Jumat, 15 Juli 2016

SETTING, GENRE UJARAN & PRAKTIK ORGANISASI INSTITUSI DAN GENRE MULTIMEDIA & PROSES PENCARIANNYA

Oleh: Audi Yundayani (7317150067), Frimadhona Syafri (7317150237),
Lidwina Sri Ardiasih (7317150075),dan Arini Noor Izzati (7317150065)

Abstrak


Dalam makalah ini akan dibahas  mengenai genre ujaran dalam setting konteks institusional. Kajian ini mengajarkan bagaimana siswa memahami tindak tutur di dalam lingkungan sosial, piranti tuturan apa saja yang digunakan, dan apa tujuan institusi di mana siswa bertindak tutur. Lebih rinci, kajian ini meneliti bagaimana siswa merupakan bagian insider dan outsider dari settingan lingkungan sekolah. Bahasan makalah ini dilengkapi dengan contoh-contoh yang terkait dengan topik bahasan. Pada bagian akhir dibahas topik genre multimedia terkait dengan jenis-jenis dan proses pencariannya.

Kata kunci: setting,  genre ujaran, institusi, multimedia

A.     Pendahuluan  
Bertahun-tahun telah dilakukan penelitian oleh para ahli dengan cara mengkombinasikan teknik etnografi seperti observasi-partisipan dengan analisis diskurs genre profesional dan institusi yang menggunakan bahasa tertulis maupun lisan. Akan tetapi, saat ini para ahli mencoba mengembangkan pendekatan etnografi kritis berkaitan dengan struktur sosial dan kekuatan hubungan yang tidak harmoni dalam suatu komunitas, etnik, gender, atau hal-hal lain yang tidak simetris yang terjadi secara tiba-tiba dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, para peneliti menggunakan teknik observasi terhadap siswa atau partisipan dalan diskurs dan genre tuturan tertentu.

B.     Pembahasan
1.    Setting,  Genre Ujaran, dan Praktik Organisasi Institusi
a.      Analisis Genre dalam konteks ranah etnografi
Analisis genre merupakan pandangan terhadap pemahaman pengguna bahasa pada momen yang tepat  dalam setting tertentu. Konsep ini dikenal juga dengan istilah  genre knowledge.  Dengan kata lain, genre knowledge merupakan pemahaman secara tidak langsung terhadap prilaku sopan, tenang dan terkontrol dalam suatu momen tertentu dalam menanggapi tanda-tanda kontekstual dari setting tertentu.Pandangan pengetahuan genre mengenai budaya dan  sensitif konteks merupakan pusat perhatian dari analisis genre. Berkaitan dengan prinsip Tom Huckin, Berkenkotter menjelaskan lima prinsip sebagai berikut.
·         Dynamism. Genre merupakan bentuk retorik dinamis yang dikembangkan dari respon pelaku terhadap situasi berulang-ulang dan pengalaman yang stabil dan memberikan koheren dan makna terhadap situasi tersebut. Genre berubah melampaui batas waktu dalam merespon kebutuhan sosiokognitif
·         Situatedness. Pengetahuan genre berasal dari dan melekat pada partisipasi dalam aktivitas komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan kehidupan sosial. Dengan kata lain, pengetahuan genre merupakan bentuk kognisi situasi yang berlangsung terus menerus untuk mengembangkan partisipasi dalam aktivitas lingkungan budaya.
·         Form and Conten. Pengetahuan budaya menggunakan bentuk dan konten kedalam nilai rasa untuk memahami konten yang tepat kepada tujuan   situasi,  dan waktu tertentu.
·         Duality of Structure. Aturan-aturan genre mampu mengikat aktivitas profesional. Kita merupakan struktur sosial (secara konteks profesional, institusional, dan organisasi) dan secara spontan menghasilkan struktur-struktur ini.
·         Community Ownership. Konvensi genre menunjukkan norma, epistimologi, ideologi, dan sosial ontologi sebuah komunitas dan sosial.[1]
Berdasarkan kajian terdahulu mengenai genre institusi dan profesional ini , ada beberapa asumsi yang dikemukakan oleh Berkenkotter, yaitu.
1). Sistem genre memainkan peran di antara properti struktur institusional dan tindakan komunikasi individu.
Berkaitan dengan gagasan “intermediate role” menurut Gunthner &Knobaugh
 “genre komunikasi dan repertoire tidak dapat dipisahkan dari fitur struktur sosial dari sebuah komunitas. Mereka dihubungkan antara stok pengetahuan subjektif dan komunitas struktur sosial. Genre memenuhi fungsi penting dengan mengkopinya, transmisi, dan tradisionalisasi dari pengalaman intersubjektif kehidupan dunia. Di sisi lain, mereka menfasilitasi transmisi pengetahuan; ekspektasi harapan mengenai apa yang dikatakan. Di sisi lain, mereka merupakan substansi secara sosial yang dapat melebur dengan proses komunikasi yang hanya proses tersebut dapat diharapkan sesuai dengan genre yang relevan terhadap pelaku sosial.[2]

            Dari prespektif ini, genre dan sistemnya dapat dikatakan merupakan inisiasi melalui mikrolevel pelaku, situasi praktis-struktur sosial dan relasi institusional. Pengetahuan mengenai ini merupakan pemahaman tidak langsung mengenai sistem simbolik dan komunikasi genre–pengetahuan praktis dan mutualisasi diantara anggota disiplin atau profesional tertentu. Hubungan sosial/institusional menyeberangi waktu dan dan tempat yang merubah teknologi dan perubahan komunikasi institusi, meningkatkan perpaduan genre di dalam relasi aktivitas mikrolevel. Jadi, analysis kerangka konseptual harus memiliki banyak dimensi yang memasukkan:
-       Pelaku+tujuan (objek)
-       Alat-alat (teknologi dan sistem simbolik)
-       Aturan konstitutif
-       Tanda-tanda dari sejarah budaya praktis, umpayanya, bagaimana aturan-aturan tersebut telah dilengkapi di masa lalu.
2). Salah satu alat untuk mengidentifikasi teks dalam sistem genre adalah aktivitas intertekstual.
Teks dilihat sebagai sistem genre yang responsif sebuah index atau antisipasi teks lain (teks bisa dalam bentuk lisan maupun tulisan). Sebagaimana Fairlough mengemukakan bahwa konsep intertekstualitas menunjukkan produktivitas teks, bagaimana teks mentransformasi teks terdahulu dan merekonstruksi keberadaan konvensi (genre, diskurs) untuk menggeneresasi bentuk baru.[3]
Sementara itu Gunnarsson mengungkapkan bahwa konsep intertekstualitas menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas bahasa tulis dan bahasa lisan dalam sebuah organisasi jaringan komunikasi. Umpanya dalam perusahaan konsultasi industri, proposal dikirimkan ke klien merupakan hasil berbagai hubungan genre: oral,tulis, media elektronik.[4]
3). Konsep sistem genre mampu menganalisis secara diskursif komponen penting dari sistem aktivitas manusia
Kajian hubungan intertekstualitas praktik tulis dan percakapan cenderung terpusat pada pelaku seperti analisis interaksi percakapan atau fitur dan konvensi teks. Berkaitan dengan analisis ini, hal itu memudahkan untuk meregulasi berbagai macam bentuk konteks dengan kajian situasi aktivitas dimana terjadi, setting fisik seperti apa, materi-materi yang tersedia, struktur sosioekonomi dari profesi atau organisasi, sejarah praktis, latarbelakang pengetahuan partisipan, hubungan interpersonal antara partisipan umpamanya dokter/pasien, terapi/klien, perawat/dokter), ko-teks, dan sebagainya.
Salah satu cara untuk mengobservasi elemen-elemen yang berbeda atau dissonances dalam setting aktivitas seperti bank, sekolah penitipan anak, sekolah menengah, kafetaria, tempat relli motor adalah dengan cara mengamati pelaku yang ada dalam setting tersebut. Artinya, peneliti menggunakan beberapa kombinasi penelitian seperti, etnografi, studi kasus dengan teknik (oberservasi partisipan, interview etnografi semi-struktur atau tidak terstruktur, rekaman video-tape atau audio interaksi lisan partisipan, dokumentasi foto, koleksi artifak partisipan dan sebagainya) diidentifikasi keberadaan jenis multivoicedness dan inner contradictions dalam setting institusional. [5]

b.    Setting Institusional sebagai Sistem Aktivitas
Kelas dapat digunakan sebagai setting sekaligus sistem aktivitas. Maksud dari pernyataan tersebut yaitu kelas dapat berperan sebagai setting ditinjau dari isyarat atau tanda kontekstual yaitu bahasa, dan orientasi tubuh seperti gerakan tubuh (gesture), juga susunan atau pengaturan bangku, kandang hewan, meja-meja laboratorium, OHP, slide projector,  gelas-gelas praktikum, mikroskop, papan tulis, serta komputer
Pada setting tersebut siswa dari berbagai usia akan memperoleh praktik yang bervariasi serta perilaku mereka akan mengikuti aturan sekolah. Thomas Luckman menyatakan bahwa sosialisasi  budaya sekolah negeri/umum  bisa menjadi sangat sulit untuk beberapa siswa. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal,  antara lain 1) interaksi sosial yang bersifat institusional diawasi dengan sangat ketat, 2) sehingga akibatnya wilayah kehidupan sosial siswa cenderung menunjukkan tingkat toleransi yang rendah pada prosedur yang dibangun, 3) institusi mengatur fungsi utama kehidupan sosial seperti produksi dan distribusi peralatan, reproduksi, melatih kekuatan dan konstruksi makna yaitu legitimasi tatanan sosial dan koherensi kognitif bagi kehidupan individu dalam masyarakat. Institusi memiliki lokasi khusus pada ruang sosial dan waktu di mana mereka dapat dipandang juga sebagai kesatuan personil khusus, atau yang paling penting mereka merupakan “kode aksi (‘code’ of action’)” [6]
       Pusat dari kode aksi tersebut adalah genre ujaran di mana mereka membangun sarana mediasi organisasi dan komunikasi. Dengan kata lain, genre ujaran menyediakan praktik mediasi pada setting institusional (yang disebut activity system). Fokus pada topik ini adalah meskipun baru-baru ini peneliti genre Amerika Utara tertarik pada teori aktivitas Neo-Vygotsky, namun mereka tetap mengacu pada dimensi teoritis. Untuk segala macam tulisan terkait teori aktivitas dan hubungannya dengan analisis genre secara konseptual, kita sebenarnya telah mengetahui cara setting institusional dan genre-genre yang ditemukan pada setting khusus bersifat mengatur. Oleh karena itu, muncul argumentasi terkait pentingnya teori perspektif  Luckmann dan secara khusus gagasannya bahwa “setting institusional memiliki fungsi perngorganisasian diskursif”,  [7] yaitu fungsi yang dipakai secara umum (untuk penutur asli) dan sensitivitas konteks, praktik linguistik dan perilaku.
      
2.    Setting and Praktik Sosial Institusional yang Terorganisasi
Berikut beberapa contoh ilustrasi interaksi sosial yang bersifat institusional sesuai dengan penjelasan Luckmann. Contoh-contoh ini menggambarkan bagaimana sekelompok anak-anak dan remaja dikontrol secara ruang dan waktu pada dua setting institusi yang cukup berbeda, yaitu sebuah kelas dan ruang makan di sebuah Sekolah Montessori di kawasan Boulder, Colorado serta setting yang bervariasi pada Sekolah Menengah perkotaan di wilayah kota Midwestern.
Pada setting pertama, anak-anak belajar untuk memaknai dalam konteks peralatan dan barang-barang artefak (bahan alami), genre, dan petunjuk kontekstualnya. Pada setting kedua yaitu setting aktivitas di Sekolah Menengah seperti ruang senam (gymnasium), kantin, dan kelas bahasa Inggris, peneliti berfokus pada kemampuan siswa untuk membangun (atau sekaligus diatur oleh) kehidupan sosial sepanjang dimensi keluar masuknya (inclusion and exclusion). Kita akan melihat bahwa organisasi kelompok pada ruang ini tanpa disadari mencapai agenda sosial dan politik yang nampaknya melalui ‘kegiatan sehari-hari’. Pada praktik sehari-hari dan ‘apa yang semua orang ketahui’ inilah struktur sosial diangkat dan dipertahankan.
Kecakapan Membaca dan Menulis: “Bears Walks Around the Sun 4 Times in
a Boulder Montessori School Classroom”

Berikut penjelasan Berkenkotter terkait contoh ilustrasi interaksi sosial yang bersifat institusional di sebuah Sekolah Montessori di kawasan Boulder, Colorado. Pada setting pra-sekolah (Preschool) ini kita dapat melihat dengan sangat jelas bagaimana bahasa dan makna dibentuk dengan memposisikan sekelompok anak-anak secara fisik di sekitar peralatan/piranti dan benda-benda artefak (berbahan dasar dari alam sekitar). Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana praktik keaksaraan (literacy) diwujudkan secara literal pada anak-anak sebagai bagian dari proses akulturasi dalam praktik ‘bersekolah’ dan sangat disarankan bahwa keaksaraan sekolah dan wacana sekolah merupakan dua hal penting yang harus diangkat melalui praktik nyata pada anak-anak di usia dini. Foto-foto berikut ini menggambarkan sebuah acara keaksaraan anak-anak pra-sekolah di mana anak-anak memperoleh pengetahuan terkait konsep-konsep ilmiah melalui aktivitas nyata dan orientasi kolektif terhadap piranti (termasuk bahasa) dan benda-benda artefak.
Pertama, latar belakang singkat perlu tersedia. Setting pra-sekolah pada ilustrasi ini merupakan salah satu dari  delapan atau sembilan taman kana-kanak di wilayah Boulder. Anak-anak yang bersekolah di sini sebagian besar merupakan kaum Kaukasus (Caucasian) dan berasal dari kelas menengah, namun ada sejumlah kecil campuran Asia-Amerika, Afrika-Amerika, dan Hispanic (Amerika Latin). Dalam sehari, kegiatan sekolah dibagi menjadi beberapa kegiatan belajar yaitu kegiatan outdoor di luar kelas, sebagai masa transisi untuk anak-anak antara rumah dan sekolah. Berikut foto anak-anak yang baru saja diantar oleh orang tuanya.
Gambar 1. Variasi percakapan anak-anak tertanam pada aktivitas fisik dengan
                   mediasi situasi yang tertata [1]

Gambar tersebut menjelaskan situasi di mana variasi percakapan anak-anak (seperti genre ujaran) menyatu dalam activitas fisik mereka dan dimediasi oleh benda-benda artefak yang telah diatur dan disiapkan.
             Oleh karena itu petugas observasi mengambil kesempatan untuk mendengarkan percakapan pada saat anak-anak main ayunan atau ujaran-ujaran anak-anak yang bergelantungan di monkey bar, tawa canda, dan teriakan (atau tangisan) yang muncul secara spontan. Hal penting yang perlu dicatat adalah
Gambar 2. Observasi percakapan anak-anak pada saat bermain ayunan [1]

‘bahasa menyatu dalam aktivitas, aktivitas dilakukan pada setting yang berbeda, di mana masing-masing aktivitas merupakan konteks semiotik yang kaya akan petunjuk-petunjuk perilaku jasmani dan bahasanya’. [2]
Berpindah dari  lapangan bermain ke salah satu dari dua ruang kelas yang tersedia untuk anak-anak pra-sekolah, setiap anak akan melihat setting yang dirancang untuk pengayaan pendidikan anak-anak, dipenuhi dengan peraatan dan benda-benda artefak untuk menciptakan keingintahuan anak yang meliputi buku, permainan kata, puzzles, bahan untuk mewarnai dan menggambar, sandaran papan tulis, cat, kapur, pensil warna, bentuk geometris datar untuk menggambar, bentuk geometris tiga dimensi, gunting, tali, kertas lipat, sebuah kandang dengan babi Guinea, dan lain-lainnya. Namun demikian, hal yang paling menonjol bagi petugas observasi adalah dua lingkaran konsentris, masing-masing lebarnya dua inci, terbuat dari plester warna biru terang ditempelkan di karpet pad kedua kelas. Selain itu, terdapat juga peralatan dan benda-benda artefak atau tiruan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti palu dan paku, sapu, sabun cuci piring dan handuknya, bak cuci piring ukuran kecil, dan sejumlah peralatan serta artefak rumah tangga lainnya.
            Anak-anak menciptakan transisi antara aktivitas outdoor dan ruang kelas dengan membuat lingkaran di awal kegiatan sekolah. Kadang-kadang bentuk aktivitas ini diawali dengan ‘berita pagi’ atau ‘waktu sharing’. Sebelumnya hampir sebagian besar anak-anak bermain di luar (jika cuaca memungkinkan), berlari, bergelantungan di tiang palang (monkey bar), mengerjakan proyek luar kelas dengan pasir, truk, sendok, sekop, atau bermain game.
                                    Aktivitas kebersamaan yang menandakan akhir dari waktu bermain di luar kelas dan mengawali kegiatan di ruang kelas belum dimulai apabila belum semua anak duduk di luar lingkaran biru. Hal ini menunjukkan adanya bentuk fisik seputar bahasa dan perilaku tertentu yang diatur. Anak-anak mulai dialihkan perhatiannya kepada guru atau asistennya untuk melakukan percakapan maupun aktivitas yang tepat pada saat duduk dan berpartisipasi di lingkaran tersebut. Hal ini berarti, asosiasi praktik percakapan di mana anak-anak belajar sangat erat hubungannya dengan duduk bersama di lingkaran. Duduk melingkar di bagian awal membantu mereka ‘transisi’ dari ujaran spontan di lapangan bermain pada genre ujaran kelas Montessori yang secara lebih sadar diorganisir dan diatur (institusional).
Gambar 3. Anak-anak mengganti tanggal pada kalender yang tersedia di kelas [1]

Foto 3 hingga 7 menggambarkan rangkaian aktivitas institusional, perayaan ulang tahun ke-4 Bear. Pada pagi tersebut Bear seorang anak pergi menuju ke kotak berisi kertas bertuliskan nomor dan mengambil nomor 28 dan menempelkannya di kalendar. Jam dinding menunjukkan waktu sekolah telah dimulai , pukul 9.10 pagi.
Gambar 4. Guru meletakkan lilin di tengah lingkaran [1]

Pada Gambar 4, gurunya Bear, Joyce meletakkan sebuah lilin dalam sebuah wadah berbentuk matahari sebagai pusat dari kedua lingkaran tersebut (bagian dalam yang bisa dilihat), dan ia  menempatkan kartu-kartu bertuliskan nama bulan mengitari ‘matahari’. Kegiatan ini merupakan tradisi yang hampir semua anak sudah terbiasa (kecuali pendatang baru) jadi mereka cukup tenang sambil melihat kegiatan tersebut.

Gambar 5. Bear berjalan mengelilingi matahari [1]
Bear mulai berjalan mengitari matahari. Ia mengelilingi bola dunia yang menyala sebanyak empat kali, sekali putaran mewakili satu tahun dalam hidupnya. Ini merupakan contoh aktivitas nyata yang disaksikan oleh anak-anak di institusi ini. Activitas Bear ini memberi kesan sebuah genre campuran (hybrid genre); Bear merayakan ulang tahunnya dengan serangkaian ritual, namun rangkaian ritual  tersebut juga merupakan proses pembelajaran sains karena Bear mendemonstrasikan revolusi bumi terhadap matahari.
                        Terdapat dua poin penting dari kegiatan ulang tahun Bear tersebut, yaitu 1) ruang kelas sebagai setting institusional merupakan setting aktivitas di mana  terdapat peralatan, benda-benda artefak, genre ujaran, dan setting tersebut bersifat mengatur, dan 2) praktik keaksaraan di mana kita dapat melihat anak-anak yang terlibat diterjunkan dalam situasi ‘kerja’ dan struktur partisipasi kelas.
Gambar 6. Meja di ruang makan ditata untuk Pesta Ulang Tahun [1]

                        Di ruang makan meja diatur untuk pesta ulang tahun. Anak-anak bercakap-cakap dengan lebih spontan di setting ini kontras dengan situasi percakapan melingkar, namun demikian di sini anak-anak terbiasa untuk menunjukkan serangkaian tindakan di mana percakapan diorganisir.
Gambar 7. Genre “Table Talk” [1]

                        Bahkan dalam setting yang tidak terlalu terstruktur anak-anak Montessori telah terbiasa dengan struktur partisipasi, atau genre ujaran yang diatur dengan benda-benda artefak, peralatan, dan settingnya. Kita dapat menyebutnya Genre “Table Talk”.
Gambar 8. Setelah selesai makan, anak-anak dikondisikan membereskan ruang
                  makan dan mencuci piring-piring kotor [1]

Pada bagian akhir rangkaian foto ulang tahun Bear ini, anak-anak tampak membawa piring kotor mereka ke tempat cuci piring, membilas, dan menyusunnya di bak plastik untuk dibawa ke dapur. Melalui kegiatan bersama ini mereka dikenalkan  pada perilaku dan percakapan yang tepat secara situasional di sekolah dan di rumah. Percakapan dan aktivitas anak-anak di mana percakapan tersebut diorganisir dipicu oleh 1) arah atau tujuan aktivitas, dan 2) peralatan dan gerakan jasmani asli/nyata pada aktivitas tersebut.
Kelima foto terakhir menunjukkan suatu “rangkaian aktivitas institusional” di mana anak-anak melalui partisipasinya dikenalkan pada praktik dan rutinitas sekolah umum. Anak-anak yang masuk taman kanak-kanak tanpa mengetahui bagaimana untuk ‘bersekolah’ memulai pekerjaan sekolah mereka di sekolah dasar dengan serangkaian tunggakan/hutang pekerjaan. Mempelajari genre sekolah secara lisan dan tertulis lebih dari sekedar perjanjian luaran saja tetapi pada 1) penanaman pada setting (outdoor vs. Indoor), 2) aktivitas yang terjadi di setting (misalnya menangkap bola, bermain ayunan, 3) duduk melingkar di aktivitas kelompok seperti ‘berita pagi’ atau ‘tunjukkan dan beri tahu), 4) tujuan aktivitas (seperti pembelajaran sains melalui perayaan ulang tahun). Hal yang menonjol  dari foto-foto tersebut adalah pengembangan di mana praktik keaksaraan berbasis sekolah ditiru oleh anak-anak usia 3 hingga 4 tahun pada level orientasi jasmani atau memposisikan pada hubungannya dengan benda-benda artefak dan peralatan.
Dalam hal ini perjalanan Bear dapat dipandang sebagai bentuk ‘pembelajaran nyata’ di mana tradisi/ritual tersebut memberikan contoh konsep sains formal bagi Bear dan teman sekelasnya. Dengan berlatar belakang implikasi ideologis dari gerakan Bear sebagaimana orientasi jasmani anak-anak lain di mana mereka berpindah dari lapangan bermain ke ruang kela, kita dapat melihat bagaimana watak/habitus seorang anak diatur dalam praktik sehari-hari di Montessori, Boulder.
Anak-anak dalam foto-foto tersebut memang sangat jauh dari tugas dan aktivitas disipliner yang akan mereka alami ketika berada di bangku kuliah, namun bahkan pada usia dini inilah mereka seharusnya mulai memeroleh konsep-konsep praktik keaksaraan di sebuah kurikulum sains. Aktivitas mereka secara semiotik bersifat heterogen, namun dapat kita lihat (atau dengar) cara bagaimana percakapan diorganisir dan tertanam pada serangkaian kegiatan di mana anak-anak tersebut terlibat.

