Oleh: Agus Sulaeman (7317150063), Bejo Sutrisno (7317150069),
Momon Adriwinata (7317150267)
ABSTRAK
Pada makalah ini dibahas tentang kajian
genre dengan struktur genetic dan retorika teks. Dua Pendekatan pada Struktur
Teks Global yang dibahas pada makalah ini adalah Register and Genre Theory (R>) dan Rhetorical Structure Theory (RST). TSR tidak
menyebutkan bahwa latar belakang penulis dan atau penutur mempengaruhi
hasil analisis,
akan tetapi
TSR menitikberatkan
aspek kontekstual yang secara implisit dimiliki struktur sebuah
teks. Ini artinya
TSR melihat aspek non-literal
seperti
pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis dan atau
penutur teks dan sasaran audiens
menjadi bagian yang terintegrasi
dalam struktur retorika teks.
Key words: genre, register, struktur teks
A.
PENDAHULUAN
Strukturalisme
genetik dikembangkan atas dasar penolakan kepada analisis strukturalisme murni
yakni analisis terhahap unsur intrinsik. Teori ini ditemukan oleh Lucien
Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Prancis. Teori ini merupakan
analisis struktur yang memberikan perhatian terhadap asalusul karya sehingga
mencakup kajian unsur intrinsik dan ekstrinsik (Ratna, 2004: 122-123). Faruk
(1994: vi) menyatakan pentingnya strukturalisme genetik karena merupakan
langkah pertama dalam sosiologi sastra yang mengarah pada usaha memperlakukan
sastra secara lebih proporsional. Dalam buku Pour une Sociologie du Roman,
Goldmann (1964: 345) menyatakan bahwa:
“Strukturalisme genetik menghadirkan kembali perubahan
orientasi secara total, hipótesis dasar yang lebih jelas daripada karakter
kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia sastra
tersebut homologi dari struktur mental dari kelompok sosial tertentu atau
hubungan dengan keduanya dapat dipahami, sedangkan pada struktur ini dapat dikatakan
berasal dari penciptaan dunia imajinasi yang ditentukan oleh strukturnya, dan
penulis memiliki kebebasan secara total.”
Goldmann
(1964: 338) meyakini bahwa strukturalisme genetik berangkat dari hipótesis
bahwa seluruh tingkah laku manusia adalah hasil merespon secara siginifikan
pada situasi khusus dan dari hal tersebut tercipta keseimbangan antara subjek
pelaku dan objek yang dibawa, yaitu dunia sekitar. Dengan demikian fakta
manusia merupakan representasi dari dua proses yang berlawanan, yaitu: destrukturasi
dari struktur kuno dan strukturi total yang sanggup mencipta keseimbangan. Dari
perspektif tersebut, fakta manusia dipelajari berkenaan dengan aktifitas
ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
B. PEMBAHASAN
1. R> and RST: Dua
Pendekatan pada Struktur Teks Global
Ada banyak alasan
untuk mempercayai bahwa siswa yang tahu 'bagaimana mengatur esai dan artikel
memiliki lebih banyak manfaat dari pada siswa yang tidak tahu bagaimana dalam
menyusunnya. Pengetahuan tersebut dapat disebut sebagai pengetahuan genre, atau
mengetahui jenis genre apa yang dapat dihasilkan dalam situasi tertentu.
Mengapa hal ini menjadi suatu keuntungan? Salah satu alasannya adalah bahwa
genre dibangun secara sosial, bertujuan dan fungsional[1].
jika genre yang berbeda melakukan tugas yang berbeda, seseorang perlu untuk
dapat memetakan genre dengan benar terhadap tugas yang harus dilakukan. Menurut
Johns, genre secara ideologis terdorong, dan tunduk pada konvensi tekstual
bahwa "sering tunduk pada batasan masyarakat"[2].
Oleh karena itu, tergantung pada tugas, genre tertentu akan lebih sangat
dihargai daripada yang lain.
Selama
beberapa tahun terakhir, telah ada banyak penelitian tentang genre dalam
konteks akademik. Dimulai dengan makalah Kaplan yang berpengaruh pada pola
budaya dalam tugas tulisan siswa, suatu tradisi terdadap penelitian tentang
tulisan yang terutama pada genre yang harus dikuasai oleh siswa-siswa untuk
menguasainya di universitas dalam
komunitas riset berbahasa Inggris. Setidaknya empat helai yang berbeda dari penyelidikan
dapat diidentifikasi tidak satupun yang dapat
ditinjau di sini lebih mendalam:[3]
(a) pendekatan antarbudaya, yang langsung
dimulai dan dipengaruhi oleh kerja Kaplan, yang berfokus pada pola tekstual
yang khas untuk budaya akademik tertentu dan bahasa tertentu (lih misalnya
Clyne 1984, 1987; Duszak 1994; Mauranen 1993; Ventola & Mauranen 1997);
(b)
retorika komunikasi tertulis (Bazerman 1988; Berkenkotter & Huckin 1995;
Freedman & Medway 1994; Myers 1990) yang menekankan kontingensi sejarah,
budaya dan kelembagaan, dan orientasi tujuan pada genre;
(c) pendekatan berbasis genre yang telah 1)
terfokus pada hubungan genre wacana masyarakat (Bhatia 1993; Swales 1990); atau
2) telah diberitahu oleh linguistik fungsional sistemik (terutama oleh apa yang
disebut "sekolah Sydney", lih Eggins & Martin 1997; Halliday
& Martin 1993; Martin 1992, 1993, 1997, 1998, 1999, 2000; Ventola 1995,
1996 1997);
(d)
dalam beberapa tahun terakhir yang disebut "kemahiran akademik
pendekatan" yang di-korporat banyak aspek pendekatan yang sebelumnya telah
diselidiki, tetapi memberikan perhatian khusus terhadap proses pembelajaran
siswa dan memperluas dan memperdalam pemodelan teoritis tulisan siswa dengan
mengambil faktor-faktor seperti pengaturan kelembagaan, hubungan kekuasaan
antara siswa dan instruktur, variasi-ikatan repertoar komunikatif (seperti
genre, bidang, disiplin dll), dan pentingnya identitas siswa-siswa.
1.1
Register and Genre Theory (R>)
R> cenderung diartikan sebagai suatu proses social yang berorientasi pada tujuan yang
bertaap bahwa anggota budaya saling berinteraksi dapat capai (Eggins &
Martin 1997; Martin 1985, 1992, 1999; Ventola 1987). Ingat bahwa genre terdiri
dari tahapan seperti Orientasi, Argumen, Evaluasi, dll Genre juga berorientasi
pada tujuan dimana bahwa genre tersebut bergerak menuju titik akhir. Misalnya,
akhir-titik narasi adalah Resolusi. Semua tahapan sebelum narasi, oleh karena
itu, dapat dilihat sebagai mengarah ke tahap akhir. Akhirnya, genre merupakan
sumber daya budaya dapat dibandingkan dengan apa yang menurut Halliday &
Hasan disebut sebagai konteks budaya dan karena itu dibagi di antara para
anggota suatu masyarakat tutur.[4]
R> telah mengidentifikasi dua
jenis utama dari kelompok genre: cerita dan penjelasan (Martin 1985, 1992,
1997, 2002). Kelompok lain termasuk layanan pertemuan, janji-keputusan,
wawancara dan kontrol (Martin: 2002). Genre cerita termasuk recount, anekdot,
exemplum dan narasi. Genre cerita melibatkan evaluasi prosodi dan cenderung
untuk mengkarakterisasi rangkaian peristiwa episodik biasa atau tidak biasa
(yaitu, mengandung tahapan dan serangkaian kegiatan yang terungkap secara
kronologis). Genre eksposisi meliputi prosedur, penjelasan, laporan, argumen
dan diskusi (Veel 1997). Berbeda dengan genre cerita ini cenderung tidak
terungkap secara kronologis, melainkan terungkap dengan mengacu pada organisasi
tekstual tertentu. Martin menegaskan perbedaan antara bidang waktu dan teks
waktu dapat membantu memperjelas masalah ini. Genre cerita cenderung mengandalkan
hubungan penghubung eksternal yang mengungkapkan kejadian yang sebenarnya secara kronologis
yang terungkap pada peristiwa.[5]
Dalam kalimat: I went to the store and then I
picked out a pair of pants, and then … (saya pergi ke toko dan
kemudian saya memilih sepasang celana, dan kemudian ...) rangkaian acara diungkapkan secara kronologis
melalui hubungan temporal dan waktu. Di sini, teks berorientasi ke bidang
waktu, untuk kegiatan sosial yaitu membeli. genre eksposisi, sebaliknya,
cenderung diwujudkan dalam hubungan penghubung internal. Ini adalah hubungan
yang mengarahkan ke tujuan sosial dari suatu teks, bukan untuk apa yang terjadi
di luar teks. Dari tulisan argumen, misalnya, merupakan umum untuk menemukan
daftar argumen yang mendukung tesis yang didahului oleh hubungan temporal
seperti pertama, kedua dan akhirnya. Hubungan ini bersifat internal, karena
merupakan terungkapnya sebuah argumen. Hubungan inimenafsirkan bagaimana teks
ini diorganisir.
Menurut Swales (1990) pada dasarnya istilah
genre
dapat
didefinisikan
sebagai ”classes of communication events which typically posses features of stability, name recognition and so on”. Swales
juga berpendapat
bahwa
pengertian
tentang
suatu genre sangat berkaitan dengan tujuan komunikasi serta
struktur skematik suatu
wacana.
“A
genre comprises a
class
of
communicative
events, the
members of which share some set of communicative purposes. These purposes are recognized by the expert members of the parent discourse community and thereby constitute the rationale for the genre. This rationale shapes the schematic structure of the discourse and influences and constrains choice
of content and style.” [6]
Peristiwa komunikatif yang menyangkut genre tersebut terdiri dari teks (baik tertulis maupun lisan) serta proses enkode dan dekode. Kemampuan
pengenalan
genre sangat berkaitan dengan pengetahuan
silam
(prior knowledge) mengenai dunia, pengetahuan
tentang
teks-teks
yang pernah ada sebelumnya (prior text), dan pengalaman tentang proses enkode-dekode (Swales,1990:
9). Salah satu
contohnya adalah kasus yang dikaji oleh Painter tentang cara anak kecil dapat memperoleh
kemampuan pengenalan genre pertamanya, seperti
membedakan kisah pengantar tidur,
nursery rhymes, ataupun permainan”guru-murid”.
Menurutnya, terdapat beberapa petunjuk
yang mengindikasikan
bahwa anak-anak dapat memperoleh kemampuan pengenalan genre sejak dini karena mereka
mampu
menginternalisasi pola bahasa dan genre yang disebabkan oleh adanya interaksi percakapan
yang terus diulang (Painter,1986 dalam Swales, 1990: 90). Dengan kata lain,
pengalaman sebelumnya yang berkaitan dengan pola dan terjadi
berulang-ulang
sangat berpengaruh pada proses pengenalan
genre.
Di sini juga dapat dilihat bahwa intertekstualitas suatu teks terhadap
teks-teks
yang ada sebelumnya membantu anak-anak untuk mengelompokkan teks-teks
yang
memiliki
persamaan-persamaan tertentu.
Upaya mengakrabkan struktur suatu wacana sehingga dapat sesuai dengan ekspektasi/dugaan
tentang
apa yang hendak dibicarakan oleh teks atau
biasa dikenal dengan skemata2. Carrel dan Eisterhold (1987) mengatakan bahwa salah satu poin utama
dalam teori skema adalah teks macam apapun pada dasarnya
tidak memiliki makna dalam
dirinya
sendiri, melainkan hanya berfungsi mengarahkan pembaca atau pendengar memperoleh kembali atau mengkonstruksikan sebuah makna dari pengetahuan silam
yang telah mereka
miliki (background knowledge). Dengan kata lain,
teori skema memandang
proses pemahaman sebuah teks adalah sebuah proses interaktif
yang melibatkan teks itu sendiri dan background knowledge pembaca/pendengar teks. Carrel dan Eisterhold
melukiskannya dengan mengutip Anderson (1977), ”every act of comprehension involves one’s knowledge of the world as well”. Mereka berpendapat bahwa proses pemahaman
kata, kalimat, dan teks secara keseluruhan membutuhkan
lebih dari sekadar mengandalkan
pengetahuan
linguistik semata. Sebagai
contoh,
Carrell dan Eisterhold
(1987) menggunakan
kalimat, ”The policeman held up his hand and stopped the car”, yang pernah digunakan oleh Collins
dan Quillian (1972). Dalam
proses memahami
makna kalimat, pertama-tama pembaca akan mengaitkan
kalimat
tersebut dengan
sesuatu yang dirasa masuk
akal berdasarkan pengetahuan sang
pembaca. Pembaca atau audiens
memiliki
sejumlah respon potensial untuk bereaksi terhadap
situasi
tersebut.
Ada beberapa skema atau
skenario yang mungkin muncul di kepala pembaca, namun
yang paling mungkin adalah skema yang melibatkan
seorang polisi memberi tanda kepada pengendara mobil untuk berhenti. Dapat dilihat di sini bahwa saat
memahami
kalimat tersebut,
pembaca memunculkan sejumlah konsep ke permukaan,
yang sebenarnya tidak diungkapkan
dalam teks.
1.2 Rhetorical
Structure Theory (RST)
Rhetorical
Structure Theory
atau Teori Struktur Retorika (TSR) adalah sebuah pendekatan telaah deskriptif tentang organisasi
teks. Teori yang merupakan hasil kolaborasi
pemikiran Mann dan Thompson (1993) ditujukan untuk mengkaji struktur relasi
antar bagian teks.
Analisis TSR menunjukan asumsi bahwa setiap teks memiliki elemen-elemen yang terhubungan satu sama lain dalam struktur hirarkis yang
beroperasi dan akan memfungsikannya tersebut menjadi
sebuah kesatuan
untuk dimaknai oleh audiensnya.
Struktur
hierarkis tersebut dibangun tidak hanya dibangun oleh elemen leksikal
tapi
juga
elemen gramatikal seperti artikel,
penanda
transisi,
modalitas, dan preposisi. Di samping
itu, TSR juga mengidentifikasi relasi
struktural
teks berdasarkan logika bahasa saat
elemen gramatikal tidak secara eksplisit hadir dalam teks. Oleh
karena itu,
analisis TSR menghasilkan
deskripsi umum yang bersifat komprehensif dan tidak parsial.
Analisis TSR berupaya untuk mendeskripsikan keterlibatan aspek
literal
dan non-literal
yang melatarbelakangi produksi komposisi
struktur sebuah
teks. Secara umum, TSR bermanfaat untuk melakukan
investigasi problematika
linguistik
dalam sebuah teks tertulis. fungsi
TSR antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan relasi antar klausa untuk pemaknaan konjungsi, kombinasi klausa,
dan elemen parataksis tanpa tanda
(Thompson dan Man, 1987).
2. Mendeskripsikan analisis karakter sebuah teks. TSR dapat memberikan pemaparan kesesuaian
struktur sebuah teks
dengan aplikasi genre tertentu.
3. Menjadi analisis dasar dalam pengembangan kajian perbandingan retorika dan kreasi wacana sebuah narasi,
termasuk untuk teks antar bahasa.
4. Alat untuk mengkaji struktur wacana naratif.
5. Alat untuk menganalisis motivasi atau proposisi dibalik produksi dan koherensi dari penulis dan atau penutur sebuah teks.
Analisis deskriptif TSR berawal dari identifikasi komposisi struktur yang diproduksi oleh penulis dan atau penutur
teks. Dari struktur yang telah didapatkan
tersebut,
TSR akan menginterpretasi teks untuk mengungkap
relasi proposisi
antara penulis dan atau
penutur teks dengan teks itu sendiri.
TSR tidak menyebutkan bahwa latar belakang penulis dan atau penutur mempengaruhi hasil analisis,
akan tetapi
TSR menitikberatkan
aspek kontekstual yang secara implisit dimiliki struktur sebuah
teks. Ini artinya
TSR melihat aspek non-literal
seperti
pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis dan atau
penutur teks dan sasaran audiens
menjadi bagian yang terintegrasi
dalam struktur retorika teks. Struktur gramatika bahasa sebagaimana
dijelaskan Francis dan Kramer-Dahl
bahwa fungsionalisasi
dan kreativitas dalam produksi bahasa tidak bertumpu pada aspek leksikogramar (Francis dan Kramer-Dahl
dalam Toolan, 1992: 56-90). Lebih lanjut, Halliday mendefinisikan penggunaan
bahasa 3 klasifikasi yaitu ide/konseptual,
tekstual, dan interaksional yang tersusun dalam struktur teks. Klasifikasi tersebut
dinamakan
juga sebagai
Systemic (meta) Functional Grammar. Pertama,
bahasa mengkomunikasikan ide/konsep
melalui
suatu struktur dan dalam kondisi tertentu.
(Halliday dan Hasan (1976) dalam
Toolan,1992:66-80) Selanjutnya, struktur teks tersebut menggunakan pilihan kata
tertentu yang bersifat tematis sesuai ide/konsep
yang diinginkan
penulis dan atau penutur. Ketiga, interaksional menentukan tingkat
kepastian
dan modus tertentu
saat teks dikomunikasikan kepada
sasaran
audiensnya.
Audiens sasaran lebih lanjut diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kategori pertama adalah Esoteris yang mengacu pada audiens yang memahami
dan terlibat
dalam kontekstualisasi
konvensi teks.
Eksoteris sebaliknya mengacu pada audiens yang tidak terlibat dalam
kontekstualisasi konvensi struktur teks tetapi memahaminya (Myers (1989) dalam Toolan, 1992: 39). TSR menjabarkan
antisipasi penulis
dan atau penutur menghadapi
berbagai jenis audiens melalui
struktur
teks.
Hal tersebut mencakup antisipasi baik secara eksplisit
tercantum maupun
indikasi implisit
dalam struktur retorika sebuah
teks. Maka sebuah retorika dapat disampaikan
dalam struktur yang
bervariasi
antar satu teks dengan teks lainnya tergantung
pada relasi yang ingin dibangun
berdasarkan agenda penulis dan atau penutur kepada para sasaran audiensnya
Linguis William C. Mann dan Sandra A. Thompson mengembangkan teori yang mengkaji struktur retorika teks bernama Teori Struktur Retorika (TSR). Dalam teori
mereka, retorika dibangun atas kombinasi pernyataan yang
diklasifikasi
dalam dua kelompok yaitu nucleus dan satellite. Struktur hierarkis konfigurasi kombinasi keduanya
menentukan
keberhasilan fungsi relasi
skematis tertentu dipahami oleh para audiensnya
(Mann dan Thompson, 1993). Struktur
tersebut meliputi
keseluruhan teks dan bergerak
ke tataran yang lebih mikro.
Pergerakan tersebut akan menghasilkan berbagai relasi
skematis.
Namun, skema relasi
tersebut
haruslah mempertimbangkan
koherensi atau keberterimaannya dengan skema relasi sebelumnya di tingkat yang lebih
makro. Ada kecenderungan
membuat teks retorik berstatus
otonom.
Artinya, keberhasilan suatu
retorik bergantung
pada kekuatan struktur
logika
yang
ditawarkan
oleh kecakapan oratornya mengolah kombinasi sejak tingkat klausa, kombinasi klausa, tingkat
kalimat, hingga mengkolaborasikan wacana-wacana dalam teks.
TSR sejalan dengan Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan oleh Fairclough melalui tiga
dimensi peristiwa komunikatif. TSR mengelaborasi
lebih dalam dialektika
ketiga dimensi
tersebut
dalam level tekstual. Setiap relasi skematis merupakan wujud motif/kepentingan
penulis/penuturnya terhadap
audiens
sasarannya melalui pilihan sepihak.
Baik kombinasi kata, kombinasi
klausa,
kombinasi kalimat,
dan atau kombinasi wacana tertentu memperlihatkan pengandaian representasi identitas yang dikehendaki
atas diri penutur maupun audiens
sasaran. Dalam
TSR, terdapat
beberapa
skema
relasi yang memberikan
ruang bagi audiensnya
untuk terlibat
dalam peristiwa komunikatif berupa
interpretasi
makna yang ditawarkan
dalam teks
dan ada pula skema relasi yang sepenuhnya dikontrol
oleh pihak penuturnya. Pilihan tersebut
secara
tersirat dapat memperlihatkan
relasi kuasa yang merupakan
kepanjangan tangan
dari paradigm sosiokultural
antara
penutur dengan audiens
sasaran[7] (Fairclough, 2001). Hal tersebut
dapat disadari melalui fakta hubungan hierarkis antara nucleus dengan satelitnya sebagai suatu fenomena yang senantiasa
hadir
dalam teks
keseluruhan walau sekali waktu hubungan yang koordinatif hadir melalui skema multinuklir.
Teori Struktur retorika
(TSR) adalah teori fungsional struktur teks (Mann & Thompson 1987: 2) yang
menggambarkan hubungan fungsional antara bagian teks pada tingkat yang berbeda
(dari klausula ke tingkat tekstual).
Ini, bagaimanapun, tidak berarti bahwa RST memandang teks sebagai unit gramatikal
(sebagai salah satu mungkin menyimpulkan dari fakta bahwa RST analisis
bergantung pada unit seperti "klausa"). Teks yang lebih dilihat
sebagai terdiri dari (setidaknya) tiga jenis struktur (Mann et al 1992:. 41):
"struktur holistik" (yaitu struktur generik), "struktur
relasional" (ini adalah jenis struktur RST mencoba model, pada dasarnya
struktur fungsional yang timbul dari hubungan koherensi antara bagian teks),
dan "struktur sintaksis" (di mana "sintaksis" digunakan
dalam "akal sehat" yang berarti). Mann & Thompson (1987)
menganggap bahwa hubungan fungsional dalam teks mungkin (tapi tidak harus)
dinyatakan dengan berbagai cara (linguistik) (mis sinyal leksikal atau
gramatikal atau tidak ada ekspresi eksplisit sama sekali
Namun, RST mengasumsikan bahwa hubungan
fungsional ditetapkan antara bagian-bagian dari teks permukaan dan bukan antara
proposisi, sebagai teks kognitif teori linguistik standar.
Representasi RST didasarkan pada empat jenis unsur:
·
hubungan,
·
skema,
·
aplikasi skema,
·
struktur tekstual
Definisi-definisi hubungan mengidentifikasi jenis-jenis
hubungan antara bagian-bagian dari rentang teks. Dalam hal RST "rentang
teks adalah interval linear teks yang tidak terputus"[8]
(Mann & Thompson 1987: 4). Model ini mengasumsikan bahwa rentang teks tidak
tumpang tindih tapi itu merupakan salah satu rentang dapat terdiri dari
beberapa rangkaian lainnya (yang merupakan bagian dari tingkat hirarki yang
lebih rendah). Pada tingkat terendah analisis masing-masing rentang terdiri
dari setidaknya dua unit minimal (biasanya—tapi belum tentu clauses, mungkin
unit minimal yang lebih besar). Mengidentifikasi hubungan tertentu dalam teks
dipandang sebagai keputusan yang masuk akal pada keinginan penulis oleh
penganalis (atau pembaca masing-masing).
"Penganalis memiliki akses pada teks, pengetahuan
tentang konteks tulisan, dan memberikan konvensi budaya penulis dan pembaca
yang diharapkan, tetapi tidak memiliki akses langsung ke salah satu penulis
atau pembaca lainnya."[9]
Struktur teks adalah hasil dari analisis
berulang (yaitu skema aplikasi) dari hubungan teks fungsional pada tingkat yang
berbeda. Berikut kendala untuk aplikasi skema dalam suatu pegangan analisis
struktural:
"Kelengkapan
(completeness): set berisi satu aplikasi skema yang berisi satu set bentang teks
yang merupakan keseluruhan teks.
Keterhubungan (connectedness): Kecuali untuk seluruh teks sebagai rentang teks, setiap rentang
teks dalam analisis adalah salah satu unit minimal atau konstituen dari
aplikasi skema lain dari suatu analisis.
Keunikan
(uniqueness): Setiap aplikasi skema terdiri dari satu set yang berbeda dari
bentang teks, dan dalam hubungan multi-skema setiap relasi berlaku untuk set
yang berbeda dari bentang teks.
Keterdekatan (Adjacency
):. Bentang teks setiap aplikasi skema merupakan salah satu rentang teks
"(Mann & Thompson 1987: 7f, penekanan asli)
Kendala "keterdekatan "
berarti bahwa menurut bentang teks RST mungkin tidak terputus oleh bagian dari
bentang teks yang lain (lih juga "keterhubungan" kendala yang
menetapkan bahwa tidak ada rentang teks mungkin tidak terhubung ke seluruh
teks). "Keunikan" kendala yang melemah dalam publikasi (misalnya
Mann, 2002; Mann et al, 1992.) Di mana para penulis mengakui bahwa RST analisis
kadang-kadang menghasilkan beberapa struktur, dan bahwa tidak dalam semua kasus
mungkin untuk menetapkan hanya satu jenis sehubungan dengan rentang teks. Jika
lebih dari satu hubungan koherensi dapat memegang antara dua entitas
representasi yang dihasilkan dari teks akan ambigu. Dalam kasus tersebut, teks yang
sama (terutama jika tidak memiliki perangkat kohesif yang memadai) mungkin
memiliki representasi yang berbeda dengan penerima yang berbeda.
Tiga sifat struktur RST relevan dalam
konteks penelitian ini: (kemungkinan) urutan bentang teks, fungsi nuclearity
dan hubungan proposisi. Meskipun RST berpendapat bahwa urutan inti dan satelit
(s) dalam rentang teks tidak dibatasi oleh pertimbangan teoritis, Mann &
Thompson (1987) melaporkan bahwa teks empiris analisis menunjukkan bahwa
sejumlah hubungan tampaknya memiliki kecenderungan menuju " kanonik order
"dari inti-satelit pat-terns. Para penulis mengamati bahwa dalam kasus di
mana urutan kanonik relasi dibalik dalam teks yang sebenarnya, konversi rentang
teks ke urutan kanonik meningkatkan pembacaan teks (dan sebaliknya). mengikuti
perintah kanonik hubungan dapat ditemukan[10]:
"Satelit sebelum inti: antitesis, latar belakang,
kondisional, membenarkan, solusi hood
Inti sebelum satelit: elaborasi, pemberdayaan, bukti,
tujuan, pernyataan kembali "
Di bawah perspektif semiotik teks, urutan kanonik bentang
teks dapat berhubungan dengan parameter semiotik "ikonisitas" (bdk.
Dressler 1989, 2000, yang bergantung pada diferensiasi Peirce antara ikonik,
indexical dan tanda-tanda simbolik). Dengan demikian, dalam hal "pembuktian"
atau "elaborasi" hubungan itu lebih ikonik untuk menyajikan sebuah
asumsi atau pernyataan pertama (yaitu nukleus) dan untuk memberikan bukti atau
elaborasi lebih jauh (yaitu satelit (s)) setelah itu, sedangkan dalam hal
"membenarkan" hubungan itu lebih ikonik untuk menyajikan tempat
(yaitu satelit) pertama dan kemudian menarik kesimpulan.
2.
R> and RST: Pros and Cons
Daya Dorong dibalik
penggabungan R & GT dan RST adalah untuk memberikan perspektif yang saling
melengkapi organisasi teks global. Beberapa studi telah berusaha untuk
menggabungkan kedua teori dalam analisis teks (Bateman & Rondhuis 1997;
Taboada & Lavid 2003). Menggunakan R & GT, Toboada & Lavid (2003)
mengidentifikasi struktur generik dari dialog penjadwalan, dan memberikan bukti
linguistik untuk tahap generik yang teridentifikasi. Dengan demikian mampu
menunjukkan bahwa setiap tahap generik disadari oleh jenis yang berbeda dari
hubungan pola retorika dan tematik. Penelitian Bateman & Ronduis '(1997)
dibandingkan dengan hubungan koherensi tiga teori yang berbeda Segmented Discourse Representation Theory
(SDRT), RST dan konjungsi Hubungan (Conjunctive
Relations /CR).
Penelitian
ini tidak meneliti organisasi teks global, memberikan uraian singkat
terhadap bagaimana RST dan CR membebedakan
pada tingkat kohesi. Bateman & Rondhuis '(1997: 22-23) kritik utama dari
RST adalah bahwa hubungan retorika tidak didasarkan pada realisasi linguistik:
"Dua isu yang akan dibahas lebih
rinci harus disebutkan di sini. Pertama, jarak yang disengaja diadakan
sehubungan dengan realisasi linguistik membuatnya kurang eksplisit secara utuh
tepatnya pada aspek makna inti atau satelit yang menjadi pertibangan ketika
menekankan pada kemungkinan penggunaan relasi; ini memperkenalkan sumber-sumber
yang kurang spesifik. Dan kedua, sering ada ketegangan diperkenalkan ke
analisis berdasarkan aspek-aspek makna teks yang "tidak fokus" sering
satu relasi tertentu dipilih daripada yang lain; misalnya, sering terjadi bahwa
beberapa hubungan kausal dapat diasumsikan antara peristiwa, tetapi hubungan
itu juga dapat melayani fungsi tambahan retoris untuk teks (misalnya, seperti
memberikan bukti atau pembenaran). "
3. Text Cohesion and Coherence
Pembahasan
tentang R> dan RST telah
menunjukkan bahwa: 1) teks cenderung memiliki organisasi global; 2) organisasi
global teks ini berkaitan dengan fungsi teks dan tujuan; 3) fungsi teks
diwujudkan dalam tahapan yang berorientasi pada tujuan dan pola bahasa; dan 4)
teks dapat terdiri dari elemen sentral atau nuklir, dan sejumlah satelit yang
memperluas arti dari elemen nuklir. Oleh karena itu, sejauh mana sebuah teks
memenuhi fungsi dan tujuan sosial dapat dilihat, sebagian, tergantung pada
sejauh mana empat kriteria ini terpenuhi. Bagaimanapun, bahwa organisasi global
hanya bagian dari cerita. Jika kita membuat klaim yang luas tentang fungsi
teks, kita perlu melihat lebih dekat pada bahasa yang digunakan untuk
mewujudkan suatu struktur teks global. Untuk alasan ini, lebihbanyak membahas
tentang kohesi dan koherensi teks. Pada bagian berikut, kami akan mencoba untuk
membatasi diskusi untuk SFL- dan pembahasan yang berhubungan dengan RST.
Koherensi dapat berupa elaborasi, yaitu anak kalimat yang satu menjadi
penjelas anak kalimat yang lain, misalnya
dengan menggunakan konjungsi ”yang” dan ”selanjutnya”.
Koherensi dapat pula berupa perpanjangan
anak kalimat yang
satu dengan menggunakan anak kalimat yang
lain. Koherensi ini
dapat ditandai dengan konjungsi ”dan” (tambahan), ”tetapi”
(kontras), serta ”atau”
(setara). Selain itu, koherensi juga dapat berupa peningkatan anak kalimat, yaitu anak kalimat yang satu memiliki tingkat posisi yang lebih tinggi dari anak kalimat
yang lain. Koherensi seperti
ini ditandai dengan adanya anak kalimat yang
bebas (dapat berdiri
sendiri)
dan anak kalimat yang terikat.
Selain koherensi, pemilihan dan penggunaan alat kohesi juga digunakan untuk
menyusun
keruntutan informasi-informasi
dalam teks
dan dapat mencerminkan jalan
pikiran penulis teks. Kalimat-kalimat
dalam wacana bukanlah elemen-elemen yang saling
berdiri sendir melainkan
saling
terikat
membentuk hubungan kesatuan makna.
Terdapat lima alat kohesi yang dapat membentuk
hubungan antar kalimat pada teks, yaitu kata ganti, substitusi (penggunaan kata lain untuk merujuk kepada suatu kata, frase atau klausa yang
ada sebelumnya),
elipsis
(penghilangan kata,
frase atau klausa yang
pernah muncul
sebelumnya),
konjungsi, dan kohesi leksikal,
yang umumnya berupa repetisi (Halliday, 1976 dalam
Johnstone,
2002).
3.1 Texture
in Systemic Functional Linguistics
Dalam teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dengan
pendekatan fungsional dinyatakan bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan npenggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan
untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu
peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda denga
teks
fisika dan struktur teks politik berbeda dengan
teks kesastraan. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan masing-masing teks berbeda. Perbedaan teks
direalisasikan oleh perbedaan tata bahasa (lexicogramar) secara kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan kualitatif adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya
pemunculan suatu aspek tata bahasa terjadi pada satu teks itu,
sementara dalam teks yang satu lagi aspek tata bahasa itu tidak muncul. Perbedaan kuantitatif menunjukkan bahwa tingkat
probabilitas pemunculan
aspek tata bahasa itu
lebih tinggi daripada teks yang satu
lagi.
Halliday & Hasan mendefinisikan teks
sebagai unit semantik yang "mungkin lisan atau tertulis, prosa atau sajak,
dialog atau monolog. Ini mungkin apa saja dari teriakan sesaat bantuan untuk
semua-hari diskusi tentang komite"[11].
Selain itu, pertanyaan apakah sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai teks
adalah hal tentang derajat; yaitu, contoh bahasa mungkin memiliki berbagai tingkat
tekstur. tekstur Sebuah teks akan tergantung pada sifat semantik internal.
Halliday & Hasan (1976: 4) mengacu pada sifat-sifat semantik sebagai
kohesi, yang "merujuk kepada hubungan makna yang ada dalam teks, dan yang
mendefinisikannya sebagai teks". Dalam menjelaskan bagaimana hubungan
semantik beroperasi, konsep dasi, ketergantungan dan pengandaian yang sering
digunakan. Pertimbangkan sebagai contoh, kalimat I finally finished up my essay (saya akhirnya menyelesaikan esai
saya). Dalam kalimat kedua, kata ganti ‘it’ anaforis terkait dengan kelompok
nominal kata ‘my essay’. Makna ‘it’,
terkait dengan, tergantung pada sesuatu kata yang datang sebelumnya. Sistem
kohesif dari makna yang mengatur hubungan referensial disebut sebagai
identifikasi.[12]
Sejauh mana teks dapat 'dipahami' tidak
hanya tergantung pada sifat internal teks, yaitu, ikatan kohesif yang
menghubungkan teks yang memiliki makna. Dalam interaksi sosial, interpretasi
teks juga tergantung pada konteks situasional. Seperti yang Halliday &
Hasan[13]menegaskan,
"situasi tertentu, makna 'konteks situasi' di mana pada teks, mengacu pada
semua faktor-faktor ekstra-linguistik yang memiliki beberapa penunjang pada
teks itu sendiri". Sebuah konteks situasi melibatkan tiga dimensi: 1)
Bidang: aktivitas sosial dan materi pelajaran; 2) Tenor: peran sosial di mana
peserta dalam pengapdosian kegiatan sosial; dan 3) Mode: peran bahasa dalam hal
saluran dan perantara. Seperti disebutkan sebelumnya, teori SFL menggunakan
konsep realisasi untuk menangkap hubungan antara teks dan konteks: Teks
mewujudkan konteks dan konteks, pada gilirannya, diwujudkan dalam teks. Konsep
realisasi bukanlah hubungan sebab-akibat; melainkan merupakan satu
probabilistik. Dengan demikian, untuk konteks tertentu, jenis tertentu dari
pola linguistik yang memanifestasikan dirinya sebagai teks akan lebih mungkin
terwujud dari pola-pola lainnya. Pola lainnya dapat terjadi, tetapi pola-pola
tersebut kurang mungkin. Untuk teks tertentu, kita harus mengantisipasi konteks
situasi tertentu. Jika hal ini terjadi, maka contoh yang diberikan teks
dikatakan koheren. Eggins (1994) mengacu pada jenis koherensi sebagai koherensi
situasional. Untuk menunjukkan bagaimana bahasa bisa 'berpisah' dari konteks,
pertimbangkan contoh (1), dipisahkan menjadi lima klausa:
1) (1)
Once upon a time there was a little white mouse called “Tiptoe”.
Sekali
waktu ada seekor tikus putih kecil yang disebut "Jinjit"
(2)
I t’s very rarely hot in Paris.
Sangat jarang panas di Paris
(3)
When does the race start?
Kapan balapan dimulai?
(4)
It does so.
Ia
melakukannya
(5) No, I don’t know how to make chocolate
crackles.
Tidak,
saya tidak tahu bagaimana membuat crackles cokelat
Meskipun setiap klausa bisa diterima, tampaknya tidak
akan ada ikatan yang bermakna untuk menghubungkan satu klausa ke yang
berikutnya. Sehubungan dengan organisasi internal, tampaknya tidak akan ada
ikatan kohesif yang memungkinkan untuk klausa berikutnya untuk memproses dari
yang sebelumnya. Selanjutnya, contoh ini tidak memiliki koherensi situasional.
Misalnya dimulai dengan pengenalan cerita, maka pernyataan tentang cuaca di
Paris, kemudian pertanyaan, kemudian ketidaksepakatan dan akhirnya menanggapi
pertanyaan tak tertulis. Dengan kata lain, tampaknya tidak menjadi konteks
tunggal dari situasi yang akan membuat koleksi ini terhadap klausa yang
koheren.
3.2
Coherence and RST
Sebuah pandangan yang berbeda tentang kohesi dan
koherensi. RST pada prinsipnya nampak menarik dari pengungkapkan linguistik
teks kognitif. Menurut tradisi penelitian ini, koherensi adalah produk dari
aktivitas mental produsen teks dan penerima ketika mereka berinteraksi dengan
menggunakan bahasa (misalnya van Dijk & Kintsch 1983; Givon 1993; Hörmann
1988; Mignolo 1989; Sanders & Spooren 2001) . Koherensi adalah "proses
kolaboratif"[14],
"seperangkat operasi interpretatif yng dilakukan oleh pendengar / pembaca
untuk menyertakan makna pada sinyal (wacana)"[15].
Ini menghasilkan dalam "kelangsungan makna" (Hörmann 1988) yang
penerima menyertakan teks. Dalam pandangan ini, koherensi tergantung pada
konsep mental yang diaktifkan oleh unit
linguistik dan hubungan antara konsep-konsep tersebut, yang bersama-sama
menciptakan "textworld" dari teks dalam pikiran pendengar / pembaca. "textworld"
ini, bagaimanapun, terdiri lebih dari jumlah makna konstituen sebagai
penciptaan rasa yang melibatkan juga pengetahuan sehari-hari dari sipenerima teks (Beaugrande & Dressler
1981).
Ahli bahasa teks kognitif kemudian
menarik kesimpulan perbedaan yang jelas antara kohesi, yang mereka pandang
sebagai properti struktur lahir
gramatikal suatu teks dan koherensi, yang dipandang sebagai properti
struktur dalam semantik suatu teks. Dalam pandangan ini erdapat hubungan
kohesif antara kata-kata yang sebenarnya dari sebuah teks sedangkan hubungan
koherensi ditetapkan antara proposisi yang (yaitu representasi semantik dari
klausa teks yang "menanggalkan" fitur gramatikal). Koherensi
berinteraksi dengan kohesi (Givon 1993), tetapi atribusi koherensi untuk sebuah
teks tidak semata-mata tergantung pada perangkat kohesif eksplisit. Perhatikan
contoh (2) dari Renkema dan pernyataan
berikutnya nya:[16]
2) "He
is not going to school. He is sick" (Dia tidak akan ke sekolah). Dia
sakit. 'Hubungan antara dua kalimat ini bergantung pada pengetahuan, yaitu
bahwa sakit dapat menjadi penyebab ketidakhadiran dari sekolah. Atas dasar
pengetahuan ini, adalah mungkin untuk membuat suatu penghubung antara dua
kalimat tersebut. "
Contoh ini tidak kekurangan koherensi situasional
(situasi komunikasi yang sebenarnya di mana dua kalimat ini mungkin diucapkan
adalah, misalnya, panggilan ibu untuk guru sekolah anaknya di mana ia
menjelaskan mengapa anaknya tidak bisa bersekolah), tetapi tidak memiliki
penanda linguistik eksplisit untuk
hubungan antara dua kalimat. Dengan demikian, hubungan koherensi (yaitu bahwa
klausa kedua menyajikan penyebab untuk pertama) si penerima di sini akan
melakukan agar "masuk akal" dari kedua klausamdari suatu contoh,
harus dengan aktif (belum di banyak kasus - tidak sadar) dimasukkan oleh penerima.
C. SIMPULAN
Dengan memahami adanya fenomena Nuklearitas dalam operasionalisasi bahasa, analis TSR dapat mengenali anomali yang terjadi dan cara teks dikomunikasikan dalam rangka membangun memori ide dengan audiensnya. Variasi posisi Nucleus dan Satelit antar level tergantung kepentingan dan
paradigma penulis dan atau penutur teks. Sejauh ini TSR melihat Nuklearitas hanya sebagai sebuah fenomena bahasa sebagaimana fenomena-fenomena dalam rangkaian struktur teks multi nucleus seperti fenomena struktur Genre dan fenomena paralelisme.
TSR ini hampir dapat diaplikasikan pada semua jenis teks yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Panjang atau pendeknya sebuah teks tidak membatasi aplikasi TSR. Namun, di banyak kesempatan sejauh ini diterapkan
hanya dalam teks monolog.
DAFTAR
PUSTAKA
Fairclough, N. (2001). Language and Power. London: Pearson/Longman
Givón, Talmy. 1993. “Coherence in Text, Coherence in Mind”.
Pragmatics and Cognition
Gruber, Helmut & Peter Muntigl.
2005. Generic and Rhetorical Structures
of Texts. Berlin: Societas Linguistica Europaea, Vo. XXXIV/1-2.
Halliday, Michael A. K. & Hasan,
Ruquiya 1976. Cohesion in English.
London: Longman.
Johns, Ann. 2002. “Introduction: Genre in the Classroom”.
In: A. Johns (ed.), Genre in the Classroom: Multiple Perspectives. Mahwa, NJ.:
Lawrence Erlbaum Associates, 3-13.
Kaplan, Robert.
1966/1972. “Cultural thought patterns in
intercultural education”. Language Learning,
Martin, James R. 1992. English Text. System and Structure.
Amsterdam: John Benjamins.
Mann, William, &
Thompson, Sandra. 1987. Rhetorical
Structure Theory: A Theory of Text
Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina del Rey / California: Information
Sciences Institute
Mignolo, Walter D.
1989. “Semiosis, Coherence, and Universes
of Meaning”. In: M.-E. Conte, J. S. Petöfi & E. Sözer (Eds.),
Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies. An Introductory Textbook. Amsterdam: John
Benjamins.,
William Mann, &
Thompson, Sandra. 1987. Rhetorical
Structure Theory: A Theory of Text Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina
del Rey / California: Information Sciences Institute
Swales, John. 1990. Genre Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar