Oleh: Audi Yundayani (7317150067), Frimadhona Syafri (7317150237),
Lidwina Sri Ardiasih (7317150075),dan Arini
Noor Izzati (7317150065)
Abstrak
Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai genre ujaran dalam setting konteks
institusional. Kajian ini mengajarkan bagaimana siswa memahami tindak tutur di
dalam lingkungan sosial, piranti tuturan apa saja yang digunakan, dan apa
tujuan institusi di mana siswa bertindak tutur. Lebih rinci, kajian ini
meneliti bagaimana siswa merupakan bagian insider
dan outsider dari settingan
lingkungan sekolah. Bahasan makalah ini dilengkapi dengan contoh-contoh yang
terkait dengan topik bahasan. Pada bagian akhir dibahas topik genre multimedia
terkait dengan jenis-jenis dan proses pencariannya.
Kata kunci: setting,
genre ujaran, institusi, multimedia
A.
Pendahuluan
Bertahun-tahun telah dilakukan
penelitian oleh para ahli dengan cara mengkombinasikan teknik etnografi seperti
observasi-partisipan dengan analisis diskurs genre profesional dan institusi
yang menggunakan bahasa tertulis maupun lisan. Akan tetapi, saat ini para ahli
mencoba mengembangkan pendekatan etnografi kritis berkaitan dengan struktur
sosial dan kekuatan hubungan yang tidak harmoni dalam suatu komunitas, etnik,
gender, atau hal-hal lain yang tidak simetris yang terjadi secara tiba-tiba
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, para peneliti menggunakan teknik
observasi terhadap siswa atau partisipan dalan diskurs dan genre tuturan
tertentu.
B. Pembahasan
1. Setting, Genre Ujaran, dan Praktik Organisasi
Institusi
a. Analisis Genre dalam konteks ranah etnografi
Analisis genre merupakan pandangan terhadap
pemahaman pengguna bahasa pada momen yang tepat
dalam setting tertentu. Konsep ini dikenal juga dengan istilah genre
knowledge. Dengan kata lain, genre knowledge merupakan pemahaman
secara tidak langsung terhadap prilaku sopan, tenang dan terkontrol dalam suatu
momen tertentu dalam menanggapi tanda-tanda kontekstual dari setting
tertentu.Pandangan pengetahuan genre mengenai budaya dan sensitif konteks merupakan pusat perhatian
dari analisis genre. Berkaitan dengan prinsip Tom Huckin, Berkenkotter
menjelaskan lima prinsip sebagai berikut.
·
Dynamism.
Genre merupakan bentuk retorik dinamis yang dikembangkan
dari respon pelaku terhadap situasi berulang-ulang dan pengalaman yang stabil
dan memberikan koheren dan makna terhadap situasi tersebut. Genre berubah
melampaui batas waktu dalam merespon kebutuhan sosiokognitif
·
Situatedness.
Pengetahuan genre berasal dari dan melekat pada partisipasi dalam aktivitas
komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan sosial. Dengan kata lain,
pengetahuan genre merupakan bentuk kognisi situasi yang berlangsung terus
menerus untuk mengembangkan partisipasi dalam aktivitas lingkungan budaya.
·
Form
and Conten. Pengetahuan budaya menggunakan bentuk dan konten
kedalam nilai rasa untuk memahami konten yang tepat kepada tujuan situasi,
dan waktu tertentu.
·
Duality
of Structure. Aturan-aturan genre mampu mengikat
aktivitas profesional. Kita merupakan struktur sosial (secara konteks
profesional, institusional, dan organisasi) dan secara spontan menghasilkan
struktur-struktur ini.
·
Community
Ownership. Konvensi genre menunjukkan norma, epistimologi,
ideologi, dan sosial ontologi sebuah komunitas dan sosial.[1]
Berdasarkan kajian terdahulu mengenai genre
institusi dan profesional ini , ada beberapa asumsi yang dikemukakan oleh
Berkenkotter, yaitu.
1). Sistem genre memainkan peran di antara properti
struktur institusional dan tindakan komunikasi individu.
Berkaitan dengan gagasan “intermediate role” menurut Gunthner &Knobaugh
“genre komunikasi dan repertoire tidak dapat
dipisahkan dari fitur struktur sosial dari sebuah komunitas. Mereka dihubungkan
antara stok pengetahuan subjektif dan komunitas struktur sosial. Genre memenuhi
fungsi penting dengan mengkopinya, transmisi, dan tradisionalisasi dari
pengalaman intersubjektif kehidupan dunia. Di sisi lain, mereka menfasilitasi
transmisi pengetahuan; ekspektasi harapan mengenai apa yang dikatakan. Di sisi
lain, mereka merupakan substansi secara sosial yang dapat melebur dengan proses
komunikasi yang hanya proses tersebut dapat diharapkan sesuai dengan genre yang
relevan terhadap pelaku sosial.[2]
Dari
prespektif ini, genre dan sistemnya dapat dikatakan merupakan inisiasi melalui
mikrolevel pelaku, situasi praktis-struktur sosial dan relasi institusional.
Pengetahuan mengenai ini merupakan pemahaman tidak langsung mengenai sistem
simbolik dan komunikasi genre–pengetahuan praktis dan mutualisasi diantara
anggota disiplin atau profesional tertentu. Hubungan sosial/institusional
menyeberangi waktu dan dan tempat yang merubah teknologi dan perubahan
komunikasi institusi, meningkatkan perpaduan genre di dalam relasi aktivitas
mikrolevel. Jadi, analysis kerangka konseptual harus memiliki banyak dimensi
yang memasukkan:
-
Pelaku+tujuan (objek)
-
Alat-alat (teknologi dan sistem
simbolik)
-
Aturan konstitutif
-
Tanda-tanda dari sejarah budaya
praktis, umpayanya, bagaimana aturan-aturan tersebut telah dilengkapi di masa
lalu.
2).
Salah satu alat untuk mengidentifikasi teks dalam sistem genre adalah aktivitas
intertekstual.
Teks
dilihat sebagai sistem genre yang responsif sebuah index atau antisipasi teks
lain (teks bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan). Sebagaimana Fairlough
mengemukakan bahwa konsep intertekstualitas menunjukkan produktivitas teks,
bagaimana teks mentransformasi teks terdahulu dan merekonstruksi keberadaan
konvensi (genre, diskurs) untuk menggeneresasi bentuk baru.[3]
Sementara
itu Gunnarsson mengungkapkan bahwa konsep intertekstualitas menunjukkan bahwa
ada hubungan antara aktivitas bahasa tulis dan bahasa lisan dalam sebuah
organisasi jaringan komunikasi. Umpanya dalam perusahaan konsultasi industri,
proposal dikirimkan ke klien merupakan hasil berbagai hubungan genre:
oral,tulis, media elektronik.[4]
3). Konsep
sistem genre mampu menganalisis secara diskursif komponen penting dari sistem
aktivitas manusia
Kajian
hubungan intertekstualitas praktik tulis dan percakapan cenderung terpusat pada
pelaku seperti analisis interaksi percakapan atau fitur dan konvensi teks. Berkaitan
dengan analisis ini, hal itu memudahkan untuk meregulasi berbagai macam bentuk
konteks dengan kajian situasi aktivitas dimana terjadi, setting fisik seperti
apa, materi-materi yang tersedia, struktur sosioekonomi dari profesi atau
organisasi, sejarah praktis, latarbelakang pengetahuan partisipan, hubungan
interpersonal antara partisipan umpamanya dokter/pasien, terapi/klien,
perawat/dokter), ko-teks, dan sebagainya.
Salah
satu cara untuk mengobservasi elemen-elemen yang berbeda atau dissonances dalam setting aktivitas
seperti bank, sekolah penitipan anak, sekolah menengah, kafetaria, tempat relli
motor adalah dengan cara mengamati pelaku yang ada dalam setting tersebut.
Artinya, peneliti menggunakan beberapa kombinasi penelitian seperti, etnografi,
studi kasus dengan teknik (oberservasi partisipan, interview etnografi
semi-struktur atau tidak terstruktur, rekaman video-tape atau audio interaksi
lisan partisipan, dokumentasi foto, koleksi artifak partisipan dan sebagainya)
diidentifikasi keberadaan jenis multivoicedness
dan inner contradictions dalam
setting institusional. [5]
b. Setting Institusional sebagai
Sistem Aktivitas
Kelas dapat digunakan sebagai
setting sekaligus sistem aktivitas. Maksud dari
pernyataan tersebut yaitu kelas dapat berperan sebagai setting ditinjau dari
isyarat atau tanda kontekstual yaitu bahasa, dan orientasi tubuh seperti
gerakan tubuh (gesture), juga susunan atau pengaturan bangku, kandang
hewan, meja-meja laboratorium, OHP, slide
projector, gelas-gelas praktikum,
mikroskop, papan tulis, serta komputer
Pada setting tersebut siswa
dari berbagai usia akan memperoleh praktik yang bervariasi serta perilaku
mereka akan mengikuti aturan sekolah. Thomas Luckman menyatakan bahwa
sosialisasi budaya sekolah
negeri/umum bisa menjadi sangat sulit
untuk beberapa siswa. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain 1) interaksi sosial yang bersifat
institusional diawasi dengan sangat ketat, 2) sehingga akibatnya wilayah
kehidupan sosial siswa cenderung menunjukkan tingkat toleransi yang rendah pada
prosedur yang dibangun, 3) institusi mengatur fungsi utama kehidupan sosial
seperti produksi dan distribusi peralatan, reproduksi, melatih kekuatan dan
konstruksi makna yaitu legitimasi tatanan sosial dan koherensi kognitif bagi
kehidupan individu dalam masyarakat. Institusi memiliki lokasi khusus pada
ruang sosial dan waktu di mana mereka dapat dipandang juga sebagai kesatuan
personil khusus, atau yang paling penting mereka merupakan “kode aksi (‘code’ of action’)” [6]
Pusat
dari kode aksi tersebut adalah genre ujaran di mana mereka membangun sarana
mediasi organisasi dan komunikasi. Dengan kata lain, genre ujaran
menyediakan praktik mediasi pada setting institusional (yang disebut activity system). Fokus pada topik ini
adalah meskipun baru-baru ini peneliti genre Amerika Utara tertarik pada teori
aktivitas Neo-Vygotsky, namun mereka
tetap mengacu pada dimensi teoritis. Untuk segala macam tulisan terkait teori
aktivitas dan hubungannya dengan analisis genre secara konseptual, kita
sebenarnya telah mengetahui cara setting institusional dan genre-genre yang
ditemukan pada setting khusus bersifat mengatur. Oleh karena itu, muncul
argumentasi terkait pentingnya teori perspektif
Luckmann dan secara khusus gagasannya bahwa “setting institusional
memiliki fungsi perngorganisasian diskursif”,
[7] yaitu fungsi
yang dipakai secara umum (untuk penutur asli) dan sensitivitas konteks, praktik
linguistik dan perilaku.
2. Setting and Praktik Sosial
Institusional yang Terorganisasi
Berikut
beberapa contoh ilustrasi interaksi sosial yang bersifat institusional sesuai
dengan penjelasan Luckmann. Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana
sekelompok anak-anak dan remaja dikontrol secara ruang dan waktu pada dua
setting institusi yang cukup berbeda, yaitu sebuah kelas dan ruang makan di
sebuah Sekolah Montessori di kawasan Boulder, Colorado serta setting yang
bervariasi pada Sekolah Menengah perkotaan di wilayah kota Midwestern.
Pada
setting pertama, anak-anak belajar untuk memaknai dalam konteks peralatan dan
barang-barang artefak (bahan alami), genre, dan petunjuk kontekstualnya. Pada
setting kedua yaitu setting aktivitas di Sekolah Menengah seperti ruang senam (gymnasium), kantin, dan kelas bahasa
Inggris, peneliti berfokus pada kemampuan siswa untuk membangun (atau sekaligus
diatur oleh) kehidupan sosial sepanjang dimensi keluar masuknya (inclusion and exclusion). Kita akan
melihat bahwa organisasi kelompok pada ruang ini tanpa disadari mencapai agenda
sosial dan politik yang nampaknya melalui ‘kegiatan sehari-hari’. Pada praktik
sehari-hari dan ‘apa yang semua orang ketahui’ inilah struktur sosial diangkat
dan dipertahankan.
Kecakapan Membaca
dan Menulis: “Bears Walks Around the Sun
4 Times in
a Boulder Montessori School Classroom”
Berikut penjelasan Berkenkotter terkait
contoh ilustrasi interaksi sosial yang bersifat institusional di sebuah Sekolah
Montessori di kawasan Boulder, Colorado. Pada setting pra-sekolah (Preschool) ini kita dapat melihat dengan
sangat jelas bagaimana bahasa dan makna dibentuk dengan memposisikan
sekelompok anak-anak secara fisik di sekitar peralatan/piranti dan benda-benda
artefak (berbahan dasar dari alam sekitar). Dalam hal ini kita dapat
melihat bagaimana praktik keaksaraan (literacy)
diwujudkan secara literal pada anak-anak sebagai bagian dari proses
akulturasi dalam praktik ‘bersekolah’ dan sangat disarankan bahwa keaksaraan
sekolah dan wacana sekolah merupakan dua hal penting yang harus diangkat
melalui praktik nyata pada anak-anak di usia dini. Foto-foto berikut ini
menggambarkan sebuah acara keaksaraan anak-anak pra-sekolah di mana anak-anak
memperoleh pengetahuan terkait konsep-konsep ilmiah melalui aktivitas nyata dan
orientasi kolektif terhadap piranti (termasuk bahasa) dan benda-benda artefak.
Pertama, latar belakang singkat
perlu tersedia. Setting pra-sekolah pada ilustrasi ini merupakan salah satu
dari delapan atau sembilan taman
kana-kanak di wilayah Boulder. Anak-anak yang bersekolah di sini sebagian besar
merupakan kaum Kaukasus (Caucasian) dan
berasal dari kelas menengah, namun ada sejumlah kecil campuran Asia-Amerika,
Afrika-Amerika, dan Hispanic (Amerika Latin). Dalam sehari, kegiatan sekolah
dibagi menjadi beberapa kegiatan belajar yaitu kegiatan outdoor di luar kelas, sebagai masa transisi untuk anak-anak antara
rumah dan sekolah. Berikut foto anak-anak yang baru saja diantar oleh orang
tuanya.
Gambar 1. Variasi
percakapan anak-anak tertanam pada aktivitas fisik dengan
mediasi situasi yang tertata
[1]
Gambar tersebut menjelaskan situasi di mana variasi
percakapan anak-anak (seperti genre ujaran) menyatu dalam activitas fisik
mereka dan dimediasi oleh benda-benda artefak yang telah diatur dan disiapkan.
Oleh
karena itu petugas observasi mengambil kesempatan untuk mendengarkan percakapan
pada saat anak-anak main ayunan atau ujaran-ujaran anak-anak yang
bergelantungan di monkey bar, tawa
canda, dan teriakan (atau tangisan) yang muncul secara spontan. Hal penting
yang perlu dicatat adalah
Gambar 2. Observasi
percakapan anak-anak pada saat bermain ayunan [1]
‘bahasa menyatu dalam aktivitas, aktivitas
dilakukan pada setting yang berbeda, di mana masing-masing aktivitas merupakan
konteks semiotik yang kaya akan petunjuk-petunjuk perilaku jasmani dan
bahasanya’. [2]
Berpindah dari lapangan bermain ke salah satu dari dua ruang
kelas yang tersedia untuk anak-anak pra-sekolah, setiap anak akan melihat
setting yang dirancang untuk pengayaan pendidikan anak-anak, dipenuhi dengan
peraatan dan benda-benda artefak untuk menciptakan keingintahuan anak yang
meliputi buku, permainan kata, puzzles, bahan
untuk mewarnai dan menggambar, sandaran papan tulis, cat, kapur, pensil warna,
bentuk geometris datar untuk menggambar, bentuk geometris tiga dimensi,
gunting, tali, kertas lipat, sebuah kandang dengan babi Guinea, dan lain-lainnya.
Namun demikian, hal yang paling menonjol bagi petugas observasi adalah dua
lingkaran konsentris, masing-masing lebarnya dua inci, terbuat dari plester
warna biru terang ditempelkan di karpet pad kedua kelas. Selain itu, terdapat
juga peralatan dan benda-benda artefak atau tiruan yang digunakan dalam
kehidupan sehari-hari seperti palu dan paku, sapu, sabun cuci piring dan
handuknya, bak cuci piring ukuran kecil, dan sejumlah peralatan serta artefak
rumah tangga lainnya.
Anak-anak
menciptakan transisi antara aktivitas outdoor
dan ruang kelas dengan membuat lingkaran di awal kegiatan sekolah.
Kadang-kadang bentuk aktivitas ini diawali dengan ‘berita pagi’ atau ‘waktu sharing’. Sebelumnya hampir sebagian besar anak-anak bermain di luar (jika
cuaca memungkinkan), berlari, bergelantungan di tiang palang (monkey bar), mengerjakan proyek luar
kelas dengan pasir, truk, sendok, sekop, atau bermain game.
Aktivitas
kebersamaan yang menandakan akhir dari waktu bermain di luar kelas dan
mengawali kegiatan di ruang kelas belum dimulai apabila belum semua anak duduk
di luar lingkaran biru. Hal ini menunjukkan adanya bentuk fisik seputar
bahasa dan perilaku tertentu yang diatur. Anak-anak mulai dialihkan
perhatiannya kepada guru atau asistennya untuk melakukan percakapan maupun
aktivitas yang tepat pada saat duduk dan berpartisipasi di lingkaran tersebut.
Hal ini berarti, asosiasi praktik percakapan di mana anak-anak belajar
sangat erat hubungannya dengan duduk bersama di lingkaran. Duduk melingkar di
bagian awal membantu mereka ‘transisi’ dari ujaran spontan di lapangan bermain
pada genre ujaran kelas Montessori yang secara lebih sadar diorganisir dan
diatur (institusional).
Gambar 3. Anak-anak
mengganti tanggal pada kalender yang tersedia di kelas [1]
Foto 3 hingga 7 menggambarkan
rangkaian aktivitas institusional, perayaan ulang tahun ke-4 Bear. Pada pagi
tersebut Bear seorang anak pergi menuju ke kotak berisi kertas bertuliskan
nomor dan mengambil nomor 28 dan menempelkannya di kalendar. Jam dinding menunjukkan
waktu sekolah telah dimulai , pukul 9.10 pagi.
Gambar 4. Guru
meletakkan lilin di tengah lingkaran [1]
Pada Gambar 4, gurunya
Bear, Joyce meletakkan sebuah lilin dalam sebuah wadah berbentuk matahari
sebagai pusat dari kedua lingkaran tersebut (bagian dalam yang bisa dilihat),
dan ia menempatkan kartu-kartu
bertuliskan nama bulan mengitari ‘matahari’. Kegiatan ini merupakan tradisi
yang hampir semua anak sudah terbiasa (kecuali pendatang baru) jadi mereka cukup
tenang sambil melihat kegiatan tersebut.
Gambar 5. Bear
berjalan mengelilingi matahari [1]
Bear mulai berjalan mengitari matahari. Ia
mengelilingi bola dunia yang menyala sebanyak empat kali, sekali putaran
mewakili satu tahun dalam hidupnya. Ini merupakan contoh aktivitas nyata yang
disaksikan oleh anak-anak di institusi ini. Activitas Bear ini memberi kesan
sebuah genre campuran (hybrid genre);
Bear merayakan ulang tahunnya dengan serangkaian ritual, namun rangkaian
ritual tersebut juga merupakan proses
pembelajaran sains karena Bear mendemonstrasikan
revolusi bumi terhadap matahari.
Terdapat dua poin penting dari kegiatan ulang
tahun Bear tersebut, yaitu 1) ruang kelas sebagai setting institusional
merupakan setting aktivitas di mana
terdapat peralatan, benda-benda artefak, genre ujaran, dan setting
tersebut bersifat mengatur, dan 2) praktik keaksaraan di mana kita dapat
melihat anak-anak yang terlibat diterjunkan dalam situasi ‘kerja’ dan struktur
partisipasi kelas.
Gambar 6. Meja di
ruang makan ditata untuk Pesta Ulang Tahun [1]
Di ruang makan meja diatur untuk pesta ulang
tahun. Anak-anak bercakap-cakap dengan lebih spontan di setting ini kontras
dengan situasi percakapan melingkar, namun demikian di sini anak-anak terbiasa
untuk menunjukkan serangkaian tindakan di mana percakapan diorganisir.
Gambar 7. Genre “Table Talk” [1]
Gambar 8. Setelah
selesai makan, anak-anak dikondisikan membereskan ruang
makan dan mencuci
piring-piring kotor [1]
Pada bagian akhir rangkaian foto
ulang tahun Bear ini, anak-anak tampak membawa piring kotor mereka ke tempat
cuci piring, membilas, dan menyusunnya di bak plastik untuk dibawa ke dapur.
Melalui kegiatan bersama ini mereka dikenalkan
pada perilaku dan percakapan yang tepat secara situasional di sekolah
dan di rumah. Percakapan dan aktivitas anak-anak di mana percakapan tersebut
diorganisir dipicu oleh 1) arah atau tujuan aktivitas, dan 2) peralatan dan
gerakan jasmani asli/nyata pada aktivitas tersebut.
Kelima foto terakhir menunjukkan
suatu “rangkaian aktivitas institusional” di mana anak-anak melalui
partisipasinya dikenalkan pada praktik dan rutinitas sekolah umum. Anak-anak
yang masuk taman kanak-kanak tanpa mengetahui bagaimana untuk ‘bersekolah’
memulai pekerjaan sekolah mereka di sekolah dasar dengan serangkaian tunggakan/hutang
pekerjaan. Mempelajari genre sekolah secara lisan dan tertulis lebih dari
sekedar perjanjian luaran saja tetapi pada 1) penanaman pada setting (outdoor vs. Indoor), 2) aktivitas yang
terjadi di setting (misalnya menangkap bola, bermain ayunan, 3) duduk melingkar
di aktivitas kelompok seperti ‘berita pagi’ atau ‘tunjukkan dan beri tahu), 4)
tujuan aktivitas (seperti pembelajaran sains melalui perayaan ulang tahun). Hal
yang menonjol dari foto-foto tersebut
adalah pengembangan di mana praktik keaksaraan berbasis sekolah ditiru oleh
anak-anak usia 3 hingga 4 tahun pada level orientasi jasmani atau memposisikan
pada hubungannya dengan benda-benda artefak dan peralatan.
Dalam hal ini perjalanan Bear
dapat dipandang sebagai bentuk ‘pembelajaran nyata’ di mana tradisi/ritual
tersebut memberikan contoh konsep sains formal bagi Bear dan teman
sekelasnya. Dengan berlatar belakang implikasi ideologis dari gerakan Bear
sebagaimana orientasi jasmani anak-anak lain di mana mereka berpindah dari
lapangan bermain ke ruang kela, kita dapat melihat bagaimana watak/habitus
seorang anak diatur dalam praktik sehari-hari di Montessori, Boulder.
Anak-anak dalam foto-foto tersebut
memang sangat jauh dari tugas dan aktivitas disipliner yang akan mereka alami
ketika berada di bangku kuliah, namun bahkan pada usia dini inilah mereka
seharusnya mulai memeroleh konsep-konsep praktik keaksaraan di sebuah kurikulum
sains. Aktivitas mereka secara semiotik bersifat heterogen, namun dapat kita
lihat (atau dengar) cara bagaimana percakapan diorganisir dan tertanam pada
serangkaian kegiatan di mana anak-anak tersebut terlibat.
1. Organisasi Dewan Sosial pada Ruang Adegan dari
sebuah Sekolah Menengah Atas di Perkotaan
Pada dasarnya di bagian ini
dimunculkan sebuah budaya sekolah inklusi dan eksklusi berlatar belakang
metropolitan sebagai sebuah gambaran terkait dengan perbedaan ras.[2]
Thompson merupakan sebuah sekolah
yang berada di daerah perkotaan, Midwestern.
Siswa yang belajar di Thompson
merupakan generasi turun temurun yang berasal dari daerah sekitar. Pertandingan
atletik, khususnya permainan hockey
merupakan event yang akan dihadiri
oleh banyak warga sekitar, bukan karena mereka memiliki hubungan langsung
dengan sekolah, tetapi lebih kepada keterlibatan komunitas Thompson dan tradisi atletik yang merupakan bagian penting dari
budaya sekolah.
a. Pengawasan Fisik Siswa dan
Fasilitas
Mengelilingi sekolah menengah atas
akan memberikan pemahaman besar terkait budaya yang ada di sekolah tersebut,
begitu juga yang terjadi di Thompson.
Hal pertama akan terlihat adalah kebersihan dan kerapihan fasilitas yang
tersedia di sekolah. Mulai dari lantai yang bersih dan locker yang di cat dengan warna merah yang segar. Jika melihat
ruang kelas, maka akan ditemukan meja yang bersih terjajar rapi, dan dipastikan
tidak akan ditemukan bungkus permen, kaleng soda atau bungkus kripik, atau
melihat siswa yang sedang makan di ruang kelas atau lorong sekolah. Pada saat
jam makan siang, akan terlihat lihat 3 kelompok siswa yang berbeda masuk dan
keluar cafetaria dalam waktu 90
menit, masing-masing kelompok siswa akan membersihkan peralatan makan mereka
masing-masing. Pembersihan yang perlu dilakukan di antara pergantian giliran
antar kelompok dilakukan cepat oleh pekerja cafetaria
dan penjaga gedung. Assisten kepela sekolah menyatakan bahwa, “ Ini adalah
sekolah urban yang sebenarnya. Bukan dangerous
minds di sekitar sini.” [3]
Pengawasan fisik terkait dengan
fasilitas yang ada di Thompson dijaga
siswa dengan sangat hati-hati. Termasuk juga pengaturan pada jam makan siang. Thompson memiliki bangunan yang
tertutup, hal ini berarti siswa tidak diperkenankan meninggalkan sekolah selama
jam makan siang. Thompson juga
memiliki jadwal yang terbatas, hanya ada 4 kelas selama satu hari. Banyak siswa
yang tidak memiliki waktu luang. Jam makan siang mengambil peran selama periode
ketiga di sekolah. Siswa dibagi menjadi 3 bagian periode jadwal makan siang.
Masing-masing makan siang di waktu yang telah ditentukan. Jadwal ini memberikan
dampak atau implikasi yang penting untuk mengatur siswa sekolah. Dengan waktu
istirahat yang sangat terbatas dan tidak adanya kesempatan untuk meninggalkan
sekolah, secara alami sekolah dengan cara seperti ini akan lebih mengawasi
siswa dibandingkan dengan sekolah yang lebih terbuka dengan waktu 7 atau 8
tahun. Siswa memiliki keterbatasan pada jam makan siang mereka sehingga kesempatan
untuk berpolemik dengan kelompok sosial di sekolah sangat sulit dan terbatas.
Pengawasan terhadap siswa juga
dapat dilakukan dengan mengawasi setiap lorong sekolah dengan seksama. Jarang
melihat siswa berkeliaran di lorong, kecuali selama jam istirahat. Siswa yang
meninggalkan kelas harus membawa surat izin dari guru yang sedang mengajar, sebagai bukti dari izin
yang telah diberikan. Siswa yang
terlambat datang tidak diperbolehkan memasuki kelas tanpa surat izin, surat
izin tersebut akan memberikan informasi kepada guru terkait dengan jam
keterlambatan kedatangan siswa.
b. Pengawasan Fisik Pemeliharaan
Tradisi dan Sosial/Ras Sekolah
Penyelidikan terhadap upacara
penobatan “Winter-Fest” dapat
memberikan gambaran terhadap cara pengawasan siswa dan fasilitas sekolah. [4]“Winter-Fest” merupakan Minggu di bulan Februari dimana siswa
menyiapkan tarian musim dingin. Acara tersebut merupakan festival selama satu
Minggu, peserta berpakaian mewah dan pemberian penghargaan terhadap untuk tarian
diberikan. Perayaan ini merupakan tradisi sekolah yang diatur sedemikian rupa oleh
guru-guru dan kepala tata usaha.
Perayaan dilakukan beberapa jam di
pertengahan jam sekolah. Siswa dibebaskan dari jam belajar untuk menghadiri
perayaan tersebut. Upaya untuk mengawasi siswa dan bangunan selama perayaan
penobatan termasuk insiden pemukulan, maka pintu gedung senam, tempat
penyelenggaran, dijaga oleh siswa ROTC
berpakaian lambang kerajaan lengkap dan membawa pedang. Meskipun mereka
terlihat memiliki otoritas yang sedikit untuk mencegah orang dari masuk atau
duduk di tempat yang salah, mereka masih memiliki image yang kuat. Pertama, mereka terlihat seperti penjaga penjara,
menjaga narapidana dalam barisan tetapi lebih penting, karena ini merupakan
perayaan penobatan, maka mereka terlihat seperti menjaga orang-orang kerajaan
di pintu gerbang istana. Hal ini menarik, karena integritas tradisi sekolah
terkait dengan perayaan penghargaan merupakan hal yang mereka lindungi. Tugas
utama dari siswa ROTC adalah
memastikan bahwa siapa saja yang memasuki ruang senam menggunakan tanda
pengenal. Guru menyatakan bagaimana proses ini bekerja,
Siswa harus membeli button untuk masuk seharga $1 dengan 2 tujuan, pertama adalah untuk pengumpulan dana dan kedua adalah bagi siswa yang tidak suka menghadiri pagelaran maka diberikan
jalan keluar. Siswa yang tidak menghadiri perayaan dikumpulkan di dalam satu
ruangan di sekolah untuk menonton film atau video. Juga diketahui beberapa
siswa yang tidak mengikuti pagelaran memilih meninggalkan sekolah meskipun itu
berarti menentang peraturan sekolah. Hal ini merupakan salah satu cara bagi
petugas administrasi untuk “self-weed the
riff raff” dan juga merupakan cara untuk siswa menunjukkan bahwa, “saya
tidak akan membeli button yang tidak
ada harganya”[5]
Upaya ini untuk menjaga perayaan
merupakan hal yang berhasil, meskipun ada sedikit perlawanan dari sebagian
siswa. Orang tua atau pengunjung sekolah yang berjalan untuk melihat pertunjukan
tersebut berasumsi bahwa penonton adalah keseluruhan siswa yang menyatu
mendukung siswa yang dimahkotai penghargaan. Yang disadari adalah hanya ada satu
upaya untuk bertahan sebagai bagian dari kelompok kecil siswa Afika-Amerika,
meskipun tidak disadari sebagai upaya bertahan
tetapi menunjukkan antusiasme yang tidak sesuai, yang didiamkan dengan
cepat oleh kepala sekolah,
Kepala sekolah duduk dekat podium. Terlihat beliau
memperhatikan siswa-siswanya yang bertepuk tangan dan bergoyang. Dia memberi tanda
ke guru lain yang segera mendiamkan siswa yang mengganggu. Ada guru yang
ditempatkan di bagian siswa untuk menangani hal semacam itu. [6]
Pada kenyataanya ada siswa di Thompson yang tidak mendukung perayaan
tersebut. Bagaimanapun siswa-siswa tersebut pada dasarnya sudah diberdayakan
oleh bagian administrasi untuk tidak hadir.
Banyak
siswa kulit putih yang terlibat dalam
perayaan meskipun sangat sedikit sekali siswa asing. Contohnya 20-25 anak
perempuan ikut serta, 3 dari mereka berasal dari Asia, Afrika-Amerika dan
Latin. Melihat ke dalam kelas dimana siswa yang memilih tidak menghadiri
perayaan tersebut dapat memberikan petunjuk terhadap siswa yang bertahan,
Saya menyadari kelas yang gelap terdapat banyak
siswa yang menonton film dibintangi Bruce
Willis. Dengan jelas, ini merupakan kelompok siswa yang memilih untuk tidak
pergi ke pagelaran. Saya melihat beberapa hal terkait dengan siswa-siswa ini.
Pertama, mayoritas dari mereka adalah “berwarna” hal kedua, dua orang siswa
perempuan kulit putih mencoba mngerjakan tugas dalam gelap dan yang ketiga
adalah banyak siswa yang tidur tetapi tidak satupun berbicara.
Penjelasan yang memungkinkan dari
kajian ini adalah, pihak sekolah ingin menjaga tradisi dan kesadaran untuk menyatukan
dan mengawasi siswa Siswa Afrika-Amerika yang menghadiri perayaan ini tetapi
bersikap tidak sopan merupakan contoh sempurna siswa yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang ditentukan pihak sekolah. Ini bukan issue yang sederhana.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa manuasiawi untuk memperbolehkan siswa
yang tidak mendukung perayaan. Bagaimanapun, argumentasi dapat dibuat jika event besar yang didukung oleh sekolah
lebih inklusif, perbedaan siswa yang lebih besar mungkin memilih untuk
terlibat. Tradisi di Thompson dibuat
melalui nilai dan norma siswa dan komunitas kulit putih. Perubahan demografi
yang terjadi selama bertahun-tahun mengakibatkan perubahan kecil pada tradisi
ini, tradisi ini memberikan hak istimewa terhadap siswa kulit putih karena
mereka paling mudah mengikuti nilai tradisi ini. Sebagai tambahan, untuk
melindungi tradisi ini di sekolah, pemerintah mendukung norma dan nilai dari
siswa kulit putih. Sebagai hasilnya, muncul siswa berwarna yang ditempatkan di
lingkaran luar budaya sekolah, sementar siswa kulit putih lebih memiliki
kekuatan.
Dalam observasi di cafetaria selama jam makan siang, Dan (guru di Thompson) menyadari
fenomena yang sama. Dengan beberapa pengecualian kecil, siswa mengelompokkan
diri mereka berdasarkan ras. Berdasarkan salah satu siswa, siswa-siswa kulit
putih yang paling terkenal duduk di tengah cafetaria, sementara ras dan
kelompok sosial lain duduk di lingkaran luar,
Saya menyadari bahwa, Ron, seorang siswa masuk ke cafetaria
dan berdiri dengan saya. Saya mengucapkan hello.
Saya bertanya apakah dia berpikir bahwa ada sebuah pola terkait cara anak-anak
duduk saat makan siang. Dia mengatakan bahwa ya, tanpa ragu. Dia mengatakan
bahwa anak-anak yang populer akan duduk di tengah dan anak-anak yang “biasa”
akan duduk di sisi lain. Dia mengatakan, anak-anak Asian, duduk bersama,
“kecuali jika kamu keren”, maka kamu bisa duduk di tengah. Saya bertanya
mengapa anak-anak yang terkenal duduk di tengah. Dia mengatakan karena
merupakan bagian tengah atau pusat dari segalanya dan tempat dimana mereka
selalu ada.[7]
Saya menyadari pola yang sama saat
melakukan observasi di kelas (di kelas dimana siswa memilih tempat duduk mereka
sendiri).
Di bagian baris tengah di kelas terdapat 4 orang
anak perempuan kulit putih. Di barisan kiri, terdapat 2 orang anak perempuan
kulit putih, dan dibagian depan juga anak perempuan kulit putih. Di bagian
belakang ada seorang anak perempuan Afrika-Amerika. Di barisan kanan tengah ada
permainan basket dihadiri oleh anak
perempuan lain di bagian depan, diikuti anak laki-laki kulit putih. Gina dan
kayla yang keduanya anak kulit putih, dan anak perempuan kulit putih lain dan
seorang anak laki-laki kulit putih. Di barisan dekat pintu, duduk semua anak
Asia dan Afrika-Amerika.
Dari contoh ini, maka sebagian
besar siswa kulit putih duduk di 3 barisan tengah dan di kursi depan, sementara
banyak siswa kulit berwarna yang duduk di belakang atau sisi lainnya. Juga
dicatat fakta bahwa permainan basket dihadiri oleh populasi siswa yang sebagian
besar adalah keturunan Afrika-Amerika (populasi Afrika-Amerika di sekolah
secara keseluruhan adalah sebanyak 17%), diluar fakta bahwa 7 pemain adalah
Afrika-Amerika, 5 pemain adalah kulit putih dan 1 pemain adalah siswa Latin.
Hal ini terlihat karena hockey
dianggap sebagai pusatnya olahraga di sekolah yang didominasi oleh kulit putih
(tahun ini hanya ada 1 siswa kulit berwarna, seorang laki-laki Latin yang
populer). Permainan basket didominasi kelompok Afrika-Amerika, dan merupakan
segmentasi mereka, tetapi ada kecenderungan bahwa siswa kulit putih mengatur
mereka karena siswa kulit putih menjual tiket pertandingan, membuka stand dan bermain band selama
pertandingan.
Pada contoh yang terjadi di ruang
kelas, cafetaria dan pertandingan
basket, nampak jelas bahwa ada banyak alasan mengapa pemisahan muncul. Tidak
ada jawaban yang sederhana mengapa hal tersebut muncul di kelas. Tetapi
bagaimanapun pola ini terjadi, jelas bahwa Thompson
merupakan sekolah yang memiliki latar belakang perbedaan, terdapat bukti yang
menyatakan bahwa siswa jarang berinteraksi secara ras. Jadi ketika siswa kulit
putih di Thompson melihat mereka
berbeda dari siswa kulit putih di daerah pinggiran kota karena kondisi fisik
yang berdekatan dengan siswa kulit berwarna, mereka mungkin memiliki
keterbatasan pengalaman terkait dengan isu ras. Kekurangan interaksi antara
kelompok rasial dapat dilihat dari wacana yang terjadi di kelas.
Melihat diskusi siswa, terlihat
bahwa siswa kulit putih berjuang untuk menemukan kata yang tepat ketika bicara
soal ras. Contohnya Katrina, seorang siswa kulit putih yang berupaya untuk
menjelaskan bahwa banyak kerabat mereka yang memiliki pandangan yang rasis
karena mereka kurang berinteraksi dengan orang yang berwarna.
KL (student):=I thought of it as (.) almost like
the whole (.) I thought about like, hh you know, the^field^trip? And like how
we’re going to go and IF SOMEONE FROM LIKE PRAIRIE HILLS, like they’re (.) .hh
so used that (.), one whatever and then came ^water? (.) you know the ones that
can’t survive /here=
DP (teacher): What do you think they’d freak out
about? =Like I was trying to
think=
KL: =Just
(.) the whole= diversity, I mean =people= get weird about that like family that
lives out in like (.) out there and they
=(cough)=
live you know =like=, they go to like (.) just (.)
basically all white schools and then
FS [first student]: =heh heh=
they’re like “o:h, do you have (.) ^these ^people?”
It’s like, “Yeah, they’re just like people like/us.” They act like they’re not
human and I think they’d kind of like freak out if they /came /here. *That’s
what I =think*=
Sejumlah pola muncul disini,
pertama Katrina berusaha menemukan kata yang tepat untuk berdiskusi terkait
dengan ras. Dia mengatakan bahwa ras merupakan “the whole diversity.” Dia juga menghindari menggunakan kata yang
berbau rasial untuk menunjukkan orang yang memiliki kulit berwarna, Dia lebih
cenderung menggunakan “these people”.
Sebagai tambahan, dia membuat referensi dengan menggunakan metapora untuk
menggambarkan bahwa keseluruhan kelompok masyarakat mendiskusikan ras, water is to fish as culture is to people,
serta menggunakan pandangan keluarganya sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
dia adalah non-rasis.[8]
Hal yang memungkinkan
adalah selalu menjaga fasilitas sekolah, siswa dan tradisi sekolah, komunitas
sekolah menolak transformasi budaya akibat pergeseran demografi dalam komunitas
dan sekolah selama lebih dari 15 tahun. Daripada menjadi tempat dari
keanekaragaman yang seharusnya, Thompson
merupakan tempat dimana budaya kulit putih tumbuh. Kelompok yang relatif baru
di sekolah menjadi hal yang kurang penting. Ketika rasial ragu dan tidak
memahami yang dilihat dalam wacana kelas, alasannya menjadi jelas. Thompson mungkin merupakan sekolah yang
memiliki keanekargaman secara demografi tetapi secara inteaksi antara ras
sangat minim.
a. Perwujudan Kontrol Fisik sebagai
Kontrol Intelektual
Pengertian dari pengawasan
fisik yang menyeluruh pada siswa-siswa dan fasilitas di Thompson dalam kasus
yang diwujudkan oleh mereka sendiri sebagai pengawasan secara intelektual pada
tingkat ruang kelas. Pada beberapa peristiwa, peneliti mengobservasi kelas yang
siswa-siswanya terlihat tidak nyaman ketika kebebasan untuk berpikir dan
berpendapat secara kritis dibuka. Suasana yang tenang dan nyaman dikembalikan
ketika ruang kelas menjadi pasif, guru langsung mengambil alih lingkungan
kelas.
Dalam sebuah kasus peneliti mengobservasi seorang guru yang
mencoba untuk mengatur pembukaan sebuah diskusi yang berjudul The Catcher in the Rye dalam kelas 11 bahasa Inggris reguler. Ketika siswa-siswa
terlihat cukup bergairah dengan kelanjutan diskusi tersebut, mereka terlihat
memiliki pengalaman yang sedikit dalam tipe dari intelektual dan kebebasan
fisik untuk menyuarakan pendapatnya. Kemudian, diskusi tersebut tidak berjalan sukses seperti yang
tergambar berikut:
Terdapat
dialog antara Angie, di bagian belakang ruangan dan James yang duduk di bagian
depan. Mereka berdiskusi dalam percakapan yang tidak terkendalikan. Angie
berargumen. Siswa-siswa dengan cepatnya beralih ke arah debat, tetapi debat
menjadi seperti percakapan antara beberapa siswa, setiap siswa ingin berbicara.
Guru segera menghentikan dialog. James dan Angie tetap mencoba untuk berbicara
lagi. Beberapa waktu mereka mencoba untuk berbicara dengan keras di antara
mereka. Guru pun segera mengontrol dan memangil siswa-siswa untuk berbicara.[9]
Setelah mencoba untuk
membuat diskusi ini terlaksana, guru mencoba strategi yang berbeda yaitu :
Guru memerintahkan siswanya
untuk membuka buku pada halaman yang utama. Guru dengan sangat lembut berbicara pada setiap
siswa untuk tidak membicarakan hal yang ada pada halaman 38 untuk beberapa
menit. Siswa dengan cepat menjadi diam dan membuka buku mereka.[10]
Ketika siswa terlihat
tertarik dan bergairah untuk menyatu dalam kelas diskusi, mereka terlihat
nyaman dan dengan biasa guru langsung
mengambil alih kelas ketika mereka pasif dalam informasi.
Dalam peristiwa yang lain,
peneliti mengobservasi kelas 12 pada mata pelajaran Geometri yang berjumlah 38
siswa. Peneliti merasa terkesan dengan kemampuan guru untuk mengatur dan
mengontrol kelompok siswa yang besar.
Guru
yang memiliki seorang siswa yang membaca dengan suara rendah ketika dia
mendemonstrasikan masalahnya di papan tulis. Beberapa siswa terlihat
menyimaknya. Adapula siswa yang tidak menyimaknya.dan kelihatan tidak tertarik,
tetapi mereka memiliki buku dan tidak
mengganggu satu sama lain.[11]
Peneliti percaya pada
kemampuan guru untuk mengontrol aktivitas fisik siswa yang mungkin tidak sepenuhnya positif yang
dimungkinkan karena kurangnya aktivitas intelektual pada sebagian siswa. Siswa
dalam kelas tersebut tidak berbicara untuk melakukan sesuatu yang bersifat
intelektual atau sesuatu yang aktif. Mereka lebih memilih diam dan membuka buku mereka. Jadi, siswa lebih memilih
untuk berlaku pasif menerima informasi yang ditawarkan.
2. Multimedia Genre & Proses
Pencariannya
Seiring perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi, genre minat semakin meningkat ke arah multimodal yang
maknanya tercipta melalui penyebaran sumber, baik ditinjau dari bahasanya
sendiri maupun sistem semiotiknya. Semakin berkurangnya batasan terhadap genre
dan institusional pada skala waktu yang semakin pendek ditunjukkan dengan
kondisi maraknya perselancaran pada chanel
TV dari genre yang satu ke genre yang lain, pada website dari institusi yang satu ke institusi yang lain, terjun
dalam kehidupan di antara lebih dari satu macam pekerjaan, tugas-tugas, dan
bahkan berbagai macam institusi. Pada kondisi ini kita tidak hanya
menggabungkan genre terdahulu secara terpisah, tetapi juga menciptakan makna
selama proses pencarian genre tradisionalnya. Artinya, genre telah menjadi
bahan mentah untuk konstruksi trans-generic
yang fleksibel, sumber-sumber makna baru, serta pemahaman berorientasi
eksternal. Meninjau genre dari sudut pandang kontemporer atau modern ini memberikan gambaran fenomena genre
ditinjau dari perspektif fungsional baru.
a. Multimedia Genre
Semua genre tertulis merupakan
multimodal, tidak hanya menyebarkan tanda-tanda sistem linguistiknya tetapi
juga sistem makna visual-spasial yang erat kaitannya dengan orthography, typography, dan page layout. Dimensi visual-spasial dari
genre tertulis ini secara terus-menerus mendata bagian sintagmatik dari suatu
genre yaitu yang bersifat menunjukkan hubungan antara dua atau lebih unit
linguistik yang digunakan secara berurutan untuk membuat struktur yang
terbentuk dengan baik, misalnya judul, section
headers, karakteristik tipografi dan layout dari bagian referensi atau
afiliasi pada suatu makalah akademik. Pada genre yang lebih kompleks seperti
pada buku teks atau komentar Talmud, artikel pendek di koran (sidebar), kolom artikel, serta sub
bagian daftar teks yang menyusun hubungan maknanya.
Persetujuan tipografi seperti font cetak tebal atau cetak miring secara khusus menunjukkan sikap evaluasi
makna yang sama pentingnya dengan metalinguistik seperti mendaftar
istilah-istilah teknis baru. Pada dokumen yang diedit, pensil biru, coretan
merah, highlight kuning, koreksi
interlinier, koreksi marginal, dan lain-lain juga mengikuti persetujuan genre
khusus dengan para-tekstual yang menyeluruh. Hal tersebut di atas menjadi titik
tolak elemen-elemen ekstra-tekstual visual seperti tabel, grafik, diagram, dan
gambar.
Orang berpendapat bahwa gambar
atau figur grafis bersifat tidak wajib terutama pada genre tekstual, namun
meskipun demikian banyak kasus yang memasukkan elemen-elemen tersebut dan
bahkan diharuskan pada persetujuan khusus genre atau di berbagai macam genre
seperti artikel dan laporan penelitian ilmiah cetak (print) didokumentasikan dengan sangat baik. Pada genre ini
seringkali muncul kasus di mana makna elemen terpenting diperoleh dari grafik,
tabel, diagram, skema, peta, foto, dan elemen gambar lainnya atau dari
kombinasi elemen tersebut dengan teks sehingga tidak berlebihan pada teksnya
sendiri.
Dapat kita jumpai genre teks
intelektual akademis yang lama, dibangun dengan sangat baik dan perlu dihargai.
Pada teks tersebut kita tambahkan berbagai macam genre budaya secara
besar-besaran dari abad ke-19 dan ke-20, yaitu lukisan, ukiran, dan terakhir
foto-foto sepanjang sejarahnya, juga buku-buku komik di mana untuk pertama
kalinya sebuah genre cetak yang
penyusunannya ditentukan oleh rangkaian gambar dan elemen-elemen tekstualnya
yang mendukung seperti pada koran atau iklan-iklan pada koran. Iklan cetak
merupakan genre yang harus menyertakan gambar selain teks itu sendiri yang
sudah penuh dengan struktur organisasinya.
Inti dari contoh-contoh di atas
menunjukkan pentingnya menggabungkan berbagai macam genre di masa yang akan
datang. Kemampuan penyebaran teks dan gambar pada komputer telah menyita
perhatian konvensi genre tekstual-grafis
yang bersifat teknis dan popular dan memperluasnya secara serentak (ubiquity) pada genre yang dapat
ditemukan pada CD-ROM, pada software-software pendidikan, pada
halaman Web dan Website, dan yang akhir-akhir ini muncul penggabungan genre video
dan computer games.[12]
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah “bagaimana kita dapat memperluas dan meningkatkan teori genre untuk
menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya elemen makna visual-spasial yang
semakin berkembang dan berbagai konvensi di semua genre, khususnya pada
elemen-elemen gambar grafis atau konvensi sistem sumber semiotik visual sebagai
hal penting untuk mengungkapkan maknanya? Saat ini pandangan tentang genre
tekstual yang paling canggih menyediakan akun-akun yang tidak terbatas pada
elemen-elemen yang wajib dan opsional, rangkaiannya, dan fungsi dari
elemen-elemen tersebut, tetapi juga relatif bersyarat yang kemungkinan
transisinya menembus konteks produksi khusus, sirkulasinya, serta
pemanfaatannya. Probabilitas bersyarat menggambarkan frekuensi relatif
terjadinya fitur-fitur teks opsional yang menembus wilayah co-tekstual dan
kontekstual yang sangat bervariasi; kemungkinan transisi yang menggambarkan
frekuensi relatif dari penerus yang bervariasi pada susunan teks yang diberikan
secara linier untuk mencapai titik pengembangan teks cukup jauh.
Sebuah genre dipertahankan pada
konvensi suatu komunitas, di mana pada
hampir semua kasus melayani fungsi khusus dalam sistem praktik institusi dari
komunitas tertentu. Bentuk-bentuk pada genre tertentu sebagai teks merupakan
tanda adanya praktek sosial di beberapa komunitas pada beberapa institusi, atau
setidaknya diakui dan secara terus menerus terjadi pada konteks situasional. Berawal
dari sinilah gagasan hebat mengenai genre tersebut.
Model dengan fungsi yang sama
sebaiknya dipertahankan pada saat kita membahas sumber-sumber makna
visual-spasial dan konvensi genre, apakah tipografinya cukup ketat dengan memasukkan
gambar-gambar grafis pada satu jenis gambar tertentu. Kita sebaiknya dapat
mengelompokkan probabilitas bersyarat untuk beragam bentuk visual agar muncul
pada sebuah genre khusus, dan probabilitas bersyarat sebagai fungsi ada
tidaknya suatu bentuk tekstual tertentu. Kita sebaiknya dapat menyatakan kapan sebuah genre tekstual menyisipkan
suatu gambar dan apa fungsi gambar tersebut dikaitkan dengan makna tekstualnya
serta untuk pengembangan susunan teks secara utuh. Ditinjau dari fungsinya
kita ingin dapat menunjukkan secara khusus bagaimana agar elemen-elemen visual
grafis berkontribusi pada makna
ide-penyajian, makna sikap berorientasi interpersonal, dan makna tekstual
struktural organisasi.
Di sini kita mulai menjumpai
beberapa tantangan sesungguhnya terhadap keberadaan model-model genre tekstual
di mana genre multimodal muncul. Model-model genre tekstual murni telah
memanfaatkan konvensi bahwa teks merupakan mono-sekuensial (linier atau unicursal) pada penyajiannya. Tentu saja
hal ini tidak sepenuhnya benar pada tataran sebuah teks tradisional yang
memiliki catatan marginal atau sebuah sidebar
kehilangan susunan ketatnya yang
unik. Teks utama dan artikel memberikan makna secara paralel, bukan pada
rangkaian seri yang ketat. Tidak perlu muncul di sidebar untuk mengikuti
perkembangan semantik yang kohesif pada teks utama dan sebaliknya. Tidak ada
poin khusus pada rangkaian tersebut ketika kita menyadari bahwa kita seharusnya
telah membaca teks lainnya. Belum lagi maknanya mempengaruhi interpretasi kita tentang
lainnya.
Berapa
banyak gambar yang seharusnya disisipkan pada sebuah teks terlepas dari apakah
gambar tersebut mematahkan alur teks atau bahkan tidak ada maknanya?
Sebagaimana telah diilustrasikan sebelumnya, kita memiliki kesepakatan untuk
menjelaskan kepada pembaca mengenai teks utama ketika gambar/figurnya relevan.
Banyak teori genre tradisional tergantung pada rangkaian kesepakatan. Kita
telah mengetahui bahwa teks akan jauh dari kata ‘linier’ ketika dimaknai
sebagai penciptaan teknologi. Perbedaan tema sebuah teks dan tahapan
organisasinya yang berbeda, bagian sintagmatik struktural dan rangkaian kohesi
serta pengelompokan rangkaian yang dihubungkan secara semantik atau saling
memuat dalam bentuk paralel antara satu teks dengan yang lain, dan batasannya
secara umum tidak benar-benar sama, seperti halnya pada skor musikal yang
menunjukkan lintasan instrumen yang bervariasi secara paralel dalam simfoni
tekstual secara keseluruhan. Analisis genre sangat jarang mencapai tingkat
kehalusan mungkin karena terdapat konvensi yang cukup ketat mengenai bagaimana
simfoni tekstual semacam itu harus diatur sebagai genre khusus. (Sebuah
pendekatan genre menggunakan ‘analisis phasal’
akan memberikan tingkat kehalusan deskripsinya).
Namun apabila kita memperluas
teori genre untuk memasukkan genre multimodal secara sederhana seperti halnya
tekstual-grafis, kita perlu mengembangkan model-model multi-linier atau
multi-cursal yang bersifat paralel, atau hubungan makna fungsional di antara
elemen-elemen yang mendukung rangkaian pandangan dan interpretasi (misalnya
sejauh mana bagian teks dan gambar terkait dapat dimunculkan), tapi tidak
secara ketat merangkainya. Lemke berpendapat bahwa hasil karyanya dalam
semantik dan organisasi hiperteks menyarankan keterwakilan opsi–opsi
bercabang dalam model flowchart genre
ujaran menawarkan satu arah terkait dengan paralelisme organisasi genre
multimodal. Salah satu pendekatan yang ditawarkan untuk mengidentifikasi
probabilitas relatif dari fitur-fitur yang bervariasi dalam unit tekstual yang
saling berkaitan, probabilitas transisi atau urutan teks seperti bagian-bagian
teks, dan lainnya. Beberapa probabilitas diatur atau dipengaruhi oleh genre,
beberapa oleh penulis (misalnya menawarkan suatu tautan atau tidak,
‘mengemudikan’ atau mengarahkan pembaca untuk mengikuti tautan tertentu
meskipun terdapat tautan lainnya yang ditawarkan), dan beberapa tautan istimewa
bagi pembaca (meskipun terdapat kecenderungan tersendiri terkait karakteristik
pembaca, dari komunitas membaca, dan lainnya). [13]
Cara lain menganalisis genre
multimodal yang belum dikembangkan yaitu menanyakan pertanyaan kunci sebagai
berikut.
·
Apakah bagian sintagmatik teks
yang diproyeksikan melalui penyajian tema gambar atau figurnya? Elemen
gambar/figur secara khusus relevan dengan elemen teks yang mana, ataukah
relevan dengan tingkat variabel, dan mengacu pada hubungan makna apa?
Pertanyaan tersebut berfungsi untuk menganalisis relevansi suatu gambar atau
porsi gambar dengan teksnya.
·
Apa sajakah bagian tematik
organisasi dari gambar atau figur grafis yang diproyeksikan oleh teksnya? Hal
ini penting untuk mengarahkan perhatian serta mengidentifikasi hubungan makna
yang tersirat. Dan dengan level relevansi atau kedudukan yang mana?
·
Apa saja fitur-fitur dalam teks
atau dalam gambar yang memungkinkan menciptakan jenis tautan (link) tertentu dengan elemen gambar atau
teks tertentu dengan tingkat probabilitas tertentu. Ini merupakan suatu variasi
strategi tradisional dari analisis intertekstual dalam teks yang saling
berhubungan.
Analisis ini akan lebih menarik apabila kita
menambahkan tingkat kesulitan di mana gambar dan teks tidaklah sesederhana
unit-unit sintagmatik struktural saja tetapi lebih pada jenis tekstural dengan
kohesi seperti rantai dalam menyusun untaian katanya. Dalam hal ini teks dan
gambar diibaratkan sebagai genre multimodal sebenarnya yang saling
mengorganisasikan (mutual).
Genre
multimedia tidak hanya melibatkan teks dan gambar grafis saja, tetapi termasuk
juga media dinamis seperti animasi, video streaming,
dan video utuh. Teks itu sendiri dapat dianimasikan tidak hanya untuk
kepentingan hiburan saja. Ketika kita melakukan scrolling pada kata-kata yang tertulis saat itu juga bisa terhubung
dengan animasi atau gambar yang bergerak.
Banyak hal yang dapat dilakukan
untuk menganalisis genre gabungan semacam itu dengan cara yang terintegrasi.
Peneliti dapat memulai analisis dengan mengajukan pertanyaan seperti ‘teori
film apa yang menjelaskan genre musik-gambar-ujaran?’ dan pertanyaan terkait
lainnya. Banyak genre gabungan baru yang diciptakan dengan mengintegrasikan
konvensi lama seperti teks atau gambar dengan potongan gambar dan suara dalam
bentuk film, video, atau animasi yang lebih dinamis. Salah satu genre yang
terbaru dengan pengembangan yang paling pesat adalah genre video atau computer games. Sementara kita menyoroti
kategori genre berdasarkan bentuk permainan game, terdapat sub genre di
dalamnya yang dapat dipertimbangkan terkait dengan fitur-fitur semantiknya dan
urutannya (paling tidak opsi terkait urutan bercabang (branching) atau paralelnya.
a. Traversals sebagai Trans-generic
Dahulu, jika mendengar kata
teknologi dan jaringan, maka yang terfikirkan adalah televisi dan radio dengan
segala keterbatasannya. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini jaringan
teknologi sudah merambah ke situs-situs internet yang memasuki kehidupan kita
sehari-hari.
Tanpa dipungkiri dengan
perkembangan teknologi jaringan yang signifikan membawa perubahan terhadap post
atau trans institusi yang memungkin implikasi jenis tekstual baru yang dikenal
dengan “hypertext”. Menurut Lemke, Hypertext merupakan sebuah media atau
sebuah teknologi yang mempengaruhi dan mengusahakan kemudahan terhadap
konstruksi rangkain teks yang ditentukan oleh penulis atau perancang jaringan
hypertext tertentu. [14] Jaringan hypertext
merupakan rangakaian teks yang lebih luas daripada paragraf dalam sebuah
halaman disebut “lexias”. Bahkan menurut beberapa ahli teks tidak hanya
dibangun oleh penulis atau perancangnya saja tetapi teks dibangun juga oleh
pengguna atau pembaca dan mereka membuat makna sendiri bahkan membuat
kesimpulan sendiri berdasarkan elemen-elemen yang tersedia dalam jaringan
tersebut yang dikombinasikan dan dirangkaikan secara logis, temporal,
berdasarkan pengalaman yang ada dengan berbagai cara. Jaringan hypertext ini
akhirnya memunculkan genre hypertext.
Hypertext khususnya open-ended
hypertext seperti WorldWideWeb
berusaha memberikan kesempatan kepada masuknya genre baru. Mulainya evolusi
genre ini, hal itu mempersiapkan
quasi-genre (semi-genre) terjadi. Harus muncul sensitifitas terhadap jenis pola
tertentu dari serangkaian makna dan hubungan yang terjadi dari satu situasi
tertentu ke situasi yang lain. Gagasan terhadap traversal ini muncul
sebagaimana meningkatnya siklus perhatian terhadap berbagai variasi dunia
virtual. Umpamanya, bagaimana seseorang berbicara menggunakan cellphone saat
mengendarai mobil, menggunakan email, mengirim pesan melalui SMS pada saat
meeting, menggunakan internet untuk chatting, berselancar dengan web/jaringan,
bermain games dalam berbagai aktivitas, melakukan traversal diantara berbagai
aktivitas.
Makna traversal dirasakan
meningkat di antara kehidupan berbagai orang, seperti trans-generic, trans-institutional, trans-situational. Akan tetapi,
kajian tentang traversal dengan berbagai elemennya perlu dikaji lebih mendalam
lagi untuk menentukkan genre yang tepat. Bahkan, suatu saat akan menjadi makna
genre tersendiri untuk hypertext dan traversal.
A. Penutup
Studi tentang setting sangat
penting untuk memahami hubungan antara semiotik, genre ujaran, penggunaannya,
serta praktik sosial, dan objek serta tujuan. Perspektif ini memiliki
perspektif yang relevan dengan penelitian-penelitian dari interelasi antara
penggunaan ruang dan artifak dalam setting institusi, dan pembangunan praktik
literasi dan genre ujaran siswa-siswa asli atau pribumi dalam seting
institusional yang utama. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengilustrasikan kekuatan dan pengaruh
dari isyarat kontekstual seting dalam
mempertajam dan mempengaruhi pengguna-pengguna bahasa dalam praktik linguistik
dan orientasi jasmani.
Perhatian pada pembahasan ini adalah untuk menunjukkan
bagaimana perspektif etnografi dapat membuat lebih nyata konsep dari teori
histori kebudayaan. Termasuk praktik jasmani dan diskursif dalam berbagai seting seperti ruang kelas,
ruang makan, halaman sekolah, dan sebagainya, yang terangkum dalam sistem
semiotik. Dalam pandangan etnografi memungkinkan peneliti untuk fokus pada
akivitas sistem sebagai unit analisis dan kemudian memeriksa seting, alat-alat,
aktor, genre dan artifak sebagai konteks dengan mengikutsertakan aktivitas pembuatan makna.
Pentingnya kesadaran untuk
meningkatkan teori genre untuk menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya
elemen makna visual-spasial yang semakin berkembang dan berbagai konvensi di
semua genre, khususnya pada elemen-elemen gambar grafis atau konvensi sistem
sumber semiotik visual sebagai hal penting untuk mengungkapkan makna. Saat ini
pandangan tentang genre tekstual yang paling canggih menyediakan akun-akun yang
tidak terbatas pada elemen-elemen yang wajib dan opsional, rangkaiannya, dan
fungsi dari elemen-elemen tersebut, tetapi juga relatif bersyarat yang
kemungkinan transisinya menembus konteks produksi khusus, sirkulasinya, serta pemanfaatannya.
Genre baru seperti Hypertext khususnya open-ended hypertext seperti WorldWideWeb
berusaha memberikan kesempatan untuk memulai evolusi genre ini, hal itu mempersiapkan quasi-genre (semi-genre)
terjadi. Harus muncul sensitifitas terhadap jenis pola tertentu dari
serangkaian makna dan hubungan yang terjadi dari satu situasi tertentu ke
situasi yang lain. Gagasan terhadap traversal ini muncul sebagaimana
meningkatnya siklus perhatian terhadap berbagai variasi dunia virtual.
Daftar Pustaka
Berkenkotter,
C. dan Thein, A.H. 2005. Settings, Speech Genres, and the Institutional
Organization of Practices. Folia
Linguistica, Acta Societatis Linguisticae Europaeae XXXIX/1-2/2005, Wina:
Mouton de Gruyter, hh. 115-142.
Berkenkotter,
C. 1998. Settings and The Institutional
Organization of Language. Diunduh pada 30 Mei 2016 pada http://writing.umn.edu/lrs/assets/pdf/speakerpubs/Berkenkotter.pdf
Gunnarsson.1997. The writing process
from a sociolinguistics viewpoint dalam “Written Commnication”. 2. 139-188
Lemke, J.L. 2005. Multimedia Genres and Traversals. Folia Linguistica, Acta Societatis
Linguisticae Europaeae XXXIX/1-2/2005, Wina: Mouton de Gruyter, hh. 146-155
N. Fairclough. 1992. Discourse and
Social Change.London:Polity Press.
S.Gunthner
& H. Knobaugh. 1995.Culturally patterned speaking practices: The analysis of
communicative genres.Pragmaics, 5(1), 1-32
[1]
Carot Berkenkotter dan Amanda Haerting
Thein. Settings, Speech Genres, and the
Institutional Organixation of Practices dalam
Folia Linguistica. Berlin: Mouton
de Gruyer. (2005.h.117)
[2]
S.Gunthner & H. Knobaugh. Culturally patterned
speaking practices: The analysis of communicative genres. “ Pragmatics, 5 (1),
1-32. (1995.h.6)
[3]
N. Fairclough. Discourse and Social Change.London:Polity Press. (1992.h. 102)
[4]
Gunnarsson. The writing process from a sociolinguistics viewpoint dalam
“Written Commnication”. Volume 2. (1997. H.139)
[5]
Carot Berkenkotter dan Amanda Haerting Thein, op.cit. h.119
[6]
Carol Berkenkotter, Amanda Haertling
Thein, Setting, Speech Genre, and the Institutional Organization of Practices, Folia Linguistica, 39(1-2), 2005, h. 122
[7]
Ibid.
[8] Carol Berkenkotter, C., Settings and The Institutional Organization of Language, 1998, Diunduh pada 30 Mei 2016 pada http://writing.umn.edu/lrs/assets/pdf/speakerpubs/Berkenkotter.pdf, h. 8
[10] Carol Berkenkotter, Amanda Haertling Thein, Op. Cit., h. 124
[11] Carol Berkenkotter, C., Op.Cit., h. 10
[12] Carol Berkenkotter, C., Op.Cit., h. 11
[13] Carol Berkenkotter, Op. Cit., h. 11
[14] Ibid., h. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar