Oleh:
Agus Supriyadi-agsmalut78@gmail.com, Dian Kardijan-diankardijan@unsil.ac.id Marlon Irwan Ranti-nymir_37@hotmail.com
Abstrak
Tujuan penulisan
artikel ini adalah untuk mengetahui makna Teory Psikologi Diskursif
dalam kaitan dengan analisis wacana. Analisis wacana telah menjadi satu dari
pendekatan konstruksionis sosial yang sangat penting dengan psikologi social. Dalam
menganalisis wacana secaara empiris sebagai penggunaan Bahasa yang
disituasikan, psikologi diskursif berbeda baik dari pendekatan dengan psikologi
kognitif yang focus pada struktur Bahasa yang abstrak (termasuk pendekatan
Chomsky) dan dari teori wacana strukturalis dan poststrukturalis (termasuk
teori wacana Foucault dan Laclau dan Mouffe) yang tidan focus pada contoh
spesifik interaksi sosial
Kata
Kunci: Psikologi, Diskursif dan wanaca.
A. PENDAHULUAN
1. Discursive Psychology (Psikologi
Diskursif)
Biasanya, bidang psikologi sosial telah didominasi oleh
paradigm kaum cognitive yang mana menjelaskan fenomena psikologi sosial dalam
hal proses kognitif – berpikir, persepsi dan alasan. Menggunakan metode
percobaan dominan, peneliti bertujuan pada proses kognitif secara universal
sebagai penyebab aksi sosial. Ketertarikannya ada pada kognisi sosial,
pengertian sebagai proses mental informasi tentang dunia sosial.
Analisis wacana telah menjadi satu dari
pendekatan konstruksionis sosial yang sangat penting dengan psikologi sosial
(berikutnya, kita menggunakan psikologi diskursif sebagai istilah umum untuk
pendekatan ini). Pada pendekatan kognitifisme pada Bahasa, Bahasa tertulis dan
lisan terlihat sebagai refleksi dari dunia luar atau produk dari representasi
mental mendasar dari dunia ini (Edward dan Potter 1992: 2)[1].
Berbeda dengan kognitifisme, psikologi diskursif memperlakukan Bahasa tertulis
dan lisan sebagai konstruksi dunia yang berorientasi terhadap aksi sosial.
Dalam menganalisis wacana secara empiris
sebagai penggunaan bahasa yang di situasikan, psikologi diskursif berbeda baik
dari pendekatan dengan psikologi kognitif yang focus pada struktur Bahasa yang
abstrak (termasuk pendekatan Chomsky) dan dari teori wacana strukturalis dan
poststrukturalis (termasuk teori wacana Foucault dan Laclau dan Mouffe) yang
tidak focus pada contoh spesifik interaksi sosial.
2. Psikologi Diskursif sebagai Tantangan kepada Psikologi
Kognitif
Proses Diri dan Mental
Psikologi Kognitif menganggap sebagai sumber pada
konsepsi modern dari individual sebagai mandiri, agen yang dibatasi oleh
karakteristik yang otentik. Individual dan masyarakat dianggap sebagai entitas
yang terpisah, dengan demikian mengimplikasikan keberadaan dari dualism antara
individual dan masyarakat. Dunia sosial diperlakukan sebagai informasi yang
harus diproses, dan orang-orang dipahami sebagai prosesor informasi yang
terisolasi yang dengan cara proses kognitif, mengobservasi dunia dan demikian
mengakumulasi pengetahuan struktur dan pengalaman yang menentukan persepsi
mereka terhadap dunia.
Dasar pemikiran utama dalam psikologi kognitif adalah
bahwa individual menangani sejumlah besar informasi tentang dunia melalui
penggunaan proses kognitif yang mana mengkategorikan dunia dalam berbagai cara.
Asumsi yang mendasari dasar pemikiran ini adalah dunia memiliki banyak sekali
informasi yang individual tidak dapat menciptakan keluar dari kekacauan kecuali
dia menggunakan pengelompokan. Pengelompokan terlihat sebagai struktur mental
yang mengendalikan aksi kita (Condor dan Antaki, 1997). Perspektif ini
terbangun pada perseptualisme itu adalah gagasan kategorisasi yang didasari
pada pengalaman yang langsung dan empiris (Edwards dan Potter 1992).[2]
‘Teori konsistensi’ merepresentasikan
perspektif pada proses kognitif yang mana sangat berpengaruh hingga awal tahun
1980-an, dan yang mana psikologi diskursif menuai kritikan. Teori ini
berdasarkan pada asumsi bahwa masyarakat berjuang untuk konsistensi dalam cara
berpikir mereka. Mereka mencakup ‘teori ketidaksesuaian kognitif’ yang
diformulasikan oleh Louis Festinger (1957).[3]
Menurut konstruktifisme sosial, pakar
teori konsistensi kognitif, memiliki kesamaan dengan ahli kognitif lainnya,
meremehkan asal sosial keadaan psikologis dengan mendasarkan penjelasan mereka
pada hipotesis tentang proses universal.
Michael Billig (1982: 141) mencatat, sebagai contoh, bahwa para ahli
teori mengambil proses universalitas untuk diberikan daripada mendemonstrasikan
melalui studi antar budaya.
Dalam psikologi diskursif,
diargumentasikan bahwa cara kita memahami dan mengkategorikan dunia bukan universal,
tetapi secara historis dan sosial tertentu dan bergantung pada konsekuensinya.
Lebih lanjut, ahli psikologi diskursif menarik perhatian pada studi yang
menantang penemuan dari ‘konsistensi kognitif’. Studi ini memperlihatkan bahwa
variasi dalam pembicaraaan orang, di mana orang bertentangan dengan dirinya
sangat sering dan bahwa usaha membuat pendapat seseorang berpadu (yaitu
mengeliminasi variasi) relative jarang terjadi (Potter and Wetherell 1987: 38).[4]
Apakah sesuatu dimengerti sebagai
konsisten atau tidak konsisten tergantung pada situasi sosial dan pada
individual. Konsistensi dan tidak konsistensi itu sendiri kondisi variabel dan
satu dari aspek-aspek yang mana psikologi diskursif mempunyai minat khusus
yaitu bagaimana konsistensi dan tidak konsistensi digunakan sebagai strategi
retorika dalam penggunaan Bahasa yang disituasikan (Potter and Wetherell 1987:
38).
Asumsi bahwa hal itu universal, proses
kognitif individual dan aksi secara kolektif adalah integral pada pandangan
ahli kognitif terhadap individu sebagai agen mandiri yang terisolasi. Perbedaan
antara pandangan ini dan konsep sosial konstruksionis dari diri adalah
sebagaimana kita akan lihat nanti penting untuk perbedaan antara tradisi dua
penelitian.
3.
Penelitian
Sikap
Berdasarkan kognitivisme, penelitian sikap memandang
sikap sebagai pengendalian aksi orang melalui produksi evaluasi mental yang
sedang berlangsung di dunia. Tujuan penting dari penelitian adalah untuk
meningkatkan kapasitas komunikasi yang terencana seperti kampanye informasi
untuk mengubah sikap dan perilaku.
Dalam penelitian sikap, teori ‘aksi yang
terencana’ (Azjen 1988; Fishbein and Azjen 1975) merupakan percobaan untuk
meningkatkan kemampuan pengukuran sikap untuk memprediksi tindakan. Niat untuk
berperilaku dengan cara tertentu (contohnya, membeli makanan organic) terlihat
sebagai hasil dari tiga faktor: sikap seseorang terhadap obyek tindakan
(sebagai contoh, makanan organic), kesan dia terhadap dari apa yang orang lain
yang signifikan seperti teman atau keluarga berpikir tentang tindakan (dimensi
normative), dan dia mengendalikan atas tindakan (sebagai contoh, for example,
apakah dia dapat mampu membeli makanan organic atau apakah toko lokal
menyediakannya).
Dari perspektif psikologi diskursif,
penelitian sikap mengalami sejumlah masalah umum. Sebagai contoh, peneliti
sikap memperlakukan setiap sikap sebagai entitas yang terisolasi dan tidak
sebagai bagian dari sistem yang lebih besar dari makna, dan tidak ada teori
telah diformulasikan untuk menjelaskan cara sikap individu yang berbeda yang
terhubung ke yang lain.
4.
Konflik
Kelompok
Pendekatan ahli Kognitif terhadap stereotype dan konflik
kelompok berusaha untuk memahami proses psikologi sosial yang khas yang
menimbulkan konflik antara kelompok. Salah satu gagasan pusat adalah bahwa saat
orang menjadi anggota sebuah kelompok, mereka mulai mengidentifikasi dengan
kelompok tersebut dan melihat realitas sosial dari sudut pandangnya. Mereka
datang dan menganggap anggota kelompok mereka sendiri lebih baik daripada anggota
kelompok lainnya. Rasisme dan etnosentrisme kemudian dipahami sebagai hasil
dari anggota kelompok. Perspektif ini menyiratkan bahwa sebagai konsekuensi
dari proses mental yang universal, fungsi semua orang lebih atau kurang
identik.
Hal ini jugamengandung elemen
perceptualisme sebagaimana diasumsikan bahwa mengubah stereotype hanya terjadi
saat informasi baru bertentangan dengan stereotype yang diterima. Hal ini
menyiratkan bahwa jika korban stereotype yang bertindak secara berbeda, orang
akan memperlakukan orang dianggap sebagai penyebab prasangka, dan prasangka
orang diperlakukan sebagai efek yang tidak terelakkan dari strategi pengolahan
informasi (Wetherell 1996a).[5]
Dalam psikologi diskursif, teori
identitas sosial dianggapsebagai yang paling bermanfaat dari pendekatan
cognitivist. Teori Identitas sosial dibedakan dari pendekatan cognitivist
lainnya dalam Social identity theory
differs from other cognitivist approaches in menekankan bahwa konflik antara
kelompok memiliki asal usul dalam konteks sosial dan sejarah tertentu. Tetapi,
mempertahankan aspek cognitivist dalam hal melihat kategorisasi sebagai proses
psikologis. Tujuannya adalah untuk menentukan apa yang terjadi pada identitas
orang dan evaluasi mereka, persepsi dan motivasi ketika mereka saling
berinteraksi dalam kelompok.
Psikolog Diskursif telah meluncurkan
beberapa poin kritik yang sama terhadap teori identitas sosial karena mereka
memiliki terhadap pendekatan cognitivist lainnya. Mereka mempertanyakan sebuah
asumsi bahwa ada proses psikologis universal yang menyebabkan konflik kelompok.
Seperti dalam kasus teori konsistensi kognitif, teori identitas sosial tidak
memberikan bukti dari penelitian antar budaya. Menurut Psikologi Diskursif,
bahasa tidak hanya mengekspresikan pengalaman; selain itu, bahasa juga
merupakan pengalaman dan realitas psikologis yang subjektif (Potter and
Wetherell 1987; Shotter 1993; Wetherell 1995).
5.
Konstruksionisme
Sosial dan Psikologi Diskursif
Menurut Psikologi Diskursif, wacana tidak mendeskripsikan
dunia eksternal ‘di luar sana’ sebagai skemata dan stereotype lakukan sesuai
dengan pendekatan kognitifisme. Sebaliknya, wacana menciptakan dunia yang
terlihat nyata atau benar untuk pembicara. Bahasa tidak terlihat sebagai
saluran yang berkomunikasi secara transparansi kenyataan psikologi yang ada
yang mana adalah basis dari pengalaman; sebaliknya, kenyataan psikologi
subjektif yang didasari melalui wacana, didefinisikan sebagai penggunaan Bahasa
yang dikondisikan atau penggunaan Bahasa dalam teks dan bicara seharti-hari
(Shotter 1993; Wetherell dan Potter 1992).
Pernyataan tentang keadaan psikologis
harus diperlakukan sebagai aktivitas sosial yang diskursif daripada sebagai
ekspresi ‘esensi’ yang mendalam di balik kata-kata (Wittgenstein 1953). Kita
memberikan arti untuk mengalami dari keutamaan kata yang tersedia dan yang
dihasilkan berarti kontribusi untuk menghasilkan pengalaman daripada menjadi
hanya deskripsi pengalaman atau ‘setelah kejadian’ terjadi. Sebagaimana Potter,
Stringer dan Wheterell mengklaim, wacana dapat disebut untuk ’mengkostruksi’
kenyataan hidup kita (Potter et al. 1984).
Gagasan bahwa kenyataan hidup kita
merupakan diskursif bukan berarti bahwa psikologi diskursif berargumentasi
bahwa fenomena sosial tidak memiliki aspek materi, atau bahwa terdapat tidak
muncul kenyataan fisik diluar wacana.
Sejalan dengan Laclau dan Mouffe, intinya adalah bahwa fenomena hanya
akan menuai arti melalui wacana-wacana, dan bahwa penyertaan fenomena dengan
arti kontribusi kepada penciptaan objek dan subjek.
Wetherell dan Potter menekankan poin ini
dalam studi mereka dalam latihan diskursif di New Zealand:
New Zealand is no
less real for being constituted discursively – you still die if your plane
crashes into a hill whether you think that the hill is the product of a volcanic
eruption or the solidified form of a mythical whale. However, material reality
is no less discursive for being able to get into the way of planes.How those
deaths are understood […] and what caused them is constituted through our
systems of discourses. (Wetherell and Potter 1992: 65)[6]
Berlawanan dengan Laclau dan Mouffe, banyak psikolog
diskursif berpendapat bahwa kejadian sosial, hubungan dan struktur memiliki
kondisi dari eksistensi yang berada di luar bidang wacana. Contohnya, diperdebatkan, nasionalisme tidak
hanya dibentuk melalui wacana tapi juga melalui kekerasan negara dan kekuatan
material, sementara, di saat yang sama, sedang dibangun sebagai sesuatu yang
berarti dengan wacana (Wetherell dan Potter 1992).
Psikologi Diskursif dengan demikian
menempatkan praktik sosial tertentu di luar wacana, meskipun tidak membedakan
sebagai tajam antara praktik diskursif dan non-diskursif seperti halnya
analisis wacana kritis. Psikologi Diskursif juga berbeda dari teori wacana
Laclau dan Mouffe dalam menolak kecenderungan dalam poststrukturalisme untuk
menganalisis wacana sebagai fenomena abstrak, tidak berada dan 'disebabkan'
praktik sosial:
The study of
discourse can […] become something very like the geology of plate tectonics–a
patchwork of plates/discourses are understood to be grinding violently
together, causing earthquakes and volcanoes, or sometimes sliding silently one
underneath the other. Discourses become seen as potent causal agents in their
own right, with the processes of interest being the work of one (abstract)
discourse on another (abstract) discourse, or the propositions or ‘statements’
of that discourse working smoothly and automatically to produce objects and
subjects. (Wetherell and Potter 1992: 90)[7]
6.
Alur
Psikologi Diskursif yang Berbeda
Meskipun psikolog diskursif di seluruh jarak keseluruhan
diri mereka dari konsepsi yang sangat abstrak wacana dalam, misalnya,
pendekatan Laclau dan Mouffe, dalam mendukung posisi yang lebih interaksionis,
psikolog diskursif tidak setuju bagaimana untuk menyeimbangkan antara sirkulasi
yang lebih besar dari pola makna dalam masyarakat di satu sisi, dan occuring
produksi makna dalam konteks tertentu di sisi lain.
Kami akan membedakan antara tiga alur yang berbeda dari
psikologi diskursif dan dapat digambarkan sebagai berikut:
·
Perspektif poststrukturalis yang didasarkan
pada teori Foucault tentang wacana, kekuasaan dan subjek.
·
Perspektif interaksionis yang dibangun pada
analisis percakapan dan ethnomethodology.
·
Perspektif sintetis yang menyatukan dua
perspektif pertama.
Fokus dalam perspektif pertama, yang paling dekat dengan
konsepsi yang lebih abstrak wacana, kemudian, adalah tentang bagaimana
orang-orang pemahaman dunia dan identitas diciptakan dan berubah dalam wacana
tertentu dan pada konsekuensi sosial dari konstruksi-konstruksi diskursif.
Perspektif kedua berkonsentrasi pada analisis orientasi aksi teks dan berbicara
dalam interaksi sosial. Berbekal pada analisis percakapan dan ethnomethodology,
fokusnya adalah pada bagaimana organisasi sosial dihasilkan melalui pidato dan
interaksi.
Dalam perspektif ketiga, minat
poststrukturalis bagaimana wacana tertentu merupakan subjek dan objek yang
dikombinasikan dengan minat interaksionis dalam cara di mana wacana masyarakat
berorientasi aksi sosial dalam interaksi konteks tertentu. Stres yang sama
ditempatkan pada apa yang orang lakukan pada teks dan pembicaraan mereka dan
pada sumber daya diskursif yang mereka menyebarkan dalam praktek-prakteknya.
7.
Interpretative
Repertoires
Inti dari model Potter dan Wetherell adalah pandangan
wacana sebagai 'repertoar interpretatif' yang digunakan sebagai sumber yang
fleksibel dalam interaksi sosial. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi
tentang pertanyaan tentang komunikasi, aksi sosial dan pembangunan diri, lain
dan dunia. Potter dan Wetherell menganalisis bagaimana wacana dibangun dalam
kaitannya dengan aksi sosial, bagaimana orang membangun pemahaman mereka
tentang dunia dalam interaksi sosial, dan bagaimana pemahaman ini bekerja
secara ideologis untuk bentuk dukungan dari organisasi sosial berdasarkan pada
hubungan kekuasaan yang tidak seimbang.
Potter dan Wetherell mendefinisikan
wacana dalam beberapa cara: sebagai semua jenis interaksi verbal dan teks
tertulis (Potter and Wetherell 1987:7) dan dengan makna, percakapan, narasi,
penjelasan, rekening dan anekdot (Wetherell and Potter 1992: 3). Repertoar
interpretatif terdiri dari 'sejumlah istilah yang digunakan dengan cara gaya
dan tata bahasa tertentu’ (Wetherell and Potter 1988: 172), atau sebagaimana
mereka menulis kemudian:
By interpretative
repertoire, we mean broadly discernible clusters of terms, descriptions and
figures of speech often assembled around metaphors or vivid images. (Wetherell
and Potter 1992: 90)[8]
Setiap repertoar menyediakan sumber daya yang bisa digunakan
untuk membangun versi realitas. Sementara Wetherell dan Potter menekankan bahwa
istilah 'wacana' dapat digunakan untuk menggambarkan proses yang sama - dan
melakukannya sendiri sekarang dan lagi dalam analisis mereka - mereka lebih
memilih untuk menggunakan konsep 'repertoar interpretatif’.
Sebagai sumber yang fleksibel, repertoar interpretatif
adalah, pada saat yang sama, entitas yang dapat diidentifikasi yang mewakili
cara yang berbeda memberikan makna terhadap bentuk-bentuk dunia dan lunak yang
mengalami transformasi pada yang dimanfaatkan dengan retorika:
One of the advantages
of considering constructions like culture-as-heritage as interpretative
repertoires is that it suggests that there is an available choreography of
interpretative moves – like the moves of an icedancer, say – from which
particular ones can be selected in a way that fits most effectively in the
context. This emphasises both the flexibility of ordinary language use and the
way that interpretative resources are organised together in developed ways. It
shows the way the tectonic image breaks down in studies that focus on discourse
use in practice. (Wetherell and Potter 1992: 92)
B.
PIKIRAN,
DIRI DAN IDENTITAS
Psikologi Diskursif, sebagaimana yang telah dicatat,
didasarkan pada premis konstruksionis sosial bahwa diri individu yang tidak
terisolasi, entitas yang mandiri, melainkan berada dalam keteraturan, interaksi
yang dinamis dengan dunia sosial. Pikiran, diri dan identitas dibentuk,
dinegosiasikan dan dibentuk kembali dalam interaksi sosial.
Menarik sebagian pada karya Bakhtin,
Mead dan Vygotsky, psikolog diskursif melihat pikiran dan diri sebagai dibangun
melalui internalisasi dialog sosial. Menurut psikologi retorika Michael Billig,
sebagai contoh, setiap pendapat adalah posisi pada sebuah argumen daripada
evaluasi individual yang terisolasi, (misal, Billig 1991, 1996). Hal ini
didasarkan pada model retoris pikiran yang terinspirasi, khususnya, oleh
Mikhail Bakhtin. Bakhtin proposed that thought is internal dialogue, resulting
from the internalisation of public debate (Bakhtin 1981).
Anak-anak mengembangkan diri mereka
dengan internalisasi posisi mereka di kategori dalam narasi yang berbeda dan
wacana. Dengan mendengarkan jumlah yang ada di dunia, anak-anak belajar mode
yang tepat berbicara tentang diri mereka sendiri dan orang lain, termasuk
tentang pikiran dan emosi. Dan melalui cerita-cerita yang mereka katakan
sendiri, anak-anak mewakili, mencoba dan bernegosiasi dengan aspek diri
(Wetherell dan Maybin 1996).
The self is understood as relational or ‘distributed’:
The person,
consciousness, mind and the self are seen as social through and through. As a
consequence, it makes little sense to ask what is determined from the ‘inside’
and what is determined from the ‘outside’. […] The self, in this approach, is
not an object to be described once and for all but is taken to be a
continuously changing and fluid history of relationships (Gergen 1991, 1994).
Jerome Bruner captures this point nicely when he argues that the self has to be
seen as distributed, not localised as in the snooker ball but continually
spreading, changing, grouping and regrouping across a relational and social
field. (Wetherell and Maybin 1996: 222; italics in original)[9]
Dalam perspektif interaksionis, identitas yang dibuat
berdasarkan teori dan empiris yang dieksplorasi sebagai sumber daya yang orang
meminta untuk mencapai bisnis bicara (misal, Antaki and Widdicombe 1998).
Fokusnya adalah pada cara di mana identitas tertentu yang digunakan dalam
pembicaraan dalam konteks tertentu untuk melakukan tindakan sosial seperti
melegitimasi sikap tertentu. Berbeda dengan perspektif ini, dua alur lainnya
pada psikologi diskursif - perspektif poststrukturalis ketat dan perspektif
yang menggabungkan interaksionis dan perspektif poststrukturalis -
mendefinisikan dan menganalisis cara tertentu berbicara di mana identitas
tertanam sebagai struktur wacana itu dan membatasi bicara di konteks interaksi.
Poststrukturalis, Foucauldian melihat
perspektif pandangan identitas sebagai produk dari posisi subjek dalam wacana
(misal, Hollway 1989; Parker 1992). Salah satu penganut perspektif ini dalam
sosiologi, Stuart Hall, yang mana banyak psikolog diskursif melihat,
menggambarkan konsepsi ini identitas dengan cara berikut:
I use ‘identity’ to refer
to the meeting point […] between on the one hand the discourses and practices
which attempt to ‘interpellate’, speak to us or hail us into place as the
social subjects of particular discourses, and on the other hand, the processes
which produce subjectivities which construct us as subjects which can be
‘spoken’. Identities are thus points of temporary attachment to the subject
positions which discursive practices construct for us. (Hall 1996: 5f)[10]
Kedua perspektif poststrukturalis dan perspektif yang menggabungkan
poststrukturalisme dan interaksionisme stres yang identitas telah menjadi
tambahan yang terfragmentasi dan tidak stabil pada akhir modernitas seperti
yang dibangun di sejumlah wacana kontradiktif dan sering antagonis (Hall 1996:
6).
Pendekatan poststrukturalis dapat
menyebabkan cahaya pada pola-pola diskursif, memfokuskan pada hubungan antara
wacana yang berbeda dan posisi subjek dan hubungan kekuasaan mereka membangun,
sedangkan pendekatan yang menggabungkan poststrukturalisme dan interaksionisme
dapat memberikan wawasan tentang cara-cara orang, melalui penggunaan wacana
tersedia sebagai sumber fleksibel dalam pembicaraan, memposisikan diri dan
orang lain dengan cara-cara yang mendukung satu sama lain rekening, menciptakan
konsensus makna, atau menantang akun satu sama lain, yang mengarah ke negosiasi
makna.
C.
DESAIN PENELITIAN DAN METODE
Konsekuensi
secara teoretis dan metodologi untuk penelitian secara empiris perlu
dipertimbangkan dalam mengungkapkan pendapat seseorang, misalnya wawancara penelitian,
teks-teks media, kajian audiensi dan pidato politik. Sebelum menyajikan contoh
analisis secara empiris, akan diuraikan metode penelitian dengan metode
diskursif psikologi sebagai pendekatan kualitatif dengan memetakan sepulu
proses menurut Potter dan Wetherell (1987).
D.
PERTANYAAN PENELITIAN
Seperti
dalam pendekatan kualitatif lainnya, pertanyaan penelitian dalam diskursif yang
difokuskan pada psikologi perlu dirumuskan ke arah analisis produksi makna,
bagaimana makna diproduksi dalam wacana atau repertoar yang dibicarakan. Jadi
pertanyaan yang diajukan adalah kajian bagaimana orang memproduksi makna,
membuat konstruksi dunia, membentuk kelompok dan identitas melalui tindakan
diskursif. Misalnya, penelitian dengan topik umum, apakah media elektronik baru
memungkinkan membuat hubungan sosial dalam bentuk-bentuk baru, fokus
penelitiannya pada orang dalam penggunaan media baru dengan konstruksi
diskursif.
E.
PEMILIHAN SAMPEL
Melakukan
analisis wacana memerlukan waktu yang lama. Secara sistematis diperlukan untuk
membaca dan membaca ulang teks. Berkaitan dengan sampel, cukup hanya beberapa
teks (misalnya, dibawah sepuluh wawancara) dengan alasan tidak difokuskan pada
jumlah individu, tetapi perhatiannya difokuskan pada penggunaan bahasa dengan
pola diskursif dapat diperoleh dari beberapa orang. Terkadang lebih banyak
wawancara sebagai data akan membuat pekerjaan lebih banyak tanpa memperkaya
analisis. Selanjutnya, jumlah sampel yang diperlukan tergantung pada pertanyaan
penelitian dan analisis dapat difokuskan pada satu teks yang signifikan dalam
domain sosial tertentu. Jadi pada dasarnya, jumlah sampel disesuaikan dengan
kebutuhan sesuai dengan pertanyaan penelitian dengan menggunakan metode
tertentu.
F.
PRODUKSI DATA TERJADI SECARA ALAMI
Data
psikologi diskursif menggunakan data yang terjadi secara alami, buka dari hasil
kombinasi atau data yang dikondisikan oleh peneliti dengan responden, contohnya
transkrip dari percakapan sehari-hari, teks ilmiah dan teks media dalam konteks
sosial yang sifatnya peneliti tidak mempengaruhi data yang akan dianalisis.
Artinya, secara individu dapat memberikan data melalui percakapan dengan
teman-temannya atau sesuatu yang dia tulis yang secara etis peneliti
mendapatkan ijin untuk menganalisis menggunakan percakapan tersebut untuk
dianalisis secara intertekstual dari berbagai jenis teks yang dikumpulkan.
Misalnya laporan polusi air dari Departemen Lingkungan Hidup, pernyataan pers,
liputan berita atau wawancara dengan pembaca surat kabar dan pemirsa TV tentang
artikel Koran dan siaran berita yang kemudian produksi dan transformasi seluruh
wacana dalam domain tersebut dapat dipetakan.
G.
PRODUKSI DATA MELALUI WAWANCARA
1.
Psikologi Diskursif
Terhadap Metodologi Survei
Dalam psikologi diskursif wawancara
terstruktur dan tidak terstruktur merupakan metode yang dominan untuk
memproduksi data melalui kuesioner atau wawancara terstruktur. Dalam hal ini,
peneliti dapat menganalisis pola diskursif secara spesifik yang diberikan
responden. Namun demikian, data dari wawancara terstruktur tidak cocok untuk
analisis wacana karena mengandung pertanyaan dan pernyataan yang cenderung
dikondisikan oleh peneliti dan responden.
Fokus psikologi diskursif adalah pada dinamika
praktik (diskursif) melalui representasi yang diciptakan dan berubah dalam konteks sosial
yang berbeda.
Mengeksplorasi bagaimana wacana yang
mengandung kosa kata tertentu digunakan dalam interaksi sosial, psikologi
diskursif berbeda dengan analisis isi yang hanya mengidentifikasi kata-kata
tertentu.
2. Psikologi Diskursif Dibandingkan Metode Kualitatif Lainnya
Pendekatan psikologi diskurtif memanfaatkan
metodologi kualitatif dengan merumuskan
masalah secara jelas didukung oleh data yang betul-betul bisa menjawab
pertanyaan penelitiannya, karena apabila data yang dikumpulkan sedikit menyimpang
dari tujuan yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, maka akan
mengakibatkan masalah yang fatal sehingga hasil penelitian tidak akan valid.
Oleh karena itu, pengumpulan data melalui wawancara harus betul-betul
diperhatikan dalam penyusunan pertanyaan wawancara yang perlu dipertimbangkan
kedua aspek yaitu aspek yang berkaitan dengan konten(aspek tematis) dan aspek
yang berkaitan dengan interaksi sosial.
Menurut Steiner Kvale (1996), pertanyaan wawancara yang baik
harus berkontribusi tematis untuk menciptakan pengetahuan dan dinamis untuk meciptakan interaksi yang
baik. peneliti
harus menyusun pertanyaan dengan baik, pertanyaan terbuka, tindak
lanjut pertanyaan dan menata pertanyaan.
Perbedaan utama antara psikologi diskursif dan perspektif kualitatif
adalah bahwa psikologi diskursif memiliki pandangan lain dari hubungan
antara bahasa, makna dan psikologi masyarakat yang tertanam pada bahasa dan karena itu bahasa perlu dianalisis secara makna dengan
pendekatan seperti psikologi fenomenologis
yang melihat bahwa bahasa responden sebagai realitas refleksi dari psikologis yang dalam.
yang melihat bahwa bahasa responden sebagai realitas refleksi dari psikologis yang dalam.
H.
TRANSKRIP
Dalam
kajian analisis wacana berdasarkan psikologi diskursif perlu transkrip yang
disajikan sebagai implikasi dari ungkapan diskursif psikologi melalu wawancara
sebagai interaksi sosial. Oleh karena itu, dalam analisis wacana kritis
peneliti perlu memilih transkrip wawancara yang memungkinkan untuk dianalisis
sebagai bentuk interaksi sosial.selanjutnya, apabila wawancara dianggap sebagai
interaksi sosial, maka pertanyaan dan jawaban harus dicatat dan dianalisis.
Sebuah transkrip yang baik, dapat menunjukkan jawaban responden sebagai hasi
evaluasi peneliti terhadap responden.
I.
CODING
Dalam
pendekatan psikologi diskursif metode dan coding merupakan langkah pertama
untuk mengidentifikasi tema dan mengkategorikan fragmen teks dengan membaca dan
membaca ulang transkrip hasil wawancara atau tuturan responden.
Coding
merupakan cara untuk mempermudah dalam menganalisis data krisis dengan
memberikan tanda-tanda yang menunjukkan konflik wacana yang berbeda misalnya
pergeseran kata ganti “aku” menjadi “kita” yang menunjukkan pergeseran posisi
subjek dalam suatu wacana menjadi subjek dalam wacana lain.
J.
ANALISIS
Pendekatan
psikologi diskursif memiliki cara yang berbeda dalam mengkritisi analisis
wacana tergantung pada pemilihan teknik analisis berdasarkan frame teori dan
metode.
K.
PENENTUAN VALIDITAS
Diasumsikan
bahwa ciri penelitian kualitatif kurang ketat/fleksibel sehingga dikatakan
kurang valid. Pernyataan tersebut belum tentu benar, karena untuk memvaliditasi
penelitian kualitatif dapat dilakukan dan ditentukan bahwa penelitian tersebut
valid.
Salah
satu cara untuk memvaliditas analisis wacana dapat dilakukan dengan terfokus
pada koherensi.yang mengklaim bahwa analisis seharusnya membentuk koheren. Cara
lain untuk menentukan validitas adalam keberhasilan seorang peneliti dalam
menganalisis wacana yang fokusnya pada potensi penjelasan dari kerangka
analisis termasuk kemampuan dalam memberikan penjelasan baru.
L.
LAPORAN PENELITIAN
Menyusun
laporan penelitian tidak hanya mendeskripsikan hasil penelitian saja, tetapi
harus mencerminkan validitas. Peneliti harus bisa menyajikan atau
menginterpretasikan secara transparansi dari hasil analisis teks tertentu serta
menyimpulkannya dalam bentuk yang dapat dipahami dan diterima oleh para
pembaca.
Dengan demikian, melalui pengkodingan transkrip tadi, para pembaca
dapat mengevaluasi dan menginterpretasikan serta mengidentifikasi pola hasil
penelitian secara rinci dan jelas.
M.
PENERAPAN HASIL PENELITIAN
Wawasan
analisis wacana merupakan bentuk penelitian yang mempunyai tantangan
tersendiri. Peneliti perlu menentukan kelompok sasaran untuk objek
penelitiannya yang mempunyai komunitas ilmiah, salah satu kemungkinannya dengan
memilih media masa sebagai objeknya dalam menganalisis dialog yang diharapkan
dapat memberikan beberapa ide, contohnya dalam diskursif dapat mengidentifikasi
konstruksi identitas budaya.yang difokuskan pada tuturan orang, mencakup pola
sosial dan diskursif yang lebih luas termasuk persfektif politik terhadap efek
ideology melalui wacana. Hal itu dikonsentrasikan pada bagaimana verbalisasi
orang tentang identitas yang diarahkan pada konteks interaksi.
N.
'BUDAYA' SEBAGAI KONSTRUKSI DISKURSIF
Penggunaan
wacana tertentu atau repertoar untuk menginterpretasikan pada tataran “budaya”,
“ras”, dan “bangsa” dapat dibangun dengan cara-cara tertentu. Wetherell dan
Potter membuat kategorisasi, seperti bagaimana orang mengkategorikan dirinya
dalam kelompok dan bagaimana orang mengkategorikan orang lain (sebagai praktik
diskursif).
Tujuan
dari analisis kritis, bahwa peneliti menunjukkan signifikansi sosial dan
konsekuensi sosial dari repertoar dalam interpretasi tertentu yang memberikan
kontribusi untuk menunjukkan cara-cara tertentu dalam pemahaman legitimasi
diskriminasi “Budaya”, “Ras”, dan
“Bangsa” dan wacana merupakan bentuk nyata dari aksi sosial yang berdampak pada
cara-cara dalam konteks sosial yang dapat dianalisis bentuk tuturan yang disajikan
dalam bentuk teks.
Contoh :
Dua contoh
di atas merujuk pada ras tetapi mereka tidak saling membenci. Hal itu merupakan
repertoar ras sebagai kategori memperlakukan orang sebagai objek yang
menempatkan tinggi rendahnya kelas ras. Suku Maori ditempatkan lebih tinggi
dalam hirarki daripada kelompok ras lain. Jadi, konsekuensi sosial dan ideology
dari wacana tersebut sudah jelas perpektif wacananya bahwa perubahan sosial
sangat mustahil.
Berikutnya
pada contoh ke 3 : Budaya sebagai warisan merupakan konstruksi diskursif
kebudayaan sebagai sesuatu yang tradisional dan tidak dapat diubah. Suku Maori
dibangun sebagai museum penjaga yang berkewajiban mempertahankan budaya mereka
guna kepentingan mereka sendiri.
A.
SIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa, beberapa kritik dalam psikologi diskursif dapat diilustrasikan
dan dikonstruksi berdasarkan perspektif dari masing-masing peneliti. Dengan
menggunakan teknik analisis wacana yang sistematis akan menunjukkan bagaimana
orang memberikan diskursif termasuk identitas sosial dalam membangun tuturan
tertentu. Analisis wacana mencoba mengidentifikasi isi wacana, hubungan antara
wacana yang berbeda dan konsekuensi sosial untuk membangun subjek dan objek
dengan cara-cara yang memiliki konsekuensi sosial atau ideologi. Hasilnya akan
menerangkan/mendeskripsikan peran diskursif pada tatanan sosial tertentu yang
dihubungkan dengan kekuasaan sosial.
Dalam beberapa kasus bahwa repertoar berkontribusi pada tatanan
sosial yang dapat didokumentasikan melalui analisis linguistik. Dengan teknik
ini, segala macam interpretasi bersifat subjektif yang memiliki kebebasan
dengan criteria tidak ada yang baik ataupun yang buruk, semuanya bisa dikatakan
valid.
Dengan
penerapan pandangan relasional, fokus penelitian dapat secara individu ataupun
kelompok dalam proses produksi makna dalam interaksi sosial. Psikologi
diskursif berpendapat bahwa variasi dalam pemahaman dan identitas dapat
ditemukan dalam pidato dengan pandangan konstruksionis sosial diri. Sebaliknya,
ahli kognitif berpendapat bahwa komunikasi dalam interaksi sosial tidak hanya
melibatkan linguistik saja tetapi sebagian didasarkan pada representasi dari
dunia (representasi sosial) yang tidak langsung dikomunikasikan, artinya dengan
prasangka yang membuat komunikasi tidak dinyatakan secara linguistik yang
dibentuk dengan tindakan sosial. Kedua komunikasi tersebut dapat digabungkan
menjadi sebuah perspektif, artinya proses komunikasi dalam interaksi sosial dan
proses kognitif dapat dikombinasikan menjadi fokus analisis wacana.
REFERENSI
Marianne W Jorgensen,
Dr Louise J Phillips. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London:
SAGE
Publications India Pvt Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar