Oleh: Noermanzah (7317150079), Syarifuddin Tundreng
(7317150087),
dan Agus Rofi’i (7317150263)
Abstrak
Dalam
makalah ini akan diberikan pemahaman yang diawali dengan konsep kohesi dan
koherensi yang dilanjutkan dengan konsep pendekatan structural (formalis). Pendekatan
struktural memandang wacana sebagai unit bahasa di atas kalimat atau beberapa
kalimat yang memiliki hubungan dan struktur bahasa secara kohesi yang hanya
memperoleh makna secara langsung dari unsur formal saja secara referensial dan
leksikal. Kohesi
merupakan aspek
formal bahasa yang berkaitan erat secara langsung (implisit) antar kata, frase,
klausa, dan kalimat yang saling berhubungan satu sama lainnya untuk membentuk
teks. Koherensi merupakan hubungan antar kata, frase, klausa, dan kalimat
secara eksplisit dan ambiguitas sehingga mampu menjelaskan makna teks yang
sebenarnya..
Kata kunci: Pendekatan Struktural, Kohesi,
Koherensi, Analisis Wacana.
A. Pendahuluan
Perkembangan dalam memahami ilmu linguistik sebagai alat
komunikasi yang penting dalam kehidupan manusia mengalami perkembangan dari
tahun ke tahun. Perkembangan ini didasarkan pada eksistensi ilmu linguistik dan
pembuktian bahwa ilmu linguistik juga bersifat ilmiah. Khususnya bidang kajian
linguistik dalam menganalisis wacana, memiliki dua paradigma yang memiliki
asumsi-asumsi yang berbeda tentang hakikat wacana, yaitu paradigma formalis
dengan pendekatan struktural dan paradigma fungsional dengan pendekatan fungsionalnya.[1]
Kedua
pendekatan ini memiliki dasar yang memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing dalam menjelaskan wacana. Akan tetapi, dalam perkembangannya,
pendekatan struktural kemunculannya lebih dahulu dibandingkan dengan pendekatan
formalis. Secara umum memang pendekatan struktural dalam menganalisis wacana
lebih pada berorientasi pada bentuk, tanpa mempertimbangkan bahwa satuan-satuan
bahasa itu sebenarnya hadir di dalam konteks, baik konteks yang bersifat
lingual (co-text) maupun konteks yang
bersifat ekstra lingual yang berupa setting
spatial dan temporal (spatio-temporal
setting). Diabaikannya konteks tuturan menyebabkan pendekatan struktural
gagal menjelaskan berbagai masalah kebahasaan. Salah satu diantaranya adalah
masalah masalah kalimat anomali (Fromkin dan Rodman, 1990:190).
[2]
Dalam pendekatan struktural
sebagai cara menganalisis wacana juga mengkaji unsur utama wacana berupa hubungan
antar kata, frase, klausa, dan kalimat sehingga diperoleh makna secara langsung
(implisit) dari sebuah teks atau yang sering disebut kohesi, tetapi belum pada
makna yang sebenarnya (meaning) atau
koherensi. Kepaduan makna (koherensi) dan kerapian bentuk (kohesi) merupakan
faktor penting dalam menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman wacana.[3]
Untuk itu, sebelum kita memahami pendekatan struktural kita
terlebih dahulu memahami konsep kohesi dan koherensi.
Dari
penjelasan di atas, dalam pembahasan ini akan dijawab beberapa permasalahan
dalam bidang wacana, di antaranya: (1) Bagaimanakah kohesi dan koherensi dalam
membangun wacana? dan (2) Bagaimanakah menganalisis wacana dengan pendekatan
struktural? Dari permasalahan tersebut bertujuan memberikan pemahaman tentang
kohesi dan koherensi sebagai dasar dalam menganalisis wacana. Selain itu,
memahami konsep dasar dalam menerapkan pendekatan struktural.
Selain
itu, pembahasan dalam makalah ini diharapkan memberikan manfaat sebagai tugas
mata kuliah Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa dan
mampu pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang Wacana dan menjadi
bahan diskusi bagi mahasiswa PPs UNJ Program Pendidikan Bahasa jenjang strata
tiga (S-3) Kelas A Tahun Ajaran 2015/2016.
B. Pembahasan
Wacana mengadung dua
pengertian berdasarkan kajian yang dianalisis dari wacana. Pengertian pertama
berdasarkan pendekatan struktural (formalis), wacana merupakan unit bahasa di
atas kalimat atau beberapa kalimat yang memiliki hubungan dan struktur bahasa
baik secara kohesi dan koherensi. Pengertian kedua berdasarkan pendekatan
fungsionalis, wacana diartikan penggunaan bahasa yang melihat struktur tuturan
(tindakan dan peristiwa) sebagai cara bertutur yang memiliki makna.[4] Kemudian,
menurut Brown dan Yule mengemukakan dalam analisis wacana yang dianalisis
adalah pada bahasa yang digunakan dan pendokumentasian dalam pendekatan
formalis lebih banyak dibandingkan dengan pendekatan fungsionalis dan memiliki
fungsi fatik (membuka pembicaraan), fungsi emotif (membawa kebutuhan
pembicara), fungsi konatif (menanyakan sesuatu), dan fungsi referensial
(membuat rujukan ke dunia di luar bahasa).[5]
Dalam pembahasan ini dibatasi pada pengertian wacana ditinjau dari sudut
pandang struktural yang diawali dengan pemahaman tentang kohesi dan koherensi.
1. Kohesi
Wacana memiliki unsur baik secara hubungan bentuk
(kohesi) yang secara langsung dan hubungan makna (koherensi) secara tidak
langsung antar kata, frase, klausa, dan kalimat. Wujud wacana berupa teks, baik
teks lisan maupun teks tulisan. Beaugrande dan Dressler menjelaskan bahwa teks sebagai sistem yang berupa
urutan peristiwa atau gagasan yang memiliki hubungan satu peristiwa dengan
peristiwa lainnya. Kemudian, dalam istilah kognitif, teks diwujudkan
dalam setiap kejadian berperan dalam
mengakses setidaknya beberapa kejadian lainnya. Dalam menunjukkan hubungan pada aspek
permukaan bahasa (implisit) antar kata, frase, klausa, dan kalimat yang saling
berkaitan dalam komunikasi maka lahirlah istilah kohesi.[6] Kohesi ini sangat ditandai dengan fungsi sintaksis
dalam wacana.
Kemudian menurut Halliday
dan Hasan menjelaskan kohesi merupakan bagian dari sistem bahasa yang ditandai
dengan hubungan antara kalimat satu dengan kalimat lainnya dalam suatu teks
sehingga mempunyai makna implisit yang ditandai dengan kata-kata yang
berhubungan.[7] Kohesi dalam
hal ini merupakan komponen utama wacana yang saling menjadikan wacana tersebut
dapat dipahami dengan baik oleh pendengar atau pembaca. Walaupun bisa juga
dalam wacana lisan, biasanya suatu wacana hanya memiliki unsur koherensi tanpa
memiliki unsur kohesi, pendengar dapat memahami. Akan tetapi, dalam wacana
tulis, kohesi dan koherensi suatu keharusan apabila wacana tersebut ingin
dipahami secara baik oleh pembaca. Hal ini mengandung makna bahwa, suatu wacana
apabila sudah kohesi tentunya akan koheren dan apabila wacana wacana tersebut
koherensi belum tentu kohesi terutama ditandai dalam tataran sintaksis.
Unit
utama sintaksis adalah pola ketergantungan yang ditandai dengan baik: di antara
frase, klausa yang setidaknya terdapat satu kata benda atau frase kata benda dan
menyetujui verba atau frase kata kerja-frase, dan kalimat yang dibatasi dengan
setidaknya satu klausa independen. Beberapa kebergantungan dalam proses
pembentukan sintaksis ini semua dapat dimanfaatkan dalam waktu yang singkat.
Untuk waktu yang lama dalam berbagai teks, ada perangkat untuk menunjukkan
bagaimana struktur dan pola dapat digunakan kembali, dimodifikasi, atau
dipadatkan.
Kohesi
dalam sistem sintaksis sangat berkontribusi secara stabil. Kohesi yang berkontribusi secara stabil dapat ditandai dengam recurrence.
Recurrence adalah pengulangan
sederhana dari elemen atau pola, dan dapat juga pergeseran elemen yang sudah
digunakan untuk kelas yang berbeda (misalnya dari kata benda ke kata kerja).
Mengulangi struktur tetapi mengisinya dengan unsur-unsur baru dinamakan paralelisme. Mengulangi isi, tetapi
menyampaikan dengan ekspresi yang berbeda merupakan parafrase. Kemudian, menggantikan elemen isi dan membawa dengan
penampung singkat dan ada konten independen merupakan penggunaan pro-form (pro-bentuk). Mengulangi struktur dan
isinya, tetapi menghilangkan beberapa ekspresi permukaan merupakan ellipsis misalnya ellipsis subyek. Kohesi
juga dapat memasukkan sinyal permukaan untuk hubungan antara peristiwa atau
situasi di dunia tekstual, yaitu dengan menggunakan tense, aspect, dan junction. Kalimat dalam perspektif
fungsional sebagai urutan ekspresi untuk menunjukkan pentingnya atau
kebaruan hasil konten. Dalam teks-teks lisan, intonasi juga bisa menandakan pentingnya atau kebaruan konten. [8]
Kohesi
dalam frase, klausa, atau kalimat yang lebih langsung dan jelas daripada kohesi
di antara dua atau lebih unit tersebut. Meskipun begitu, masalah bagaimana
unit-unit ini saling erat-merajut dibangun selama penggunaan aktual teks.
Prosedural, frase dasar dan klausa bahasa Inggris dapat dilihat sebagai
konfigurasi link antara pasangan elemen, banyak dari mereka memiliki hubungan
lebih jauh. Dalam hal ini dibantu dengan tata bahasa abstrak yaitu dengan Augmented Transtition Network (Memperbanyak Transisi Jaringan). Jaringan adalah konfigurasi node, dalam
hal ini, grammar serikat, dihubungkan
dengan link, dalam hal ini, Grammatical
Dependencies. Untuk berpindah dari satu node (simpul) ke yang lain, prosesor menghubungkan transisi.
Operasi ini menuntut identifikasi link sebagai salah satu dari perbendaharaan
jenis ketergantungan, misalnya "Subjek-to-kata kerja" atau
"pengubah-to-head". Transisi
dapat ditambah dengan jenis pencarian atau akses operasi, seperti menentukan
kategori yang tepat untuk yang memiliki node berikutnya. Khusus jenis augmenting
bisa menguji apa hubungannya konseptual sesuai dengan ketergantungan tata
bahasa yang diciptakan.
Dalam jaringan transisi, struktur frase dan
klausa yang dioperasionalkan
sebagai sarana untuk membangun
dan menguji hipotesis tentang
jenis elemen untuk menggunakan
atau mengharapkan pada waktu tertentu.
Oleh karena itu, jaringan ini menangkap strategi tata
bahasa dan harapan pengguna
bahasa; dan mengungkapkan aturan tata bahasa sebagai prosedur untuk menggunakan
aturan. Ungkapan, klausa atau kalimat muncul
sebagai benar-benar terjadi
pada gramatikal Macro-State
yang mana elemen yang Micro-State berasal dari
sistem tekstual. Untuk lebih jelasnya dapat ditunjukkan dengan
gambar berikut.
Gambar
1. menunjukkan bahwa prosesor bergerak sepanjang melalui jaringan frase nomina.
Hal tersebut terus memprediksi kepala, tetapi menemukan pengubah sebaliknya.
Agaknya, hipotesis kepala diberikan preference, tetapi hipotesis dari
pengubah adalah di baris berikutnya untuk mencoba (urutan preferensi menjadi
subjek saja untuk variasi dalam berbagai bahasa dan dalam hal ini dicontohkan
dengan menggunakan bahasa Inggris. Link garis putus-putus menunjukkan hipotesis
gagal, dan link terus-menerus dilakukan sehingga menemukan bentuk yang benar.
Ketika junctive (persimpangan) 'dan' terjadi, prosesor yakin dapat
memprediksi bahwa: (a) modifier lain yang akan datang, dan (b) ini akan menjadi
pengubah terakhir sebelum kepala. Prediksi ini dikonfirmasi, sehingga kepala
dicapai dan link di antaranya dan semua elemen yang tergantung bisa diisi
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Kita
bisa melihat operasi dalam perspektif lain. Prosesor akan menempatkan setiap
kemunculan satu elemen pada hold stack (susunan kata) sampai
seluruh makro-state dibangun, dan kemudian akan membangun hubungan
ketatabahasaan yang saling terkait. Susunan beberapa kata yang terbentuk dapat
digunakan sebagai penyimpanan "pushdown" di mana unsur-unsur yang
dimasukkan dalam urutan tertentu dan dapat dihapus dalam urutan terbalik.
Gambar 2 mengilustrasikan agar penumpukan frase kata benda dan pertama kali masuk
berada di paling kiri, label state sebelah kali, dan state sendiri di tengah.
Ketika kepala ditemukan, prosesor menciptakan struktur jaringan ke kanan.
Kemudian, elemen akan diambil dari susunan kata dalam urutan terbalik dari awal
kata masuk. Angka-angka kecil di sepanjang garis dimaksudkan untuk menunjukkan
urutan link sesuai dengan prinsip itu. Namun, prosedur benar-benar digunakan
selama komunikasi mungkin lebih bervariasi. Berikut, gambar 2 yang dimaksud.
Kemudian,
lanjutan dari contoh pada gambar 2 dijalankan sebagai pembangunan jaringan frase kerja. Dalam
hal ini macro-state
yang dimasukkan saat berhadapan kata kerja 'stood/berdiri', yang terjadi
sesudah kepala. Prosesor dapat dengan aman mengantisipasi pengubah, tetapi akan bijaksana
untuk meningkatkan pencarian
dengan menggeser ke tingkat detail yang lebih besar dan mencari subkelas dari
pengubah, misalnya adverbia vs frasa
preposisi. Jika keterangan
yang dihipotesis sebagai preferensi, hal itu akan gagal dan menyerah pada frase preposisional, yang
terakhir menjadi macro-state dalam frase
kerja pada keseluruhan macro-state. Sub-tujuan diatur menemukan
frase head/kepala, yang dalam sampel ini, berikut
penentunya adalah ('a') berupa ('/desert/gurun'). Gambar 3 menunjukkan penguraian kalimat
dari frase kata kerja dalam hal sistem state/sumber
kata, seperti pada Gambar 1.
Berikut, gambar 3 yang dimaksud.
Kalimat
yang ditampilkan bukan sebagai urutan linear, tetapi sebagai jaringan transisi
berlabel. Node adalah menguraikan
gramatikal/tata bahasa dan link yang dependensi. Gambar 4 di bawah ini
mengilustrasikan jaringan dalam mode ini. Peran seperti jaringan akan mengatur
struktur permukaan sesuai dengan akses yang paling langsung, sehingga teks
linear bisa dibaca selama produksi ujaran, atau ditelusuri kembali ke sana
selama resepsi. Meskipun penelitian tentang produksi masih sangat jarang, ada
beberapa bukti empiris pada penerimaan yang mendukung model jaringan transisi.
Stevens dan Rumelhart (1975) dalam Beaugrande dan Dressler menemukan bahwa
prediksi sintaksis seseorang tentang bagaimana kalimat akan terus melampaui
titik tertentu yang disepakati sekitar 75 persen dari waktu; dan ketika pembaca
mengubah teks saat membaca keras-keras, perubahan terjadi dengan 80 persen dari
waktu dengan harapan diberikan lagi pada tes lainnya. Proporsi perjanjian ini yang
mencolok tinggi dan harus cukup untuk pengolahan bisa diterapkan. Penerapan
harapan untuk masukan yang sebenarnya akan memerlukan hanya spesifikasi kecil
dan modifikasi seperti yang dikehendaki oleh gagasan. Dalam hal jaringan,
transisi bisa sesuai dengan pola yang diharapkan akan menghasilkan pertandingan
yang wajar dengan bahan disaat sebagian besar waktu. Berikut, gambar 4 yang di
maksud.
Hubungan
yang saling berkait dalam seperti frase, klausa, dan kalimat, kohesi ditunjukkan oleh unsur-unsur
yang tepat ke dalam ketergantungan jarak yang pendek pada tata bahasa. Dalam
membentangkan jarak teks, operasi utama adalah menemukan cara yang sudah terbentuk
dalam elemen dan pola yang digunakan dapat digunakan kembali, dimodifikasi,
atau dipadatkan. Perangkat yang memenuhi fungsi tersebut melalui repetisi (pengulangan), substitusi (pergantian), omission (penghilangan unsur), dan signalling relationships (hubungan dengan pemberian isyarat).
Perangkat ini jauh lebih wajib daripada mereka yang melayani untuk unit yang
saling berkaitan dan unsur yang hilang lebih terlihat dan mengganggu dalam
penyimpanan segera aktif. Kegagalan untuk menyelesaikan klausa atau kalimat
akan lebih membingungkan daripada kegagalan untuk menggunakan recurrence (pengulangan), pro-bentuk, junctives, dan sebagainya. Perangkat
jarak jauh dengan demikian berkontributor secara efisiensi bukannya kewajiban
gramatikal dan membuat pemanfaatan teks permukaan yang stabil dan mudah.
Pengulangan
unsur dapat secara langsung di berbagai tingkatan disebut recurrence. Recurrence
menunjukkan bahwa kategori gramatikal cenderung terjadi
pengulangan daripada menggeser-temuan yang diperoleh melalui
pendekatan yang berbeda. Van Dijk (1969) dalam Beaugrande dan
Dresseler menjelaskan bahwa komponen konsep
pengulangan untuk mendukung koherensi teks. Akan tetapi, kita akan melihat hanya pada pengulangan leksikal, yaitu,
pengulangan kata yang sama atau ekspresi, sebagai jenis
yang paling terlihat.
Recurrence
adalah hal umum dan spontan dalam berbicara, di mana penyajian kembali hasil
dari waktu perencanaan yang singkat dan cepat hilangnya teks permukaan. Setelah
banjir bandang, pada suatu kabupaten pengawas bingung membuat pengamatan ini.
Kami mengadopsi konvensi menggarisbawahi unsur demonstrasi. Berikut contohnya
dari kejadi tersebut.
[1] Ada air di setiap rumah- Saya akan mengatakan hampir semua dari mereka air menggenangi
di dalamnya. Hal Ini hanya benar-benar disebabkan oleh air.
Ketika
ada lebih banyak sumber daya dan waktu yang tersedia untuk produksi teks, recurrence lazim disimpan dalam batas.
Jika terlalu sering, menurunkan informatif. Untuk motif ini, kemudian
dicontohkan dengan kalimat berikut.
[2]
John berlari pulang dan John berlari pulang.
Kalimat
di atas akan diterima, karena tidak ada untungnya untuk mengatakan hal yang
sama dua kali. Namun, recurrence secara jelas digunakan
untuk menegaskan dan sebelum-menegaskan sudut pandang seseorang atau
menyampaikan kejutan di kejadian yang tampaknya bertentangan dengan sudut
pandang seseorang. Berikut dapat dicontohkan dengan hal yang hampir sama.
[3] Marlow : Apa,
teman baik saya, jika Anda memberi kami segelas
minuman sekarang?
Hardcastle : Minuman, Sir!
Marlow
: Ya, Pak, minuman! Segelas minuman
hangat, setelah
perjalanan kami, akan
nyaman.
Dari
kutipan dialog di atas Hardcastle kaget dengan yang diperintahkan di dalam
rumahnya sendiri; dia mengulangi item yang diminta seolah-olah dia tidak
mendengar yang tepat, dan Marlow mengulangi dua kali untuk meyakinkan dia dan
untuk menegaskan kembali permintaan. Dengan cara seperti, recurrence dapat digunakan dalam penolakan seperti yang didefinisikan
oleh Halliday dan Hasan (1976): menolak beberapa bahan lain (atau tersirat)
dalam wacana sebelumnya. Materi yang diulang untuk menunjukkan dengan tepat apa
yang ditolak, misalnya sebagai berikut:
[4]
"Saya pikir saya mengatakan kepada Anda bahwa nama saya Burnside."
"Mungkin Smith, Pak, atau Jones,
atau Robinson.
"Hal ini tidak Smith, maupun Jones,
atau Robinson."
Dalam
dialog ini, Mr Burnside adalah melawan
upaya orang lain
untuk menyisihkan identitasnya dengan sepele, berkaitan dengan nama sehari-hari. Masih
faktor kontekstual lain memunculkan recurrence adalah
kebutuhan untuk mengatasi gangguan
yang tidak relevan dan melanjutkan
dengan pernyataan. Kemudian, ada juga bentuk Partial
Recurrence yang
memerlukan penggunaan komponen kata dasar yang sama, tetapi bergeser ke kelas
kata yang berbeda (membandingkan perangkat dari "Polyptoton" dalam
retorika klasik). Dengan cara ini, konsep sudah diaktifkan dapat digunakan
kembali saat ekspresinya disesuaikan dengan berbagai pengaturan.
Recurrence juga
dapat berbentuk paralelisme. Dalam paralelisme
memerlukan penggunaan kembali format permukaan, tetapi mengisi mereka dengan
ekspresi yang berbeda. Raja digambarkan sebagai zona bencana berjalan seperti
pada contoh berikut:
[5]
Ia telah menjarah laut kita, dilanda
pantai kami, dibakar kota kami.
Dari
contoh kalimat di atas, serangkaian serupa meskipun tidak tindakan identik,
disajikan dalam klausa paralel (kata kerja posesif ganti objek langsung) dengan
berulang 'kami' di tengah masing-masing. Dalam situationality (keadaan tertentu) dapat mempengaruhi prospek yang diadopsi pada parafrase dan sinonim. Wacana hukum, misalnya, dimaksudkan untuk menentukan jenis
perilaku tertentu di luar semua keraguan; sesuai, parafrase juga digunakan dengan harapan menangkap setiap aspek dari isi
dimaksudkan. Direktori Gainesville Telephone (1978-9: 16) mengutip "Hukum
Florida" yang melarang menggunakan telepon untuk membuat:
[6] Komentar, permintaan, saran, atau permohonan
yang cabul, cabul,
mesum, kotor, atau tidak senonoh.
Dalam
kondisi normal, setiap permintaan / saran / usulan ', dan' cabul / cabul /
mesum / kotor / tidak senonoh 'akan diambil sebagai elemen yang memiliki dan berarti
kurang lebih sama (memang, mungkin akan sulit untuk menentukan satu anggota
dari seri tersebut tanpa menggunakan anggota lain dalam definisi). Salah satu
perangkat yang jelas dalam kohesi adalah penggunaan pro-form (pro-bentuk): yang dengan mudah,
kata-kata pendek tertentu, yang dapat berdiri dalam teks permukaan di tempat
yang lebih menentukan, konten-mengaktifkan ekspresi. Hal ini pro-bentuk
pengguna teks bebas dari keharusan untuk menyajikan kembali segala sesuatu
untuk menjaga arus konten dalam penyimpanan aktif. Pro-bentuk yang paling
terkenal adalah pronouns (kata ganti)
yang berfungsi menempatkan kata benda atau frase kata benda yang dirujuk (yaitu
berbagi referensi). Seperti contoh berikut:
[7] Ada seorang wanita tua yang tinggal di
sepatu. Dia memiliki begitu
banyak anak. Dia tidak tahu apa yang
harus dilakukan.
Kata
ganti 'dia' membuatnya tidak perlu untuk terus mengatakan 'wanita tua yang
tinggal di sepatu', 'perempuan tua', atau bahkan 'wanita. Contoh [7]
menggambarkan anafora: Menggunakan
pro-bentuk setelah merujuk pada ekspresi. Anafora
adalah bentuk yang sebenarnya paling umum untuk co-referensi, karena identitas
konten konseptual yang disimpan saat dibuat apa adanya di muka. Namun, anafora
masih bisa merepotkan jika ada bentangan panjang teks sebelum pro-bentuk muncul.
Pada saat itu, unsur-unsur asli bisa berpindah dari penyimpanan aktif dan
kandidat lainnya mungkin keliru. Penggunaan pro-bentuk sebelum ekspresi
co-merujuk disebut cataphora. Pengolahan akan membutuhkan penciptaan bagian kosong
sementara posisi di tumpukan ditahan, sampai konten yang diperlukan disediakan.
Seperti mekanisme akan bekerja terbaik jika jarak antara proform dan ekspresi
co-mengacu disimpan dalam batas, misalnya dalam batas-batas satu kalimat berikut:
[8]
Aku tidak tahu apakah dia serius, tetapi teman sekamar saya ingin
berjalan di atas tali di atas Air Terjun
Niagara.
Dari
contoh [8], yang diambil dari esai siswa, bukan satu-satunya jenis cataphora.
Sebuah pro-bentuk mungkin melihat ke depan untuk seluruh acara bukan obyek
individu, misalnya pada contoh berikut:
[9] Saya
tidak akan pernah percaya itu. Mereka telah menerima seluruh
skema.
Kemudian,
cataphora
dapat digunakan untuk menghasilkan ketidakpastian
dan oleh karena itu untuk mengintensifkan minat penerima. Satu cerita dimulai
seperti pada contoh kalimat berikut:
[10]
Dia hampir berusia sepuluh tahun ketika ia pertama kali ditangkap
sebagai gelandangan.
Dalam
pro-form juga terdapat jenis pro-verb yang mampu menggantikan bentuk
kata kerja yang masih memiliki rujukan maknanya. Kohesi juga dapat berbentuk pro-modifier yang dapat digunakan untuk
'jadi', atau, lebih khusus, pro-pelengkap
sehingga dapat berdiri untuk pengubah apapun yang terhubung ke kata kerja dalam
kata kerja frase asli . Dalam bahasa Inggris British, 'jadi' lebih sering
diabaikan dalam penggunaan seperti daripada di Amerika. Dalam bahasa Inggris
Amerika, Inspektur sebagai berikut:
[11]
Mrs. Birling : I don’t understand you,
Inspector.
( Mrs Birling: Saya tidak mengerti, Inspektur.)
Inspector : You mean you don’t choose to do, Mrs Birling.
(Inspector : Anda berarti Anda tidak memilih untuk
melakukannya,
Mrs Birling.)
Akan
lebih mungkin menjadi:
[12]
Inspector : You mean you don’t choose yo
do so, Mrs Birling.
(Inspector : Anda
berarti Anda tidak memilih untuk melakukannya,
Mrs
Birling.)
Dalam hal ini akan menjadi salah untuk
menyiratkan bahwa pro-bentuk harus selalu co-lihat dengan unsur-unsur dari
jenis yang sama, misal kata ganti dengan kata benda, pro-kata kerja dengan kata
kerja, pro-melengkapi dengan melengkapi, dan pro-pengubah dengan pengubah. Setidaknya
empat jenis utama harus dibahas: (a) hal yang memiliki status yang sama,
misalnya, baik benar di dunia tekstual.
(b) pemisahan hal yang berstatus alternatif, misalnya, dua hal yang
hanya satu bisa benar dalam dunia tekstual. (c) Contrajunction menghubungkan hal yang memiliki status yang sama, tetapi
muncul ganjil atau tidak kompatibel di dunia tekstual, misalnya, penyebab dan
efek tak terduga. (d) subordinasi
menghubungkan hal-hal ketika status satu tergantung pada yang yang lain,
misalnya, hal yang benar dalam kondisi tertentu atau untuk motif-motif tertentu
(prasyarat / event, penyebab / efek, dan lainnya).
Jenis
ini dikenali oleh kelas junctives
sebagai isyarat permukaan untuk masing-masing. Hal ini paling sering ditandai
dengan 'dan', dan kurang sering dengan 'apalagi', 'juga', 'di samping',
'selain', 'lebih jauh', dll. Konjungsi
adalah hubungan aditif, misalnya, saat menghubungkan dua peristiwa saling atau
situasi yang disebutkan dalam kalimat, misalnya:
[13]
Burung-burung besar bertengger di
pohon-pohon di taman
di luar kota, dan sejak 1885 warga
lokal telah membuat yang terbaik dari
situasi tersebut.
Konjungsi dapat membawa melintasi batas-batas
kalimat seperti berikut:
[14]
Sadat sebagai sarana dalam melindungi "hak asasi manusia" dari
Palestina Gaza. Dan untuk memastikan
bahwa Gaza mencapai otonomi,
Sadat ingin komitmen yang kuat.
Konjungsi
dapat menghubungkan ujaran yang tidak diformat sebagai kalimat lengkap sama
sekali, tersedia aditif atau hubungan saling tergantung memperoleh kalimat
berikut:
[15]
Setelah semua yang telah saya lakukan untuk penegakan hukum dan
bagi mereka untuk memperlakukan saya
dengan cara ini.
Konjungsi adalah persimpangan default, karena,
sesuatu kecuali ditentukan oleh peristiwa dan situasi digabungkan additively di
dunia tekstual. Tidak ada motif untuk tempat 'dan', 'juga', 'di samping', dan
lainnya antara semua klausa atau kalimat. Pada kenyataannya, praktik seperti
itu menjadikan teks yang membosankan kecuali untuk efek khusus sesekali
(membandingkan perangkat dari "polysyndeton" dalam retorika klasik).
Penggunaan junctives tersebut lebih mungkin ketika saling ketergantungan tidak
jelas dan harus ditekankan. Disjunction
hampir selalu ditandai dengan 'atau' (kadang-kadang diperluas untuk 'baik-atau',
'apakah', dan lainnya). Hal ini paling sering digunakan dalam kalimat berikut:
[16]
Seorang pria tidak boleh terlalu mengendap, atau ia berjalan di atasnya
[topinya]; dia tidak harus buru-buru ke
ekstrim yang berlawanan, atau ia
kehilangan sama sekali.
Dalam
kalimat, 'atau' bergabung alternatif yang keduanya saat ini dalam penyimpanan
aktif, tetapi hanya satu yang memperoleh di dunia tekstual. Antara kalimat,
'atau' cenderung lebih untuk mengumumkan renungan. Disjunction mungkin tidak begitu mudah untuk proses, karena
pengguna teks harus meneruskan kedua alternatif dalam penyimpanan aktif sampai
resolusi ditemukan.
Kemudian
terdapat juga contrajunction ditandai
paling sering oleh 'tetapi' dan kurang sering dengan 'Namun', 'belum', 'namun',
dll Ini adalah fungsi contrajunction menyebabkan transisi bermasalah pada
titik-titik di mana kombinasi yang tampaknya mustahil peristiwa atau situasi
timbul. Dalam contoh kalimat seperti:
[17]
Pembantu berbicara secara terbuka tentang perjalanan menjadi
Bencana kecil. Tetapi pada menit
terakhir Carter meraih kemenangan
diplomasi presiden.
Produsen
teks menyebarkan 'tapi' untuk mengingatkan penerima yang diharapkan 'bencana'
menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda, sebuah "kemenangan". Dalam
teks berikut misalnya:
[18]
Carter marah dan marah. Tetapi ia sekarang mulai tetap tegas.
Tanda
contrajunction bahwa respon alami untuk kemarahan tokoh kuat, yaitu konsiliasi,
itu tidak terjadi. Kemudian, subordinasi
diwakili oleh perbendaharaan besar ekspresi junctive: 'karena', 'sejak', 'sebagai', 'demikian', 'sementara',
'karena itu', dan lainnya mensubordinasi junctives
membuat jenis umum hubungan koherensi yang eksplisit. Salah satu jenis juga
diwakili oleh junctives adalah penyebab,
berikut contohnya:
[19]
Hal ini akan mengotori Pantai Harbour dengan tumpahan minyak dan
serius memperburuk masalah kabut asap
lokal, karena hanya bongkar
minyak akan melepaskan uap hidrokarbon
ke atmosfir.
Perbendaharaan
ekspresi junctive besar untuk hubungan saya dari proximity temporal juga berupa: ‘kemudian ',' berikutnya ',' sebelum
',' setelah ',' sejak ',' kapan', 'sementara', 'selama', dan sebagainya.
Kedekatan dapat berurutan jika peristiwa atau situasi yang diperintahkan dalam
menghormati satu sama lain. Dalam
perspektif ini, junction menunjukkan
bagaimana interaksi komunikatif, tidak hanya aturan tata bahasa wajib,
memutuskan apa format sintaksis peserta menggunakan. Junctives bisa menjadi tanda sederhana sopan santun untuk membantu
membuat penerimaan dari teks efisien.
Sebuah
sistem kohesif yang sederhana akan tersedia
hanya untuk teks yang diucapkan adalah intonasi. Dalam bahasa Inggris, pola
yang biasa adalah intonasi naik menuju ujung klausa atau kalimat, terutama
mencapai puncak pada ekspresi terakhir menyampaikan konten substantif. Meskipun
penelitian telah lama berpusat pada klausa dan kalimat. Intonasi dapat berupa nada yang berhubungan dengan jenis
tindakan wacana. Oleh karena itu, menginformasikan lebih rentan untuk
mendapatkan tanggapan dari peserta lain daripada yang memohon. Ada juga pilihan
netral tidak dianggap memenuhi syarat sebagai salah tindakan.
Tone atau nada adalah
kecenderungan naik atau turun dari group
tone (hamparan teks diucapkan sebagai satu unit). Pilihan dasar adalah
antara nada turun dan turun-naik (gagal, kemudian naik) nada. Nada turun biasanya digunakan untuk
menginformasikan, dan turun-naik
untuk memohon. Jika kita menggunakan panah menunjuk baik bawah (turun) atau ke
bawah, lalu ke atas (turun bertingkat), kita bisa memiliki empat pola dua
bagian ucapan yang sama, seperti pada Gambar 5 di bawah ini.
Selain
itu, Brasil (1975:. 7f) mengidentifikasi dua pilihan ditandai atau intensif
menunjukkan ukuran ekstra keterlibatan pada bagian dari pembicara. Tindakan
menginformasikan intensif akan memiliki meningkat, nada kemudian turun. Jika
ditempatkan pada klausal pembukaan nada [81b], naik-turun akan menekankan saat
menyelesaikan 'Middlemarch' (mis maka dan hanya maka, maka, bukan sesaat lebih
cepat, dll). Demikian pula, tindakan memohon intensif akan memiliki nada meninggi
sederhana. Jika diterapkan pada klausa kedua [81b], efeknya akan mengubah
ucapan menjadi pertanyaan, atau ke dalam sebuah pernyataan mencari dukungan
atau konfirmasi dalam pandangan ketidakpastian pembicara sendiri. Nada naik
sangat cocok untuk pertanyaan bertubi-tubi, atau, dalam 'if'-klausal dalam
kondisi mendesak. Akhirnya, Brasil mengakui nada meninggi rendah (yaitu hanya
naik dari rendah ke pertengahan kunci) sebagai
"netral" pilihan digunakan untuk menghindari melakukan untuk salah
satu jenis tindakan wacana bawah norma,
masing-masing.
2.
Koherensi
Beaugrande dan Dressler
mengemukakan bahwa koherensi berkaitan dengan hubungan antar kata, frase,
klausa, dan kalimat secara eksplisit dan ambiguitas sehingga mampu menjelaskan
makna teks yang sebenarnya. Makna digunakan untuk menunjuk potensi
ekspresi bahasa (atau tanda lainnya) untuk mewakili dan menyampaikan pengetahuan
tentang makna sebenarnya, maka kita dapat menggunakan SENSE/pikiran sehat untuk
menunjuk pengetahuan yang benar-benar disampaikan oleh ekspresi yang terjadi
dalam teks. Banyak ekspresi memiliki beberapa makna virtual/sebenarnya, tetapi
dalam kondisi normal, hanya satu makna dalam teks. Jika makna yang dimaksud
adalah tidak sekaligus jelas sehingga non-determinasi hadir. Berlangsungnya non-determinasi
bisa disebut ambiguitas. Jika mungkin
tidak dimaksudkan, atau polyvalence jika
produser teks itu sebenarnya berniat untuk menyampaikan beberapa indera pada
saat yang sama. Meskipun belum dijelaskan dengan baik, kemampuan manusia untuk
menemukan indra dimaksudkan dan menghalangi atau menyelesaikan ambiguitas
adalah salah satu proses yang paling menakjubkan dan kompleks komunikasi. [1]
Sebuah
teks akan "masuk akal" karena ada kontinuitas indra antara pengetahuan diaktifkan oleh ekspresi dari
teks. Sebuah teks "tidak masuk akal" dalah satu di mana penerima teks
dapat menemukan ada kontinuitas tersebut, biasanya karena terdapat
ketidaksesuaian serius antara konfigurasi konsep dan hubungan antara yang diungkapkan
dan pengetahuan dunia penerima. Dalam menentukan kelangsungan indra sebagai
dasar koherensi, menjadi saling akses dan relevansi dalam konfigurasi konsep dan relations. Konfigurasi
yang mendasari teks adalah dunia tekstual (Textual World), yang mungkin atau
mungkin tidak setuju dengan versi yang tetap "dunia nyata", yaitu,
bahwa versi situasi manusia dianggap sah oleh masyarakat atau kelompok sosial.
Catatan, bagaimanapun, bahwa dunia tekstual berisi lebih dari rasa ekspresi
dalam teks permukaan: proses kognitif menyumbang sejumlah pengetahuan akal
sehat berasal dari harapan dan pengalaman peserta mengenai organisasi peristiwa
dan situasi. Oleh karena itu, meskipun indera ekspresi adalah kontribusi paling
jelas dan dapat diakses oleh kebermaknaan teks, mereka tidak bisa menjadi
gambaran keseluruhan.[2]
Dalam mendefinisikan konsep harus melibatkan aspek dengan
probabilitas dengan kegiatan perbandingan: lemah atau kuat kemungkinan bahwa
konsep ini akan menggolongkan pengetahuan tertentu ketika kita aktualisasikan
dalam dunia tekstual, di mana masing-masing konsep muncul dalam satu atau lebih
hubungan kepada orang lain. Komponen
konsep berlaku untuk sebagian besar, tetapi tidak semua contoh dari konsep
merupakan pengetahuan khas (misalnya, manusia biasanya hidup di masyarakat).
Komponen yang terjadi untuk menjadi kenyataan hanya merupakan pengetahuan yang
disengaja (misalnya, beberapa manusia terjadi tampil pirang) sehingga menunjukkan,
gradasi ini juga kabur. Sangat sedikit komponen, misalnya, berubah menjadi
benar-benar pasti/determinate: burung bisa menjadi burung bahkan jika
mereka tidak bisa terbang atau jika bulu mereka ditanggalkan menanggalkan.
Endel
Tuiving (1972) dalam Beaugrande dan Dressler memperkenalkan gagasan memori episodik vs memory
semantik untuk memperhitungkan perbedaan. Memori episodik berisi catatan
pengalaman sendiri ( 'apa yang terjadi padaku'), sementara memori semantik
setidaknya dalam arti yang paling menarik dari istilah mencerminkan pola yang
melekat pada organisasi pengetahuan, misalnya struktur peristiwa dan situasi (
'apa yang benar tentang dunia pada umumnya dan bagaimana semua itu cocok
bersama-sama'). Tentu saja, pengalaman seseorang terus menerus ke pemahaman
seseorang secara umum tentang dunia, sedangkan yang kedua memaksakan organisasi
pada pengalaman. Namun, pengetahuan episodik akan sangat terkait dengan konteks asli dari pertemuan dan dengan
demikian akan terwujud banyak sifat disengaja.
Pengetahuan
semantik, sebaliknya, akan lebih dominan diselenggarakan dalam hal
karakteristik yang seluruh atau sebagian besar kasus individu memiliki
kesamaan. Sejak zaman Plato dan Aristoteles pada Abad Pertengahan bahkan ke
masa kini, pentingnya perbandingan pengalaman vs kekuatan penalaran manusia
dalam perolehan pengetahuan telah hangat diperdebatkan. Apakah konsep dapat
eksis secara independen dari semua kasus tertentu mereka (seperti Plato
percaya), atau apakah mereka semua harus diekstrak dari pengalaman pribadi
(sebagai empirisis menegaskan), adalah pertanyaan yang mungkin tak terpecahkan
dalam rangka diskusi biasa. Pandangan yang menyangkal, baik kekuatan penalaran
manusia bawaan atau efek dari pengalaman nyata akan membuktikan tidak bisa
dipertahankan jika mengalami penyelidikan yang komprehensif berisi tingkah laku
manusia sebagai sebuah jalan yang generasi filsuf hampir tidak terlihat telah
dipertimbangkan. Pemanfaatan teks hampir pasti melibatkan interaksi stabil dan
kompromi antara bahan teks yang sebenarnya yang disajikan, dan disposisi
sebelum peserta, sesuai dengan kondisi yang, meskipun fleksibel dan variabel,
tidak berarti tidak sistematis.
Dalam
pendekatan prosedural, argumen yang mendukung satu model pengetahuan atas yang
lain harus ditulis dalam istilah tugas dan operasi. Pertimbangkan misalnya
pertanyaan sederhana. Di satu sisi, setiap item pengetahuan mungkin disimpan
dalam sistem hanya sekali, tidak peduli berapa banyak konfigurasi akan berisi item.
Akan hubungan yang berkaitan pada konfigurasi, atau konfigurasi yang diberikan
harus dirakit setiap kali kebutuhan muncul. Sistem semacam ini menawarkan
ekonomi besar penyimpanan, tetapi
pengeluaran berat pada penggalian. Di
sisi lain, barang bisa berlebihan disimpan di masing-masing konfigurasi yang meliputi
mereka. Sistem ini akan bekerja sangat cepat pada pencarian, tapi akan boros
pada penyimpanan. Konfigurasi/susunan
sering digunakan akan disimpan sebagai keutuhan, terlepas dari redundansi yang
terlibat; tidak biasa, konfigurasi jarang diperlukan akan dirakit
melalui mencari item
komponen hanya ketika kesempatan muncul.
Untuk
melihat koherensi sebuah kalimat dapat ditunjukkan dengan analogi, yaitu mereka dari kelas yang berbeda tapi sebanding dalam
beberapa hal yang berguna. Misalnya, peneliti dalam ilmu kognitif dan
kecerdasan buatan membuat asumsi tentang pikiran manusia dengan analogi
komputer. Tanpa mengklaim bahwa pikiran dan mesin komputasi adalah hal yang
sama, kita masih dapat menemukan karakteristik sebanding yang membantu dalam
membangun model yang kompleks kognisi. Jika pengetahuan tentang kelas/contoh,
subclass/superclasses, atau analogi yang disimpan dalam hirarki yang rapi,
prediksi harus mungkin tentang waktu yang dibutuhkan untuk mengakses
fakta-fakta tertentu. Misalnya, harus memakan waktu lebih lama untuk menilai "benar"
atau "palsu" atau karena superclass 'hewan' adalah lebih tinggi dalam
hirarki dari subclass 'burung', dan dengan demikian untuk menghubungkan mereka
menuntut setidaknya satu langkah lagi misalnya kita lihat dari contoh berikut:
[20a]
Ayam adalah binatang.
[20b] Ayam adalah burung.
[20c] Robin adalah burung.
Namun,
pengujian contoh di atas gagal untuk mengkonfirmasi prediksi tersebut. Untuk
satu hal, [20C] secara teratur dikonfirmasi lebih cepat dari [20b], meskipun
'ayam' dan 'robin' harus pada bidang yang sama dalam hirarki: [20c] Sebuah
robin adalah burung. Efek ini dalam hal "fitur" sebagai komponen
dasar dari konsep-konsep seperti 'burung': lebih determinate dan fitur khas
pada turunan atau memiliki subclass, semakin cepat akan dinilai anggota dari
kelas atau superclass. 'Robins', yang terbang dan bernyanyi dengan baik, dengan
demikian lebih mudah untuk menilai sebagai 'burung' daripada 'ayam', yang
tidak.
Untuk
memahami koherensi kita membutuhkan pemahaman tentang konteks dan konsep primer utama,
di antaranya: (a) objects/tujuan:
entitas konseptual dengan identitas yang stabil dan konstitusi; (b) situasi:
konfigurasi objek yang saling hadir di pemahaman pendengar/pembaca saat ini; (c)
events/peristiwa: kejadian yang
mengubah situasi atau keadaan dalam situasi; (d) actions/tindakan: peristiwa yang
sengaja dibawa oleh agen/perantara. Konsep lainnya akan ditugaskan untuk
tipologi konsep sekunder, yang mana
pembenaran lebih rumit yang ditawarkan: yaitu:(1). state/pernyataan: temporer, bukan karakteristik, kondisi entitas; (2).
agent/alat sebagai kekuatan entitas
-memiliki hal yang melakukan tindakan dan dengan demikian perubahan situasi; (3)
affected entity/kesatuan: yg
berdampak, entitas yang situasinya berubah oleh sebuah peristiwa atau tindakan;
(4). relation/hubungan: kategori residual
untuk insidental, hubungan rinci seperti 'ayah-anak,' bos-karyawan; (5). attribute/ciri/sifat: kondisi karakteristik
dari suatu entitas ("state");
(6). lokasi: posisi spasial dari suatu entitas; (7). Waktu: posisi temporal
situasi (state) atau peristiwa; (8).
Motion/gerakan/isyarat: perubahan lokasi; (9). instrumen: benda yang tidak disengaja
menyediakan sarana untuk sebuah peristiwa; (10). formulir: bentuk, kontur, dan
sejenisnya; (11). Bagian: komponen atau segmen entitas; (12). substance/isi pokok/zat: bahan dari mana
entitas terdiri; (13). containment/kendali: lokasi dalam satu
kesatuan lain, tetapi bukan sebagai bagian atau zat; (14). cause/penyebab; (15). enablement/pemberdayaan;
(16). reason/alas an argument; (17). puspose/tujuan
kegunaan/fungsi; (18). apersepsi: operasi entitas sensorially yang diberkahi
selama pengetahuan terintegrasi melalui alat indera; (19). kemampuan kognitif:
menyimpan, mengorganisir, dan menggunakan pengetahuan dengan entitas
sensorially yang diberikan; (20) emosi: sebuah keadaan secara eksponensial atau
evaluatively non-netral dari entitas sensorially yang diberikan (21). volution/kemauan: aktivitas kehendak
atau keinginan oleh entitas sensorially yang diberikan; (22). recognition/pengenalan: sukses antara
apersepsi dan kognisi sebelumnya; (23). komunikasi: aktivitas mengekspresikan
dan transmisi kognisi oleh entitas sensorially yang diberikan; (24). possession/milik: hubungan di mana badan
sensorially diberikan dan diyakini (atau percaya diri) untuk memiliki dan
mengontrol suatu entitas; (25). Instance/kejadian:
anggota dari kelas mewarisi semua sifat non-dibatalkan dari kelas; (26) spesifikasi:
hubungan antara superclass dan subclass, dengan pernyataan dari ciri-ciri sempit
yang terakhir; (27) quantity/jumlah: konsep
jumlah, batas, skala, atau pengukuran; (28). modality/pengandaian: konsep kebutuhan, probabilitas, kemungkinan,
kebolehan, kewajiban, atau kebalikannya; (29). significancie/makna: arti simbolis ditugaskan untuk suatu
entitas; (30) value/nilai: penugasan nilai dari suatu
entitas dalam hal entitas lain; (31).
equivalence/ kesetaraan, kesamaan, korespondensi, dan sejenisnya; (32). oposisi: kebalikan dari
kesetaraan; hubungan di mana ekspresi yang berbeda mengaktifkan entitas yang
sama teks-dunia (atau co-referensi: konfigurasi entitas); (33) recurrence/pengulangan: hubungan di mana
ekspresi yang sama mengaktifkan kembali konsep, tetapi tidak harus dengan referensi
yang sama untuk suatu entitas, atau dengan arti yang sama.
Misalnya
ketika kita memahami makna pada kalimat berikut:
[21] Guru : Hari ini panas sekali ya anak-anak?
Siswa : Maaf bapak, kami lupa menghidupkan AC.
Dari
dialog [21] di atas, bila kita pahami makna kalimat secara koherensi, maka
perlu melihat konteks dengan konsep primer/utama dan konsep tambahan. Sehingga
dapat ditemukan makna sebanarnya bahwa guru meminta siswa untuk menghidupkan AC
dengan adanya referensi kata panas. Selain itu, makna dalam kalimat ini
bersifat tidak langsung sehingga bila dilihat dari sudut pandang kohesi tidak
mampu untuk ditemukan makna sebenarnya.
Sebagian
besar jenis konsep ini akrab dari "kasus tata bahasa" yang melakukan
untuk mengklasifikasikan hubungan bahasa menurut organisasi peristiwa dan
situasi. Di beberapa titik, skema ini cenderung menjadi klasifikasi pengetahuan
dan organisasinya, tercermin dalam domain lain selain bahasa. Beberapa konsep
lebih lanjut digabungkan untuk mencakup operasi mental (apersepsi, kognisi,
emosi, kemauan, komunikasi, kepemilikan), kelas inklusi (misalnya, spesifikasi),
dan gagasan yang melekat dalam sistem makna (kuantitas, modalitas,
signifikansi, nilai, kesetaraan, oposisi, co-referensi, pengulangan). Hal ini tidak
mengklaim bahwa tipologi ini adalah lengkap, atau unggul daripada orang lain
yang diusulkan sebelumnya. Hal ini hanya berguna untuk label link antara konsep, misalnya bahwa salah
satu konsep adalah "situasi" lain, atau "agen" yang lain,
dll .; dan melalui berbagai kombinasi, kita dapat menangkap pengertian tentang
tipologi lain.
Kami
bisa menempatkan hubungan konseptual dalam jaringan seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 6 berikut.
Dari
gambar di atas, Link label mengumumkan jenis konsep yang dicapai dengan
melintasi link di arah yang ditunjukkan oleh anak panah. Operasi akan sebanding
dengan yang digambarkan untuk Networks
Transition. Prosesor bekerja dari keadaan saat ini ke keadaan berikut
dengan mencoba untuk mengidentifikasi jenis simpul yang akan dicapai. Strategi
pemecahan masalah, akan berlaku, dibantu dengan menyebarkan aktivasi,
inferensia, dan pola global. Hal ini penting untuk membandingkan dan kontras
jaringan konseptual pada Gambar. 6 dengan jaringan gramatikal pada Gambar. 4.
Meskipun masih menggunakan kata-kata bahasa Inggris dalam notasi Gambar. 6,
kita sekarang mewakili konsep daripada ekspresi secara langsung/permukaan. Oleh
karena itu, tampaknya masuk akal bahwa pengolahan teks harus menggunakan
persamaan struktural pada tingkat yang berbeda sejauh adalah bijaksana. Sebagai
contoh, sebuah hipotesis head yang
tata bahasa biasanya konsep utama akan dikonfirmasi cukup untuk mendapat
aplikasi yang umum dan sering. Demikian pula, orang bisa mendalilkan bahwa
pengubah tata bahasa adalah atribut, keadaan, lokasi, dan lainnya. Dalam urutan
preferensi tertentu seperti yang ditunjukkan oleh sifat konsep utama di pusat
kontrol. hipotesis dan preferensi tersebut bisa berfungsi untuk menambah transisi
antara node. Bila memungkinkan, pengungkapan dependensi tata bahasa dan
konseptual akan berinteraksi berat atau bahkan berjalan secara paralel bukan
sebagai dua fase terpisah, meskipun ada akan hampir selalu ada beberapa
asimetri yang terlibat, karena perbendaharaan gramatikal lebih kecil dari
konseptual.
Untuk menunjukkan kohrensi dapat disajikan
Model Dunia Teks tanpa menjelaskan gagasan reference. Meskipun keunggulan bahwa gagasan dalam banyak teori
filsafat makna. Dalam semantik yang lebih tua, diharapkan makna yang bisa
dijelaskan dalam hal "kondisi" di mana laporan (menyesatkan bernama
"kalimat") adalah "benar". Dengan demikian, untuk
mengetahui arti adalah untuk mengetahui bagaimana untuk
"memverifikasi" nya "kebenaran". Sudut pandang ini, kadang-kadang
disebut "verificationism",
memiliki implikasi tidak menyenangkan: untuk suatu hal, itu jelas salah bahwa
orang tidak dapat memahami pernyataan kecuali mereka dapat mengatakan apakah
itu benar; untuk yang lain, orang tidak memiliki akses langsung tersebut kepada
"kebenaran" seperti yang sedang tersirat di sini. Pada baris
penyelidikan kita mengejar, namun, dunia-teks dibangun dari konten kognitif (
"pengetahuan") disusun terhadap keyakinan seseorang tentang
"dunia nyata" dalam cara yang rumit dan sering dideskripsikan/approximative.
Oleh karena itu, daripada mengatakan bahwa "kata merujuk ke objek"
atau sejenisnya, kita lebih suka untuk mengatakan bahwa "ekspresi
mengaktifkan pengetahuan". Tindakan merujuk kemudian proses rumit
pencocokan pola, di mana pengguna teks dapat memutuskan bahwa teks-dunia gagal
untuk mencocokkan yang diberikan adalah fiktif. Ada banyak faktor kontinjensi
yang dapat mempengaruhi tindakan ini mengacu: jenis dan tujuan teks; pentingnya
teks dan implikasinya terhadap seseorang
Koherensi
berperan sebagai hasil dari aktualisasi makna untuk membuat "rasa".
Untuk menyelidiki aktivitas manusia dengan teks, kita harus memperlakukan makna
dan rasa dari segi prosedur untuk memanfaatkan pengetahuan dalam berbagai
tugas. Dalam pandangan itu, masalah-masalah seperti ini muncul: kontinuitas,
aktivasi,, kekuatan makna, menyebarkan aktivasi, episodik vs memori semantik,
penggunaan pola global, turunan, dan kompatibilitas antara bahasa dalam teks
dan apersepsi atau kognisi pada umumnya. Sedangkan arti dari ekspresi atau isi
dari konsep yang sangat diperdebatkan dalam isolasi, terjadinya mereka dalam
dunia tekstual mana pengolahan harus dilakukan harus cukup stabil dan perlu pembatasan.
Dari penjelasan di atas kita dapat
memahami bahwa dengan kohesi sebuah
wacana menjadi padu (koherensi) karena
setiap bagian pembentuk wacana mulai dari kata, frase, klausa, dan kalimat mengikat
bagian yang lain secara wajar sehingga wacana diterima. Hubungan antara teks
wacana dengan faktor yang berada di luar teks yang berdasarkan pengetahuan
seseorang disebut sebagai konteks bersama (shared
context) yang mempengaruhi kekoherensian sebuah wacana. Konteks atau
pengetahuan bersama pada umumya muncul dalam wujud penafsiran mitra tutur,
pendengar atau pembaca atas tindak tutur, praanggapan dan implikatur. Selain
kohesi dan koherensi penunjang koherensi wacana juga konektivitas artinya hubungan antar bagian dalam wacana diciptakan
tanpa alat gramatikal, misalnya hubungan sebab-akibat.
3. Pendekatan Struktural
Untuk itu untuk memahami
wacana dengan baik, diperlukan pengetahuan dan penguasaan kohesi dan koherensi,
terutama dalam menganalisis wacana dengan pendekatan struktural. Dalam
perkembangannya pendekatan struktural sudah sampai pada menganalisis wacana
pada struktur-struktur linguistik sebuah ekspresi yang meliputi kedua bentuk
berdasarkan pada morfologis dan sintaksis dan berdasarkan arti (referensial),
konjungtif (konjunctive), dan menciptakan koneksitas dan kohesi sebagai hasil
dari pengetahun interpreter.[1]
Dari pengertian ini pendekatan struktural masalah yang diamati lebih pada unit
ujaran seseorang berupa kalimat yang merupakan suatu kelemahan dalam
menganalisis wacana. Hal ini dikarenakan dalam menganalisis wacana kita akan
menemui unsur yang bentuknya tidak berupa kalimat terutama untuk wacana lisan.
Unsur wacana lisan tersebut berupa unsur suprasegmental berupa intonasi dan simbol-simbol
fungtuasi grafis. Dengan demikian,
pendekatan struktural cukup kesulitan dalam memahami makna yang sebenarnya dari
wacana tersebut. Hal ini sesuai pendapat Schiffrin, Tannen, dan Hamilton bahwa
pendekatan struktural tidak memahami wacana pada tingkat intonasi sehingga
mengalami keterbatasan makna yang komprehensif dalam wacana lisan dalam bentuk
dialog.
[2]
Pendekatan strukturalisme (formalis) berfokus
pada struktur bahasa yang terdapat dalam teks. Dari pengertian ini pendekatan
struktural hanya melihat makna teks dengan bantuan kohesi. Sedangkan koherensi
lebih pada pendekatan fungsionalis. Dalam poststrukturalisme, struktur menjadi
berubah dan makna dari tanda-tanda dapat bergeser dalam kaitannya satu sama
lain. Akan tetapi, apa yang membuat makna dari perubahan tanda-tanda? Hal ini,
membawa kita ke poststrukturalisme dengan kritik utamanya pada strukturalisme
tradisional, tentang perbedaan antara langue
dan parole. Sebagaimana dimaksud, parole tidak dapat menjadi objek studi
strukturalis karena terletak pada penggunaan bahasa yang dianggap terlalu
sewenang-wenang untuk dapat mengatakan apa-apa tentang struktur pada langue. Berbeda dengan ini, poststrukturalis
percaya bahwa hal tersebut adalah dalam penggunaan bahasa konkret bahwa
struktur dibuat, direproduksi, dan berubah. [3]
Pendekatan struktural secara
lebih rinci memiliki beberapa ciri, diantaranya: a). struktur bahasa (kode)
sebagai tata bahasa; b). penggunaan bahasa hanya pelengkap, mungkin terbatas,
mungkin berhubungan dengan apa yang dianalisis sebagai kode dan analisis kode
mendahului analisis penggunaan; c). fungsi referensial penggunaan secara semantik
sebagai norma; d). elemen-elemen dan struktur analitis bersifat arbitrer; e).
kesamaan fungsional (adaptif) dari bahasa-bahasa dan semua bahasa pada dasarnya
sama; f). satu komunitas dan kode yang homogen (replikasi keseragaman); dan g).
beberapa konsep dasar seperti masyarakat tutur, tindak tutur, penutur yang
lancer, fungsi ujaran dan bahasa diterima apa adanya atau dipostulatkan apa
adanya, atanpa melihat konteks komunikasi.[4]
Dari ciri-ciri pendekatan struktural ini dapat memberikan informasi bahwa
analisisnya dibatasi pada unit-unit kalimat-kalimat yang memiliki hubungan antara satu dengan
lainnya yang mengabaikan unsur konteks sehingga dalam memahami wacana hanya
memperoleh makna dari unsur formal saja dan referensial secara leksikal.
Padahal sebuah wacana lahir dari konteks komunikasi.
Pendekatan ini lebih banyak
digunakan dalam bidang puisi. Dalam lingkup puisi, Pradopo menguraikan bahwa
karya sastra itu tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari
beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya.
Mengacu pendapat Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, Rene Wellek dalam
Pradopo menguraikan norma-norma itu, yaitu:
1) lapis bunyi (sound stratum),
misalnya bunyi suara dalam kata,frase, dan kalimat;
2) lapis arti (units of meaning),
misalnya arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat; dan
3) lapis objek, misalnya objek-objek
yang dikemukakan seperti latar, pelaku, dan dunia pengarang. [5]
Strukturalisme
sebenarnya merupakan suatau cara berpikir tentang dunia yang secara khusus
memperhatikan presepsi dan deskripsi tentang struktur, mengkaji fenomena mitos
dan ritual untuk melihat tanda. Strukturalisme juga merupakan gerakan intelektual
di mana semua fenomena yang dilihat sebagai sistem yang memiliki struktur yang
mendasarinya. Dalam linguistik, strukturalisme dikaitkan dengan linguis Swiss
Ferdinand de Saussure yang melihat
bahasa sebagai memiliki struktur yang mendasari. Strukturalis cenderung berfokus pada struktur bahasa pada saat tertentu dalam waktu (sinkron), daripada melihat bagaimana dan mengapa bahasa berubah (diakronis). Mereka juga melihat TANDA dalam memaknai melalui perbedaan dengan tanda-tanda lain, terutama dalam kaitannya dengan biner yang berlawanan. Sebagai contoh, kita memahami apa yang
dimaksud dengan istilah perempuan dengan membandingkannya dengan apa yang bukan manusia. Demikian pula putih tidak hitam, baik tidak buruk dan sebagainya. Strukturalisme telah dikritik, terutama oleh para analis wacana yang berpendapat bahwa melihat makna konsep terdiri dari lawan biner cenderung untuk mengatur salah satu konsep sebagai norma dan yang lain sebagai menyimpang atau
turunan. Strukturalisme juga telah dikritik karena asosial karena cenderung
tidak fokus pada bahasa cara yang benar-benar digunakan oleh speaker. [6]
bahasa sebagai memiliki struktur yang mendasari. Strukturalis cenderung berfokus pada struktur bahasa pada saat tertentu dalam waktu (sinkron), daripada melihat bagaimana dan mengapa bahasa berubah (diakronis). Mereka juga melihat TANDA dalam memaknai melalui perbedaan dengan tanda-tanda lain, terutama dalam kaitannya dengan biner yang berlawanan. Sebagai contoh, kita memahami apa yang
dimaksud dengan istilah perempuan dengan membandingkannya dengan apa yang bukan manusia. Demikian pula putih tidak hitam, baik tidak buruk dan sebagainya. Strukturalisme telah dikritik, terutama oleh para analis wacana yang berpendapat bahwa melihat makna konsep terdiri dari lawan biner cenderung untuk mengatur salah satu konsep sebagai norma dan yang lain sebagai menyimpang atau
turunan. Strukturalisme juga telah dikritik karena asosial karena cenderung
tidak fokus pada bahasa cara yang benar-benar digunakan oleh speaker. [6]
Yang menjadi objek kajian teori strukturalisme
sebagian besar pada sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum
yang mengatur berbagai hubungan unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur
tersebut berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh. Meskipun
konvensi yang membentuk sistem sastra itu bersifat sosial dan ada dalam
kesadaran masyarakat tertentu. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap
relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan
menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Pendekatan
struktural menganggap karya sastra sebagai struktur yang unsurnya terjalin
secara erat dan berhubungan antara satu dan lainnya. Karya sastra merupakan
sebuah kesatuan yang utuh. Sebagai kesatuan yang utuh, maka karya sastra dapat
dipahami maknanya jika dipahami bagian-bagiannya atau unsur-unsur pembentuknya,
relasi timbal balik antara bagian dan keseluruhannya. Dalam penulisan puisi
dengan menggunakan teori strukturalisme maka kita harus memperhatikan
unsur-unsur puisi, karena kajian teori strukturalisme adalah unsur-unsur
pembentuk karya sastra.
Penulisan puisi dengan berlandasan
teori strukturalisme berarti dalam penulisan puisi memperhatikan unsur-unsur
pembentuk puisi baik unsur instrinsik maupun unsur ekstrinsik puisi. Unsur
ekstrinsik puisi yaitu tema, perasaan, nada dan suasana, serta amanat,
sedangkan unsur intrinsik puisi yaitu diksi, kata konkret, bahasa figuratif,
rima/ritme, dan tata wajah atau tipografi.[7] Lebih lanjut, Nurgiyantoro
menjelaskan bahwa cara menuliskan puisi dengan berlandasan teori struktural
yang pertama yaitu memahami unsur intrinsik puisi sebagai berikut:
1). Diksi (Pemilihan Kata)
Teori
strukturalisme menganalisis diksi sebagai unsur intrinsik puisi, diksi adalah
pemilihan kata, jadi kata-kata yang digunakan dalam puisi merupakan hasil
pemilihan yang cermat, merupakan hasil pertimbangan, baik makna, susunan
bunyinya maupun hubungan kata-kata lain dalam baris dan baitnya. Misalnya
seperti pemilihan kata yang meyatakan diri pengarang, pengarang mengumpulkan
kata-kata yang memiliki makna dirinya sendiri diantaranya kata aku (bahasa
Indonesia), beta (bahasa Batak), den (bahasa Melayu/minang), gue (bagasa anak
gaul), aana(bahasa Arab), (bahasa
Inggris), kulo (bahasa Jawa), dan sebagainya. pemilihan kata aku untuk menyebut
dirinya sendiri merupakan proses pemilihan kata atau diksi. Pengarang memilih
kata aku untuk menyebut dirinya
sendiri karena kata aku adalah menggunakan bahasa indonesia dan pasti maknanya
telah diketahui oleh rakyat indonesia, karena bahasa indonesia adalah bahasa
kesatuan.
2) Pengimajinasian
Teori
strukturalisme menganalisis pengimajinasian sebagai unsur intrinsik puisi
dimana pengimajinasian dapat didefinisikan sebagai kata atau susunan kata yang
dapat menimbulkan hayalan atau imajinasi. Dengan daya imajinasi tersebut
pembaca seolah-olah merasa, mendengar atau melihat sesuatu yang diungkapkan
pengarang.
3). Kata Konkret
Teori
strukturalisme menganalisis kata konkret sebagai unsur intrinsik puisi. Kata
konkret digunakan untuk membangkitkan imajinasi pembaca, atau kata-kata harus
di konkretkan atau diperjelas. Karena dengan keahlian memperkonkret kata,
pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh
pengarang.
4). Bahasa Figuratif
Teori strukturan menganalisis bahasa
figuratif sebagai unsur intrinsik puisi. Bahasa figuratif disebut juga majas,
majas adalah bahasa yang digunakan oleh pengarang untuk mengatakan sesuatu
dengan cara membandingkanya dengan benda atau kata lain. Majas mngiaskan atau
menyamakan sesuatu dengan hal lain.
5). Rima/Ritme
Teori struktural menganalisis rima/ritme
sebagai unsur intrinsik puisi. rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi.
Dengan adanya rima, suatu puisi menjadi indah. Makna yang ditimbulkanya pun
lebih kuat, seperti petikan sajak berikut ini dan angin mendesah/ mengeluh mendesah. Sedangkan istilah ritma
diartikan sebagai pengulangan kata, frase atau kalimat dalam bait puisi.
6). Tata Wajah (Tipografi)
Teori struktural menganalisis tipografi
sebagai unsur intrinsik puisi. tipografi merupakan pembeda yang penting antara
puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak berbentuk paragraf
melainkan bait.
Pendekatan struktural
khusunya dalam penelitian sastra, mengalami perkembangan dengan hadirnya
beberapa pendekatan sebagai berikut: (1). Pendekatan
strukturalisme genetik, pendekatan ini memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu
instrinsik dan ekstrinsik. Adapun studi diawali dari kajian unsur intrinsik
sebagai data dasar. Selanjutnya, peneliti menghubungkan karya sastra dengan
realita dalam masyarakat. Strukturalisme genetik ini mampu pula menggambarkan
pemikiran pemilik cerita. Dalam penelitian ini, karya dipandang sebagai sebuah
refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan
dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra.; (2). Pendekatan
strukturalisme dinamik, pendekatan ini mencoba membedah karya sastra yang merupakan
tampilan pikiran, pandangan, dan konsep dunia dari pengarang itu sendiri dengan
menggunakan bahasa sebagai tanda dan juga membedah karya sastra berdasarkan
intrinsik dan ekstrinsiknya. Adapun penelitian strukturalisme dinamik
menekankan pada struktur, tanda, serta realitas. Contoh penelitian
strukturalisme dinamik, seperti penelitian novel Saman karya Ayu Utami.; (3). Pendekatan strukturalisme
semiotik,
pendekatan ini penelitian berusaha mengungkap tanda-tanda dalam karya
sastra. Kemudian, pendekatan strukturalisme semiotik menguatkan bahwa aspek
struktur dihubungkan dengan tanda-tanda. Tanda sekecil apa pun terkait semiotik
tetap diperhatikan dalam penelitian ini. [8]
Salah satu contoh,
penelitian struktural, yaitu Disertasi “Nilai-Nilai Budaya dalam
Cerita Kaba Minangkabau (Analisis Struktural dan Semiotika)” yang ditulis oleh
Abdurahman, Program Studi Pendidikan Bahasa, Program Pascasarjana, Universitas
Negeri Jakarta, tahun 2006. Hasil penelitian ini menunjukkan lima hal, antara
lain: (1). Kaba Minangkabau memiliki alur kronologis; (2). tokoh utama cerita
terdiri atas berbagai tingkat sosial, yang berkarakter baik dan buruk; (3).
Latar cerita umumnya setelah masuknya agama Islam dan dalam masa penjajahan
Belanda; (4). tema Kaba umumnya berkaitan dengan persoalan hidup, pengubahan
nasib; (5). Nilai-nilai budaya yang
ditemukan berkaitan dengan pandangan terhadap hakikat karya, terhadap hakikat
waktu, dan terhadap hakikat alam.[9] Dari
contoh tersebut, menggunakan pendekatan struktural dan semioitik yang keduanya
sama-sama berfokus hanya pada aspek formal bahasa dan makna yang melakat pada
bahasa yang ada pada teks dan berupa unsur intrinsik yang ada di dalam teks
tanpa melihat konteks.
Kemudian, contoh lain yaitu Tesis
oleh Teguh Prakoso pada Program Studi Ilmu Sastra Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora
Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Tahun 2006 yang berjudul “Bekisar Merah dan Belantik: Pemaknaan
Berdasarkan Teori Stukturalisme Levi Strauss dan Hermeneutika Geertz”. Penelitian
ini memperoleh beberapa hasil hanya sebatas pada pemaknaan tentang struktur
cerita yang terdapat dalam novel Dwilogi
Novel Bekisar Merah dan Novel Belantik karya Ahmad Tohari dengan menerapkan
teori Teori Stukturalisme Levi-Strauss
dan Hermeneutika Geertz dalam menganalisisnya. Hasil penelitian menjelaskan
bahwa struktur cerita Bekisar Merah dan
Novel Belantik memiliki pola-pola dan relasi tetap dengan prinsip
ketertaatan dan keteraturan yang dikemukakan Levis-Strauss. Rangkaian ceritanya
menunjukkan adanya pola-pola relatif tetap sesuai sistem cerita yang terangkai
menurut episode-episode yang bertransformasi dan unit yang memiliki pola relasi
tertentu. Struktur-struktur tersebut memperlihatkan bentuk skemata yang pada
akhirnya dapat diinterpretasikan bahwa proses pelarian Lasi maupun pertolongan
yang diterimanya, seperti yang ditunjukkan dengan pernikahan Kanjat, adalah
sesuatu yang dapat diurut dan diramalkan. Selain itu, struktur cerita novel
dwilogi Berkisar Merah bergerak dalam satu bingkai yang menggambarkan kehidupan
Lasi.[10]
C. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa pendekatan
struktural memandang wacana sebagai unit bahasa di atas kalimat atau beberapa
kalimat yang memiliki hubungan dan struktur bahasa secara kohesi yang hanya
memperoleh makna secara langsung dari unsur formal saja secara referensial dan leksikal.
Kohesi
merupakan aspek
formal bahasa yang berkaitan erat secara langsung (implisit) antar kata, frase,
klausa, dan kalimat yang saling berhubungan satu sama lainnya untuk membentuk
teks. Koherensi merupakan hubungan antar kata, frase, klausa, dan kalimat
secara eksplisit dan ambiguitas sehingga mampu menjelaskan makna teks yang
sebenarnya.
2. Saran
Beberapa
saran dari pembahasan makalah ini, di antaranya:
a.
Penulis lanjut, makalah ini hanya dibatasi pada pendekatan struktural
secara umum dan contoh yang diberikan lebih pada pendekatan struktural yang
diterapkan dalam analisis wacana sastra. Kemudian, makalah ini masih belum
sempurna karena referensinya masih sangat terbatas terutama di bidang kohesi
dan koherensi dan teknik analisis pendekatan struktural.
b.
Teman-teman PPs UNJ PB S-3 UNJ Angkatan 2015/2016 Kelas A, diharapkan
makalah ini dapat dipublikasikan menjadi prosiding.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman. “Nilai-Nilai Budaya dalam Cerita
Kaba Minangkabau (Analisis Struktural dan Semiotika)”. Jakarta: PPS Pendidikan
Bahasa (S-3) Universitas Negeri Jakarta, 2006.
Bakar, Paul dan Sibonele Ellege. Key Term
in Discourse Analysis. New York: Contuum, 2011.
Beaugrande Robert de dan Wolfgang Dressler. Introduction to Text Linguistik. New York: Longman Group Limited,
1981.
Brown, Gillian dan George Yule. Discourse
Analysis. Diterjemahkan oleh I. Soetikno. USA: Cambridge University Press:
Angkasa, 1996.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi
(Edisi Revisi). Yogyakarta: MedPress, 2008.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. Cohesion
in English. London: Longman, 1976.
Jorgensen, Marianne dan Loise J. Phillips. Discourse Analysis as Theory and
Method. London: SAGE
Publications Ltd,
2002.
Nurgiyantoro, Burhan.Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007.
Prakoso. “Pemaknaan Novel Bekisar Merah dan Novel Belantik dengan Teori Stukturalisme Levi-Strauss dan
Hermeneutika Geertz”. Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2006.
Schiffrin, Deborah, Deborah Tannen, dan Heidi E. Hamilton. USA: Blackwell Publishers, 2001.
Schiffrin, Deborah. Approaches to Discourse. USA: Blackwell
Publishing, 1994.
Wijaya, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka, 2011.
Analisis (Surakarta: Yuma Pustaka, 2011), hh. 8-9.
(USA:Cambridge University Press: Angkasa, 1996),
h. 1.
Group Limited, 1981), h. 48.
h.14.
SAGE Publications Ltd, 2002), h. 11.
H.141.
(Edisi Revisi) (Yogyakarta: MedPress, 2008), hh. 56-64.
Semiotika)” (Jakarta: PPS Pendidikan Bahasa (S-3) Universitas Negeri Jakarta, 2006).
[20] Prakoso, “Pemaknaan Novel Bekisar Merah dan Novel Belantik dengan Teori Stukturalisme
Levi-Strauss dan Hermeneutika Geertz” (Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2006), hh. 208-209.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar