Oleh : Dhinar Ajeng Fitriany (7317150315), Goziyah (7317150265)
Paldy (7317150081)
ABSTRAK
This
paper explained about the critical discourse analysis and its components. The
criterias of critical discourse analysis are explained briefly in this paper.
The approaches and its differences include on this paper. These approaches
explain also from some expert such as Fairclough proposes a framework of three
dimension analysis; a discourse as a text, a discourse as a discourse practice,
and a discourse as social practice. Fairclough uses the social-semiotic of
Halliday in analyzing a discourse. Van Dijk proposes socio cognitive approach
in disclosing ideology behind the text. Wodak uses the context of history in
interpreting a discourse. Van Leeuwen focuses on the how social-actors are
shown in a text, while Mills emphasizes on the feminist-discourse. The implementation
of critical discourse analysis is showed in this paper through advertisement.
Key words: critical
discourse analysis, approaches, implementation
I. Pendahuluan
Bahasa merupakan media
bagi manusia dalam berkomunikasi. Melalui bahasa, manusia dapat mengungkapkan
ide, pikiran, dan perasaannya. Namun demikian, saat ini definisi bahasa telah
berkembang sesuai fungsinya bukan hanya sebagai alat berkomunikasi. Saat ini,
bahasa telah menjadi media perantara dalam pelaksanaan kuasa melalui ideologi.
Bahkan bahasa juga menyumbang proses dominasi terhadap orang lain oleh pihak
lain.
Terkait pernyataan di
atas, Halliday (1978) juga menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya
terdiri atas kalimat, melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya
terdapat tukar-menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan
yang lain. Konteks dalam tukar menukar maksud itu tidak bersifat kosong dari
nilai sosial, tetapi sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya
masyarakatnya. Dalam memahami wacana (naskah/teks), tidak dapat terlepas dari
konteksnya. Untuk menemukan realitas di balik teks memerlukan penelusuran atas
konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi
pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang
yang bersifat subjektif.
Di dalam sebuah teks
juga dibutuhkan penekanannya pada makna (lebih jauh dari interpretasi dengan
kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya pikir dan akal budi). Artinya,
setelah mendapat sebuah teks yang telah ada dan juga telah mendapat sebuah
gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka langkah
selanjutnya adalah memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan
adanya teks tersebut memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Perkembangan peran dan
definisi bahasa tersebut telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
kajian bahasa (linguistik). Linguistik tidak lagi bergerak dalam kajian
struktural atau gramatikal, tetapi telah berkembang menjadi kajian-kajian yang
lintas disipliner dengan bidang lain, seperti sosiolinguistik, pragmatik,
analisis wacana, neurolinguistik, dan psikolinguistik. Kajian-kajian lintas
disipliner itu menandai bahwa bahasa memang berperan besar dalam segala bidang
kehidupan masyarakat.
Analisis wacana kritis
terutama berhutang budi kepada beberapa intelektual dan pemikir, Michel
Focault, Antonio Gramsci, Frankfrut, Louis Althusser, dan Norman Fairclough.
Setiap tokoh-tokoh tersebut menyumbangkan hasil pemikirannya sehingga melahirkan
analisis wacana dalam berbagai model. Salah satu tokoh yang bukan akademisi
ilmu komunikasi adalah Fairclough. Saat ini dia masih tercatat sebagai Guru
Besar linguistik di Department of Linguistics and English Language, Lancaster
University, Inggris.
Istilah ‘discourse’ atau
‘wacana’ telah dikenal dalam bidang linguistik dan bahasa setidaknya selama
sepuluh tahun terakhir ini. Adapun istilah wacana ini seringkali muncul dalam
teks ilmiah dan perdebatan. Di dalam banyak kasus, yang perlu digarisbawahi dari
istilah ‘discourse’ atau ‘wacana’ ini
adalah ide umum bahasa yang terstruktur berdasarkan pada pola-pola yang berbeda
yang mengikuti ucapan-ucapan orang ketika mereka menjadi bagian dalam berbagai
ranah kehidupan sosial. Adapun contoh wacana yang sering kita temukan dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya wacana medis dan wacana politik. Berkaitan
dengan wacana, Jorgensen dan Phillips mengemukakan, “Here, more developed theories and methods of discourse analysis have
to be sought out. And, in the search, one quickly finds out that discourse
analysis is not just one approach, but a series of interdisciplinary approaches
that can be used to explore many different social domains in many different
types of studies”.[1] Melalui penjelasan
tersebut, dapat dipahami bahwa analisis wacana tidak hanya mencakup satu
pendekatan saja, akan tetapi juga merupakan pendekatan interdisiplner yang
dapat digunakan untuk menelaah ranah sosial dalam berbagai bidang studi.
Dalam
kaitan antara wacana dengan dengan ranah sosial, adanya analisis wacana kritis
memberi manfaat yang sangat besar dalam memberikan kontribusi berupa teori dan
metode untuk studi empiris yang berhubungan antara wacana dan perkembangan
sosial dan budaya. Hal ini diperkuat oleh penjelasan dari Jorgensen dan
Phillips, yakni “Critical discourse
analysis (often abbrieviated to CDA) provides theories and methods for the
empirical study of the relations between discourse and social and cultural
developments in different social domains”.[2] Akan tetapi,
penjelasan dari Jorgensen dan Phillips mengenai istilah ‘Analisis Wacana Kritis
(AWK atau CDA Critical Discourse Analysis)’
ini masih menjadi perdebatan. Hal ini dikarenakan istilah Analisis Wacana
Kritis digunakan oleh Norman Fairclough dalam dua cara yang berbeda. Pertama,
Norman Fairclough menggunakan keduanya: wacana dan perkembangan sosial dan
budaya untuk mendeskripsikan pendekatan yang ia kembangkan. Kedua, Fairclough
menggunakan wacana sebagai istilah yang lebih luas dalam analisis wacana pada
beberapa pendekatan.
Berkaitan
dengan pendekatan Fairclough, adapun pendekatan Fairclough terdiri atas premis
filsafat, metode teoretis, teknik-teknik khusus analisis linguistik, gerakan
analisis wacana kritis yang terdiri atas beberapa pendekatan yang memiliki
persamaan dan perbedaan. Berawal dari penjelasan-penjelasan tersebut, di dalam
makalah ini akan dibahas mengenai pendekatan Fairclough yang menjadi dasar awal
munculnya analisis wacana kritis terkait teori dan metode penelitian dalam
komunikasi, budaya, dan masyarakat. Adapun berkaitan dengan materi dalam
makalah ini, kami berpedoman pada buku Discourse
Analysis: as Theory and Method yang ditulis oleh Marriane W. Jorgensen dan
Louise J. Phillips.
II. Pembahasan
A.
Analisis Wacana Kritis
Jorgensen and Philips menyebutkan bahwa analisis wacana kritis
adalah pendekatan konstruktivis sosial yang meyakini bahwa representasi dunia
bersifat linguistik diskursif, makna bersifat historis dan pengetahuan
diciptakan melalui interaksi sosial. Itulah sebabnya analisis wacana kritis
bersifat inter/multidisiplin dan persentuhannya dengan ilmu sosial, politik,
dan budaya tak terelakkan. Dalam banyak literatur, analisis wacana kritis
sering disebut sebagai metode analisis yang mempertemukan ilmu bahasa
(linguistik dan susastra), sosial, politik, dan budaya.
Menurut Schiffrin (1994), analisis wacana
kritis berawal dari munculnya konsep analisis bahasa kritis (critical language awareness)
dalam dunia pendidikan barat. Analisis
wacana kritis merupakan kelanjutan atau bahkan bagian dari analisis wacana.
Kajian analisis wacana ini begitu luas baik dari segi cakupannya,
metodologinya, maupun pemaknaannya.
Analisis wacana kritis mempunyai ciri yang berbeda dari analisis
wacana yang bersifat non-kritis, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur
dari sebuah wacana. Analisis ini bertindak lebih
jauh, diantaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki
struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan
sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut.
Analisis ini juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Analisis wacana kritis
menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara
wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang
berbeda. Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi
linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam
modernitas terkini (Jorgensen dan Philips, 2007).
Analisis
wacana kritis dianggap lebih cocok untuk mengalisis wacana publik. Ada dua
istilah penting perlu dipahami dalam analisis wacana publik: wacana institusi dan
linguistik kritis.
a.
Wacana Institusi.
Istilah
wacana institusi (institutional discourse) ditemukan antara lain dalam Fowler (1991), Wodak (1996), Thornborrow
(2002). Habermas memberikan
“tuturan institusi” sebagai contoh wacana strategis, yang dibedakan dari
bentuk tuturan lainnya, yakni wacana
komunikatif. Wacana strategis adalah wacana yang bermuatan kekuasaan (power
laden) dan diatur oleh tujuan (goal-directed), sementara wacana
komunikatif adalah wacana yang di dalamnya ada hubungan simetris antar penutur
dalam mencapai kesepahaman antar penutur itu (Thornborrow, 2002).
Dalam wacana strategis, hubungan antar penuturnya bersifat tidak simetris, tidak
sejajar, dalam hak, kewajiban, dan akses dalam distribusi kekuasaan dan status
sosial. Dalam konteks ini, wacana jender adalah wacana strategis (wacana
institusi) di mana perempuan tidak memiliki hak, kewajiban, dan akses yang
seimbang dengan laki-laki dalam pembentukan dan penafsiran wacana-wacana
publik.
Kress (1985) berpendapat bahwa setiap institusi
sosial menghasilkan cara-cara atau modus-modus bertutur tertentu tentang area
kehidupan sosial tertentu yang berhubungan dengan tempat dan hakikat institusi
tertentu. Institusi politik, keagamaan termasuk jender menghasilkan
modus bertutur tertentu yang khas. Tiga hal penting dari tuturan yang terjadi
dalam latar institusi, seperti dikemukakan Levinson, adalah (i) berorientasi pada tujuan atau tugas, (ii)
terkendala dalam jumlah kontribusi ke arah tujuan dan tugas itu, dan (iii)
menghasilkan jenis inferensi tertentu pada diri penginterpretasi atau
berorientasi pada ujaran (Thornborrow,
2002).
b.
Linguistik Kritis.
Linguistik
kritis merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi
kuasa tersembunyi (hidden power) dengan proses-proses ideologis yang
muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal, 1991). Analisis linguistik belaka diyakini tidak
dapat mengungkapkan signifikansi kritis. Menurut Fowler (1986) hanya analisis kritis yang merealisasikan teks
sebagai modus wacana serta memperlakukan teks sebagai wacana yang akan dapat
melakukannya. Linguistik kritis mengarahkan teori bahasa ke dalam fungsi-fungsi
yang sepenuhnya dan dinamik dalam konteks historis, sosial, dan retoris. Analisis
teks bahasa dalam linguistik (struktural) tradisional berangkat dari pandangan
bahwa (i) struktur bahasa dapat dipisahkan dari penggunaan bahasa, dan
(ii) komunitas bahasa tertentu memiliki gramatika bahasa tertentu yang ada
sebelum proses-proses sosial (pre-exits social processes) (Birch, 1996).
Pandangan
yang berakar dari tradisi empirisme dan positivisme logis yang diagung-agungkan
oleh Lingkaran Wina itu akan berimplikasi pada dua hal: (i) bahasa itu terpisah
dari masyarakat pemakainya, dan (ii) bahasa serta pemakaiannya dalam masyarakat
relatif ad hoc dan sering arbitrer dalam pembuatan maknanya. Menurut
Birch (1996) terdapat persoalan
dalam pandangan tradisional di atas sebab bentuk-bentuk bahasa yang kita
gunakan tidaklah secara bebas dipilih. Individu sering berada pada situasi yang
terkendala atau terdeterminasi oleh struktur sosial yang melingkupinya.
Menurut
Birch (1996) para linguis
beraliran kritis yakin bahwa pilihan bahasa (language choice) dibuat
menurut seperangkat kendala (constraints) politis, sosial, kultural, dan
ideologi. Implikasinya adalah bahwa masyarakat dapat dimanipulasi, ditahan
dalam aturan yang baik (good order) yang dikehendaki, dan dinilai peran
serta statusnya ke dalam dikotomi bawahan-atasan (inferior-superior)
melalui sistem strategi sosial yang melibatkan aspek-aspek kekuasaan, aturan,
subordinasi, solidaritas, kohesi, antagonisme, kesenangan, dan sebagainya, yang
semuanya merupakan bagian integral dari sistem pengontrolan terhadap individu
dan masyarakat. Linguistik kritis amat relevan digunakan
untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh dengan kesenjangan, yakni
adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan, seperti komunikasi dalam
politik, relasi antara atas-an-bawahan, komunikasi dalam wacana media massa,
serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam politik gender. Menurut Fowler (1996), model
linguistik ini sangat memperhatikan penggunaan analisis linguistik untuk membongkar misrepresentasi
dan diskriminasi
dalam berbagai
modus wacana-wacana publik.
B. Lima Ciri Umum Analisis
Wacana Kritis
Berkaitan dengan
adanya perbedaan pendekatan pada CDA, Fairclough dan Wodak dalam Jorgensen dan
Phillips menjelaskan “Among the different
approaches to CDA, five common features can be identified. It is these that
make it possible to categorise the approaches as belonging to the same movement”.[3]
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat lima ciri
umum yang dapat diidentifikasi dalam analisis wacana kritis. Adapun kelima ciri
umum tersebut, antara lain:
1.
Karakter sosial dan proses budaya
dan struktur sebagai bagian dalam linguistik diskursif.
2.
Wacana itu bersifat konstitutif
dan konstitutid.
3.
Penggunaan bahasa seyogianya
dianalisis secara empiris dalam konteks sosialnya.
4.
Fungsi wacana ideologis.
5.
Penelitian kritis.
1. Karakter Sosial dan Proses
Budaya dan Struktur Sebagai Bagian dalam Linguistik Diskursif
Ciri pertama
umum pertama dalam analisis wacana kritis berkaitan dengan linguistik
diskursif. Berkaitan dengan linguistik diskursif, penerapan linguistik
diskursif berkaitan dengan teks yang diproduksi dan dikonsumsi. Adapun hal
tersebut diperkuat oleh penjelasan Jorgensen dan Phillips, yakni “Discursive practices – through which texts
are produced (created) and consumed (received and interpreted) –
are viewed as an important form of social practice which contributes to the constitution of the social world
including social identities and social relations”.[4] Berdasarkan
penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa praktik diskursif dalam linguistik
diskursif berhubungan dengan teks yang diproduksi (dibuat) dan dikonsumsi
(diterima dan diinterpretasikan), serta dipandang sebagai bentuk penting dalam
praktik sosial yang berkontribusi pada ranah sosial, mencakup identitas sosial
dan hubungan sosial. Namun, berkaitan dengan ranah sosial, juga terdapat
beberapa fenomena sosial yang bukan dari praktik diskursif, namun merupakan
karakter sosial. Hal tersebut dikarenakan, meskipun bukan merupakan fenomena
sosial dari praktik diskursif, akan tetapi fenomena tersebut mengalami proses
produksi teks dan konsumsi yang menghasilkan budaya dan sosial, serta mengalami
perubahan tempat.
Hadirnya
analisis wacana kritis bertujuan untuk menjelaskan linguistik diskursif
terhadap fenomena dan proses sosial serta budaya yang akhirnya menjadi sebuah
pembaharuan. Adapun penelitian mengenai analisis wacana kritis sangat
berkembang pesat dalam berbagai bidang, seperti analisis organisasi (Mumby dan
Clair, 1997); pedagogi (Chouliaraki, 1998); komunikasi massa dan rasisme,
nasionalisme dan identitas (Chouliaraki, 1999, dan Van Dijk, 1991, Wodak et al,
1999); komunikasi massa dan ekonomi (Richardson, 1998); penyebaran praktik
pasar (Fairclough, 1993), dan komunikasi massa, demokrasi, dan politik
(Fairclough, 1995a, 1995b, 1998, 2000).
Membahas
mengenai wacana, ternyata wacana tidak hanya mencakup pada bahasa tulisan dan
lisan, akan tetapi wacana juga mencakup gambar visual. Hal tersebut berkaitan
dengan penjelasan dari Jorgensen dan Phillips, yaitu “Discourse encompasses not only written and spoken language but also
visual images”.[5]
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, cakupan wacana dalam gambar visual dapat
diterima jika analisis teks yang mengandung gambar visual dilakukan dengan
mempertimbangkan karakteristik khusus semiotika visual dan hubungan antara
bahasa dan gambar.
Berkaitan
dengan gambar visual, di dalam analisis wacana kritis, terdapat kecenderungan
untuk menganalisis gambar seolah-olah mereka termasuk cakupan linguistik teks.
Semiotika sosial merupakan upaya untuk mengembangkan teori dan metode dalam
menganalisis teks multi-modal, yakni teks yang menggunakan sistem semiotik yang
berbeda, seperti bahasa tertulis, gambar, dan/atau suara visual.
2. Wacana itu bersifat
konstitutif dan konstitutid
Di dalam
analisis wacana kritis, wacana merupakan praktik sosial yang keduanya merupakan
dunia sosial dan didasari oleh praktik sosial lainnya. Penjelasan tersebut
sesuai dengan pernyataan Jorgensen dan Phillips, yakni “For critical discourse analysts, discourse is a form of social
practice which both constitutes the
social world and is constituted by
other social practices”.[6] Sebagai bentuk
praktik sosial, wacana berhubungan secara diaklektis dengan dimensi sosial
lainnya. Dalam hal ini, wacana tidak hanya berperan dalam membentuk kembali
struktur sosial, tetapi juga mencerminkan praktik sosial tersebut. Ketika
Fairclough menganalisis bagaimana praktik-praktik diskursif di media yang
mengambil bagian dalam pembentukan bentuk-bentuk politik baru, ia juga
mempertimbangkan bahwa praktik diskursif juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
sosial yang tidak hanya memiliki karakter diskursif (misalnya, struktur sistem
politik dan kelembagaan struktur media).
Adanya konsepsi
wacana membedakan pendekatan tersebut dengan pendekatan-pendekatan
post-strukturalis, seperti teori wacana Laclau dan teori wacana Mouffe. Austin
dalam Jorgensen menjelaskan bahwa “In
critical discourse analysis,language-as-discourse is both a form of action (through which people can change the world
and a form of action which is
socially and historically situated and in a dialectical relationship with other
aspects of the social”.[7] Di dalam analisis
wacana kritis, bahasa sebagai wacana adalah suatu bentuk tindakan melalui orang
yang dapat mengubah dunia dan bentuk tindakan yang secara sosial dan historis
terletak dalam hubungan diakletis dengan aspek sosialnya.
Berkaitan dengan
penjelasan di atas, Fairclough dalam Jorgensen memberikan poin terhadap sebuah
keluarga sebagai contoh bagaimana struktur sosial mempengaruhi praktik
linguistik diskursif. Berdasarkan contoh dari Fairclough, dapat dijelaskan
bahwa hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak-anak merupakan bagian
diskursif, tetapi pada saat yang sama, keluarga merupakan lembaga dengan
praktik yang utuh karena sudah ada hubungan dan identitas. Dalam praktik ini,
hubungan dan identitas pada awalnya merupaka diskursif, tetapi telah mengendap
pada lembaga dan praktik-praktik nondiskursif. Selain itu, efek konstitutif
wacana bekerja sama dengan praktik-praktik lainnya, misalnya distribusi tugas
rumah tangga. Adapun struktur sosial juga memiliki kontribusi independen dalam
membentuk dan mengbah praktik-praktik diskursif dalam keluarga. Hal tersebut
tercakup dalam penjelasan Fairclough dalam Jorgensen dan Phillips, yakni “The discursive constitution of society does
not emanate from a free play of ideas in people’s heads but from a social
practice which is firmly rooted in and oriented to real, material social
structures”.[8]
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa konstitusi diskursif masyarakat
tidak berasal dari ide-ide bebas dalam kepala orang-orang, akan tetapi berasal
dari praktik sosial yang berakar kuat dan berorientasi pada materi struktur
sosial yang nyata.
3. Penggunaan Bahasa Seyogianya
Dianalisis Secara Empiris dalam Konteks Sosialnya
Analisis wacana
kritis mencakup dalam sesuatu yang utuh di dalam penggunaan analisis tekstual
linguistik bahasa terhadap interaksi sosial. Adapun hal itulah yang membedakan
teori wacana Laclau dan teori wacana Mouffe yang tidak terlaksana secara
sistematis dan penggunaan bahasa studi yang empiris, dan dari psikologi
diskursif yang melakukan retorika, tetapi bukan penggunaan bahasa dalam studi
linguistik.
4. Fungsi Wacana Ideologis
Di dalam analisis wacana kritis,
dinyatakan bahwa praktik kewacanaan dianggap berkontribusi dalam penciptaan dan
reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara antara kelompok-kelompok
sosial, contohnya antara kelas-kelas sosial, perempuan dan laki-laki, etnis
minoritas dan mayoritas. Adapun efek ini dipahami sebagai efek ideologis.
Jorgensen dan Phillips memperkuat penjelasan tersebut dengan pernyataan, “In critical discourse analysis, it is
claimed that discursive practices contribute to the creation and reproduction
of unequal power relations Between social groups – for example, between social
classes, women and men, ethnic minorities and the majority. These effects are
understood as ideological
effects”.[9]
Berbeda
dengan teori wacana, termasuk teori wacana Laclau dan Mouffe, serta Foucault,
analisis wacana kritis tidak menyimpang sepenuhnya dari tradisi Marxis. Adapun
beberapa pendekatan analisis wacana kritis yang dilakukan menganggap bahwa
pandangan Foucault terhadap kekuasaan sebagai kekuatan yang menciptakan subjek
tertentu dan agen, yakni sebagai kekuatan produktif, bukan sebagai properti
yang dimiliki oleh individu yang dipaksakan kepada orang lain. Akan tetapi,
pada saat yang sama, pendekatan tersebut menyimpang Foucault karena
mencantumkan konsep ideologi untuk melakukan teoritisasi terhadap penaklukan
satu kelompok sosial terhadap kelompok-kelompok sosial lainnya. Dengan
demikian, fokus analisis wacana kritis adalah sesuai pada praktik diskursif
yang membentuk representasi dunia, subjek sosial dan hubungan sosial, termasuk
hubungan kekuasaan bahwa praktik-praktik diskursif berkontribusi dalam
memajukan kepentingan kelompok-kelompok sosial tertentu. Berkaitan dengan
definisi analisis wacana kritis, Fairclough dalam Jorgensen dan Phillips
memberikan pendapatnya mengenai definisi dari analisis wacana kritis, yakni:
[o]ften opaque
relationships of causality and determination between (a) discursive practices,
events and texts and (b) broader social and cultural structures, relations and
processes […] how such practices, events and texts arise out of and are
ideologically shaped by relations of power and struggles over power […] how the
opacity of these relationships between discourse and society is itself a
factorsecuring power and hegemony. (Fairclough 1993: 135; reprinted in
Fairclough1995a: 132f.)[10]
Berdasarkan
pendapat dari Fairclough di atas mengenai definisi dari analisis wacana kritis,
dapat diintisarikan bahwa hubungan-hubungan kausalitas dan determinan
(penentuan) yang sering samar antara (a) praktifk diskursif, peristiwa dan
teks, (b) struktur sosial dan budaya yang lebih luas, hubungan dan proses […]
seperti: bagaimana praktik, peristiwa dan teks muncul dari ideologis yang
dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan perjuangan kekuasaan […] bagaimana
kesamaran hubungan-hubungan antara wacana dan faktor kemasyarakatan itu sendiri
yang dapat melindungi kekuasaan dan hegemoni.
Analisis wacana
kritis merupakan bagian penting yang bertujuan untuk mengungkapkan peranpraktik
diskursif dalam upaya pemeliharaan dunia sosial, termasuk hubungan sosial yang
melibatkan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang. Selain itu, analisis wacana
kritis bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap perubahan sosial
sepanjang garis hubungan kekuasaan yang lebih setara dalam proses komunikasi
dan masyarakat pada umumnya.
5. Penelitian Kritis
Analisis wacana
kritis tidak memposisikan dirinya sebagai pendekatan yang secara politik netral
(bukan sebagai objektivitas ilmu sosial), tetapi sebagai pendekatan kritis yang
berkomitmen untuk perubahan politik sosial. Hal tersebut sesuai dengan
penjelasan Jorgensen dan Phillips, yakni “Critical
discourse analysis does not, therefore, understand itself as politically
neutral (as objectivist social science does), but as a critical approach which
is politically committed to social change”.[11] Atas nama
emansipasi, pendekatan analisis wacana kritis berupaya mengambil sisi kelompok
sosial yang tertindas. Di sini, analisis wacana kritik bertujuan untuk
mengungkap peran praktik diskursif dalam pemeliharaan hubungan kekuasaan yang
tidak setara, dengan tujuan memanfaatkan keseluruhan hasil analisis wacana
kritis dengan perjuangan untuk perubahan sosial yang radikal. Adapun berkaitan
dengan hal ini, Fairclough memperkuat bahwa adanya penjelasan kritik dan
kesadaran bahasa kritis diarahkan pada pencapaian tujuan analisis wacana kritis
ini.
C.
Pendekatan
Utama dalam Analisis Wacana Kritis (AWK)
Pemahaman
dasar Analisis Wacana Kritis (AWK)
adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Bahasa
tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam
pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain
pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan
praktik tertentu termasuk praktik ideologi dan kekuasaan.
Tujuan
utama analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman dalam wacana yang
berkontribusi pada penghasilan hubungan yang tidak imbang antar peserta wacana.
Analisis tidak hanya bertumpu pada satu ancangan tunggal, melainkan selalu
multidisiplin. Analisis wacana kritis berusaha menyingkap ideologi berdasarkan
strategi penggambaran positif terhadap diri sendiri (positiveself-representation)
dan penggambaran negatif terhadap pihak
lain (negative other-representation).
Ada beberapa pendekatan analisis wacana kritis yang disampaikan para ahli,
antara lain sebagai berikut:
a)
AWK
Model Norman Fairclough
Norman Fairclough
(1989), mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi
analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan
sosial practice. Text
berhubungan dengan linguistik, misalnya dengan melihat kosakata, semantik,
dan tata kalimat, juga koherensi dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan
tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse
practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan
konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat
menghasilkan berita. Social practice,
dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks
situasi atau konteks dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya
politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas,
maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu
suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan,
pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana.
Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan ketepaduan: (i)
analisis teks; (ii) analisis proses, produksi, konsumsi, dan distribusi teks;
serta (iii) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough
dalam menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan
Phillips, 2007):
1) Analisis tekstual yang
terinci di bidang linguistik;
2) Analisis
makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak
menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
3) Tradisi interpretatif dan
mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisa
percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk tindakan
seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah akal
sehat”.
Model Norman Fairclough (1989)
membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
1)
Dimensi Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara
bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas.
Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan
realitas sosial ke dalam bentuk teks. Analisis dimensi teks meliputi
bentuk-bentuk tradisional analisis linguistik – analisis kosa kata dan
semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih kecil, dan sistem suara
(fonologi) dan sistem tulisan. Fairclough menandai pada semua itu sebagai
analisis linguistik, walaupun hal itu menggunakan istilah dalam pandangan yang
diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat dianalisis dalam
membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
Kohesi dan Koherensi. Analisis ini ditujukan
untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat
dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan dalam analisis ini
dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi),
sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
Tata Bahasa. Analisis tata bahasa
merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis. Analisis
tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa yang
terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan, tema,
dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan verba
yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya
jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa aktif, pasif, atau
nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab, atau alasan-alasan
pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa aktif senantiasa
menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa. Sementara itu,
penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk nominalisasi juga mampu
membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
Tema merupakan analisis
terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam
analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar belakang
kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat
yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas
digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran.
Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang mampu
menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana
kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna
perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah, dan
lain-lain.
Diksi. Analisis yang
dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks.
Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan
kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa,
seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata
ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana
realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya
mengonstruksi realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin,
tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan
lain-lain.
2)
Dimensi Kewacanaan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam
kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi kewacanaan (discourse
practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pemrosesan
wacana yang meliputi aspek penghasilan, penyebaran, dan penggunaan teks.
Beberapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan
yang lain berupa proses-proses penggunaan dan penyebaran wacana. Berkenaan
dengan proses-proses institusional, Fairclough merujuk rutinitas institusi
seperti prosedur-prosedur editor yang dilibatkan dalam penghasilan teks-teks
media. Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks.
Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan
kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai
institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita
di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan
berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks.
Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis
dimensi kewacanan.
Produksi Teks. Pada tahap ini
dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri
(siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level
terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh
pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai
organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media,
pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang
tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks
berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan
hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
Penyebaran Teks. Pada tahap ini
dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang
diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah
media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan
dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana
media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak
yang berbeda terhadap kekuatan teks itu sendiri. Televisi melengkapi
dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara
itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan waktu
yang lebih baik dibandingkan televisi.
Konsumsi Teks. Dianalisis pihak-pihak
yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media
perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media
itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya
masing-masing.
3)
Dimensi Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah
analisis praktik sosiobudaya media dalam analisis wacana kritis Norman
Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa
konteks sosial yang ada di luar media sesungguhnya memengaruhi bagaimana
wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang
atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor
di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu
ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi)
dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga
mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya
meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan
konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi
secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang
lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya
masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice
ini antara lain:
Situasional. Setiap teks yang lahir
pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana
khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks
peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
Institusional.
Level ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi
pada praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari
kekuatan institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal
yang mempengaruhi isi sebuah teks.
Sosial. Aspek sosial melihat
lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem
budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model
ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut
sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi
tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur
keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan
model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah
menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
b)
AWK Model Theo Van
Leeuwen (Social Actors Approach/SAA)
Theo van Leeuwen memperkenalkan model
analisis wacana untuk mengetahui bagaimana sebuah kelompok dimunculkan atau
disembunyikan. Analisis Van Leeuwen menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor
(Social Actors) ditampilkan dalam pemberitaan. Bagaimana suatu
kelompok dominan lebih memegang kendali, sementara kelompok lain yang posisinya
rendah cenderung untuk terus-menerus dijadikan objek pemaknaan dan digambarkan
secara buruk. Kelompok buruh, petani, nelayan, imigran gelap, dan wanita adalah
kelompok yang bukan hanya tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan, namun juga
dalam wacana pemberitaan sering digambarkan tidak berpendidikan, liar,
mengganggu ketentraman, melakukan demonstrasi, dan sering bertindak anarkis.
Seringkali kelompok terpinggirkan ini digambarkan secara buruk di media.
Penggambaran buruk dalam media kepada
kelompok yang lebih lemah ini seringkali menjadikan kelompok ini sebagai kelompok yang salah dan
pemilik modal menjadi pihak yang terlihat ‘dirugikan’. Media massa menggiring kelompok tertentu menjadi salah atau disalahkan.
Lewat pemberitaan yang terus-menerus disebarkan, media secara tidak langsung
membentuk pemahaman dan kesadaran di kepala khalayak mengenai sesuatu. Wacana
yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan
mendelegitimasi dan memarjinalkan kelompok lain. Kita sering merasa ada
ketidakadilan dalam berita mengenai pemerkosaan terhadap wanita, bagaimana
pihak yang menjadi korban ini digambarkan secara buruk, sehingga khalayak lebih
bersimpati kepada laki-laki yang menjadi pelaku.
Van Leeuwen membuat suatu model analisis
yang bisa dipakai untuk melihat bagaimana peristiwa dan aktor-aktor sosial
tersebut ditampilkan dalam media dan bagaimana suatu kelompok yang tidak punya
akses menjadi pihak yang secara terus menerus dimarjinalkan. Analisis Van
Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (bisa seseorang
atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Van Leeuwen fokus kepada dua hal.
Pertama, proses pengeluaran (exclusion).
Van Leeuwen (2008:28) berkata bahwa exclusion menjadi bagian yang sangat penting dalam
analisis wacana kritis. Eksklusi (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang
dikeluarkan dalam pemberitaan, yang dimaksudkan dengan pengeluaran seseorang
atau aktor dalam pemberitaan adalah, menghilangkan atau menyamarkan
pelaku/aktor dalam berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi
perhatian berita. Proses pengeluaran ini secara tidak langsung bisa mengubah
pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Kedua
, proses pemasukan (inclusion). Proses ini adalah lawan dari proses exclusion, proses ini berhubungan dengan bagaimana
seseorang atau kelompok aktor dalam suatu kejadian dimasukkan atau
direpresentasikan ke dalam sebuah berita. Baik exclusion maupun inclusion merupakan strategi wacana.
Van Leeuwen (2008) berkata bahwa eksklusi
dan inklusi menjadi cara mempresentasikan aktor sosial di dalam wacana. Dengan
menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara
bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan ke dalam sebuah
teks. Secara lengkap mengurai untuk melihat eksklusi dan inklusi dalam wacana
memperhatikan adanya: nominalisasi, pasivasi, alokasi, generiksasi dan
spesifikasi, asimilasi, asosiasi dan diasossiasi, indeterminasi dan
diferensiasi, nominasi dan kategorisasi, fungsionalisasi dan identifikasi,
personalisasi dan impersonalisasi, serta overdeterminasi.
c)
AWK Model Teun A. Van
Dijk (Socio Cognitive Approach/SCA)
Model van Dijk ini sering disebut sebagai kognisi sosial. Menurutnya penelitian
atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks
hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Dalam hal
ini harus dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu
pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu.
Model van Dijk lebih menekankan pada kognisi
sosial individu yang memproduksi teks tersebut. Wacana oleh van Dijk
digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks
sosial. Dijk menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut ke dalam suatu kesatuan
analisis. Dalam teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi
wacana dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kognisi sosial mempelajari
proses induksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan.
Aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam
masyarakat akan suatu masalah.
Dalam kerangka analisis wacana kritis model
Van Dijk, struktur wacana tersusun atas tiga bangunan struktur yang membentuk
satu kesatuan. Masing-masing adalah struktur makro, super struktur, dan
struktur mikro (macro structure, superstructure, and micro structure). Struktur makro menunjuk pada makna keseluruhan
(global meaning) yang dapat dicermati dari tema atau topik yang
diangkat oleh suatu wacana. Super-struktur menunjuk pada kerangka suatu wacana
atau skematika, seperti kelaziman percakapan atau tulisan yang dimulai dari
pendahuluan, dilanjutkan dengan isi pokok, diikuti oleh kesimpulan, dan
diakhiri dengan penutup.
Dalam tulisannya berjudul Structures
of news in the press, Van Dijk (1985) menyimpulkan
bahwa bangunan wacana harus mempertimbangkan aspek makna global (global meaning) yang ditunjukkan lewat
analisis struktur makro dan super struktur yang posisinya jauh di atas analisis
kata dan kalimat, meskipun analisis struktur mikro juga patut diperhitungkan.
Selain struktur makro dan super struktur di atas, Van Dijk juga melihat struktur mikro ketika melihat
wacana. Struktur mikro menunjuk pada makna setempat (local meaning) suatu wacana dapat digali dari aspek semantik, sintaksis, stilistika,
dan retorika.
Aspek semantik
suatu wacana mencakup latar, rincian, maksud praanggapan, serta nominalisasi. Aspek sintaksis suatu wacana berkenaan
dengan bagaimana frasa dan atau kalimat disusun untuk dikemukakan. Ini mencakup
bentuk kalimat, koherensi, serta pemilihan sejumlah kata ganti. Aspek stilistika suatu wacana berkenaan
dengan pilihan kata dan lagak gaya yang digunakan oleh pelaku wacana. Dalam
kaitan pemilihan kata ganti yang digunakan
dalam suatu kalimat, aspek leksikon ini berkaitan erat dengan aspek sintaksis.
Aspek retorika suatu wacana menunjuk
pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan
penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Ini mencakup penampilan
grafis, bentuk tulisan, metafora, serta ekspresi yang digunakan.
Dengan menganalisis keseluruhan komponen
struktural wacana, dapat diungkap kognisi sosial pembuat wacana. Secara teori,
pernyataan ini didasarkan pada penalaran bahwa cara memandang terhadap suatu
kenyataan akan menentukan corak dan struktur wacana yang dihasilkan.
d)
AWK Model Ruth Wodak
(Discourse Historical Approaches/DHA)
Wodak dan Martin Reisigl (2001) dengan
dipengaruhi oleh pemikiran dari sekolah Frankfurt, khususnya Jurgen Habermas,
mengembangkan analisis dengan melihat faktor historis dalam suatu wacana. Penelitiannya
terutama ditujukan untuk meneliti seksisme, antisemit, dan rasialisme dalam
media dan masyarakat. Analisis wacana yang dikembangkan disebut wacana historis
karena menurut mereka, analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah
bagaimana wacana suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Dalam artikel berjudul “The
Discourse-Historical Approach”, dimuat di Wodak
and Meyer (2001), Wodak memaparkan prosedur analisisnya. Rumusan prosedur
analisis wacana kritis model Wodak (DHA) dilakukan secara tiga dimensi: setelah
(1) menentukan konten atau topik
yang spesifik dari sebuah wacana yang spesifik, (2) menelaah/menginvestigasi strategi-strategi diskursif (termasuk
strategi argumentasi). Lalu (3), menganalisis
realisasi makna-makna kebahasaan yang tertulis dan spesifik, juga
makna-makna kebahasaan dalam konteks tertentu.
Wodak
(2001) mengajukan beberapa elemen dan strategi diskursif yang harus mendapatkan
perhatian, yang dirangkum menjadi lima (5) pertanyaan, yaitu:
1. Bagaimana nama orang dan secara linguistik
mengacu kepada siapa?
2. Apa sifat, karakter, kualitas, dan bentuk
penggambaran kepada mereka?
3. Dengan argumen dan argumentasi seperti apa orang
atau sekelompok orang digambarkan secara eksklusi dan inklusi?
4. Dari perspektif mana pelabelan, penggambaran, dan
argumentasi disampaikan?
5. Apakah pengungkapan disampaikan secara jelas,
apakah diintensifkan, atau apakah malah dikurangi?
Dari
pertanyaan-pertanyaan di atas, Wodak tertarik dengan 5 tipe/jenis strategi
diskursif, yang semuanya masuk ke dalam menghadirkan citra diri sendiri yang positif dan orang
lain yang negatif. Konstruksi diskursif dari “SAYA” dan “MEREKA” adalah
landasan dasar wacana identitas dan perbedaan. “Strategi” tersebut digunakan untuk meraih tujuan wacana
bidang sosial, politik, psikologi, atau kebahasaan.
Ketika
strategi diskursif tersebut disampaikan dengan penggunaan bahasa, Wodak
memetakannya ke dalam level organisasi linguistik dan kompleksitas yang
berbeda. Wodak (dalam Wodak and Meyer, 2001: 69) menyebutkan analisis
linguistik yang harus dilakukan dalam analisis wacana yang dikembangkannya
meliputi 4 area; perspektivasi, strategi
representasi diri, strategi argumentasi, dan strategi mitigasi. Dengan
demikian akan diketahui pengembangan wacana yang dilakukan dalam bidang
seksisme, antisemit, ataupun rasisme.
e)
AWK Model Sara Mills
(Feminist Stylistics Approach/FSA)
Model analisis wacana Mills menekankan pada
bagaimana wanita ditampilkan dalam teks. Mills melihat bahwa selama ini wanita
selalu dimarjinalkan dalam teks dan selalu berada dalam posisi yang salah. Pada
teks, mereka tidak diberikan kesempatan untuk membela diri. Oleh karena itu,
model wacana ini sering disebut sebagai analisis wacana perspektif feminis.
Sara Mill menyebut analisisnya dengan Feminist Stylistics. Sara Mills (1995) mengatakan
Feminist Stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada
dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya
menambahkan topik Gender ke daftar elemen yang dianalisa, namun menggunakan
stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan
untuk memaksimalkan stilistika dalam analisis bahasa, tidak lagi bahwa bahasa
itu sekedar ada, atau memang harus ada dan dimunculkan.
Sara Mills mengembangkan analisis untuk
melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks. Dalam arti siapa
yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan.
Dengan demikian akan didapatkan bagaimana struktur teks dan bagaimana makna
diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Sara Mills juga melihat bagaimana
pembaca dan penulis diperlakukan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi
dan menempatkan dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan
menempatkan pembaca pada salah satu posisi dan mempengaruhi bagaimana teks itu
ditampilkan.
Pada akhirnya cara penceritaan dan
posisi-posisi yang ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu
pihak menjadi terlegitimasi dan pihak lain menjadi tak terlegitimasi. Menurut
Sara Mills konsep posisi pembaca yang ditempatkan dalam berita dibentuk oleh
penulis tidak secara langsung, namun sebaliknya. Ini terjadi melalui penyapaan
dalam dua cara. Pertama,
suatu teks memunculkan wacana secara bertingkat dengan mengetengahkan kebenaran
secara hirarkis dan sistematis, sehingga pembaca mengidentifikasikan dirinya
dengan karakter atau apa yang terjadi di dalam teks. Kedua, kode budaya. Ini mengacu pada kode atau
nilai budaya yang berlaku di benak pembaca ketika menafsirkan suatu teks.
Penulis menggunakan kondisi ini ketika menulis.
Untuk melakukan analisis wacana, Sara Mills
(1995) membagi ke dalam tiga level analisis, yaitu: a). Analisis pada level kata seksisme dalam bahasa
Seksisme dan maknanya, b). Analisis
pada Level frasa/kalimat penamaan pelecehan pada wanita, belas kasihan /
pengkerdilan, penghalusan / tabu, c). Analisis
pada level wacana karakter/peran fragmentasi, fokalisasi skemata.
Sara
Mills (1995) mengatakan Feminist Stylistics memberikan
jalan bagi mereka yang peduli dengan representasi hubungan gender, yang mana
para ahli bahasa dapat mengembangkan sendiri satu set alat yang dapat
mengekspos cara kerja gender pada berbagai tingkat yang berbeda dalam teks.
Karena sifat analisis feminis diperlukan untuk melihat batas-batas teks itu
sendiri secara jelas, dengan alasan bahwa teks disusupi oleh wacana dan
ideologi, dan bahwa perbedaan antara tekstual dan extratextual jangan selalu
dianggap ada. Teks diserang oleh norma-norma sosial budaya, oleh ideologi, oleh
sejarah, oleh kekuatan ekonomi, oleh gender, rasisme, dan sebagainya. Bukan
berarti penulis tidak memiliki kontrol apapun tentang apa yang mereka tulis,
tetapi penulis sendiri juga tunduk pada interpelasi dan interaksi dengan
kekuatan-kekuatan diskursif.
Adapun
dari kelima pendekatan utama dalam analisis wacana kritis yang telah dijelaskan
di atas, dapat digambarkan perbedaan dari kelima pendekatan utama tersebut
dalam Tabel 1. berikut ini.
AWK Model Norman Fairclough
|
AWK Model Theo Van Leeuwen
|
AWK Model Teun A. Van Dijk
|
AWK Model Ruth Wodak
|
AWK Model Sara Mills
|
Wacana
merupakan sebuah praktik sosial.
|
Wacana
digunakan untuk mengetahui bagaimana sebuah kelompok (aktor sosial)
dimunculkan atau disembunyikan dalam pemberitaan.
|
Wacana
didasarkan pada bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga diperoleh suatu
pengetahuan mengapa teks bisa diproduksi seperti itu.
|
Wacana
digunakan untuk meneliti seksisme, antisemit, dan rasialisme dalam media dan
masyarakat.Analisis wacana yang dikembangkan disebut wacana historis.
|
Wacana
merupakan wadah untuk menggambarkan bagaimana wanita ditampilkan dalam sebuah
teks.
|
Menekankan
analisis wacana menjadi 3 dimensi: 1) text,
2) discourse practice, dan 3) social
practice.
|
Menekankan
analisis wacana pada aktor sosial.
|
Menekankan
analisis wacana pada kognisi sosial individu yang memproduksi teks tersebut,
yang berdasarkan pada 3 dimensi: 1) teks, 2) kognisi sosial, dan 3) konteks
sosial.
|
Menekankan
rumusan analisis wacana menjadi 3 dimensi: 1) menentukan konten atau topik
yang spesifik dari sebuah wacana yang spesifik, 2) menelaah strategi-strategi
diskursif, dan 3) menganalisis realisisasi makna-makna kebahasaan yang
tertulis dan spesifik dalam konteks tertentu.
|
Mengembangkan
analisis wacana untuk melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam
teks. Dalam arti siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi
objek penceritaan.
|
Membagi
analisis wacana kritis menjadi 3 dimensi: dimensi tekstual (mikrostruktural),
dimensi kewacanaan (mesostruktural), dan dimensi praktis sosial-budaya
(makrostruktural)
|
Membagi
analisis wacana kritis fokus kepada dua hal: 1) proses pengeluaran (exclusion), dan
2)
proses pemasukan (inclusion)
|
Membagi
analisis wacana kritis menjadi 3 struktur: 1) struktur makro, 2) super
struktur, dan 3) struktur mikro.
|
Membagi
analisis wacana kritis ke dalam cakupan 4 area: 1) perspektivasi, 2) strategi
representasi diri, 3) strategi argumentasi, dan 4) strategi mitigasi.
|
Membagi
analisis wacana kritis ke dalam 3 level analisis: 1) analisis pada level kata
seksisme dalam bahasa seksisme dan maknanya, 2) analisis pada level
frasa/kalimat penamaan pelecehan pada wanita, belas kasihan/pengkerdilan,
penghalusan/tabu, dan 3) analisis pada level wacana karakter/peran
fragmentasi, fokalisasi schemata.
|
Tabel 1. Perbedaan dari kelima pendekatan utama dalam model
analisis wacana kritis
D. Pendekatan Analisis Wacana
Kritis Model Norman Fairclough
Melalui
identifikasi lima ciri umum dalam analisis wacana kritis, terdapat perbedaan
besar antara pendekatan analisis wacana kritis sehubungan dengan pemahaman
teoretis wacana, ideologi dan perspektif sejarah, dan juga sehubungan dengan
metode untuk studi empiris penggunaan bahasa dalam interaksi sosial dan efek
ideologis. Contohnya, sebagaimana yang telah disebutkan, sebagian pendekatan
analisis wacana kritis tidak memiliki pemahaman yang sama dengan pemahaman
Foucault tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang produktif. Di antaranya adalah
pendekatan sosiokognitif Van Dijk yang juga menyimpang dari kebanyakan
pendekatan lain karena memiliki pandangan yang sama dengan kognitivis.
1. Analisis Wacana Kritis
Fairclough
Berkaitan denga
analisis wacana kritis, Fairclough telah membuat kerangka yang berguna untuk
analisis wacana sebagai praktik sosial. Adapun kerangka Fairclough mencakup
berbagai konsep yang berbeda yang saling berhubungan dalam model tiga dimensi
yang kompleks. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat perbedaan
penting antara Fairclough dengan teori wacana post-strukturalis, yakni bahwa
pada analisis wacana kritis, wacana tidak hanya dipandang bersifat konstitutif,
namun juga tersusun. Pendekatan Fairclough mengemukakan bahwa wacana merupakan
bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan,
identitas dan hubunga sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus
dibentuk oleh struktur praktik sosial yang lain. Berdasarkan hal tersebut,
dapat dipahami bahwa wacana memiliki hubungan dialektik dengan dimens-dimensi
sosial yang lain. Fairclough memahami struktur sosial sebagai hubungan sosial
dalam masyarakat secara keseluruhan dan di lembaga-lembaga tertentu, dan
terdiri dari kedua unsur diskursif dan nondiskursif. Adapun praktik
nondiskursif, seperti latihan fisik yang terlibat dalam pembangun jembatan,
sedangkan praktik-praktik diskursif, seperti jurnalisme dan hubungan
masyarakat.
Pada saat yang
sama, Fairclough menjauhkan dirinya dari strukturalisme dan mendekatan ke
posisi yang lebih post-strukturalis dalam pernyataannya bahwa praktik diskursif
tidak hanya mereproduksi struktur diskursif yang sudah ada, tetapi juga
menantang struktur dengan menggunakan kata-kata untuk menunjukkan apa yang
mungkin berada di luar struktur. Akan tetapi, Fairclough menyimpang secara
signifikan dari wacana teori pada pemusatan pembangunan model teoretis dan alat
metodologi untuk penelitian empiris dalam interaksi sosial sehari-hari. Berbeda
dengan kecenderungan post-strukturalis, Fairclough menekankan pentingnya
melakukan analisis sistematis bahasa lisan dan tulisan, contohnya media massa
dan wawancara penelitian. Adapun pendekatan Fairclough merupakan bentuk teks
yang berorientasi pada analisis wacana dan mencoba untuk menyatukan tiga tradisi,
antara lain:
1)
Analisis tekstual rinci dalam
bidang linguistik (termasuk tata bahasa fungsional Michael Halliday).
2)
Analisis makro-sosiologis praktik
sosial (termasuk teori Foucault, yang tidak menyediakan metodologi untuk
analisis teks tertentu).
3)
Mikro-sosiologis, tradisi
interpretatif dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan analisis
percakapan), di mana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk dari
tindakan orang-orang di mana mereka mengikuti seperangkat aturan bersama logika
dan prosedur.[12]
Fairclough
menggunakan analisis teks rinci untuk mendapatkan wawasan tentang bagaimana
proses diskursif mengoperasikan bahasa dalam teks-teks tertentu. Akan tetapi,
ia mengkritik pendekatan linguistik untuk berkonsentrasi secara eksklusif pada
analisis tekstual dan untuk bekerja dengan pemahaman sederhana serta mendasar
dari hubungan antara teks dan masyarakat. Bagi Fairclough, analisis teks saja
tidak cukup untuk analisis wacana, karena tidak menjelaskan pada hubungan
antara teks dan proses sosial dan budaya serta struktur. Sebuah perspektif
interdisipliner diperlukan di mana satu sama lain menggabungkan tekstual dan
analisis sosial. Adapun manfaat yang diperoleh dari deskripsi pada tradisi
makro-sosiologis adalah praktik sosial yang dibentuk oleh struktur sosial dan
hubungan kekuasaan, dan orang sering tidak menyadari proses ini. Kontribusi
interpretatif tradisi adalah untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana orang
aktif membuat aturan yang mengikat secara keseluruhan dalam praktik
sehari-hari.
Pemahaman wacana
sebagai konstitutif dan konstitutid merupakan pusat teori dari Fairclough ini.
Fairclough memahami hubungan antara praktik diskursif dan struktur sosial yang
kompleks dan pada variabel waktu, menyimpang dari pendekatan analisis wacana
kritis yang mengasumsikan tingkat stabilitas yang lebih tinggi.
2. Model Tiga Dimensi
Fairclough
Konsep-konsep Utama
Fairclough menerapkan konsep wacana ke dalam tiga cara yang
berbeda. Pertama, berdasarkan pada pengertian yang paling abstrak, wacana
mengacu pada penggunaan bahasa sebagai praktik sosial. Kedua, wacana dipahami
sebagai jenis bahasa yang digunakan dalam bidang tertentu, seperti wacana
politik dan wacana ilmiah. Ketiga, penggunaan kekuatan, wacana digunakan
sebagai kata benda hitungan (suatu wacana, wacana tertentu, wacana-wacana,
wacana-wacana tertentu) yang mengacu pada cara berbicata yang memberi makna pada
pengalaman dari perspektif tertentu. Konsep ini mengacu pada setiap wacana yang
dapat dibedakan dari wacana lainnya, contohnya wacana feminis, seorang
neoliberal wacana, wacana Marxis, wacana konsumen, atau lingkungan wacana.
Selain itu, Fairclough juga membatasi istilah, wacana, sistem semiotik, seperti
bahasa dan gambar kontras dengan teori Laclau dan Mouffe yang memperlakukan
semua praktik sosial sebaga wacana. Berkaitan dengan kontribusi wacana,
Jorgensen dan Phillips menjelaskan bahwa “Discourse
contributes to the construction of: social identities; social relations; and
systems of knowledge and meaning”.[13] Wacana
berkontribusi besar untuk membentuk identitas sosial, hubungan sosial, dan
sistem pengetahuan dan makna.
Jadi,
wacana memiliki tiga fungsi, antara lain 1) fungsi identitas, fungsi
relasional, dan fungsi ideasional. Dalam hal ini, Fairclough mengacu pada
pendekatan mulifungsi Halliday dalam bahasa. Dalam analisis apapun, dua dimensi
wacana berfokus pada dua perihal penting, antara lain:
1)
Peristiwa komunikatif, contohnya
penggunaan bahasa seperti artikel, surat kabar, film, video, wawancara, atau
pidato politik.
2)
Urutan wacana yang berhubungan
dengan konfigurasi semua jenis wacana yang digunakan dalam lembaga sosial atau
bidang sosial. Adapun jenisnya mencakup wacana dan genre.
Genre adalah
penggunaan bahasa tertentu yang berpartisipasi dalam dan merupakan bagian dari
praktik sosial tertentu, contohnya wawancara genre, genre berita, atau genre
iklan. Contoh dari tatanan wacana, mencakup urutan wacana media, pelayanan
kesehatan atau rumah sakit. Dalam urutan wacana, ada praktik-praktik diskursif
tertentu melalui teks dan pembicaraan yang diproduksi dan dikonsumsi atau
ditafsirkan.
Adapun contohnya, dalam wacana sebuah rumah sakit, praktik diskursif
yang berlangsung termasuk konsultasi dokter-pasien, bahasa ilmiah teknis staf
(baik lisan maupun tulisan) dan bahasa hubungan masyarakat yang bertugas untuk
promosi lisan dan tertulis. Dalam setiap praktik diskursif yaitu dalam produksi
dan konsumsi teks dan lisan, jenis wacana (diskursus dan genre) digunakan dalam
cara-cara tertentu.
wacana. Hal ini
berarti bahwa bentuk peristiwa komunikatif dibentuk oleh praktik sosial yang
lebih luas melalui hubungan mereka dengan urutan wacana.
Tujuan umum dari
model tiga dimensi adalah untuk memberikan kerangka analisis pada analisis
wacana kritis. Model ini berdasarkan pada promosi dan prinsip bahwa teks tidak
dapat dipahami atau dianalisis dalam kondisi terisolasi. Teks hanya dapat
dipahami dalam kaitannya dengan jaringan teks lain dan dalam kaitannya dengan
konteks sosial. Chuliaraki dan Fairclough membedakan antara momen diskursif dan
nondiskursif dari praktik sosial dan mengusulkan bahwa saat ini mereka mematuhi
adanya perbedaan pada jenis logika. Untuk membuat konsep logika yang berbeda,
keduanya menarik kritis realisme, khususnya teori bahwa kehidupan sosial
beroperasi sesuai dengan berbagai mekanisme yang masing-masing memiliki khas
efeg generative pada peristiwa komunikasi, tetapi selalu dimediasi oleh satu
sama lain dalam peristiwa mereproduksi. Adapun untuk membuat konsep mekanisme
dalam hal praktik sosial, keduanya mengambil teori Harvey sebagai elemen yang
menginternalisasikan, tetapi tidak dapat direduksi menjadi satu sama lain.
Berkaitan dengan
konsep mekanisme dalam praktik sosial, contohnya seperti pergi berbelanja.
Pergi berbelanja melibatkan komunikasi verbal dengan asisten toko dan pembeli.
Berbicara dan membayar menjadi momen yang diartikulasikan bersama-sama dalam
praktik berbelanja. Jika kita ingin menganalisis kegiatan pergi berbelanja
dengan menggunakan artikulasi Chouliaraki dan Fairclough, maka dalam
menganalisis percakapan dengan asisten toko sebagai wacana menggunakan alat
linguistik, dan untuk itu analisis harus ditambahkan dengan analisis ekonomi
pertukaran uang yang digambarkan pada teori ekonomi. Menurut Chouliaraki dan
Fairclough, ekonomi dan wacana, merupakan dua jenis mekanisme yang berbeda, dan
tidak dapat dianalisis dengan menggunakan teori dan alat-alat linguistik yang
sama.
1. Wacana Komunikasi dan Urutan
Wacana
Fairclough
memahami bahwa hubungan antara wacana komunikatif dan urutan wacana, yaitu
dialektis. Urutan wacana merupakan sebuah sistem, tetapi bukan sebuah sistem
strukturalis. Oleh karena itu, wacana komunikatif tidak hanya direproduksi dari
urutan wacana, namun dapat juga mengubahnya melalui penggunaan bahasa yang
menarik. Misalnya, ketika seorang humas di rumah sakit menggunakan sebuah
wacana konsumen, dia menarik sebuah sistem perintah dari urutan wacana, dengan
demikian dia juga menjadi bagian dalam sebuah sistem. Atau, ketika seorang
wartawan menarik sebuah wacana yang secara rutin digunakan dalam media, dia
juga menjadi bagian dalam setiap reproduksi media. Urutan wacana adalah jumlah
dari semua genre dan wacana yang digunakan dalam sebuah domain sosial tertentu.
Penggunaan wacana dan genre sebagai sumber daya dalam komunikasi dikendalikan
oleh urutan wacana karena urutan wacana merupakan sumbe daya (wacana dan genre)
yang tersedia. Akan tetapi, pada saat yang sama, bahasa dengan pengguna bisa
mengubah urutan wacana dengan menggunakan genre dan wacana, serta dengan cara
baru memasukkan wacana dan genre dari perintah lain dari suatu wacana.
2. Intertekstualitas dan
Interdiskursif
Interdiskursif
yang terjadi ketika wacana dan genre ditetapkan bersama di dalam wacana
komunikatif. Kegiatan kreatif wacana diskursif merupakan jenis yang baru
bergabung dalam cara yang kompleks dan mengatur keadaan diskursif dengan
perubahan sosial budaya. Interdiskursif adalah suatu bentuk intertekstualitas.
Intertekstualitas mengacu pada kondisi di mana semua peristiwa komunikatif
menarik kejadian-kejadian sebelumnya. Fairclough menjelaskan bahwa kita tidak
bisa menghindari menggunakan kata-kata dan frase yang telah digunakan oleh
orang sebelumnya. Adapun intertekstualitas merupakan bentuk yang nyata, di mana
teks secara eksplisit menarik teks-teks lain, misalnya dengan mengutip mereka. Interdiscursivity is a form of intertextuality. Intertextuality refers to the condition
whereby all communicative events draw on earlier events. One cannot avoid using
words and phrases that others have used before. A particularly pronounced form of
intertextuality is manifest
intertextuality, whereby texts explicitly draw on other texts, for
instance, by citing them.[1]
Teks
dapat dilihat sebagai bagian dalam sebuah rantai intertekstualitas, yakni
serangkaian teks di mana setiap teks menggabungkan elemen dari teks lain.
Contohnya, rantai intertekstual yang mengikat sebuah laporan ilmiah untuk media
teks dan untuk penonton teks; wartawan memasukkan laporan-laporan ilmiah dalam
produksi dari media teks; dan dalam proses konsumsi, penerima memasukkan unsur-unsur
dari media teks dalam pembaharuan teks. Intertekstualitas mengacu pada pengaruh
sejarah teks dan pengaruh sejarah terhadap teks. Hal ini berarti teks yang
menarik teks-teks sebelumnya memberikan kontribusi perkembangan sejarah dan
perubahan sosial budaya.
3. Wacana, Ideologi, dan
Hegemoni
Berkaitan dengan
ideologi, menurut Fairclough, “Ideology, for Fairclough, is ‘meaning in
the service of power’. More precisely, he understands ideologies as
constructions of meaning that contribute to the production, reproduction and
transformation of relations of domination.”[2] Ideologi adalah
makna dalam pelayanan kekuasaan. Lebih tepatnya, Fairclough memahami bahwa
ideologi adalah sebagai konstruksi makna yang berkontribusi terhadap produksi,
reproduksi, dan transformasi dari hubungan dominasi. Ideologi diciptakan dalam
masyarakat di mana hubungan dominasi didasarkan pada struktur sosial, seperti
kelas sosial dan jenis kelamin. Menurut Fairclough, definisi wacana dapat
berarti ideologi yang lebih atau kurang, wacana ideologis memberikan kontribusi
dalam pemeliharaan dan transformasi kekuasaan hubungan.
Pemahaman
Fairclough mengenai praktikf diskursif sebagai ideologi yang tertanam dalam
memanfaatkan pandangan John Thompson, yakni ideologi sebagai praktik yang beroperasi
dalam proses produksi di kehidupan sehari-hari, di mana makna yang dijalankan
dalam rangka mempertahankan hubungan kekuasaan. Fokus ini juga berbeda dengan
konsep ideologi dalam pendekatan Marxis yang tidak tertarik pada struktur dari
ideologi tertentu, atau dengan cara kekerasan yang sesuai dengan konteks sosial
tertentu. Sebaliknya, pendekatan Marxis memperlakukan sebuah ideologi abstrak
dari sistem nilai sosial yang bekerja sebagai perekat sosial, mengikat orang
bersama dalam ketertiban sosial.
4. Desain dan Metode Penelitian
Analisis Wacana Kritis Fairclough
Dalam analisis
yang menerapkan kerangka AWK Fairclough, terdiri atas enam fase penelitian.
Adapun dalam pembahasan, fase analisis didasarkan pada model tiga dimensi
Fairclough.
1) Pemilihan Masalah Penelitian
Analisis wacana kritis bertujuan untuk menghasilkan penelitian
sosial kritis, yakni penelitian yang memberikan kontribusi bagi koreksi atas
ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang terjadi di dalam masyarakat. Chouliaraki
dan Fairclough mendefinisikan tujuan analisis wacana kritis sebagai kritik
eksplanatoris. Adapun kritiks eksplanatoris berawal dari permasalahan yang
penyelesaiannya dibantu oleh penelitian. Hal ini bisa merupakan persoalan yang
diidentifikasi oleh individu atau kelompok masyarakat, misalnya dengan
merumuskan kebutuhan yang tidak terpenuhi atau peneliti yang ingin mengungkap
“kesalahan interpretasi”, yakni ketidaksesuaian antara realitas dan tinjauan
orang terhadap realitas yang berfungsi secara ideologis.
2)
Merumuskan Pertanyaan Penelitian
Kerangka tiga dimensi wacana menata semua komponen desain
penelitian termasuk rumusan pertanyaan penelitian. Prinsip utamanya adalah
bahwa praktik kewacanaan memiliki hubungan dialektik dengan praktik sosial
lain: wacana disisipkan secara sosial. Sifat khusus praktik kewacanaan
tergantung pada praktik sosial yang merupakan bagiannya. Berdasarkan pada
analisis wacana, dapat dilakukan analisis hubungan interdisipliner antara
praktik kewacanaan dengan praktik sosial. Salah satu tujuan utamanya adalah
memperlihatkan hubungan antara praktik kewacanaan dengan struktur dan
perkembangan sosial dan budaya yang lebih luas.
Di bawah ini adalah contoh analisis iklan lowongan pekerjaan yang
dicontohkan oleh Fairclough.
Pada contoh analisis iklan lowongan pekerjaan di atas, Fairclough
mengeksplorasi praktik kewacanaan dalam suatu lembaga tertentu, yakni
universitas di Inggris, berdasarkan persebaran budaya konsumen di masyarakat
Inggris. Adapun persebaran budaya konsumen tersebut merupakan praktik sosial
yang lebih luas sehingga menciptakan konteks bagi analisis wacana teks yang
sesungguhnya, yakni iklan lowongan pekerjaan. Secara khusus, contoh tersebut
mengeksplorasi bagaimana wacana promosi memberikan kontribusi kepada persebaran
budaya konsumen kepada universitas-universita sebagai domain sosial.
1)
Pilihan Materi
Pilihan materi penelitian tergantung pada beberapa aspek:
pertanyaan penelitian, pengetahuan peneliti tentang materi yang relevan dalam
domain sosial atau lembaga yang ingin diteliti. Adapun analisis yang dilakukan
Fairclough menggunakan berbagai materi yang berbeda, namun dalam makalah ini,
kami membatasi pembahasan pada iklan lowongan pekerjaan yang tercantum di atas.
2)
Transkripsi
Tidak ada contoh transkripsi dalam contoh yang dikemukakan oleh
Fairclough karena materinya tidak mencakup wawancara atau bentuk-bentuk
pembicaraan yang lain. Tapi, jika pembicaraan memang digunakan sebagai
materinya, perlu ditranskripsikan terlebih dulu atau paling tidak
ditranskripsikan sebagian. Apa yang sekiranya perlu ditranskripsikan harus
diputuskan berdasarkan tujuan-tujuan penelitiannya. Analisis wacana harus
memilih di antara sistem transkripsi dan tidak ada sistem yang mampu
memperlihatkan segalanya. Dalam model tiga dimensinya, Fairclough membedakan
antara praktik diskursif, teks, dan praktik sosial sebagai tiga tingkat yang
dapat dianalisis terpisahkan. Pada bagian ini, kami membahas analisis dengan membahas tiga
tingkat dengan menggunakan contoh-contoh dari iklan lowongan pekerjaan.
3)
Analisis
a)
Praktik Diskursif
Analisis praktik diskursif berfokus pada bagaimana teks diproduksi
dan bagaimana dikonsumsi. Ada beberapa cara dalam melakukan praktik diskursif.
Jika bahan empirisnya berupa artikel surat kabar, peneliti dapat memerika
kondisi produksi koran: proses jenis apa yang ada pada teks sebelum dicetak,
dan perubahan apa yang terjadi selama proses tersebut. Selain itu, dapat
dilacak secara intertekstual pada rantai di mana teks terdapat ‘kesamaan’ teks
yang dapat dilihat dalam berbagai versi yang berbeda. Ketika menganalisis
rantai intertekstual, orang dapat melihat bagaimana struktur dan konten diubah,
dan dapat mulai merumuskan hipotesis tentang jenis kondisi produksi dengan
versi yang berbeda subjeknya.
Perhatikan contoh iklan di bawah ini.
Iklan Sheffield berisi interdiskursif tingkat tinggi. Hal ini
dikarenakan wacana promosi yang berbeda diartikulasikan dengan tradisi wacana
nasional untuk membuat campuran interdiskursif yang kompleks. Judul “MAKE AN
IMPACT ON THE NEXT GENERATION” diartikulasikan dan dipersonifikasikan, baik
pembaca dan lembaga. Dengan menggunakan personifikasi, iklan juga
mensimulasikan wacana percakapan.
Iklan Newcastle Universit memiliki interdiskursif tingkat rendah.
Sehubungan dengan intertekstualitas, teks mengacu pada tradisi wacana akademik
nasional di setiap pernyataan, mengartikulasikan cara wacana konvensional.
Menurut Fairclough, interdiskursif tingkat tinggi adalah terkait
dengan perubahan, sementara interdiskursif tingkat rendah adalah sinyal
reproduksi tatanan mapan. Pada tahap ini, kita dapat menyimpulkan bahwa iklan
Sheffield adalah hasil dari perubahan sosial yang lebih luas, sementara iklan
Newcastle bekerja untuk menjaga wacana tradisional di universitas.
a)
Teks
Fairclough mengusulkan sejumlah alat untuk
analisis teks, antara lain:
1) Kontrol interaksional adalah hubungan antara pembicara, termasuk
pertanyaan tentang siapa yang menetapkan agenda percakapan.
2) Etos adalah bagaimana identitas dibangun melalui bahasa dan aspek
tubuh.
3) Metafora.
4) Kata-kata.
5) Tata bahasa.[1]
Semua itu memberikan wawasan cara di mana teks-teks menafsirkan
peristiwa dan hubungan sosial dan membangun versi tertentu dari realitas,
identitas sosial, dan hubungan sosial.
Dalaam menganalisis pembangunan identitas dan hubungan sosial di
dalam iklan lowongan pekerjaan, Fairclough menyelidiki bagaimana iklan
membangun representasi dari pembaca dan lembaga itu sendiri. Sebagai ekspresi
dari interdiskursif dari iklan Sheffield, teks mengandung makna interpersonal
yang bertentangan Berbeda dengan iklan Sheffield, iklan Newcastle adalah
impersonal. Analisis menunjukkan bahwa struktur tradisional iklan untuk posisi
akademik direproduksi: judul yang mengidentifikasi lembaga, sebuah judul utama
yang mengacu posisi, informasi tentang posisi, gaji, dan prosedur aplikasi.
b)
Praktik Sosial
Dalam praktik sosial, terdapat dua aspek kontekstualisasi. Pertama,
hubungan relativitas antara praktik diskursif dan aturan dari wacana untuk
dieksplorasi. Kedua, tujuannya adalah untuk memetakan sebagian hubungan
nondiskursif, sosial, dan budaya dan struktur yang merupakan konteks yang lebih
luas dari praktik diskursif.
6)
Hasil
Menurut Fairclough, analisis wacana harus mempertimbangkan
pertanyaan etika tertentu tentang penggunaan umum dari hasil penelitian.
Peneliti perlu menyadari bahwa ada risiko hasil hasil mungkin digunakan sebagai
sumber daya dalam rekayasa sosial. Selain itu, Fairclough juga melihat bahwa
penggunaan hasil penelitian digunakan sebagai bentuk dari ‘wacana
teknologisasi’ yang digunakan untuk mengubah praktik diskursif secara
komprehensif dan juga untuk melatih orang untuk menggunakan bentuk-bentuk baru
diskursif, misalnya melatih manajer bisnis.
E.
Penerapan Analisis
Wacana Kritis
Adapun
contoh penerapan analisis wacana kritis dapat dilihat dari iklan yang
dipaparkan di bawah ini:
Iklan XL versi Sule, Baim,
Putri Titian
Sule, pelawak sedang naik daun di tahun 2010 sampai saat ini. Awalnya, Sule
adalah bintang iklan XL. Sule bermain satu frame dengan bintang cilik Baim dan
Putri Titian. Di iklan tersebut, Baim diberitahu Putri Titian untuk
komentar, “om sule ganteng”,
tapi dengan kepolosan dan kejujuran (yang tentu saja sudah direkayasa oleh
sutradara ) si baim ngomong, “Om
Sule jelek..”. Setelah itu, sule kemudian membujuk Baim dan memberikan dua buah makanan (entah permen
or apaan) kepada Baim dengan harapan Baim akan mengatakan ‘Om Sule ganteng’.
Namun Baim masih menjawab apa ada seperti jawaban sebelumnya.
“Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya
beneran.” jawab Baim lagi, dan seterusnya.
Sutradara : Break
(hp tasya berdering)
Putri Titian : (Kepada Baim) “Bilangin kakak Tiannya lagi tidur”
Baim : (menjawab telfon) Tadi kata
Kakak Tiannya lagi tidur. Kakak Tiannya lagi mlototi baim nih.
Sule : Baim akrab banget
ngobrolnya?
Baim : Emang Aim akrab banget sama
kakak ini.
“SEAKRAB BAIM, SEAKRAB XL. BENERAN MURAHNYA.
NELPON Rp 25/MENIT DARI MENIT PERTAMA”
Iklan ini menampilkan
tokoh anak kecil, yang secara tidak langsung bisa juga mempengaruhi pola pikir
anak kecil lain. Tujuan iklan ini adalah ingin menunjukkan bahwa XL itu jujur
seperti Baim yang masih kecil dan polos. Selanjutnya Baim disuruh berbohong,
dan dia tetap menolak untuk berbohong. Di satu sisi, iklan ini bagus karena
mengajarkan orang terutama anak kecil untuk selalu jujur, tidak bohong.
Penggunaan ikon anak kecil membawa dampak sama halnya menggunakan wanita
sebagai icon utama. Dalam iklan yang tidak berhubungan dengan produk untuk anak
kecil, seharusnya tidak dijadikan ikon utama. Karena dapat dianggap eksploitasi
anak.
Baim mengatakan bahwa
Sule jelek, memberi kesan bahwa setiap anak kecil berhak mengatakan bahwa
seseorang itu jelek atau buruk rupa, meskipun atas dalih kejujuran meskipun
dalam konteks bercanda. Kejujuran yang disampaikan bukan masalah bercanda.
Secara tidak langsung, iklan ini seperti ingin mengatakan bahwa “Sah-sah saja
menjelekkan sesuatu yang memang jelek. Etika atau perasaan seseorang tidaklah
penting andai dia atau apa yang dimiliki itu jelek.” Memang benar, barang jelek
harus dikatakan jelek. Hal itu tentu saja bersangkutan dengan dengan norma
etika dan kesopanan.
Eksploitasi terhadap
anak terjadi dalam iklan XL tersebut. Sosok baim diajarkan oleh berbohong oleh
Putri Titian, “om sule ganteng” dan “Bilangin
kakak Tiannya lagi tidur.” Dari kutipan tersebut tampak pada nilai yang tidak
patut dicontoh oleh anak tentang ajaran kebohongan meskipun pada akhirnya,
dengan kepolosan Baim menjawab sejujurnya apa yang terlihat olehnya.
Di dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI) diatur beberapa prinsip tentang
keterlibatan anak-anak di bawah umur -apalagi Balita- seperti antara lain:
- Anak-anak
tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak
dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.
- Iklan
tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adeganadegan yang berbahaya,
menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.
- Iklan
tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu
produk yang bukan untuk anak-anak.
Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang
mengeksploitasi daya rengek (pester power) anak-anak dengan maksud
memaksa para orang tua untuk mengabulkan permintaan anakanak mereka akan produk
terkait.
Dalam iklan tersebut
juga terdapat adegan penyuapan Sule terhadap Baim. Penyuapan tersebut dalam
bentuk permen yang diberikan kepada Baim agar berujar “Om Sule Ganteng”. Tapi,
hal itu juga tidak diucapkan oleh Baim. “Dari pertama, Om Sule itu jelek. Dari
pertama kalau Rp. 25,- XL, murahnya beneran.”
Dari kutipan di atas, tidak ada koherensi antarkalimat satu dan dua.
Kalimat pertama tidak berhubungan dengan kalimat selanjutnya meskipun di setiap
awal kalimat menggunakan repetisi dari pertama.
III. Penutup
Simpulan
Analisis
wacana kritis menghasilkan interprestasi dengan memandang efek kekuasaan dan
wacana-wacana kritis tanpa menggeneralisasikan pada konteks lain. Dasar
teoritis untuk analisis wacana ini didasarkan pada beberapa perkembangan
sejarah dalam filsafat ilmu pengetahuan dan teori sosial. Sebagai suatu
pendekatan analisis wacana kritis yang sistematik untuk pembentukan
pengetahuan, maka analisis wacana ini mengambil bagian dari beberapa tradisi
pemikiran barat. Penggambaran tradisi ini dan pengaruhnya banyak didasari
perkembangan analisis wacana.
Pengaruh
teoritis yang utama atas metode ini adalah teori sosial yang kritis,
kontra-fondasionalisme, posmodernisme, dan feminisme. Dalam hubungannya dengan
makna struktur linguistik, sesuatu yang amat fundamental dalam pandangan
Fairclough (1989) adalah terdapatnya fungsi hubungan antara konstruksi tekstual
dengan kondisi-kondisi sosial, institusional, dan ideologis dalam proses-proses
produksi serta resepsinya.
Struktur-struktur
linguistik digunakan untuk mensistematisasikan dan mentransformasikan realitas.
Oleh karena itu, dimensi kesejarahan, struktur sosial, dan ideologi adalah
sumber utama pengetahuan dan hipotesis dalam kerangka kerja kritisisme
linguistik (Fowler, 1986:8).
Beberapa
tokoh linguistik kritis, seperti Fowler, Fairclough, Van Dijk, dan Wodak
memandang bahwa fenomena komunikasi dan interaksi yang “nyata” lebih banyak diwarnai oleh
adanya fenomena-fenomena ketidakteraturan,
kesenjangan, ketidakseimbangan, perekayasaan, dan ketidaknetralan dari isu-isu
ketidakadilan dalam gender, politik, ras, media massa, kekuasaan, dan
komunikasi lintas budaya. Dengan demikian, menganalisis kata, frasa, kalimat,
dan teks yang dihasilkan oleh seorang tokoh dapat mengungkap
persoalan-persoalan yang lebih besar dan mendasar.
Linguistik
kritis amat relevan digunakan untuk menganalisis fenomena komunikasi yang penuh
dengan kesenjangan, yakni adanya ketidaksetaraan relasi antarpartisipan,
seperti komunikasi dalam politik, relasi antara atasan-bawahan, komunikasi
dalam wacana media massa, serta relasi antara laki-laki dan perempuan dalam
politik gender. Meskipun ada banyak aliran dalam paradigma ini, semuanya
memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium yang netral dari ideologi,
kepentingan dan jejaring kekuasaan. Karena itu, analisis wacana kritis perlu
dikembangkan dan digunakan sebagai piranti untuk membongkar kepentingan,
ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan berbahasa dan berwacana.
AWK
digunakan untuk mengungkap tentang hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Selain itu AWK dapat digunakan untuk mengkritik. AWK dalam konteks sehari-hari
digunakan untuk membangun kekuasaan, ilmu pengetahuan baru, regulasi dan
normalisasi, dan hegemoni (pengaruh satu bangsa terhadap bangsa lain). AWK juga
digunakan untuk mendeskripsikan sesuatu, menerjemahkan, menganalisis, dan
mengkritik kehidupan sosial yang tercermin dalam teks atau ucapan. AWK
berkaitan dengan studi dan analisis teks serta ucapan untuk menunjukkan sumber
diskursif, yaitu kekuatan, kekuasaan, ketidaksetaraan, ketidakadilan, dan
prasangka. AWK diasosiasikan, dipertahankan, dikembangkan, dan
ditransformasikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan konteks sejarah
yang spesifik.
DAFTAR
PUSTAKA
Fairclough, Norman. Language and Power. New York: Addison
Wesley. 1989.
________________. Discourse and Social Change. UK : Polity
Press. 1992.
________________. Critical Discourse Analysis. New York:
Addison Wesley Longman. 1995.
Jorgensen, Marriane W. dan Louise J.
Phillips. Discourse Analysis as Theory
and Method
London: SAGE Publications.
2002.
Mills, Sara. Feminist Stylistics. London: Routledge.
1995.
_________. Discourse.
London: Routledge. 1997.
Schffrin, Deborah. Approaches to Discourse. USA: Blackwell Publishing. 1994.
Yrama, Widya Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media.
Yogyakarta: LKIS. 2001.
Van
Leeuwen, T. The Representation of Social
Actors, dalam Carmen Rosa Caldas-
Coulthard
dan Malcom Coulthard (Ed.). 1996.
[1] Marriane W. Jorgensen dan Louise J.
Phillips, Discourse Analysis as Theory and Method (London: SAGE Publications,
2002), h. 12.
[3] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 60.
[4] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 61.
[5] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 61.
[7] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 62.
[9] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 63.
[10] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 63.
[11] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., h. 64.
[12] Jorgensen dan Phillips, Op.Cit., hh. 65-66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar