Jumat, 15 Juli 2016

KAJIAN GENRE DENGAN STRUKTUR GENETIK DAN RETORIKA TEKS

Oleh: Agus Sulaeman (7317150063),  Bejo Sutrisno (7317150069),
 Momon Adriwinata (7317150267)


ABSTRAK

Pada makalah ini dibahas tentang kajian genre dengan struktur genetic dan retorika teks. Dua Pendekatan pada Struktur Teks Global yang dibahas pada makalah ini adalah Register and Genre Theory (R&GT) dan Rhetorical Structure Theory (RST). TSR tidak menyebutkan bahwa latar belakang penulis dan atau penutur mempengaruhi hasil analisis, akan tetapi TSR menitikberatkan aspek kontekstual yang secara implisit dimiliki struktur sebuah teks. Ini artinya TSR melihat aspek non-literal seperti pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis dan atau penutur teks dan sasaran audiens menjadi bagian yang terintegrasi dalam struktur retorika teks.

Key words: genre, register, struktur teks


A. PENDAHULUAN
Strukturalisme genetik dikembangkan atas dasar penolakan kepada analisis strukturalisme murni yakni analisis terhahap unsur intrinsik. Teori ini ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Prancis. Teori ini merupakan analisis struktur yang memberikan perhatian terhadap asalusul karya sehingga mencakup kajian unsur intrinsik dan ekstrinsik (Ratna, 2004: 122-123). Faruk (1994: vi) menyatakan pentingnya strukturalisme genetik karena merupakan langkah pertama dalam sosiologi sastra yang mengarah pada usaha memperlakukan sastra secara lebih proporsional. Dalam buku Pour une Sociologie du Roman, Goldmann (1964: 345) menyatakan bahwa:

“Strukturalisme genetik menghadirkan kembali perubahan orientasi secara total, hipótesis dasar yang lebih jelas daripada karakter kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia sastra tersebut homologi dari struktur mental dari kelompok sosial tertentu atau hubungan dengan keduanya dapat dipahami, sedangkan pada struktur ini dapat dikatakan berasal dari penciptaan dunia imajinasi yang ditentukan oleh strukturnya, dan penulis memiliki kebebasan secara total.”

Goldmann (1964: 338) meyakini bahwa strukturalisme genetik berangkat dari hipótesis bahwa seluruh tingkah laku manusia adalah hasil merespon secara siginifikan pada situasi khusus dan dari hal tersebut tercipta keseimbangan antara subjek pelaku dan objek yang dibawa, yaitu dunia sekitar. Dengan demikian fakta manusia merupakan representasi dari dua proses yang berlawanan, yaitu: destrukturasi dari struktur kuno dan strukturi total yang sanggup mencipta keseimbangan. Dari perspektif tersebut, fakta manusia dipelajari berkenaan dengan aktifitas ekonomi, sosial, politik, dan budaya.

B. PEMBAHASAN
1. R&GT and RST: Dua Pendekatan pada Struktur Teks Global
Ada banyak alasan untuk mempercayai bahwa siswa yang tahu 'bagaimana mengatur esai dan artikel memiliki lebih banyak manfaat dari pada siswa yang tidak tahu bagaimana dalam menyusunnya. Pengetahuan tersebut dapat disebut sebagai pengetahuan genre, atau mengetahui jenis genre apa yang dapat dihasilkan dalam situasi tertentu. Mengapa hal ini menjadi suatu keuntungan? Salah satu alasannya adalah bahwa genre dibangun secara sosial, bertujuan dan fungsional[1]. jika genre yang berbeda melakukan tugas yang berbeda, seseorang perlu untuk dapat memetakan genre dengan benar terhadap tugas yang harus dilakukan. Menurut Johns, genre secara ideologis terdorong, dan tunduk pada konvensi tekstual bahwa "sering tunduk pada batasan masyarakat"[2]. Oleh karena itu, tergantung pada tugas, genre tertentu akan lebih sangat dihargai daripada yang lain.
Selama beberapa tahun terakhir, telah ada banyak penelitian tentang genre dalam konteks akademik. Dimulai dengan makalah Kaplan yang berpengaruh pada pola budaya dalam tugas tulisan siswa, suatu tradisi terdadap penelitian tentang tulisan yang terutama pada genre yang harus dikuasai oleh siswa-siswa untuk menguasainya  di universitas dalam komunitas riset berbahasa Inggris. Setidaknya empat helai yang berbeda dari penyelidikan dapat diidentifikasi tidak satupun yang dapat  ditinjau di sini lebih mendalam:[3]
 (a) pendekatan antarbudaya, yang langsung dimulai dan dipengaruhi oleh kerja Kaplan, yang berfokus pada pola tekstual yang khas untuk budaya akademik tertentu dan bahasa tertentu (lih misalnya Clyne 1984, 1987; Duszak 1994; Mauranen 1993; Ventola & Mauranen 1997);
(b) retorika komunikasi tertulis (Bazerman 1988; Berkenkotter & Huckin 1995; Freedman & Medway 1994; Myers 1990) yang menekankan kontingensi sejarah, budaya dan kelembagaan, dan orientasi tujuan pada genre;
 (c) pendekatan berbasis genre yang telah 1) terfokus pada hubungan genre wacana masyarakat (Bhatia 1993; Swales 1990); atau 2) telah diberitahu oleh linguistik fungsional sistemik (terutama oleh apa yang disebut "sekolah Sydney", lih Eggins & Martin 1997; Halliday & Martin 1993; Martin 1992, 1993, 1997, 1998, 1999, 2000; Ventola 1995, 1996 1997);
(d) dalam beberapa tahun terakhir yang disebut "kemahiran akademik pendekatan" yang di-korporat banyak aspek pendekatan yang sebelumnya telah diselidiki, tetapi memberikan perhatian khusus terhadap proses pembelajaran siswa dan memperluas dan memperdalam pemodelan teoritis tulisan siswa dengan mengambil faktor-faktor seperti pengaturan kelembagaan, hubungan kekuasaan antara siswa dan instruktur, variasi-ikatan repertoar komunikatif (seperti genre, bidang, disiplin dll), dan pentingnya identitas siswa-siswa.


    1.1 Register and Genre Theory (R&GT)
R&GT cenderung diartikan sebagai suatu proses  social yang berorientasi pada tujuan yang bertaap bahwa anggota budaya saling berinteraksi dapat capai (Eggins & Martin 1997; Martin 1985, 1992, 1999; Ventola 1987). Ingat bahwa genre terdiri dari tahapan seperti Orientasi, Argumen, Evaluasi, dll Genre juga berorientasi pada tujuan dimana bahwa genre tersebut bergerak menuju titik akhir. Misalnya, akhir-titik narasi adalah Resolusi. Semua tahapan sebelum narasi, oleh karena itu, dapat dilihat sebagai mengarah ke tahap akhir. Akhirnya, genre merupakan sumber daya budaya dapat dibandingkan dengan apa yang menurut Halliday & Hasan disebut sebagai konteks budaya dan karena itu dibagi di antara para anggota suatu masyarakat tutur.[4]
R&GT telah mengidentifikasi dua jenis utama dari kelompok genre: cerita dan penjelasan (Martin 1985, 1992, 1997, 2002). Kelompok lain termasuk layanan pertemuan, janji-keputusan, wawancara dan kontrol (Martin: 2002). Genre cerita termasuk recount, anekdot, exemplum dan narasi. Genre cerita melibatkan evaluasi prosodi dan cenderung untuk mengkarakterisasi rangkaian peristiwa episodik biasa atau tidak biasa (yaitu, mengandung tahapan dan serangkaian kegiatan yang terungkap secara kronologis). Genre eksposisi meliputi prosedur, penjelasan, laporan, argumen dan diskusi (Veel 1997). Berbeda dengan genre cerita ini cenderung tidak terungkap secara kronologis, melainkan terungkap dengan mengacu pada organisasi tekstual tertentu. Martin menegaskan perbedaan antara bidang waktu dan teks waktu dapat membantu memperjelas masalah ini. Genre cerita cenderung mengandalkan hubungan penghubung eksternal yang mengungkapkan  kejadian yang sebenarnya secara kronologis yang terungkap pada peristiwa.[5] Dalam kalimat: I went to the store and then I  picked out a pair of pants, and then … (saya pergi ke toko dan kemudian saya memilih sepasang celana, dan kemudian ...)  rangkaian acara diungkapkan secara kronologis melalui hubungan temporal dan waktu. Di sini, teks berorientasi ke bidang waktu, untuk kegiatan sosial yaitu membeli. genre eksposisi, sebaliknya, cenderung diwujudkan dalam hubungan penghubung internal. Ini adalah hubungan yang mengarahkan ke tujuan sosial dari suatu teks, bukan untuk apa yang terjadi di luar teks. Dari tulisan argumen, misalnya, merupakan umum untuk menemukan daftar argumen yang mendukung tesis yang didahului oleh hubungan temporal seperti pertama, kedua dan akhirnya. Hubungan ini bersifat internal, karena merupakan terungkapnya sebuah argumen. Hubungan inimenafsirkan bagaimana teks ini diorganisir.
Menurut Swales (1990) pada dasarnya istilah genre dapat didefinisikan sebagai classes of communication events which typically posses features of stability, name recognition and so on. Swales juga berpendapat bahwa pengertian tentang suatu genre sangat berkaitan dengan tujuan komunikasi serta struktur skematik suatu wacana.

A genre comprises a class of communicative events, the members of which share some set of communicative purposes. These purposes are recognized by the expert members of the parent discourse community and thereby constitute the rationale for the genre. This rationale shapes the schematic structure of the discourse and influences and constrains choice of content and style. [6]

Peristiwa komunikatif yang menyangkut genre tersebut terdiri dari teks (baik tertulis maupun lisan) serta proses enkode dan dekode. Kemampuan pengenalan genre sangat berkaitan dengan pengetahuan silam (prior knowledge) mengenai dunia, pengetahuan tentang teks-teks yang pernah ada sebelumnya (prior text), dan pengalaman tentang proses enkode-dekode (Swales,1990: 9). Salah satu contohnya adalah kasus yang dikaji oleh Painter tentang cara anak kecil dapat memperoleh kemampuan pengenalan genre pertamanya, seperti membedakan kisah pengantar tidur, nursery rhymes, ataupun permainanguru-murid. Menurutnya, terdapat beberapa petunjuk yang mengindikasikan bahwa anak-anak dapat memperoleh kemampuan pengenalan genre sejak dini karena mereka mampu menginternalisasi pola bahasa dan genre yang disebabkan oleh adanya interaksi percakapan yang terus diulang (Painter,1986 dalam Swales, 1990: 90). Dengan kata lain, pengalaman sebelumnya yang berkaitan dengan pola dan terjadi berulang-ulang sangat berpengaruh pada proses pengenalan genre. Di sini juga dapat dilihat bahwa intertekstualitas suatu teks terhadap teks-teks yang ada sebelumnya membantu anak-anak untuk mengelompokkan teks-teks yang memiliki persamaan-persamaan tertentu.
Upaya mengakrabkan struktur suatu wacana sehingga dapat sesuai dengan ekspektasi/dugaan tentang apa yang hendak dibicarakan oleh teks atau biasa dikenal dengan skemata2. Carrel dan Eisterhold (1987) mengatakan bahwa salah satu poin utama dalam teori skema adalah teks macam apapun pada dasarnya tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, melainkan hanya berfungsi mengarahkan       pembaca        atau    pendengar       memperoleh  kembali          atau mengkonstruksikan sebuah makna dari pengetahuan silam yang telah mereka miliki (background knowledge). Dengan kata lain, teori skema memandang proses pemahaman sebuah teks adalah sebuah proses interaktif yang melibatkan teks itu sendiri dan background knowledge pembaca/pendengar teks. Carrel dan Eisterhold melukiskannya dengan mengutip Anderson (1977), every act of comprehension involves ones knowledge of the world as well. Mereka berpendapat bahwa proses pemahaman kata, kalimat, dan teks secara keseluruhan membutuhkan lebih dari sekadar mengandalkan pengetahuan linguistik semata. Sebagai contoh, Carrell dan Eisterhold (1987) menggunakan kalimat, The policeman held up his hand and stopped the car, yang pernah digunakan oleh Collins dan Quillian (1972). Dalam proses memahami makna kalimat, pertama-tama pembaca akan mengaitkan kalimat tersebut dengan sesuatu yang dirasa masuk akal berdasarkan pengetahuan sang pembaca. Pembaca atau audiens memiliki sejumlah respon potensial untuk bereaksi terhadap situasi tersebut. Ada beberapa skema atau skenario yang mungkin muncul di kepala pembaca, namun yang paling mungkin adalah skema yang melibatkan seorang polisi memberi tanda kepada pengendara mobil untuk berhenti. Dapat dilihat di sini bahwa saat memahami kalimat tersebut, pembaca memunculkan sejumlah konsep ke permukaan, yang sebenarnya tidak diungkapkan dalam teks.


    1.2 Rhetorical Structure Theory (RST)
Rhetorical Structure Theory atau Teori Struktur Retorika (TSR) adalah sebuah pendekatan telaah deskriptif tentang organisasi teks. Teori yang merupakan hasil kolaborasi pemikiran Mann dan Thompson (1993) ditujukan untuk mengkaji struktur relasi antar bagian teks. Analisis TSR menunjukan asumsi bahwa setiap teks memiliki elemen-elemen yang terhubungan satu sama lain dalam struktur hirarkis yang beroperasi dan akan memfungsikannya tersebut menjadi sebuah kesatuan untuk dimaknai oleh audiensnya. Struktur hierarkis tersebut dibangun tidak hanya dibangun oleh elemen leksikal tapi juga elemen gramatikal seperti artikel, penanda transisi, modalitas, dan preposisi. Di samping itu, TSR juga mengidentifikasi relasi struktural teks berdasarkan logika bahasa saat elemen gramatikal tidak secara eksplisit hadir dalam teks. Oleh karena itu, analisis TSR menghasilkan deskripsi umum yang bersifat komprehensif dan tidak parsial. Analisis TSR berupaya untuk mendeskripsikan keterlibatan aspek literal dan non-literal yang melatarbelakangi produksi komposisi struktur sebuah teks. Secara umum, TSR bermanfaat untuk melakukan investigasi problematika linguistik dalam sebuah teks tertulis.      fungsi TSR antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Mendeskripsikan relasi antar klausa untuk pemaknaan konjungsi, kombinasi klausa, dan elemen parataksis tanpa tanda (Thompson dan Man, 1987).
2.    Mendeskripsikan analisis karakter sebuah teks. TSR dapat memberikan pemaparan kesesuaian struktur sebuah teks dengan aplikasi genre tertentu.
3.    Menjadi analisis dasar dalam pengembangan kajian perbandingan retorika dan kreasi wacana sebuah narasi, termasuk untuk teks antar bahasa.
4.    Alat untuk mengkaji struktur wacana naratif.
5.    Alat untuk menganalisis motivasi atau proposisi dibalik produksi dan koherensi dari penulis dan atau penutur sebuah teks.

Analisis deskriptif TSR berawal dari identifikasi komposisi struktur yang diproduksi oleh penulis dan atau penutur teks. Dari struktur yang telah didapatkan tersebut, TSR akan menginterpretasi teks untuk mengungkap relasi proposisi antara penulis dan atau penutur teks dengan teks itu sendiri.
TSR tidak menyebutkan bahwa latar belakang penulis dan atau penutur mempengaruhi hasil analisis, akan tetapi TSR menitikberatkan aspek kontekstual yang secara implisit dimiliki struktur sebuah teks. Ini artinya TSR melihat aspek non-literal seperti pragmatik dan karakterisasi yang diajukan penulis dan atau penutur teks dan sasaran audiens menjadi bagian yang terintegrasi dalam struktur retorika teks. Struktur gramatika bahasa sebagaimana dijelaskan Francis dan Kramer-Dahl bahwa fungsionalisasi dan kreativitas dalam produksi bahasa tidak bertumpu pada aspek leksikogramar (Francis dan Kramer-Dahl dalam Toolan, 1992: 56-90). Lebih lanjut, Halliday mendefinisikan penggunaan bahasa 3 klasifikasi yaitu ide/konseptual, tekstual, dan interaksional yang tersusun dalam struktur teks. Klasifikasi tersebut dinamakan juga sebagai Systemic (meta) Functional Grammar. Pertama, bahasa mengkomunikasikan ide/konsep melalui suatu struktur dan dalam kondisi tertentu. (Halliday dan Hasan (1976) dalam Toolan,1992:66-80) Selanjutnya, struktur teks tersebut menggunakan pilihan kata tertentu yang bersifat tematis sesuai ide/konsep yang diinginkan penulis dan atau penutur. Ketiga, interaksional menentukan tingkat kepastian dan modus tertentu saat teks dikomunikasikan kepada sasaran audiensnya.
Audiens sasaran lebih lanjut diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kategori pertama adalah Esoteris yang mengacu pada audiens yang memahami dan terlibat dalam kontekstualisasi konvensi teks. Eksoteris sebaliknya mengacu pada audiens yang tidak terlibat dalam kontekstualisasi konvensi struktur teks tetapi memahaminya (Myers (1989) dalam Toolan, 1992: 39). TSR menjabarkan antisipasi penulis dan atau penutur menghadapi berbagai jenis audiens melalui struktur teks. Hal tersebut mencakup antisipasi baik secara eksplisit tercantum maupun indikasi implisit dalam struktur retorika sebuah teks. Maka sebuah retorika dapat disampaikan dalam struktur yang bervariasi antar satu teks dengan teks lainnya tergantung pada relasi yang ingin dibangun berdasarkan agenda penulis dan atau penutur kepada para sasaran audiensnya
Linguis William C. Mann dan Sandra A. Thompson mengembangkan teori yang mengkaji struktur retorika teks bernama Teori Struktur Retorika (TSR). Dalam teori mereka, retorika dibangun atas kombinasi pernyataan yang diklasifikasi dalam dua kelompok yaitu nucleus dan satellite. Struktur hierarkis konfigurasi kombinasi keduanya menentukan keberhasilan fungsi relasi skematis tertentu dipahami oleh para audiensnya (Mann dan Thompson, 1993). Struktur tersebut meliputi keseluruhan teks dan bergerak ke tataran yang lebih mikro. Pergerakan tersebut akan menghasilkan berbagai relasi skematis. Namun, skema relasi tersebut haruslah mempertimbangkan koherensi atau keberterimaannya dengan skema relasi sebelumnya di tingkat yang lebih makro. Ada kecenderungan membuat teks retorik berstatus otonom. Artinya, keberhasilan suatu retorik bergantung pada kekuatan struktur logika yang ditawarkan oleh kecakapan oratornya mengolah kombinasi sejak tingkat klausa, kombinasi klausa, tingkat kalimat, hingga mengkolaborasikan wacana-wacana dalam teks.
TSR sejalan dengan Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan oleh Fairclough melalui tiga dimensi peristiwa komunikatif. TSR mengelaborasi lebih dalam dialektika ketiga dimensi tersebut dalam level tekstual. Setiap relasi skematis merupakan wujud motif/kepentingan penulis/penuturnya terhadap audiens sasarannya melalui pilihan sepihak. Baik kombinasi kata, kombinasi klausa, kombinasi kalimat, dan atau kombinasi wacana tertentu memperlihatkan pengandaian representasi identitas yang dikehendaki atas diri penutur maupun audiens sasaran. Dalam TSR, terdapat beberapa skema relasi yang memberikan ruang bagi audiensnya untuk terlibat dalam peristiwa komunikatif berupa interpretasi makna yang ditawarkan dalam teks dan ada pula skema relasi yang sepenuhnya dikontrol oleh pihak penuturnya. Pilihan tersebut secara tersirat dapat memperlihatkan relasi kuasa yang merupakan kepanjangan tangan dari paradigm  sosiokultural antara penutur dengan audiens sasaran[7] (Fairclough, 2001). Hal tersebut dapat disadari melalui fakta hubungan hierarkis antara nucleus dengan satelitnya sebagai suatu fenomena yang senantiasa hadir dalam teks keseluruhan walau sekali waktu hubungan yang koordinatif hadir melalui skema multinuklir.
Teori Struktur retorika (TSR) adalah teori fungsional struktur teks (Mann & Thompson 1987: 2) yang menggambarkan hubungan fungsional antara bagian teks pada tingkat yang berbeda (dari klausula ke tingkat tekstual).  Ini, bagaimanapun, tidak berarti bahwa RST memandang teks sebagai unit gramatikal (sebagai salah satu mungkin menyimpulkan dari fakta bahwa RST analisis bergantung pada unit seperti "klausa"). Teks yang lebih dilihat sebagai terdiri dari (setidaknya) tiga jenis struktur (Mann et al 1992:. 41): "struktur holistik" (yaitu struktur generik), "struktur relasional" (ini adalah jenis struktur RST mencoba model, pada dasarnya struktur fungsional yang timbul dari hubungan koherensi antara bagian teks), dan "struktur sintaksis" (di mana "sintaksis" digunakan dalam "akal sehat" yang berarti). Mann & Thompson (1987) menganggap bahwa hubungan fungsional dalam teks mungkin (tapi tidak harus) dinyatakan dengan berbagai cara (linguistik) (mis sinyal leksikal atau gramatikal atau tidak ada ekspresi eksplisit sama sekali
Namun, RST mengasumsikan bahwa hubungan fungsional ditetapkan antara bagian-bagian dari teks permukaan dan bukan antara proposisi, sebagai teks kognitif teori linguistik standar.

Representasi RST didasarkan pada empat jenis unsur:
·         hubungan,
·         skema,
·         aplikasi skema,
·         struktur tekstual

Definisi-definisi hubungan mengidentifikasi jenis-jenis hubungan antara bagian-bagian dari rentang teks. Dalam hal RST "rentang teks adalah interval linear teks yang tidak terputus"[8] (Mann & Thompson 1987: 4). Model ini mengasumsikan bahwa rentang teks tidak tumpang tindih tapi itu merupakan salah satu rentang dapat terdiri dari beberapa rangkaian lainnya (yang merupakan bagian dari tingkat hirarki yang lebih rendah). Pada tingkat terendah analisis masing-masing rentang terdiri dari setidaknya dua unit minimal (biasanya—tapi belum tentu clauses, mungkin unit minimal yang lebih besar). Mengidentifikasi hubungan tertentu dalam teks dipandang sebagai keputusan yang masuk akal pada keinginan penulis oleh penganalis (atau pembaca masing-masing).
"Penganalis memiliki akses pada teks, pengetahuan tentang konteks tulisan, dan memberikan konvensi budaya penulis dan pembaca yang diharapkan, tetapi tidak memiliki akses langsung ke salah satu penulis atau pembaca lainnya."[9]

Struktur teks adalah hasil dari analisis berulang (yaitu skema aplikasi) dari hubungan teks fungsional pada tingkat yang berbeda. Berikut kendala untuk aplikasi skema dalam suatu pegangan analisis struktural:
"Kelengkapan (completeness): set berisi satu aplikasi skema yang berisi satu set bentang teks yang merupakan keseluruhan teks.
Keterhubungan (connectedness): Kecuali untuk seluruh teks sebagai rentang teks, setiap rentang teks dalam analisis adalah salah satu unit minimal atau konstituen dari aplikasi skema lain dari suatu analisis.
Keunikan (uniqueness): Setiap aplikasi skema terdiri dari satu set yang berbeda dari bentang teks, dan dalam hubungan multi-skema setiap relasi berlaku untuk set yang berbeda dari bentang teks.
Keterdekatan  (Adjacency ):. Bentang teks setiap aplikasi skema merupakan salah satu rentang teks "(Mann & Thompson 1987: 7f, penekanan asli)

Kendala "keterdekatan " berarti bahwa menurut bentang teks RST mungkin tidak terputus oleh bagian dari bentang teks yang lain (lih juga "keterhubungan" kendala yang menetapkan bahwa tidak ada rentang teks mungkin tidak terhubung ke seluruh teks). "Keunikan" kendala yang melemah dalam publikasi (misalnya Mann, 2002; Mann et al, 1992.) Di mana para penulis mengakui bahwa RST analisis kadang-kadang menghasilkan beberapa struktur, dan bahwa tidak dalam semua kasus mungkin untuk menetapkan hanya satu jenis sehubungan dengan rentang teks. Jika lebih dari satu hubungan koherensi dapat memegang antara dua entitas representasi yang dihasilkan dari teks akan ambigu. Dalam kasus tersebut, teks yang sama (terutama jika tidak memiliki perangkat kohesif yang memadai) mungkin memiliki representasi yang berbeda dengan penerima yang berbeda.
Tiga sifat struktur RST relevan dalam konteks penelitian ini: (kemungkinan) urutan bentang teks, fungsi nuclearity dan hubungan proposisi. Meskipun RST berpendapat bahwa urutan inti dan satelit (s) dalam rentang teks tidak dibatasi oleh pertimbangan teoritis, Mann & Thompson (1987) melaporkan bahwa teks empiris analisis menunjukkan bahwa sejumlah hubungan tampaknya memiliki kecenderungan menuju " kanonik order "dari inti-satelit pat-terns. Para penulis mengamati bahwa dalam kasus di mana urutan kanonik relasi dibalik dalam teks yang sebenarnya, konversi rentang teks ke urutan kanonik meningkatkan pembacaan teks (dan sebaliknya). mengikuti perintah kanonik hubungan dapat ditemukan[10]:

"Satelit sebelum inti: antitesis, latar belakang, kondisional, membenarkan, solusi hood
Inti sebelum satelit: elaborasi, pemberdayaan, bukti, tujuan, pernyataan kembali "

Di bawah perspektif semiotik teks, urutan kanonik bentang teks dapat berhubungan dengan parameter semiotik "ikonisitas" (bdk. Dressler 1989, 2000, yang bergantung pada diferensiasi Peirce antara ikonik, indexical dan tanda-tanda simbolik). Dengan demikian, dalam hal "pembuktian" atau "elaborasi" hubungan itu lebih ikonik untuk menyajikan sebuah asumsi atau pernyataan pertama (yaitu nukleus) dan untuk memberikan bukti atau elaborasi lebih jauh (yaitu satelit (s)) setelah itu, sedangkan dalam hal "membenarkan" hubungan itu lebih ikonik untuk menyajikan tempat (yaitu satelit) pertama dan kemudian menarik kesimpulan.


  
2. R&GT and RST: Pros and Cons
Daya Dorong dibalik penggabungan R & GT dan RST adalah untuk memberikan perspektif yang saling melengkapi organisasi teks global. Beberapa studi telah berusaha untuk menggabungkan kedua teori dalam analisis teks (Bateman & Rondhuis 1997; Taboada & Lavid 2003). Menggunakan R & GT, Toboada & Lavid (2003) mengidentifikasi struktur generik dari dialog penjadwalan, dan memberikan bukti linguistik untuk tahap generik yang teridentifikasi. Dengan demikian mampu menunjukkan bahwa setiap tahap generik disadari oleh jenis yang berbeda dari hubungan pola retorika dan tematik. Penelitian Bateman & Ronduis '(1997) dibandingkan dengan hubungan koherensi tiga teori yang berbeda Segmented Discourse Representation Theory (SDRT), RST dan konjungsi Hubungan (Conjunctive Relations /CR).
Penelitian ini tidak meneliti organisasi teks global, memberikan uraian singkat terhadap  bagaimana RST dan CR membebedakan pada tingkat kohesi. Bateman & Rondhuis '(1997: 22-23) kritik utama dari RST adalah bahwa hubungan retorika tidak didasarkan pada realisasi linguistik:

"Dua isu yang akan dibahas lebih rinci harus disebutkan di sini. Pertama, jarak yang disengaja diadakan sehubungan dengan realisasi linguistik membuatnya kurang eksplisit secara utuh tepatnya pada aspek makna inti atau satelit yang menjadi pertibangan ketika menekankan pada kemungkinan penggunaan relasi; ini memperkenalkan sumber-sumber yang kurang spesifik. Dan kedua, sering ada ketegangan diperkenalkan ke analisis berdasarkan aspek-aspek makna teks yang "tidak fokus" sering satu relasi tertentu dipilih daripada yang lain; misalnya, sering terjadi bahwa beberapa hubungan kausal dapat diasumsikan antara peristiwa, tetapi hubungan itu juga dapat melayani fungsi tambahan retoris untuk teks (misalnya, seperti memberikan bukti atau pembenaran). "
                         
3. Text Cohesion and Coherence
Pembahasan tentang  R&GT dan RST telah menunjukkan bahwa: 1) teks cenderung memiliki organisasi global; 2) organisasi global teks ini berkaitan dengan fungsi teks dan tujuan; 3) fungsi teks diwujudkan dalam tahapan yang berorientasi pada tujuan dan pola bahasa; dan 4) teks dapat terdiri dari elemen sentral atau nuklir, dan sejumlah satelit yang memperluas arti dari elemen nuklir. Oleh karena itu, sejauh mana sebuah teks memenuhi fungsi dan tujuan sosial dapat dilihat, sebagian, tergantung pada sejauh mana empat kriteria ini terpenuhi. Bagaimanapun, bahwa organisasi global hanya bagian dari cerita. Jika kita membuat klaim yang luas tentang fungsi teks, kita perlu melihat lebih dekat pada bahasa yang digunakan untuk mewujudkan suatu struktur teks global. Untuk alasan ini, lebihbanyak membahas tentang kohesi dan koherensi teks. Pada bagian berikut, kami akan mencoba untuk membatasi diskusi untuk SFL- dan pembahasan yang berhubungan dengan RST.
Koherensi dapat berupa elaborasi, yaitu anak kalimat yang satu menjadi penjelas anak kalimat yang lain, misalnya dengan menggunakan konjungsi yang dan ”selanjutnya. Koherensi dapat pula berupa perpanjangan anak kalimat yang satu dengan menggunakan anak kalimat yang lain. Koherensi ini dapat ditandai dengan konjungsi dan (tambahan), tetapi” (kontras), serta atau (setara). Selain itu, koherensi juga dapat berupa peningkatan anak kalimat, yaitu anak kalimat yang satu memiliki tingkat posisi yang lebih tinggi dari anak kalimat yang lain. Koherensi seperti ini ditandai dengan adanya anak kalimat yang bebas (dapat berdiri sendiri) dan anak kalimat yang terikat.
Selain koherensi, pemilihan dan penggunaan alat kohesi juga digunakan untuk menyusun keruntutan informasi-informasi dalam teks dan dapat mencerminkan jalan pikiran penulis teks. Kalimat-kalimat dalam wacana bukanlah elemen-elemen yang saling berdiri sendir melainkan saling terikat membentuk hubungan kesatuan makna. Terdapat lima alat kohesi yang dapat membentuk hubungan antar kalimat pada teks, yaitu kata ganti, substitusi (penggunaan kata lain untuk merujuk kepada suatu kata, frase atau klausa yang ada sebelumnya), elipsis (penghilangan kata, frase atau klausa yang pernah muncul sebelumnya), konjungsi, dan kohesi leksikal, yang umumnya berupa repetisi (Halliday, 1976 dalam Johnstone, 2002).

    3.1 Texture in Systemic Functional Linguistics
Dalam teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS) dengan pendekatan fungsional dinyatakan bahwa bahasa terstruktur berdasarkan fungsi bahasa dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasa terstruktur berdasarkan tujuan npenggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan untuk suatu fungsi atau tujuan disebut teks (text). Dengan pengertian itu, teks yang digunakan untuk menceritakan peristiwa (narasi) terstruktur berbeda dengan teks yang digunakan untuk melaporkan satu peristiwa (laporan), kecenderungan tata bahasa dalam teks sejarah berbeda denga teks fisika dan struktur teks politik berbeda dengan teks kesastraan. Perbedaan ini terjadi karena fungsi dan tujuan masing-masing teks berbeda.          Perbedaan teks direalisasikan oleh perbedaan tata bahasa (lexicogramar) secara kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan perbedaan kualitatif adalah dalam dua teks yang berbeda tujuannya pemunculan suatu aspek tata bahasa terjadi pada satu teks itu, sementara dalam teks yang satu lagi aspek tata bahasa itu tidak muncul. Perbedaan kuantitatif menunjukkan bahwa tingkat probabilitas pemunculan aspek tata bahasa itu lebih tinggi daripada teks yang satu lagi.
Halliday & Hasan mendefinisikan teks sebagai unit semantik yang "mungkin lisan atau tertulis, prosa atau sajak, dialog atau monolog. Ini mungkin apa saja dari teriakan sesaat bantuan untuk semua-hari diskusi tentang komite"[11]. Selain itu, pertanyaan apakah sesuatu yang dapat diklasifikasikan sebagai teks adalah hal tentang derajat; yaitu, contoh bahasa mungkin memiliki berbagai tingkat tekstur. tekstur Sebuah teks akan tergantung pada sifat semantik internal. Halliday & Hasan (1976: 4) mengacu pada sifat-sifat semantik sebagai kohesi, yang "merujuk kepada hubungan makna yang ada dalam teks, dan yang mendefinisikannya sebagai teks". Dalam menjelaskan bagaimana hubungan semantik beroperasi, konsep dasi, ketergantungan dan pengandaian yang sering digunakan. Pertimbangkan sebagai contoh, kalimat I finally finished up my essay (saya akhirnya menyelesaikan esai saya). Dalam kalimat kedua, kata ganti ‘it’ anaforis terkait dengan kelompok nominal kata ‘my essay’. Makna ‘it’, terkait dengan, tergantung pada sesuatu kata yang datang sebelumnya. Sistem kohesif dari makna yang mengatur hubungan referensial disebut sebagai identifikasi.[12]
Sejauh mana teks dapat 'dipahami' tidak hanya tergantung pada sifat internal teks, yaitu, ikatan kohesif yang menghubungkan teks yang memiliki makna. Dalam interaksi sosial, interpretasi teks juga tergantung pada konteks situasional. Seperti yang Halliday & Hasan[13]menegaskan, "situasi tertentu, makna 'konteks situasi' di mana pada teks, mengacu pada semua faktor-faktor ekstra-linguistik yang memiliki beberapa penunjang pada teks itu sendiri". Sebuah konteks situasi melibatkan tiga dimensi: 1) Bidang: aktivitas sosial dan materi pelajaran; 2) Tenor: peran sosial di mana peserta dalam pengapdosian kegiatan sosial; dan 3) Mode: peran bahasa dalam hal saluran dan perantara. Seperti disebutkan sebelumnya, teori SFL menggunakan konsep realisasi untuk menangkap hubungan antara teks dan konteks: Teks mewujudkan konteks dan konteks, pada gilirannya, diwujudkan dalam teks. Konsep realisasi bukanlah hubungan sebab-akibat; melainkan merupakan satu probabilistik. Dengan demikian, untuk konteks tertentu, jenis tertentu dari pola linguistik yang memanifestasikan dirinya sebagai teks akan lebih mungkin terwujud dari pola-pola lainnya. Pola lainnya dapat terjadi, tetapi pola-pola tersebut kurang mungkin. Untuk teks tertentu, kita harus mengantisipasi konteks situasi tertentu. Jika hal ini terjadi, maka contoh yang diberikan teks dikatakan koheren. Eggins (1994) mengacu pada jenis koherensi sebagai koherensi situasional. Untuk menunjukkan bagaimana bahasa bisa 'berpisah' dari konteks, pertimbangkan contoh (1), dipisahkan menjadi lima klausa:

1)   (1)  Once upon a time there was a little white mouse called “Tiptoe”.
Sekali waktu ada seekor tikus putih kecil yang disebut "Jinjit"
(2)      I t’s very rarely hot in Paris.
        Sangat jarang panas di Paris
(3)     When does the race start?
        Kapan balapan dimulai?
(4)     It does so.
Ia melakukannya
(5)   No, I don’t know how to make chocolate crackles.
Tidak, saya tidak tahu bagaimana membuat crackles cokelat

Meskipun setiap klausa bisa diterima, tampaknya tidak akan ada ikatan yang bermakna untuk menghubungkan satu klausa ke yang berikutnya. Sehubungan dengan organisasi internal, tampaknya tidak akan ada ikatan kohesif yang memungkinkan untuk klausa berikutnya untuk memproses dari yang sebelumnya. Selanjutnya, contoh ini tidak memiliki koherensi situasional. Misalnya dimulai dengan pengenalan cerita, maka pernyataan tentang cuaca di Paris, kemudian pertanyaan, kemudian ketidaksepakatan dan akhirnya menanggapi pertanyaan tak tertulis. Dengan kata lain, tampaknya tidak menjadi konteks tunggal dari situasi yang akan membuat koleksi ini terhadap klausa yang koheren.

    3.2 Coherence and RST
Sebuah pandangan yang berbeda tentang kohesi dan koherensi. RST pada prinsipnya nampak menarik dari pengungkapkan linguistik teks kognitif. Menurut tradisi penelitian ini, koherensi adalah produk dari aktivitas mental produsen teks dan penerima ketika mereka berinteraksi dengan menggunakan bahasa (misalnya van Dijk & Kintsch 1983; Givon 1993; Hörmann 1988; Mignolo 1989; Sanders & Spooren 2001) . Koherensi adalah "proses kolaboratif"[14], "seperangkat operasi interpretatif yng dilakukan oleh pendengar / pembaca untuk menyertakan makna pada sinyal (wacana)"[15]. Ini menghasilkan dalam "kelangsungan makna" (Hörmann 1988) yang penerima menyertakan teks. Dalam pandangan ini, koherensi tergantung pada konsep mental yang  diaktifkan oleh unit linguistik dan hubungan antara konsep-konsep tersebut, yang bersama-sama menciptakan "textworld" dari teks dalam pikiran pendengar / pembaca. "textworld" ini, bagaimanapun, terdiri lebih dari jumlah makna konstituen sebagai penciptaan rasa yang melibatkan juga pengetahuan sehari-hari dari  sipenerima teks (Beaugrande & Dressler 1981).
Ahli bahasa teks kognitif kemudian menarik kesimpulan perbedaan yang jelas antara kohesi, yang mereka pandang sebagai properti struktur lahir  gramatikal suatu teks dan koherensi, yang dipandang sebagai properti struktur dalam semantik suatu teks. Dalam pandangan ini erdapat hubungan kohesif antara kata-kata yang sebenarnya dari sebuah teks sedangkan hubungan koherensi ditetapkan antara proposisi yang (yaitu representasi semantik dari klausa teks yang "menanggalkan" fitur gramatikal). Koherensi berinteraksi dengan kohesi (Givon 1993), tetapi atribusi koherensi untuk sebuah teks tidak semata-mata tergantung pada perangkat kohesif eksplisit. Perhatikan contoh (2) dari Renkema  dan pernyataan berikutnya nya:[16]

 2) "He is not going to school. He is sick" (Dia tidak akan ke sekolah). Dia sakit. 'Hubungan antara dua kalimat ini bergantung pada pengetahuan, yaitu bahwa sakit dapat menjadi penyebab ketidakhadiran dari sekolah. Atas dasar pengetahuan ini, adalah mungkin untuk membuat suatu penghubung antara dua kalimat tersebut. "

Contoh ini tidak kekurangan koherensi situasional (situasi komunikasi yang sebenarnya di mana dua kalimat ini mungkin diucapkan adalah, misalnya, panggilan ibu untuk guru sekolah anaknya di mana ia menjelaskan mengapa anaknya tidak bisa bersekolah), tetapi tidak memiliki penanda linguistik eksplisit  untuk hubungan antara dua kalimat. Dengan demikian, hubungan koherensi (yaitu bahwa klausa kedua menyajikan penyebab untuk pertama) si penerima di sini akan melakukan agar "masuk akal" dari kedua klausamdari suatu contoh, harus dengan aktif (belum di banyak kasus - tidak sadar) dimasukkan oleh penerima.



C. SIMPULAN
Dengan memahami adanya fenomena Nuklearitas dalam operasionalisasi bahasa, analis TSR dapat mengenali anomali yang terjadi dan cara teks dikomunikasikan dalam rangka membangun memori ide dengan audiensnya. Variasi posisi Nucleus dan Satelit antar level tergantung kepentingan dan paradigma penulis dan atau penutur teks. Sejauh ini TSR melihat Nuklearitas hanya sebagai sebuah fenomena bahasa sebagaimana fenomena-fenomena dalam rangkaian struktur teks multi nucleus seperti fenomena struktur Genre dan fenomena paralelisme.
TSR ini hampir dapat diaplikasikan pada semua jenis teks yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Panjang atau pendeknya sebuah teks tidak membatasi aplikasi TSR. Namun, di banyak kesempatan sejauh ini diterapkan hanya dalam teks monolog.



DAFTAR PUSTAKA


Fairclough, N. (2001). Language and Power. London: Pearson/Longman
Givón, Talmy. 1993. “Coherence in Text, Coherence in Mind”. Pragmatics and Cognition
Gruber, Helmut & Peter Muntigl. 2005. Generic and Rhetorical Structures of Texts. Berlin: Societas Linguistica Europaea, Vo. XXXIV/1-2.
Halliday, Michael A. K. & Hasan, Ruquiya 1976. Cohesion in English. London: Longman.
Johns, Ann. 2002. “Introduction: Genre in the Classroom”. In: A. Johns (ed.), Genre in the Classroom: Multiple Perspectives. Mahwa, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, 3-13.
Kaplan, Robert. 1966/1972. “Cultural thought patterns in intercultural education”. Language Learning,
Martin, James R. 1992. English Text. System and Structure. Amsterdam: John Benjamins.
Mann, William, & Thompson, Sandra. 1987. Rhetorical Structure Theory: A Theory of Text Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina del Rey / California: Information Sciences Institute
Mignolo, Walter D. 1989. “Semiosis, Coherence, and Universes of Meaning”. In: M.-E. Conte, J. S. Petöfi & E. Sözer (Eds.),
Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies. An Introductory Textbook. Amsterdam: John Benjamins.,
William Mann, & Thompson, Sandra. 1987. Rhetorical Structure Theory: A Theory of Text Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina del Rey / California: Information Sciences Institute
Swales, John. 1990. Genre Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.



[1] Johns, Ann. 2002. “Introduction: Genre in the Classroom”. In: A. Johns (ed.), Genre in the Classroom: Multiple Perspectives. Mahwa, NJ.: Lawrence Erlbaum Associates, 3-13. hh.12-13
[2] Ibid, h.13[3] Kaplan, Robert. 1966/1972. “Cultural thought patterns in intercultural education”. Language Learning, 16, 1-2, 1-20.
[4] Halliday & Hasan. 1976. Cohesion in English. London: Longman.h.23[5] Martin. 1992. English Text. System and Structure. Amsterdam: John Benjamins.hh.180-181[6] John Swales, 1990. Genre Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.h.58[7] Fairclough, N. (2001). Language and Power. London: Pearson/Longman[8] Mann& Thompson. 1987. Rhetorical Structure Theory: A Theory of Text Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina del Rey / California: Information Sciences Institute.h.4
[9] Mann, & Thompson, 1987. Rhetorical Structure Theory: A Theory of Text Organization (No. ISI/RS-87-190). Marina del Rey / California: Information Sciences Institute. h.4
[10] Mann, William, & Thompson, Opcit, h.17[11] Halliday & Hasan, Opcit. h.1[12] Martin, Opcit. h.93[13] Halliday & Hasan, Opcit,h.21[14] Talmy Givón. 1993. “Coherence in Text, Coherence in Mind”. Pragmatics and Cognition,h.172[15] Mignolo, Walter D. 1989. “Semiosis, Coherence, and Universes of Meaning”. In: M.-E. Conte, J. S. Petöfi & E. Sözer (Eds.), h.484
[16] Jan Renkema. 1993. Discourse Studies. An Introductory Textbook. Amsterdam: John Benjamins., h.40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar