hanya menjadi strategi wacana dengan cara memelihara solidaritas,
tetapi juga sebuah isyarat kontekstualisasi yang menandakan hubungan identitas
dan hubungan penutur.
3.2.3 Tampilan Identitas –Mikro dan
Identitas- Makro: Penjajaran dan Jender
Analisa berikut
mempertmbangkan konteks siapa yang bertutur lakii-laki atau perempuan) . Dalam
hal ini, tdak hanaya mempertimbangkan bagaimana
bertutur untuk orang lain dapat menunjukkan identitasa seseorang, tetapi
juga bagaimana identitas penutur memberikan sisi konteks lain yang bisa
menemukan makna tuturan. Untuk itu diskusi berikut ini memperbandingkan singkat
partisipan mitra tutur menjajarkan ulang di antara penutur yang sama.
1. Henry :
(a) Y’ want a piece of Candy? ‘Kamu mau permen?’
Irene :
(b) No ‘tidak’
Zelda :
(c) She’s on a diet ‘ia sedang diet’
Debby :
(d) Who’s not on (a diet) ‘siapa yang
sedang diet’
Irene :
(e) I’am on ‘saya’
I am a diet ‘saya diet’
(f) and my brother [buys=’dan ibu saya
[membeli’
Zelda :
(g) [You’re not ![kamu tidak1
Irene :
(h) My mother buys three mints ‘ Ibu saya membeli tiga mint’
Debby :
(i) oh yes I ammhhh ‘oh ya saya’
Zelda :
(j) oh yeh ‘oh ya
Dalam hal ini Schiffrin[9]
lebih menekankan bahwa Zelda’s She’s on a diet telah
menciptakan topik yang melibatkan dua wanita lain dalam percakapan tersebut,
tetapi hal ini tidak dilakukan oleh Henry (tipe topik ini merupakan
karakteristik dari gaya etnik dari si penutur). Sepertinya topik ini lebih
tepat untuk wanita, misalnya secara tradisional wanita lebih sesuai dengan
topik tersebut daripada pria dengan topik personalnya tentang penampilan fisik
termasuk berat badan mereka
Contoh (2) berikut ini
merupakan contoh yang tepat untuk mengenai jalur perbedaan interaksional-
cara yang sepertinya berhubungan dengan
gender-yang dilakukan oleh Henry dan Zelda.
2. DEBBY :
(a) Well, Irene, is there anybody aaround here that you would call a best
friend? (Baiklah, Irene apakah di sekitar sini ada seseorang yang kamu sebut
teman?)
IRENE : (b) Now? ‘sekarang?’
DEBBY : (c) Yeh “ya” hhh
HENRY : (d) In front of us ‘di depan kita’
ZELDA : (e) No, we’re not her (best friends,
we’re her = tidak, kita bukan teman dekatnya, kita adalah...’
HENRY : (f) [No! She’s got a best friend. Tidak,
dia punya teman dekat’
ZELDA : neighbors! ‘tetangganya”
IRENE : No, Idon’t really think any one person I
could say. “Tidak, saya pikir saya tidak punya teman seseorang pun
HENRY : [But she’s more of a friend to a person=
tapi dia lebih sebagai teman bagi seseorang........
(selanjutnya
bisa lihat Schiffrin (1994) hal 117
Perhatikan pertanyaan DEBBY
(a) mengikuti format interview.
Percakapan antara HENRY dan ZELDA (d dan e)
mengubah format interview oleh
karena komentar mereka berdua tentang pertanyaan daripada mengizinkan Irene
untuk menjawab pertanyaan untuk IRENE yang kedengarannya seperti menyemangati
(f). Dia segera menggunakan pendapatnya sendiri, walaupun membuat ketidakadilan
antara cara IRENE mempelakukan orang lain (secara positif) dengan cara orang
lain memperlakukannya (secara negatif). Henry menunjukkan (h,j)nilai lebih Irene daripada yang diharapkan
Irene, Irene setuju dengan Henry (k).
Sementara itu, ketika Irene mempunyai “kesulitan”, Zelda segera menunjukkan rasa simpati dengan
cara personal dengan bertanya (n). Sedangkan Henry menggunakan penjelasan Irene
sebagai kesepakatan mengenai pendapatnya sendiri(s). Oleh karena itu, Zelda
mendukung berdasarkan implikasi personal aras apa yang telah dikatakan Irene.
Henry menggunakan situasi Irene sebagai dasar untuk memperkuat taksiran umum
atas dilema yang dialami Irene.
Schiffrin menyimpulkan bahwa datanya Zelda’s She’s on a diet mengajukan sebuah penjajaran interaksional yang lebih
bertipe pernyataan yang dikemukakan oleh wanita daripada pria.
c. ‘Interactional Sociolinguistics’ sebagai Pendekatan Wacana
Schiffrin[10]
melihat bahwa sosiolinguistik interaksional memberikan sebuah ancangan wacana
yang berfokus pada peletakan makna. Dalam ancangan ini, terdapat penggabungan
gagasan antropolog John Gumperz dan sosiolog Erving Goffman. Apa yang
dikontribusikan Gumperz ke dalam ancangan ini adalah seperangkat konsep dan
piranti yang memberikan kerangka kerja di dalam analisis yang menggunakan
bahasa selama komunikasi interpersonal; Gumperz memandang bahasa secara sosial
dan kultural sebagai konstruk sistem simbol yang merefleksikan dan menciptakan
level makro makna sosial dan level mikro makna interpersonal. Kerja Erving Gofman juga berfokus pada
penempatan pengetahuan, penutur, dan konteks sosial dengan cara bahwa pelengkap
fokus Gumperz berfokus pada ditempakannya inference
(dugaan): Goffman memberikan kerangka kerja sosiologis untuk
mendeskripsikan dan memahami bentuk dan makna untuk konteks sosial dan
interpersonal yang memberikan praduga untuk interpretasi makna.
3.3 Bertutur untuk orang lain dan
mengambil peran mitra tutur
Pada bagian ini dibahas mengenai analisis terhadap
tuturan terhadap orang lain yang dianggap sebagai bagian dari dua level tertinggi dari
konstruksi analisis yang saling berhubungan. Bertutur untuk orang lain
merupakan suatu tindakan di mana seseorang berperan sebagai orang lain dan mengambil
peran orang lain tersebut merupakan cara menunjukkan koherensi saling
berkesinambungan. Pembahasan ini diawali dengan hasil observasi kritis Goffman
terhadap analisis wacananya di mana dua orang (atau lebih) berkumpul, mereka
tidak hanya menanggapi permintaan institusional atau interaksional di mana
mereka dapat menemukan diri mereka sendiri, namun mereka juga merupakan
pendamping konstruktor dari permintaan tersebut. Masukan bahasa pada hubungan
ini (khususnya yang bersifat mudah merembet/berkembang)sangat sederhana karena
ujaran kini menciptakan serangkaian konteks yang potensial di mana ujaran
selanjutnya akan dapat menanggapinya dengan mudah. Sangatlah mudah untuk
mengamati bagaimana peran bahasa yang merefleksikan konteks dan menciptakan
konteks tersebut menempatkan ujaran sebagai bagian dari permintaan
institusional. Sebagai contohnya, ujaran ‘Drink?’
Pada saatdiujarkan oleh seorang bartender
kepada seseorang yang duduk di bar, kita memahami ‘Drink?’ sebagai tawaran untuk menjual sesuatu (atau sebagai
petunjuk suatu tempat memesan) dalam suatu pertemuan tertentu. Kita juga tahu
kemungkinan tanggapan yang tepat adalah ‘Michelob’
(sejenis bir Eropa), bukan No, thanks
atau I’m not thirsty. Hal ini
dikarenakan ‘Drink?’ tidak dipahami
sebagai tawaran menjual minuman di konteks yang lain (seperti di sebuah dinner party) atau di antara peserta
suatu pertemuan (seperti dikatakan seorang pembeli kepada pembeli yang lain),
di sini ‘Drink?’ merefleksikan latar
belakang institusionalnya. Hal ini juga membantu menciptakan interpretasi latar
belakangnya di mana pertemuan layanan menggunakan cara yang tidak digunakan
pada ujaran lainnya.
Ujaran
juga merefleksikan dan menciptakan penjelasan permintaan interaksional. Apabila
kita mencoba mengambil peran Irine yang menolak (No)penawaran permen Henry(Want a piece of candy?) sebagai ujaran kini, kita dapat
membayangkan sejumlah ujaran selanjutnya yang berbeda-beda dari Henry.
HENRY : Want a price of
candy?
IRENE :
No.
Kemungkinan ujaran selanjutnya:
HENRY: a. Oh
c’mon.
b.
There’s nothing wrong with it!
c.
Suit yourself.
d.
Just testing you! I know you’re on a diet.
e.
What?
f.
I didn’t hear you.
g.
What time did the teachers leave?
h. Y’know I bought this
candy at that new place in the mall, and when I
was there/continues/ [11]
Kedelapan jawaban Henry tersebut memberikan aspek yang
berbeda terhadap jawaban No dari
Irene di mana jawaban-jawaban tersebut menyajikan konteks interpretatif
terhadap pasangan ujaran. Jawaban a sampai d secara jelas berhubungan dengan
ujaran sebelumnya, sedangkan jawaban e sampai h menunjukkan produksi bahasa
pada aspek yang lebih umum. Contoh di atas menunjukkan bahwa ujaran selanjutnya
yang merupakan tanggapan didasarkan pada
aspek-aspek yang berbeda dari ujaran kini. Dengan kata lain, ujaran
selanjutnya adalah celah di mana penutur dapat memberikan tanggapan sekaligus
menciptakan konteks terdahulu (prior
context).
2. Pragmatik
a. Definisi Pragmatik
Pragmatik merupakan
pendekatan dalam wacana yang memiliki 3 konsep; makna, konteks dan komunikasi.
Morris dalam Schiffrin mendefinisikan pragmatik sebagai cabang dari semiotik
yang merupakan kajian tentang tanda. Proses bagaimana sesuatu berfungsi sebagai
sebuah tanda atau yang disebut semiosis memiliki 4 bagian, 1) Tanda atau signyang merupakan seperangkat tindakan,
2) Designatumyang merupakan penanda
atau kepada apa tanda tersebut mengacu, 3) interpretantmerupakan
efek dari tanda pada orang yang menginterpretasi tanda tersebut dan 4) interpreter adalah individu yang terkena
pengaruh atau efek dari tanda tersebut. Morris mengistilahkan semiosis sebagai
sesuatu yang ditandai penanda definite (a-mediated-taking-account-of). Mediator
merupakan sarana tanda, interpretant merupakan penerima yang memperhatikan tanda,
interpreter adalah perantara dari proses dan apa yang diperhatikan adalah designate. Untuk mendefinisikan aspek
yang berbeda dari proses semiosis, Morriss mengidentifikasikan 3 cara dalam
mempelajari tanda; syntax yang terkait dengan kajian hubungan formal antar
tanda, semantic yang merupakan kajian bagaimana tanda dihubungkan dengan objek
yang sesuai (designata), pragmatik merupakan kajian terkait hubungan tanda
dengan interpreter. Jadi, pragmatik merupakan kajian tentang bagaimana
interpreter mengikutsertakan dalam memperhatikan designate (kontruksi
interpretant) terhadap tanda itu sendiri. [12]
1).
Makna Penutur
Makna penutur merupakan
konsep penting dalam pragmatik Grice. Makna penutur tidak hanya memperbolehkan
perbedaan antara 2 jenis makna (antara makna semantik dan makna pragmatik),
tetapi juga terkait persepsi individu.
Grice
membedakan antara non-natural meaningatau
komunikasi yang dilakukan dengan memiliki maksud tertentu dan natural meaning
yang meniadakan maksud atau tujuan komunikasi. Contohnya pada kalimat, “Those three rings on the bell (of the bus).” Kalimat tersebut bermakna
bahwa bis telah penuh, makna yang ingin disampaikan kepada penumpang melalui
efek dari bel.
Strawson
dalam Sciffrin membedakan maksud dalam formulasi Grice ke dalam 3 bagian yaitu,
a)
Ujaran yang disampaikan S tentang
x sehingga menghasilkan respon r yang dilakukan A sebagai mitra tutur
b)
A memahami maksud yang disampaikan
S
c)
Pemahaman A terhadap maksud S (a)
berfungsi sebagai bagian dari alasan yang digunakan A sehingga melakukan
response r.
2).
Prinsip Kerja Sama
Untuk memahami prinsip kerja sama, sebaiknya kita
memahami terlebih dahulu pandangan Grice
terkait makna logis terhadap bahasa alami. Topik yang akan dibahas berfokus
pada konsep implikatur yang merupakan kesimpulan tentang maksud penutur yang
timbul dari penggunaan makna semantik atau makna logis mitra tutur dan prinsip
percakapan. Implikatur terkait dengan makna semantik, sehingga dalam makna
non-natural, “tanda” merupakan suatu hal yang penting. Implikatur juga terikat
dengan prinsip percakapan. Konteks menghubungkan pengguna tanda.
Grice menjelaskan bahwa tuturan bahasa alami tidak
terlihat menyampaikan makna yang sama dalam proposisi logis berikut,
Merupakan hal yang biasa dalam logika filosofi
bahwa ada perbedaan anntara makna, di lain pihak, setidaknya ada beberapa
hal yang disebut alat formal - ~,ᴧ, ˅,
ᴝ, (x), ᴟ (x), ∫(x) dan di sisi lain hal tersebut merupakan
analogi dari ekspresi seperti not, and,
or, if all, some, or (setidaknya
satu), the. (Grice 1975:41)
Contohnya dalam ujaran I went to the store and I put gas in the car, mungkin diwakilkan
sebagai “P & Q” (“P” merupakan proposisi klausa pertama dan “Q” untuk
kedua. Interpretasi drai ujaran tersebut lebih luas daripada makna logikal
penghubung “&”. Makna logikal “&”
dapat mengatakan contohnya “P & Q” adalah benar jika kedua P dan Q
adalah benar. Grice membedakan pemahaman makna logical dengan menyatakan bahwa
makna logical merupakan bagian dari apa yang dikatakan seseorang. “To say”
erat kaitannya dengan makna konvensional kata atau kalimat yang diujarkan.
Makna yang ditambahkan dan muncul dalam ujaran merupakan implikatur yang lebih
tepat daripada prinsip kerjasama dalam komunikasi.
Grice membuat observasi terkait dengan percakapan,
Pembicaraan kami tidak secara normal terdiri kata
atau tanda yang tidak tersambung dan tidak rasional. Dengan sifat yang khas
mereka, tidak akan ada rasional jika dilakukan. Terdapat beberapa tingkat,
tujuan yang sama atau setidaknya tujuan yang diterima sama pada tiap tingkatan,
beberapa percakapan yang dikeluarkan sebagai percakapan yang tidak sesuai.
Prinsip kerjasama terdiri dari 4 maksim utama,
·
Kuantiti : Pastikan apa yang
disampaikan memiliki informasi ynag jelas dan jangan membuat menjadi lebih
informatif dari yang dibutuhkan
·
Kualitas : Pastikan yang
disampaikan adalah benar. Jangan mengatakan apa yang kamu percaya salah. Jangan
mengatakan sesuatu yang tidak pasti dan tanpa bukti
·
Relasi : Relevan/memiliki hubungan
·
Cara : Sampaikan dengan cara yang
mudah dipahami, hindari ketidakjelasan ekspresi, hindari ambigu/makna ganda,
sampaikan dengan rinci dan tersusun
Yang
harus dicatat bahwa maksim terjadi bukan karena percakapan yang alami tetapi
fakta bahwa percakapan merupakan sebuah kasus khusus atau variasi tindakan yang
memiliki tujuan dan sebagai hasil pemikiran yang rasional.
Untuk
memahami sebuah implikatur percakapan yang terjadi, Grice (p.50) dalam
Schiffrin, menyampaikan beberapa hal yang harus dilakuan mitra tutur,
1)
Makna yang lazim dari kata yang
digunakan, termasuk referensi yang terkait
2)
Prinsip komunikasi dan maksim
3)
Konteks, kebahasaan dari tuturan
4)
Hal lain terkait latar belakang
pengetahuan
5)
Fakta atau dugaan yang terkait
dengan topik yang ada sebelumnya termasuk apa yang mereka pahami
Implikatur
dapat dilakukan dari 1 diantara 3 cara: a) maksim dapat diikuti sebuah
penjelasan secara langsung, b) maksim dapat dilanggar karena adanya
pertentangan dengan maksim lainnya, c) maksim dapat ditolak.
Perhatikan
contoh kalimat berikut, “I went to the
store and I put gas in the car”, hal yang bisa dilihat dari kalimat
tersebut adalah,
1)
kalimat ini menunjukkan bagaimana
implikatur bisa dijelaskan secara langsung(1)
2)
apa yang disampaikan merupakan
makna yang lazim, termasuk hubungan logis “&”
3)
sebaiknya urutan kejadian disampaikan
misalnya I went yo the store before I put
gas in the car. Dari apa yang disampaikan Grice, kita perlu membuat asumsi
secara umum bahwa penutur dan mitra tutur memahami prinsip komunikasi dan
maksimnya (2) begitu juga konteks ujaran (3) dan latar belakang pendidikan (4).
Meskipun
maksim terkait dengan implikatur, yang harus diingat adalah implikatur akan
muncul tanpa muncul asumsi pendengar, dan ini melanggar maksim : implikatur
dapat disimpulkan dengan menggunakan asumsi langsung.
Meskipun
makna yang lazim merupakan bagian yang harus diipahami untuk memperhitungkan
implikatur, tetapi tidak berperan dalam implikatur ketika disampaikan langsung.
Contoh yang disampaikan Grice,
A: Where does C live?
B: Somewhere in South of France
Penjelasan
terhadap percakapan tersebut adalah tidak ada alasan untuk menduga jawaban yang
diberikan B; jawaban yang diberikan kurang informative. Pelanggaran terhadap
maksim kuantiti dapat diterangkan hanya dengan dugaan bahwa B menyadari untuk
lebih informative sehingga tidak melanggar maksim kuantiti, jangan menyatakan
sesuatu yang kita tidak cukup memiliki bukti. Sehingga B menyampaikan bahwa dia
tidak tahu dimana C tinggal.
b. Istilah-istilah Acuan: Proses
Pragmatik Wacana
Berikut
ini adalah istilah yang digunakan dalam melakukan proses pragmatik dalam
wacana;
1) Acuan sebagai sebuah proses
pragmatik dalam wacana
Pada dasarnya istilah terkait acuandan referensi
banyak didiskusikan dalam ilmu filsafat dan kebahasaan, para ahli tetap
berpendapat bahwa proses referensi wacana merupakan pragmatik, karena dalam
prosesnya melibatkan pembicara, maksud dan tujuannya, tindakan dan pengetahuan.
Givon (1989:175) dalam Schiffrin menyatakan bahwa :
Referensi dalam dunia wacana merupakan crypto pragmatic. Hal tersebut karena
dunia wacana terbuka (nyata) – untuk tujuan apapun – oleh penutur. Dan penutur
bermaksud menyampaikan sesuatu melalui wacana. Dan ini terlihat dalam bahasa
bahwa maksud referensi adalah berdasarkan acuan tata bahasa.
Searle (1969) dalam Schiffrin
melihat referensi sebagai tindak tutur yang diatur oleh keadaan yang sesuai
dengan tindakan, seperti janji atau permintaan. Clark dan Wilkes-Gibbs melihat referring sebagai proses kolaboratif,
artinya harus ada kerja sama atau kesepakatan antara penutur dan mitra tutur
dalam memahami konteks dan pengetahuan
sebelumnya atau praanggapan. Jika dilihat dari sudut pandang mitra tutur dan
penutur, maka ekspresi yang mengacu pada sesuatu wujud dapat dilihat sebagai
pragmatik, tidak hanya semantik atau truth-conditional,
tetapi juga melibatkan prinsip kerjasama dan pemahaman yang sama..
Jika pragmatik hanya melihat
identitas referent, maka semantik merupakan suatu kajian bagaimana tanda
dihubungkan dengan objek. Pragmatik juga merupakan kajian hubungan tanda untuk
diinterpretasikan. Grice juga berpendapat bahwa maksim kuantiti dan relevansi
terkait dengan pilihan makna berdasarkan penutur, yang dikaitkan dengan
hubungan antara bahasa dengan pemahaman terhadap suatu wacana.
Proses acuan berdasarkan pragmatik
akan membedakan bentuk definite(penggunaan
artikel the, possessive, pronoun ,
nama, gelar) dan indefinite(noun phrase dengan menggunakan artikel a), dalam bentuk implisit dan eksplisit.
Meskipun mudah membedakan istilah referringdefinite
dan indefinite, tetapi tidak mudah untuk mendefinisikan perbedaan fungsi
mereka, misalnya untuk mengungkapkan kondisi istilah yang berbeda. Referen
dalam sebuah wacana biasanya menggunakan istilah indefinite dan eksplisit. Suatu referen dalam wacanaterkadang menggunakan
istilah indefinitedan explicit (womanI work with) dan definite serta inexplicit (she). Hal tersebut dapat disampaikan berdasakan pragmatik. Bentuk definite mengindikasikan maksud penutur dan berharap bahwa mitra tutur
dapat mengidentifikasikan berdasarkan tekstual dan konteks yang ada. Bentuk indefinite mengindikasikan bahwa istilah
yang digunakan dalam wacana adalah merupakan hal yang baru – tanpa melihat
apakah pembicara mengetahui persepsi pendengar.
Keekplisitan suatu istilah dapat
dilihat sebagai pragmatik. Yang membedakan eksplisit dan in-eksplisit adalah
lebih kontinu daripada yang diskrit. Proses referensi merupakan pragmatik
sederhana, akrena melibatkan penutur, maksud atau tujuan mereka, tindakan serta
pengetahuan. Definite dan eksplisit ditentukan dalam peristilahan pragmatik. Definiteness terkait dengan maksud dan
harapan terhadap mitra tutur, sementara eksplisit merupakan tujuan kerjasama
yang diajukan penutur sehingga mitra tutur memahami referen yang dikehendaki.
2) Analisis pokok model Grice:
Kuantitas dan relevansi
Perbedaan istilah definiteness
dan eksplisit tidak hanya dapat diasosiasikan dengan pragmatik atau maksim
kuantitas dan relevansi model Grice. Deskripsi definitedalam kalimat my
husband Louis, he, Dr. Scavo, the man i live with, dan deskripsi indefinitedalam kalimat an adult I live with, someone I met in
college, meskipun mungkin merujuk orang yang sama, tetapi tidak semua
ekspresi tersebut membantu untuk memahami pesan yang dimaksud. Kalimat someone I met in college merupakan
kalimat yang akurat, tetapi tidak cukup eksplisit. Kalimat tersebut tida
menggambarkan secara khusus siapa yang sedang dibicarakan. Dalam maksim Grice,
meskipun sesuai dengan maksim kualitas, tetapi secara maksim kuantitas, tidak
tepat.
Hal yang sama penting terkait dengan kuantitas adalah
relevansi. Perhatikan percakapan di bawah ini,
Sue : (a) I always
wanted to marry an Italian guy
Iver : (b) How come
Sue : (c) I just wanted to
: (d) And i said it
: (e) And I did
Frase an Italian
guy tidak dapat kita pahami dengan mudah apakah yang dimaksud adalah
gambaran lelaki Italia (a). Meskipun Sue menikah dengan Italian guy (e).
Perhatikan percakapan berikut,
Sue : (a) So she
was the oldest daughter
(b) And she broke the ice for me like she said
(c) You know, for Tony, my husband
Iver : (d) How did
you meet Tony?
Dalam kalimat (c) disebutkan suami dalam cara yang
berbeda (Tony) dan relevansinya (my
husband). Percakapan 1 dan 2 memberikan gambaran deskripsi: suku, nama dan
relevansi
Berdasarkan contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa
relevansi memasukkan pilihan tentang acuan peristilahan tanpa pembatas dalam
kuantitas.
3) Acuan sebagai Proses Wacana
Analisis wacana fokus pada pola-pola tahapan, seperti
klausa, gerakan, tindakan. Hal ini terjadi karena wacana menciptakan
pilihan-pilihan sintagmatis. Wacana juga sering dianggap sebagai pembatas,
misalnya membatasi cara sebuah tuturan yang akan didengar.
Fokus pada tahapan acuan membuat kita dapat
membedakan first-mentions yang berupa
indefinite noun phrase (an+ NP) dan eksplisit, nominal bukan pronominal dari next-mentionsyang sedikit digunakan
(pronouns dari nominals).Fungsi utama
dari distribusi ini adalah status informasi.
Yang dapat disimpulkan adalah pertanyaan beda dapat ditanyakan bergantung
pada tempat wacana atau konteks.
4) Pentingnya Metode dan Data
Kajian yang asli dari pragmatik model Grice dalah dalam
filsafat dan prgamatik kontemporer merupakan bagian dari linguistik yang
mengambil data konteks suatu hipotesis dan menyebutnya dalam sebuah tuturan.
Jika pragmatik Grice akan digunakan sebagai sebuah pendekatan dalam melakukan
analisis wacana, maka dapat menganalisis bagaimana orang menggunakan ujaran
untuk berkomunikasi antar sesama, kemudian kita butuh untuk membuata
penyesuaiannya. (Levinson 1983; Schiffrin 1987). Yang terpenting adalah membuat
susunan kalimat seolah-olah ujaran yang diatur dalam konteks, haus menggunakan
ujaran yang sesungguhnya yang dihasilkan oleh penutur dalam konteks. Pragmatik
model Grice merupakan sebuah cerita bermakna merupakan analisis yang
ditunjukkan dalam bagian besar dengan tahapan yang mengacu dalam cerita, bukan
mencari relevansi abstrak antarmaksim.
c. Analisis Contoh: ‘Rangkaian Acuan dalam Narasi’
Analisis sampel pada pada
bagian ini berdasarkan pada ekspresi-ekspresi penunjuk dalam wacana khusus
sebuah narasi. Setelah menyajikan narasi dapat ditunjukkan bagaimana maksim
kuantitas dan relevansi membantu memerhatikan tahapan rujukan dalam wacana yang
spesifik.
Data :
Penutur mengkontruksi sebuah
alur cerita dimana kesatuan-kesatuan yang jumlahnya terbatas bertindak dan
berinteraksi satu sama lain dalam sebuah tempat dan dalam jangka waktu yang
ditentukan. Walaupun cerita-cerita tersebut ditempatkan dalam percakapan,
lingkup alur cerita dapat agak bebas dan dapat melibatkan waktu yang berbeda.
(dan informasi) bergeser atau berpindah dari lingkup tersebut.
Berikut contoh cerita dalam
baris-baris narasi itu sendiri.
Iver : Have you ever been
robbed? Pernahkah dirimu dirampok
Gary : I was robbed. At night.
saya telah dirampok. Pada malam hari.
Iver : When was this?
Kapan ini terjadi
Gary : I
guess about six or eight weeks ago. Saya kira sekitar 6 atau 8 minggu lalu.
Iver : How’d happen?
Bagaimana kejadiannya.
Gary : (a) I
picked up a fare (1) at Board and Elm.
Saya mengambil ongkos perjalanan di Board dan Elm.
(b) He (1) was a colored guy.
Dia seorang kulit hitam
(c) He (1) flagged me down. Dia menarik tangan saya ke bawah.
(d) So I wasn’t-it was late at night. ‘Saya tidak tahu maknanya saya
terlambat pada malam itu)
(e) It was around one thirty in
the morning. Pada pagi harinya kebingungan.
(f) And I was gonna turn it (1) down. Dan saya
kembali lagi.
(g) So I figured, y’know, I’d
pick him (1) up anyway. Kemudian saya bayangkan, kamu tahu, sya menangkapnya.
(h) But then two gonna turn it
(1) down. Tetapi kemudain dua kawannya keluar’
(i) So they (?3) said, “We’re only going right
around the corner more or less, y’know. “Could you take us up? Kemudian mereka
berkata: “Kami hanya mengelilingi sudut tidak lebih atau sekadar yang kamu
tahu. “Dapatkah kamu membuktikan kepada kami?”
(j) They (?3) gave an addres.’Mereka memberiku
alamat.”
(k) They (?3) said, “We’ll get show you how to
get there.” Mereka berkata, “Kami akan menunjukkanmu bagaimana mendapatkannya
di sana.’
(l) So it was maybe only there blocks away.’
Barangkali hanya ada tiga blok saja.’
(m) so they (?3) said-I think
they (?3) gave me an address that’s at the center of the block, “Kemudian
mereka berkata – Saya pikir mereka memberiku alamat blok yang ada di tengah.’
(n) and there was a small light
on at the house./Mhm/’dan ada sebuah lampu kecil di dalam rumah.
(o) So I pulled up, ‘Kemudian
saya berhenti’
(p) I turned on the light, ‘ saya
nyalakan lampu’
(q) and the guy he (?1) grabbed
from the back on my head’ dan dia orang tersebut memukulkan dari belakang pada
kepala saya.
(r) and (?1) put a gun to it.’
dan saya mengambil senjatanya’
Andhh uh
Iver : Oh my God. Oh Tuhan.
Gary : (s) I had about fifty dollars in my
sock. ‘Saya memilki kira lima puluh dollar di dalam kaos kaki.
(t) and I had about nine dollars
on me.”dan saya mempunyai kira-kira 9 dollar yang ada pada saya.’
(u) So I give ‘ em (?3) the nine
dollars on me. Kemudian saya memberi 9 dollar’
(v) and they (?3) wanted more.’
Dan mereka menginginkan lebih’
(w) So they (?3) took my wallet.
Kemudian mereka mengambil dompet saya.
(x) I didn’t want to give them
(?3) the money. Saya tidak ingin memberi mereka uang.’
(y) So then the guy up front he
(?4) stuck a gun on my temple, asking for more money. Kemudian orang tersebut
dari arah depan dia menodongkan senjata pada pelipis saya, minta uang yang
lebih.
(z) They(/3) were gonna, y’know
shoot me. ‘ Mereka mengancam untuk menembak saya’
(aa) So I gave them (/3) the rest
of the money. Kemudian saya memberi mereka sisa uang.’
Iver : (1) In your ssock,
right. ‘Di dalam kaos kaki’
(2) Iyeh.
(3) If you had not pulled out the
money in your sock, do you think they (?3) would’he looked? Jika kamu tidak
mengeluarkan uang dalam kaos kakimu, apa yang mereka lakukan padamu?
(4) Do they (?3) know you keep it
here?’ Apa mereka mengetahui kamu meletakkan di sini?’
Gary : (5) No ‘tidak’
(6) But, from what other cab drivers (5)
told me, Tetapi saya tahu dari pengemudi taksi yang lainyang mengatakan kepada
saya’
(7)
(5) said I probably would’ve been shot. ‘Katanya saya mungkin akan ditembak’
Iver : (8) Oh, Gary.
Gary : (9)
That’s what they (5) tell me’ Itulah yang mereka katakana pada saya’
(10)
Maybe they’re (5) doing it to scare me.’ Mungkin mereka melakukannya untuk
menakuti saya’
(bb)
But, I gave em (?3) the money. “Tetapi, saya memberinya uang’
(cc)
Like I figured’ Seperti yang saya bayangkan’
(dd)
I didn’t really get upset. “Saya tidak sungguh-sungguh mendapatkannya kembali
(ee)
I wasn’t scared. ‘ Saya tidak takut’
(ff) I wasn’t scare till after it
was all over with. Saya tidak takut sampai semua berlalu.
(gg)
At the time I don’t think it never even. ‘ Waktu saya tidak pernah berpikir ini
akan terjadi’
(hh) All I thought of was Diane and the
baby. “Semua pikiran saya adalah Diana dan bayinya’
Istilah-istilah referen yang didiskusikan termasuk dalam nomor indeks
referen dan membantu melacak ungkapan mereka melalui teks. Beberapa ekspresi
(misalnya, they) ambigu, mereka memiliki tanda-tanda pertanyaan mengawali
keraguan mereka. Analisis sampel ini lebih dibatasi oleh tujuan, menunjukkan
bagaimana prinsip-prinsip model Grice menyediakan dasar interpretatif untuk
berbagai kemungkinan referen yang mereka ciptakan.
Analisis
yang berfokus pada setiap referen manusia dengan eksistensi kaitannya dalam
cerita. Hal itu didaftar berikut ini dengan pengalokasian (ungkapan pertama dan selanjutnya) dari
setiap istilah referen.
Analisis
Ungkapan pertama
Referen 1 ‘passengger’ (penumpang)
Referen 2 ‘two friends’
Referen 3 ‘they’
Referen 4 ‘guy up front’
Referen 5 ‘other cab driver’
Ringkasan: Tahapan, Relevansi, dan Kuantitas Acuan.
Satu cara pragmatis model Grice menerapkan analisis wacana
adalah dengan memberikan deskripsi tentang kondisi pragmatis selama istilah
acuan yang berbeda diinterpretasikan. Maksim kuantitas membantu membimbing
menuju informasi yang bisa menyediakan petunjuk tentang identitas referen.
Maksim relevansi mengarahkan untuk menyelidiki relevansi referen definite,
walaupun maksim-maksim tersebut melakukan pekerjaan uang serupa untuk
penyebutan pertama dan penyebutan berikutnya, urutan lokasi referen,
memengaruhi sumber informasi dalam relevansinya dengan interpretasi.
Didapatkan
lebih banyak wawasan tentang kontribusi pragmatic model Grice terhadap analisis
wacana dengan melihat bagaimana sensitifnya tahapan rujukan atau acuan dalam
cerita Gary (4) terhadap maksim kuantitas dan maksim relevansi.
Referen
dikenalkan dengan cara yang relevan dengan informasi sekelilingnya, awalnya
definite (they, the guy up front)
relevan dengan informasi yang disajikan sebelumnya, yaitu digunakan ketika
penutur bisa mengasumsikan kemampuan mitra tutur untuk menggunakan teks atau
konteks untuk mengacu ke keberadaan dan relevansi referen definite.
Penyebutan
berikutnya kelihatannya adalah definite dan kurang eksplisit daripada
penyebutan pertama. Hal ini menyatakan bahwa sesuai dengan istilah acuan lain,
kondisi pragmatis yang mendasari penyebutan berikutnya berbeda dari pragmatis
yang mendasari penyebutan pertama. Namun, pragmatis model Grice juga memberikan
deskripsi tentang penyebutan berikutnya yang serupa dengan penyebutan pertama.
Selanjutnya
ditemukan satu contoh maksim kuantitas dan relevansi bekerja sama dengan cara
yang relatif eksplisit, yaitu perubahan anatar
he dan it sebagai penyebutan berikutnya untuk pasenger’.
Tahapan
acuan lain dalam cerita Gary menyatakan bahwa pelanggaran kuantitas dapat
dieksplisitkan dalam maksim relevansi. Melihat kembali tentang penyebutan
berikutnya yang eksplisit . Dengan demikian dapat dijelaskan penggunaan the guyhe untuk ‘passenger’ dan the guy
untuk guy up front dalam hal pertukaran anatar leksikal informatif dan
relevansi yang dihentikan. Penyebutan berikutnya yang eksplisit dapat dianggap
sebagai pelanggaran maksim kuantitas yang dirancang untuk menunjukkan relevan.
Linguis
sering menggunakan perspektif model Grice untuk menganalisis tuturan tersebut
adalah dengan kalimat hipotesi dalam konteks hipotesis, Namun penggunaan
tuturan memberikan situasi nyata tempat bahasa digunakan situasi yang
melibatkan penutur dan mitra tutur yang memerlukan, bertujuan, dan ingin
ditoleransi secara sosial dan kultural definite dibatasi dengan komunikasi .
Jadi, maksim
adalah prinsip komunikasi umum, aplikasi kea rah percakapan khusus atau
fenomena linguistic berupa hasil, cara yang digunakan melalui seorang mitra
tutur untuk menyimpulkan makan penutur.
Maksim kuantitas menutun mitra tutur untuk menyelidiki informasi yakni
sejumlah informasi dalam teks, sejumlah informasi dalam deskripsi itu sendiri.
Maksim relevansi menutun mitra tutur untuk menggunakan informasi secara definite, yakni untuk memperoleh
relevansi pada teks dan konteks yang
tersituasi. Maksim relevansi dan
kuantitas tidak memberikan mitra tutur dengan identitas referen yang dilakukan
penutur, agaknya, mereka menuntun mitra tutur ke arah informasi dan memberikan
makna
terhadap penggunaan
informasi tersebut untuk membantu mitra tutur menyimpulkan tujuan referensial
penutur.
d. Pragmatik Gricean sebagai
Pendekatan Wacana
Prinsip
komunikasi khususnya maksim kuantitas dan relevansi menggambarkan kondisi
bagaimana ekspresi yang berbeda digunakan untuk berkomunikasi dengan maksud
komunikasi refrential dalam wacana. Tahapan acuan merupakan hasil secara
pragmatikberdasarkan pilihan terkait ketepatan kuantitas informasi dalam cara
yang relevan pada sebuah struktur wacana melalui prinsip kerjasama.
Ide
Grice terkait kuantitas dan relevansi informasi dapat digunakan untuk
memecahkan masalah terkait dengan interpretasi tuturan berdasarkan nilai
kontribusi berbagai jenis konteks. Penggunaan prinsip kerja sama dalam wacana
menuntun ke arah pandangan tertentu suatu wacana dan analisisnya; wacana sebagai
sebuah teks dengan konteks (kognitif, sosial dan konteks kebahasaan)
memperbolehkan interpretasi dari makna penutur dalam ujaran. Pragmatik model
Grice mengemukakan seperangkat prinsip yang membatasi tahapan pilihan dalam
teks dan memberikan mitra tutur untuk memahami maksud penutur dengan
mengubungkan apa yang penutur sampaikan dalam ujaran terkait teks dan
konteksnya.
Pendekatan
yang ditawarkan pragmatik Grice terkait dengan analisis wacana berdasrkan pada
prinsip umum kerasionalan komunikasi yang terjadi (prinsip komunikasi) yang
disampaikan penutur dan mitra tutur bagaimana memamhi dan menggunakan informasi
yang ditawarkan dalam sebuah teks dikaitkan dengan latar belakang pengetahuan
yang ada (termasuk pengetahuan dalam konteks sosial yang terjadi) , untuk
menyampaikan dan memahami lebih dari apa yang disampaikan dalam berkomunikasi.
Penggunaan prinsip ini menuntun ke arah pandangan struktur wacana yang terikat
dalam tahapannya – batasan dalam suatu bagian wacana yang muncul dalam teks –
karena pengaruh prinsip komunikasi pada realisasi makna kebahasaan penutur pada
waktu yang berbeda. Contoh dalam analisis tahapan, informasi tekstual dan
kontekstual disajikan pada posisi awal dalam wacana sebagai latar belakang
untuk menentukan berapa banyak informasi yang sesuai dengan tahapan yang
berikutnya. Penggunaan prinsip kerja sama dalam satu bagian wacana membantu
membatasi pilihan; secar fungsional berdasarkan saling ketergantungan yang akan
membantu untuk menciptakan karakteristik wacana dan memberikan kebebasan untuk
menggunakan baik dalam teks dan konteks sebagai
sumber untuk berkomunikasi satu sama lain. Pragmatik Grice dalam
analisis wacana melihat bagaiman asumsi partisipan pada konteks kerja sama
dalam berkomunikasi (konteks termasuk pengetahuan, teks dan situasi) yang
memberikan kontribusi makna dan bagaimana asumsi ini membantu untuk menciptakan
tahapan dalam pola bicara.
Simpulan
Sosiolinguistik Interaksional (Interactional Sociolinguistics)merupakan salah satu pendekatan
analisis wacana yang melibatkan tiga ilmu yang disajikan secara interdisipliner
yaitu antropologi (budaya), sosiologi (masyarakat), dan linguistik
(bahasa).Tiga ahli yang akan dilibatkan untuk memberikan kontribusi pada
sosiolinguistik interaksional dalam pembahasan ini adalah 1) John Gumperz yang
merupakan ahli bahasa yang lebih menyoroti sisi budayanya, yang dilengkapi oleh
2) Erving Goffman seorang ahli sosiologi yang ternyata setelah dilakukan
pengkajian lebih detil, hasil-hasil penelitiannya sangat erat hubungannya hasil
penelitian John Gumperz, serta 3) ditinjau dari sisi linguistiknya beberapa
linguis seperti Brown dan Levinson (1987), Schiffrin (1987a), dan Tannen
(1989a) telah menerapkan gagasan-gagasan Gumperz dan Goffman dalam kajian
linguistiknya secara luas
Pragmatik merupakan pendekatan dalam
wacana yang memiliki 3 konsep; makna, konteks dan komunikasi. Morris dalam
Schiffrin mendefinisikan pragmatik sebagai cabang dari semiotik yang merupakan
kajian tentang tanda. Proses bagaimana sesuatu berfungsi sebagai sebuah tanda
atau yang disebut semiosis memiliki 4 bagian, 1) Tanda atau signyang merupakan seperangkat tindakan,
2) Designatumyang merupakan penanda
atau kepada apa tanda tersebut mengacu, 3) interpretantmerupakan
efek dari tanda pada orang yang menginterpretasi tanda tersebut dan 4) interpreter adalah individu yang terkena
pengaruh atau efek dari tanda tersebut.
Daftar Pustaka
Bennet, A.
1078. Interruption and the
Interpretation of Conversation. Proceedings of the
Fouth
Annual Meeting in the Berkeley Linguistics Society.
Gofman, E.
1967. The Nature of
Difference and Demeanor. In
intereaction Ritual.
New
York: Anchor Books.
Gumperz, J. 1982. Language and Sosial Identity.Cambridge:Cambridge
Univeristy.
Schiffrin,
D. 1994. Approaches to Discourse. Massachusetts:
Blackwell Publishing
Tannen, D.1984. Conversational
Style.Norwood, NJ: Ablex Press.
[1]Deborah Schiffrin, Approaches to Discourse, (Massachusetts: Blackwell Publisher, 1994), h.
98
[2]Ibid., h. 99
[3]
John Gumperz. Language and Sosial Identity.Cambridge:Cambridge
Univeristy Press. (1982b)
[4]
D Tannen. Conversational Style.Norwood,
NJ: Ablex Press. (1984)
[5]
Deborah Schriffin, Approaches to
Discourse. Cambridge: Blackwell Publisher (1994. h.106)
[6]
E Gofman. The Nature of Difference and Demeanor.
In intereaction Ritual. New York: Anchor Books, (1967b. h h. 49-95)
[7]
A.Bennet. Interruption and the
Interpretation of Conversation. Proceedings of the Fouth Annual Meeting in the
Berkeley Linguistics Society (1978. Hh. 557-575)
[8]
Deborah schiffrin.oc.it. h.109
[9]
Deborah schiffrin.oc.it.h.117
[10]
Deborah schiffrin.oc.it.h.133
[11]Debora Schiffrin, Approaches to Discourse Analysis, (Massachusetts: Blackwell
Publisher, 1994), h. 129
[12]
Deborah Schiffrin. Approaches to Discourse. Massachusetts: Blackwell, 1994. h.
190-191
Tidak ada komentar:
Posting Komentar