1.  Organisasi Dewan Sosial pada Ruang Adegan dari sebuah Sekolah Menengah Atas di Perkotaan

Pada dasarnya di bagian ini dimunculkan sebuah budaya sekolah inklusi dan eksklusi berlatar belakang metropolitan sebagai sebuah gambaran terkait dengan  perbedaan ras.[2] Thompson merupakan sebuah sekolah yang berada di daerah perkotaan, Midwestern. Siswa yang belajar di Thompson merupakan generasi turun temurun yang berasal dari daerah sekitar. Pertandingan atletik, khususnya permainan hockey merupakan event yang akan dihadiri oleh banyak warga sekitar, bukan karena mereka memiliki hubungan langsung dengan sekolah, tetapi lebih kepada keterlibatan komunitas Thompson dan tradisi atletik yang merupakan bagian penting dari budaya sekolah.
a.    Pengawasan Fisik Siswa dan Fasilitas
Mengelilingi sekolah menengah atas akan memberikan pemahaman besar terkait budaya yang ada di sekolah tersebut, begitu juga yang terjadi di Thompson. Hal pertama akan terlihat adalah kebersihan dan kerapihan fasilitas yang tersedia di sekolah. Mulai dari lantai yang bersih dan locker yang di cat dengan warna merah yang segar. Jika melihat ruang kelas, maka akan ditemukan meja yang bersih terjajar rapi, dan dipastikan tidak akan ditemukan bungkus permen, kaleng soda atau bungkus kripik, atau melihat siswa yang sedang makan di ruang kelas atau lorong sekolah. Pada saat jam makan siang, akan terlihat lihat 3 kelompok siswa yang berbeda masuk dan keluar cafetaria dalam waktu 90 menit, masing-masing kelompok siswa akan membersihkan peralatan makan mereka masing-masing. Pembersihan yang perlu dilakukan di antara pergantian giliran antar kelompok dilakukan cepat oleh pekerja cafetaria dan penjaga gedung. Assisten kepela sekolah menyatakan bahwa, “ Ini adalah sekolah urban yang sebenarnya. Bukan dangerous minds di sekitar sini.” [3]
Pengawasan fisik terkait dengan fasilitas yang ada di Thompson dijaga siswa dengan sangat hati-hati. Termasuk juga pengaturan pada jam makan siang. Thompson memiliki bangunan yang tertutup, hal ini berarti siswa tidak diperkenankan meninggalkan sekolah selama jam makan siang. Thompson juga memiliki jadwal yang terbatas, hanya ada 4 kelas selama satu hari. Banyak siswa yang tidak memiliki waktu luang. Jam makan siang mengambil peran selama periode ketiga di sekolah. Siswa dibagi menjadi 3 bagian periode jadwal makan siang. Masing-masing makan siang di waktu yang telah ditentukan. Jadwal ini memberikan dampak atau implikasi yang penting untuk mengatur siswa sekolah. Dengan waktu istirahat yang sangat terbatas dan tidak adanya kesempatan untuk meninggalkan sekolah, secara alami sekolah dengan cara seperti ini akan lebih mengawasi siswa dibandingkan dengan sekolah yang lebih terbuka dengan waktu 7 atau 8 tahun. Siswa memiliki keterbatasan pada jam makan siang mereka sehingga kesempatan untuk berpolemik dengan kelompok sosial di sekolah sangat sulit dan terbatas.
Pengawasan terhadap siswa juga dapat dilakukan dengan mengawasi setiap lorong sekolah dengan seksama. Jarang melihat siswa berkeliaran di lorong, kecuali selama jam istirahat. Siswa yang meninggalkan kelas harus membawa surat izin dari guru  yang sedang mengajar, sebagai bukti dari izin yang telah diberikan.  Siswa yang terlambat datang tidak diperbolehkan memasuki kelas tanpa surat izin, surat izin tersebut akan memberikan informasi kepada guru terkait dengan jam keterlambatan kedatangan siswa.   

b.    Pengawasan Fisik Pemeliharaan Tradisi dan Sosial/Ras Sekolah
Penyelidikan terhadap upacara penobatan “Winter-Fest” dapat memberikan gambaran terhadap cara pengawasan siswa dan fasilitas sekolah. [4]“Winter-Fest” merupakan Minggu di bulan Februari dimana siswa menyiapkan tarian musim dingin. Acara tersebut merupakan festival selama satu Minggu, peserta berpakaian mewah dan pemberian penghargaan terhadap untuk tarian diberikan. Perayaan ini merupakan tradisi sekolah yang diatur sedemikian rupa oleh guru-guru dan kepala tata usaha.
Perayaan dilakukan beberapa jam di pertengahan jam sekolah. Siswa dibebaskan dari jam belajar untuk menghadiri perayaan tersebut. Upaya untuk mengawasi siswa dan bangunan selama perayaan penobatan termasuk insiden pemukulan, maka pintu gedung senam, tempat penyelenggaran, dijaga oleh siswa ROTC berpakaian lambang kerajaan lengkap dan membawa pedang. Meskipun mereka terlihat memiliki otoritas yang sedikit untuk mencegah orang dari masuk atau duduk di tempat yang salah, mereka masih memiliki image yang kuat. Pertama, mereka terlihat seperti penjaga penjara, menjaga narapidana dalam barisan tetapi lebih penting, karena ini merupakan perayaan penobatan, maka mereka terlihat seperti menjaga orang-orang kerajaan di pintu gerbang istana. Hal ini menarik, karena integritas tradisi sekolah terkait dengan perayaan penghargaan merupakan hal yang mereka lindungi. Tugas utama dari siswa ROTC adalah memastikan bahwa siapa saja yang memasuki ruang senam menggunakan tanda pengenal. Guru menyatakan bagaimana proses ini bekerja,
Siswa harus membeli button untuk masuk seharga $1 dengan 2 tujuan, pertama adalah untuk pengumpulan dana dan kedua adalah bagi siswa yang tidak suka menghadiri pagelaran maka diberikan jalan keluar. Siswa yang tidak menghadiri perayaan dikumpulkan di dalam satu ruangan di sekolah untuk menonton film atau video. Juga diketahui beberapa siswa yang tidak mengikuti pagelaran memilih meninggalkan sekolah meskipun itu berarti menentang peraturan sekolah. Hal ini merupakan salah satu cara bagi petugas administrasi untuk “self-weed the riff raff” dan juga merupakan cara untuk siswa menunjukkan bahwa, “saya tidak akan membeli button yang tidak ada harganya”[5]

Upaya ini untuk menjaga perayaan merupakan hal yang berhasil, meskipun ada sedikit perlawanan dari sebagian siswa. Orang tua atau pengunjung sekolah yang berjalan untuk melihat pertunjukan tersebut berasumsi bahwa penonton adalah keseluruhan siswa yang menyatu mendukung siswa yang dimahkotai penghargaan. Yang disadari adalah hanya ada satu upaya untuk bertahan sebagai bagian dari kelompok kecil siswa Afika-Amerika, meskipun tidak disadari sebagai upaya bertahan  tetapi menunjukkan antusiasme yang tidak sesuai, yang didiamkan dengan cepat oleh kepala sekolah,
Kepala sekolah duduk dekat podium. Terlihat beliau memperhatikan siswa-siswanya yang bertepuk tangan dan bergoyang. Dia memberi tanda ke guru lain yang segera mendiamkan siswa yang mengganggu. Ada guru yang ditempatkan di bagian siswa untuk menangani hal semacam itu. [6]

Pada kenyataanya ada siswa di Thompson yang tidak mendukung perayaan tersebut. Bagaimanapun siswa-siswa tersebut pada dasarnya sudah diberdayakan oleh bagian administrasi untuk tidak hadir.
Banyak siswa kulit putih yang  terlibat dalam perayaan meskipun sangat sedikit sekali siswa asing. Contohnya 20-25 anak perempuan ikut serta, 3 dari mereka berasal dari Asia, Afrika-Amerika dan Latin. Melihat ke dalam kelas dimana siswa yang memilih tidak menghadiri perayaan tersebut dapat memberikan petunjuk terhadap siswa yang bertahan,
Saya menyadari kelas yang gelap terdapat banyak siswa yang menonton film dibintangi Bruce Willis. Dengan jelas, ini merupakan kelompok siswa yang memilih untuk tidak pergi ke pagelaran. Saya melihat beberapa hal terkait dengan siswa-siswa ini. Pertama, mayoritas dari mereka adalah “berwarna” hal kedua, dua orang siswa perempuan kulit putih mencoba mngerjakan tugas dalam gelap dan yang ketiga adalah banyak siswa yang tidur tetapi tidak satupun berbicara. 

Penjelasan yang memungkinkan dari kajian ini adalah, pihak sekolah ingin menjaga tradisi dan kesadaran untuk menyatukan dan mengawasi siswa Siswa Afrika-Amerika yang menghadiri perayaan ini tetapi bersikap tidak sopan merupakan contoh sempurna siswa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan pihak sekolah. Ini bukan issue yang sederhana. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa manuasiawi untuk memperbolehkan siswa yang tidak mendukung perayaan. Bagaimanapun, argumentasi dapat dibuat jika event besar yang didukung oleh sekolah lebih inklusif, perbedaan siswa yang lebih besar mungkin memilih untuk terlibat. Tradisi di Thompson dibuat melalui nilai dan norma siswa dan komunitas kulit putih. Perubahan demografi yang terjadi selama bertahun-tahun mengakibatkan perubahan kecil pada tradisi ini, tradisi ini memberikan hak istimewa terhadap siswa kulit putih karena mereka paling mudah mengikuti nilai tradisi ini. Sebagai tambahan, untuk melindungi tradisi ini di sekolah, pemerintah mendukung norma dan nilai dari siswa kulit putih. Sebagai hasilnya, muncul siswa berwarna yang ditempatkan di lingkaran luar budaya sekolah, sementar siswa kulit putih lebih memiliki kekuatan.
             Dalam observasi di cafetaria selama jam makan siang, Dan (guru di Thompson) menyadari fenomena yang sama. Dengan beberapa pengecualian kecil, siswa mengelompokkan diri mereka berdasarkan ras. Berdasarkan salah satu siswa, siswa-siswa kulit putih yang paling terkenal duduk di tengah cafetaria, sementara ras dan kelompok sosial lain duduk di lingkaran luar,
Saya menyadari bahwa, Ron, seorang siswa masuk ke cafetaria dan berdiri dengan saya. Saya mengucapkan hello. Saya bertanya apakah dia berpikir bahwa ada sebuah pola terkait cara anak-anak duduk saat makan siang. Dia mengatakan bahwa ya, tanpa ragu. Dia mengatakan bahwa anak-anak yang populer akan duduk di tengah dan anak-anak yang “biasa” akan duduk di sisi lain. Dia mengatakan, anak-anak Asian, duduk bersama, “kecuali jika kamu keren”, maka kamu bisa duduk di tengah. Saya bertanya mengapa anak-anak yang terkenal duduk di tengah. Dia mengatakan karena merupakan bagian tengah atau pusat dari segalanya dan tempat dimana mereka selalu ada.[7]

Saya menyadari pola yang sama saat melakukan observasi di kelas (di kelas dimana siswa memilih tempat duduk mereka sendiri).
Di bagian baris tengah di kelas terdapat 4 orang anak perempuan kulit putih. Di barisan kiri, terdapat 2 orang anak perempuan kulit putih, dan dibagian depan juga anak perempuan kulit putih. Di bagian belakang ada seorang anak perempuan Afrika-Amerika. Di barisan kanan tengah ada permainan basket dihadiri oleh anak perempuan lain di bagian depan, diikuti anak laki-laki kulit putih. Gina dan kayla yang keduanya anak kulit putih, dan anak perempuan kulit putih lain dan seorang anak laki-laki kulit putih. Di barisan dekat pintu, duduk semua anak Asia dan Afrika-Amerika.
Dari contoh ini, maka sebagian besar siswa kulit putih duduk di 3 barisan tengah dan di kursi depan, sementara banyak siswa kulit berwarna yang duduk di belakang atau sisi lainnya. Juga dicatat fakta bahwa permainan basket dihadiri oleh populasi siswa yang sebagian besar adalah keturunan Afrika-Amerika (populasi Afrika-Amerika di sekolah secara keseluruhan adalah sebanyak 17%), diluar fakta bahwa 7 pemain adalah Afrika-Amerika, 5 pemain adalah kulit putih dan 1 pemain adalah siswa Latin. Hal ini terlihat karena hockey dianggap sebagai pusatnya olahraga di sekolah yang didominasi oleh kulit putih (tahun ini hanya ada 1 siswa kulit berwarna, seorang laki-laki Latin yang populer). Permainan basket didominasi kelompok Afrika-Amerika, dan merupakan segmentasi mereka, tetapi ada kecenderungan bahwa siswa kulit putih mengatur mereka karena siswa kulit putih menjual tiket pertandingan, membuka stand dan bermain band selama pertandingan.
             Pada contoh yang terjadi di ruang kelas, cafetaria dan pertandingan basket, nampak jelas bahwa ada banyak alasan mengapa pemisahan muncul. Tidak ada jawaban yang sederhana mengapa hal tersebut muncul di kelas. Tetapi bagaimanapun pola ini terjadi, jelas bahwa Thompson merupakan sekolah yang memiliki latar belakang perbedaan, terdapat bukti yang menyatakan bahwa siswa jarang berinteraksi secara ras. Jadi ketika siswa kulit putih di Thompson melihat mereka berbeda dari siswa kulit putih di daerah pinggiran kota karena kondisi fisik yang berdekatan dengan siswa kulit berwarna, mereka mungkin memiliki keterbatasan pengalaman terkait dengan isu ras. Kekurangan interaksi antara kelompok rasial dapat dilihat dari wacana yang terjadi di kelas.
             Melihat diskusi siswa, terlihat bahwa siswa kulit putih berjuang untuk menemukan kata yang tepat ketika bicara soal ras. Contohnya Katrina, seorang siswa kulit putih yang berupaya untuk menjelaskan bahwa banyak kerabat mereka yang memiliki pandangan yang rasis karena mereka kurang berinteraksi dengan orang yang berwarna.
KL (student):=I thought of it as (.) almost like the whole (.) I thought about like, hh you know, the^field^trip? And like how we’re going to go and IF SOMEONE FROM LIKE PRAIRIE HILLS, like they’re (.) .hh so used that (.), one whatever and then came ^water? (.) you know the ones that can’t survive /here=

DP (teacher): What do you think they’d freak out about? =Like I was trying to
think=

KL:                     =Just (.) the whole= diversity, I mean =people= get weird about that like family that lives out in like (.) out there and they
=(cough)=
live you know =like=, they go to like (.) just (.) basically all white schools and then

FS [first student]: =heh heh=
they’re like “o:h, do you have (.) ^these ^people?” It’s like, “Yeah, they’re just like people like/us.” They act like they’re not human and I think they’d kind of like freak out if they /came /here. *That’s what I =think*=

Sejumlah pola muncul disini, pertama Katrina berusaha menemukan kata yang tepat untuk berdiskusi terkait dengan ras. Dia mengatakan bahwa ras merupakan “the whole diversity.” Dia juga menghindari menggunakan kata yang berbau rasial untuk menunjukkan orang yang memiliki kulit berwarna, Dia lebih cenderung menggunakan “these people”. Sebagai tambahan, dia membuat referensi dengan menggunakan metapora untuk menggambarkan bahwa keseluruhan kelompok masyarakat mendiskusikan ras, water is to fish as culture is to people, serta menggunakan pandangan keluarganya sebagai cara untuk menunjukkan bahwa dia adalah non-rasis.[8]
               Hal yang memungkinkan adalah selalu menjaga fasilitas sekolah, siswa dan tradisi sekolah, komunitas sekolah menolak transformasi budaya akibat pergeseran demografi dalam komunitas dan sekolah selama lebih dari 15 tahun. Daripada menjadi tempat dari keanekaragaman yang seharusnya, Thompson merupakan tempat dimana budaya kulit putih tumbuh. Kelompok yang relatif baru di sekolah menjadi hal yang kurang penting. Ketika rasial ragu dan tidak memahami yang dilihat dalam wacana kelas, alasannya menjadi jelas. Thompson mungkin merupakan sekolah yang memiliki keanekargaman secara demografi tetapi secara inteaksi antara ras sangat minim. 

a.    Perwujudan Kontrol Fisik sebagai Kontrol Intelektual
Pengertian dari pengawasan fisik yang menyeluruh pada siswa-siswa dan fasilitas di Thompson dalam kasus yang diwujudkan oleh mereka sendiri sebagai pengawasan secara intelektual pada tingkat ruang kelas. Pada beberapa peristiwa, peneliti mengobservasi kelas yang siswa-siswanya terlihat tidak nyaman ketika kebebasan untuk berpikir dan berpendapat secara kritis dibuka. Suasana yang tenang dan nyaman dikembalikan ketika ruang kelas menjadi pasif, guru langsung mengambil alih lingkungan kelas.
       Dalam sebuah kasus peneliti mengobservasi seorang guru yang mencoba untuk mengatur pembukaan sebuah diskusi yang berjudul The Catcher in the Rye dalam kelas 11 bahasa Inggris reguler. Ketika siswa-siswa terlihat cukup bergairah dengan kelanjutan diskusi tersebut, mereka terlihat memiliki pengalaman yang sedikit dalam tipe dari intelektual dan kebebasan fisik untuk menyuarakan pendapatnya. Kemudian, diskusi  tersebut tidak berjalan sukses seperti yang tergambar berikut:
Terdapat dialog antara Angie, di bagian belakang ruangan dan James yang duduk di bagian depan. Mereka berdiskusi dalam percakapan yang tidak terkendalikan. Angie berargumen. Siswa-siswa dengan cepatnya beralih ke arah debat, tetapi debat menjadi seperti percakapan antara beberapa siswa, setiap siswa ingin berbicara. Guru segera menghentikan dialog. James dan Angie tetap mencoba untuk berbicara lagi. Beberapa waktu mereka mencoba untuk berbicara dengan keras di antara mereka. Guru pun segera mengontrol dan memangil siswa-siswa untuk berbicara.[9]

Setelah mencoba untuk membuat diskusi ini terlaksana, guru mencoba strategi yang berbeda yaitu :
   Guru memerintahkan siswanya untuk membuka buku pada halaman yang utama. Guru  dengan sangat lembut berbicara pada setiap siswa untuk tidak membicarakan hal yang ada pada halaman 38 untuk beberapa menit. Siswa dengan cepat menjadi diam dan membuka buku mereka.[10]

Ketika siswa terlihat tertarik dan bergairah untuk menyatu dalam kelas diskusi, mereka terlihat nyaman dan dengan biasa  guru langsung mengambil alih kelas ketika mereka pasif dalam informasi.
Dalam peristiwa yang lain, peneliti mengobservasi kelas 12 pada mata pelajaran Geometri yang berjumlah 38 siswa. Peneliti merasa terkesan dengan kemampuan guru untuk mengatur dan mengontrol kelompok siswa yang besar.
Guru yang memiliki seorang siswa yang membaca dengan suara rendah ketika dia mendemonstrasikan masalahnya di papan tulis. Beberapa siswa terlihat menyimaknya. Adapula siswa yang tidak menyimaknya.dan kelihatan tidak tertarik, tetapi mereka memiliki buku  dan tidak mengganggu satu sama lain.[11]

Peneliti percaya pada kemampuan guru untuk mengontrol aktivitas fisik siswa  yang mungkin tidak sepenuhnya positif yang dimungkinkan karena kurangnya aktivitas intelektual pada sebagian siswa. Siswa dalam kelas tersebut tidak berbicara untuk melakukan sesuatu yang bersifat intelektual atau sesuatu yang aktif. Mereka lebih memilih diam dan  membuka buku mereka. Jadi, siswa lebih memilih untuk berlaku pasif menerima informasi yang ditawarkan.
          

2.    Multimedia Genre & Proses Pencariannya
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, genre minat semakin meningkat ke arah multimodal yang maknanya tercipta melalui penyebaran sumber, baik ditinjau dari bahasanya sendiri maupun sistem semiotiknya. Semakin berkurangnya batasan terhadap genre dan institusional pada skala waktu yang semakin pendek ditunjukkan dengan kondisi maraknya perselancaran pada chanel TV dari genre yang satu ke genre yang lain, pada website dari institusi yang satu ke institusi yang lain, terjun dalam kehidupan di antara lebih dari satu macam pekerjaan, tugas-tugas, dan bahkan berbagai macam institusi. Pada kondisi ini kita tidak hanya menggabungkan genre terdahulu secara terpisah, tetapi juga menciptakan makna selama proses pencarian genre tradisionalnya. Artinya, genre telah menjadi bahan mentah untuk konstruksi trans-generic yang fleksibel, sumber-sumber makna baru, serta pemahaman berorientasi eksternal. Meninjau genre dari sudut pandang kontemporer atau modern  ini memberikan gambaran fenomena genre ditinjau dari perspektif fungsional baru.
            
a.    Multimedia Genre
Semua genre tertulis merupakan multimodal, tidak hanya menyebarkan tanda-tanda sistem linguistiknya tetapi juga sistem makna visual-spasial yang erat kaitannya dengan orthography, typography, dan page layout. Dimensi visual-spasial dari genre tertulis ini secara terus-menerus mendata bagian sintagmatik dari suatu genre yaitu yang bersifat menunjukkan hubungan antara dua atau lebih unit linguistik yang digunakan secara berurutan untuk membuat struktur yang terbentuk dengan baik, misalnya judul, section headers, karakteristik tipografi dan layout dari bagian referensi atau afiliasi pada suatu makalah akademik. Pada genre yang lebih kompleks seperti pada buku teks atau komentar Talmud, artikel pendek di koran (sidebar), kolom artikel, serta sub bagian daftar teks yang menyusun hubungan maknanya.
Persetujuan tipografi seperti font cetak tebal atau cetak miring  secara khusus menunjukkan sikap evaluasi makna yang sama pentingnya dengan metalinguistik seperti mendaftar istilah-istilah teknis baru. Pada dokumen yang diedit, pensil biru, coretan merah, highlight kuning, koreksi interlinier, koreksi marginal, dan lain-lain juga mengikuti persetujuan genre khusus dengan para-tekstual yang menyeluruh. Hal tersebut di atas menjadi titik tolak elemen-elemen ekstra-tekstual visual seperti tabel, grafik, diagram, dan gambar.
Orang berpendapat bahwa gambar atau figur grafis bersifat tidak wajib terutama pada genre tekstual, namun meskipun demikian banyak kasus yang memasukkan elemen-elemen tersebut dan bahkan diharuskan pada persetujuan khusus genre atau di berbagai macam genre seperti artikel dan laporan penelitian ilmiah cetak (print) didokumentasikan dengan sangat baik. Pada genre ini seringkali muncul kasus di mana makna elemen terpenting diperoleh dari grafik, tabel, diagram, skema, peta, foto, dan elemen gambar lainnya atau dari kombinasi elemen tersebut dengan teks sehingga tidak berlebihan pada teksnya sendiri.
Dapat kita jumpai genre teks intelektual akademis yang lama, dibangun dengan sangat baik dan perlu dihargai. Pada teks tersebut kita tambahkan berbagai macam genre budaya secara besar-besaran dari abad ke-19 dan ke-20, yaitu lukisan, ukiran, dan terakhir foto-foto sepanjang sejarahnya, juga buku-buku komik di mana untuk pertama kalinya sebuah genre cetak yang penyusunannya ditentukan oleh rangkaian gambar dan elemen-elemen tekstualnya yang mendukung seperti pada koran atau iklan-iklan pada koran. Iklan cetak merupakan genre yang harus menyertakan gambar selain teks itu sendiri yang sudah penuh dengan struktur organisasinya.
Inti dari contoh-contoh di atas menunjukkan pentingnya menggabungkan berbagai macam genre di masa yang akan datang. Kemampuan penyebaran teks dan gambar pada komputer telah menyita perhatian konvensi genre tekstual-grafis yang bersifat teknis dan popular dan memperluasnya secara serentak (ubiquity) pada genre yang dapat ditemukan pada CD-ROM, pada software-software pendidikan, pada halaman Web dan Website, dan yang akhir-akhir ini muncul penggabungan genre video dan computer games.[12]
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah “bagaimana kita dapat memperluas dan meningkatkan teori genre untuk menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya elemen makna visual-spasial yang semakin berkembang dan berbagai konvensi di semua genre, khususnya pada elemen-elemen gambar grafis atau konvensi sistem sumber semiotik visual sebagai hal penting untuk mengungkapkan maknanya? Saat ini pandangan tentang genre tekstual yang paling canggih menyediakan akun-akun yang tidak terbatas pada elemen-elemen yang wajib dan opsional, rangkaiannya, dan fungsi dari elemen-elemen tersebut, tetapi juga relatif bersyarat yang kemungkinan transisinya menembus konteks produksi khusus, sirkulasinya, serta pemanfaatannya. Probabilitas bersyarat menggambarkan frekuensi relatif terjadinya fitur-fitur teks opsional yang menembus wilayah co-tekstual dan kontekstual yang sangat bervariasi; kemungkinan transisi yang menggambarkan frekuensi relatif dari penerus yang bervariasi pada susunan teks yang diberikan secara linier untuk mencapai titik pengembangan teks cukup jauh.
Sebuah genre dipertahankan pada konvensi suatu komunitas, di mana  pada hampir semua kasus melayani fungsi khusus dalam sistem praktik institusi dari komunitas tertentu. Bentuk-bentuk pada genre tertentu sebagai teks merupakan tanda adanya praktek sosial di beberapa komunitas pada beberapa institusi, atau setidaknya diakui dan secara terus menerus terjadi pada konteks situasional. Berawal dari sinilah gagasan hebat mengenai genre tersebut.
Model dengan fungsi yang sama sebaiknya dipertahankan pada saat kita membahas sumber-sumber makna visual-spasial dan konvensi genre, apakah tipografinya cukup ketat dengan memasukkan gambar-gambar grafis pada satu jenis gambar tertentu. Kita sebaiknya dapat mengelompokkan probabilitas bersyarat untuk beragam bentuk visual agar muncul pada sebuah genre khusus, dan probabilitas bersyarat sebagai fungsi ada tidaknya suatu bentuk tekstual tertentu. Kita sebaiknya dapat menyatakan kapan sebuah genre tekstual menyisipkan suatu gambar dan apa fungsi gambar tersebut dikaitkan dengan makna tekstualnya serta untuk pengembangan susunan teks secara utuh. Ditinjau dari fungsinya kita ingin dapat menunjukkan secara khusus bagaimana agar elemen-elemen visual grafis berkontribusi  pada makna ide-penyajian, makna sikap berorientasi interpersonal, dan makna tekstual struktural organisasi.
Di sini kita mulai menjumpai beberapa tantangan sesungguhnya terhadap keberadaan model-model genre tekstual di mana genre multimodal muncul. Model-model genre tekstual murni telah memanfaatkan konvensi bahwa teks merupakan mono-sekuensial (linier atau unicursal) pada penyajiannya. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar pada tataran sebuah teks tradisional yang memiliki catatan marginal atau sebuah sidebar kehilangan susunan ketatnya yang unik. Teks utama dan artikel memberikan makna secara paralel, bukan pada rangkaian seri yang ketat. Tidak perlu muncul di sidebar  untuk mengikuti perkembangan semantik yang kohesif pada teks utama dan sebaliknya. Tidak ada poin khusus pada rangkaian tersebut ketika kita menyadari bahwa kita seharusnya telah membaca teks lainnya. Belum lagi maknanya mempengaruhi interpretasi kita tentang lainnya.
                                    Berapa banyak gambar yang seharusnya disisipkan pada sebuah teks terlepas dari apakah gambar tersebut mematahkan alur teks atau bahkan tidak ada maknanya? Sebagaimana telah diilustrasikan sebelumnya, kita memiliki kesepakatan untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai teks utama ketika gambar/figurnya relevan. Banyak teori genre tradisional tergantung pada rangkaian kesepakatan. Kita telah mengetahui bahwa teks akan jauh dari kata ‘linier’ ketika dimaknai sebagai penciptaan teknologi. Perbedaan tema sebuah teks dan tahapan organisasinya yang berbeda, bagian sintagmatik struktural dan rangkaian kohesi serta pengelompokan rangkaian yang dihubungkan secara semantik atau saling memuat dalam bentuk paralel antara satu teks dengan yang lain, dan batasannya secara umum tidak benar-benar sama, seperti halnya pada skor musikal yang menunjukkan lintasan instrumen yang bervariasi secara paralel dalam simfoni tekstual secara keseluruhan. Analisis genre sangat jarang mencapai tingkat kehalusan mungkin karena terdapat konvensi yang cukup ketat mengenai bagaimana simfoni tekstual semacam itu harus diatur sebagai genre khusus. (Sebuah pendekatan genre menggunakan ‘analisis phasal’ akan memberikan tingkat kehalusan deskripsinya).
Namun apabila kita memperluas teori genre untuk memasukkan genre multimodal secara sederhana seperti halnya tekstual-grafis, kita perlu mengembangkan model-model multi-linier atau multi-cursal yang bersifat paralel, atau hubungan makna fungsional di antara elemen-elemen yang mendukung rangkaian pandangan dan interpretasi (misalnya sejauh mana bagian teks dan gambar terkait dapat dimunculkan), tapi tidak secara ketat merangkainya. Lemke berpendapat bahwa hasil karyanya dalam semantik dan organisasi hiperteks menyarankan keterwakilan opsi–opsi bercabang dalam model flowchart genre ujaran menawarkan satu arah terkait dengan paralelisme organisasi genre multimodal. Salah satu pendekatan yang ditawarkan untuk mengidentifikasi probabilitas relatif dari fitur-fitur yang bervariasi dalam unit tekstual yang saling berkaitan, probabilitas transisi atau urutan teks seperti bagian-bagian teks, dan lainnya. Beberapa probabilitas diatur atau dipengaruhi oleh genre, beberapa oleh penulis (misalnya menawarkan suatu tautan atau tidak, ‘mengemudikan’ atau mengarahkan pembaca untuk mengikuti tautan tertentu meskipun terdapat tautan lainnya yang ditawarkan), dan beberapa tautan istimewa bagi pembaca (meskipun terdapat kecenderungan tersendiri terkait karakteristik pembaca, dari komunitas membaca, dan lainnya). [13]
Cara lain menganalisis genre multimodal yang belum dikembangkan yaitu menanyakan pertanyaan kunci sebagai berikut.
·      Apakah bagian sintagmatik teks yang diproyeksikan melalui penyajian tema gambar atau figurnya? Elemen gambar/figur secara khusus relevan dengan elemen teks yang mana, ataukah relevan dengan tingkat variabel, dan mengacu pada hubungan makna apa? Pertanyaan tersebut berfungsi untuk menganalisis relevansi suatu gambar atau porsi gambar dengan teksnya.
·      Apa sajakah bagian tematik organisasi dari gambar atau figur grafis yang diproyeksikan oleh teksnya? Hal ini penting untuk mengarahkan perhatian serta mengidentifikasi hubungan makna yang tersirat. Dan dengan level relevansi atau kedudukan yang mana?
·      Apa saja fitur-fitur dalam teks atau dalam gambar yang memungkinkan menciptakan jenis tautan (link) tertentu dengan elemen gambar atau teks tertentu dengan tingkat probabilitas tertentu. Ini merupakan suatu variasi strategi tradisional dari analisis intertekstual dalam teks yang saling berhubungan.
Analisis ini akan lebih menarik apabila kita menambahkan tingkat kesulitan di mana gambar dan teks tidaklah sesederhana unit-unit sintagmatik struktural saja tetapi lebih pada jenis tekstural dengan kohesi seperti rantai dalam menyusun untaian katanya. Dalam hal ini teks dan gambar diibaratkan sebagai genre multimodal sebenarnya yang saling mengorganisasikan (mutual).
             Genre multimedia tidak hanya melibatkan teks dan gambar grafis saja, tetapi termasuk juga media dinamis seperti animasi, video streaming, dan video utuh. Teks itu sendiri dapat dianimasikan tidak hanya untuk kepentingan hiburan saja. Ketika kita melakukan scrolling pada kata-kata yang tertulis saat itu juga bisa terhubung dengan animasi atau gambar yang bergerak.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menganalisis genre gabungan semacam itu dengan cara yang terintegrasi. Peneliti dapat memulai analisis dengan mengajukan pertanyaan seperti ‘teori film apa yang menjelaskan genre musik-gambar-ujaran?’ dan pertanyaan terkait lainnya. Banyak genre gabungan baru yang diciptakan dengan mengintegrasikan konvensi lama seperti teks atau gambar dengan potongan gambar dan suara dalam bentuk film, video, atau animasi yang lebih dinamis. Salah satu genre yang terbaru dengan pengembangan yang paling pesat adalah genre video atau computer games. Sementara kita menyoroti kategori genre berdasarkan bentuk permainan game, terdapat sub genre di dalamnya yang dapat dipertimbangkan terkait dengan fitur-fitur semantiknya dan urutannya (paling tidak opsi terkait urutan bercabang (branching) atau paralelnya.

a.     Traversals sebagai  Trans-generic
Dahulu, jika mendengar kata teknologi dan jaringan, maka yang terfikirkan adalah televisi dan radio dengan segala keterbatasannya. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini jaringan teknologi sudah merambah ke situs-situs internet yang memasuki kehidupan kita sehari-hari.
Tanpa dipungkiri dengan perkembangan teknologi jaringan yang signifikan membawa perubahan terhadap post atau trans institusi yang memungkin implikasi jenis tekstual baru yang dikenal dengan “hypertext”. Menurut Lemke, Hypertext merupakan sebuah media atau sebuah teknologi yang mempengaruhi dan mengusahakan kemudahan terhadap konstruksi rangkain teks yang ditentukan oleh penulis atau perancang jaringan hypertext tertentu. [14] Jaringan hypertext merupakan rangakaian teks yang lebih luas daripada paragraf dalam sebuah halaman disebut “lexias”. Bahkan menurut beberapa ahli teks tidak hanya dibangun oleh penulis atau perancangnya saja tetapi teks dibangun juga oleh pengguna atau pembaca dan mereka membuat makna sendiri bahkan membuat kesimpulan sendiri berdasarkan elemen-elemen yang tersedia dalam jaringan tersebut yang dikombinasikan dan dirangkaikan secara logis, temporal, berdasarkan pengalaman yang ada dengan berbagai cara. Jaringan hypertext ini akhirnya memunculkan genre hypertext.
Hypertext khususnya open-ended hypertext seperti WorldWideWeb berusaha memberikan kesempatan kepada masuknya genre baru. Mulainya evolusi genre ini, hal itu  mempersiapkan quasi-genre (semi-genre) terjadi. Harus muncul sensitifitas terhadap jenis pola tertentu dari serangkaian makna dan hubungan yang terjadi dari satu situasi tertentu ke situasi yang lain. Gagasan terhadap traversal ini muncul sebagaimana meningkatnya siklus perhatian terhadap berbagai variasi dunia virtual. Umpamanya, bagaimana seseorang berbicara menggunakan cellphone saat mengendarai mobil, menggunakan email, mengirim pesan melalui SMS pada saat meeting, menggunakan internet untuk chatting, berselancar dengan web/jaringan, bermain games dalam berbagai aktivitas, melakukan traversal diantara berbagai aktivitas.
Makna traversal dirasakan meningkat di antara kehidupan berbagai orang, seperti trans-generic, trans-institutional, trans-situational. Akan tetapi, kajian tentang traversal dengan berbagai elemennya perlu dikaji lebih mendalam lagi untuk menentukkan genre yang tepat. Bahkan, suatu saat akan menjadi makna genre tersendiri untuk hypertext dan traversal.

A.     Penutup
Studi tentang setting sangat penting untuk memahami hubungan antara semiotik, genre ujaran, penggunaannya, serta praktik sosial, dan objek serta tujuan. Perspektif ini memiliki perspektif yang relevan dengan penelitian-penelitian dari interelasi antara penggunaan ruang dan artifak dalam setting institusi, dan pembangunan praktik literasi dan genre ujaran siswa-siswa asli atau pribumi dalam seting institusional yang utama. Tujuan dari pembahasan ini adalah  untuk mengilustrasikan kekuatan dan pengaruh dari isyarat  kontekstual seting dalam mempertajam dan mempengaruhi pengguna-pengguna bahasa dalam praktik linguistik dan orientasi jasmani.
           Perhatian pada pembahasan ini adalah untuk menunjukkan bagaimana perspektif etnografi dapat membuat lebih nyata konsep dari teori histori kebudayaan. Termasuk praktik jasmani dan diskursif    dalam berbagai seting seperti ruang kelas, ruang makan, halaman sekolah, dan sebagainya, yang terangkum dalam sistem semiotik. Dalam pandangan etnografi memungkinkan peneliti untuk fokus pada akivitas sistem sebagai unit analisis dan kemudian memeriksa seting, alat-alat, aktor, genre dan artifak sebagai konteks dengan mengikutsertakan  aktivitas pembuatan makna.
Pentingnya kesadaran untuk meningkatkan teori genre untuk menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya elemen makna visual-spasial yang semakin berkembang dan berbagai konvensi di semua genre, khususnya pada elemen-elemen gambar grafis atau konvensi sistem sumber semiotik visual sebagai hal penting untuk mengungkapkan makna. Saat ini pandangan tentang genre tekstual yang paling canggih menyediakan akun-akun yang tidak terbatas pada elemen-elemen yang wajib dan opsional, rangkaiannya, dan fungsi dari elemen-elemen tersebut, tetapi juga relatif bersyarat yang kemungkinan transisinya menembus konteks produksi khusus, sirkulasinya, serta pemanfaatannya.
                        Genre baru seperti Hypertext khususnya open-ended hypertext seperti WorldWideWeb berusaha memberikan kesempatan untuk memulai  evolusi genre ini, hal itu  mempersiapkan quasi-genre (semi-genre) terjadi. Harus muncul sensitifitas terhadap jenis pola tertentu dari serangkaian makna dan hubungan yang terjadi dari satu situasi tertentu ke situasi yang lain. Gagasan terhadap traversal ini muncul sebagaimana meningkatnya siklus perhatian terhadap berbagai variasi dunia virtual.
 

Daftar Pustaka
Berkenkotter, C. dan Thein, A.H. 2005. Settings, Speech Genres, and the Institutional Organization of Practices. Folia Linguistica, Acta Societatis Linguisticae Europaeae XXXIX/1-2/2005, Wina: Mouton de Gruyter, hh. 115-142.

Berkenkotter, C. 1998. Settings and The Institutional Organization of Language. Diunduh pada 30 Mei 2016 pada   http://writing.umn.edu/lrs/assets/pdf/speakerpubs/Berkenkotter.pdf

Gunnarsson.1997. The writing process from a sociolinguistics viewpoint dalam “Written Commnication”. 2.  139-188

Lemke, J.L. 2005. Multimedia Genres and Traversals. Folia Linguistica, Acta Societatis Linguisticae Europaeae XXXIX/1-2/2005, Wina: Mouton de Gruyter, hh. 146-155

N. Fairclough. 1992. Discourse and Social Change.London:Polity Press. 

S.Gunthner & H. Knobaugh. 1995.Culturally patterned speaking practices: The analysis of communicative genres.Pragmaics, 5(1), 1-32






[1] Carot Berkenkotter dan Amanda Haerting Thein. Settings, Speech Genres, and the Institutional Organixation of Practices  dalam  Folia Linguistica. Berlin: Mouton  de Gruyer. (2005.h.117)
[2] S.Gunthner & H. Knobaugh. Culturally patterned speaking practices: The analysis of communicative genres. “ Pragmatics, 5 (1), 1-32. (1995.h.6)
[3] N. Fairclough. Discourse and Social Change.London:Polity Press. (1992.h. 102)
[4] Gunnarsson. The writing process from a sociolinguistics viewpoint dalam “Written Commnication”. Volume 2. (1997. H.139)
[5]  Carot Berkenkotter dan Amanda Haerting Thein, op.cit. h.119
[6] Carol Berkenkotter, Amanda Haertling Thein, Setting, Speech Genre, and the Institutional Organization of Practices, Folia Linguistica, 39(1-2), 2005, h. 122
[7] Ibid.
[8] Carol Berkenkotter, C., Settings and The Institutional Organization of Language, 1998, Diunduh pada 30 Mei 2016 pada   http://writing.umn.edu/lrs/assets/pdf/speakerpubs/Berkenkotter.pdf, h. 8
[9] Carol Berkenkotter, C., Op.Cit., h.8
[10] Carol Berkenkotter, Amanda Haertling Thein, Op. Cit., h. 124
[11] Carol Berkenkotter, C., Op.Cit., h. 10
[12] Carol Berkenkotter, C., Op.Cit., h. 11
[13] Carol Berkenkotter, Op. Cit., h. 11
[14] Ibid., h. 12
[15 Carol Berkenkotter, Op. Cit., h. 13
[16] Ibid.
[17] Carol Berkenkotter, Op. Cit., h. 129
[18] Ibid., h. 130
[19] Ibid, h. 131
[20] Ibid, h. 131
[21] Ibid, h. 132
[22] Ibid, h. 133
[23] Ibid, h. 134
[24] Ibid, h. 135
[25] Loc.cit
[26] Loc.cit.
[27] Jay L. Lemke, Multimedia Genres and Traversals, (Folia Linguistica, XXXIX/1-2/2005), h. 146
[28] Jay L. Lemke, Op.Cit., hh. 148-149
[29] Ibid. h.52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar