Kamis, 14 Juli 2016

INTENSIONALITAS DAN AKSEPTABILITAS

Disusun oleh:
(1) Ira Yuniati (Noreg. 7317150073), (2) Unpris Yastanti (7317150091),
(3) Tri Rositasari (Noreg. 7317150089), dan (4). Chairunisa (Noreg. 7317150298)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Yumna Rasyid, M.Pd. dan Prof. Endang Koenmariati, M.Pd.

Abstrak
Makalah ini akan mencoba memberikan pemahaman tentang teks,yang berfokus terhadap sikap produser (pembicara atau penulis) dalam penyampaian pesan dan maksud kepada lawan bicara atau pembaca atau disebut juga intentionality serta akan membahas bagaimana sikap pendengar atau pembaca dalam keberterimaan terhadap pesan atau maksud yang didapat sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai dengan baik.


Kata kunci: Intensionalitas dan Akseptabilitas.
                
A. Pendahuluan
Bidang linguistik teks adalah cabang dari bidang linguistik yang terakhir, di mana teks sebagai sistem komunikasi. Dalam menganalis suatu kalimat hal penting yang harus dipahami adalah keseluruhan pemahaman mengenai isi teks, maka dalam menganalisis suatu kalimat tidak lepas dari teks dan wacana.
Suatu wacana yang benar-benar komunikatif mestilah menampakkan pertalian (connection) di antara bagian-bagiannya. Apa yang dimaksudkan dengan pertalian adalah ciri-ciri ketekstualan yang perlu ada dalam bagian-bagian teks. Teks dapat berbentuk lisan dan tertulis. Teks dan wacana saling berhubungan karena teks berada dalam suatu wacana.
Sebagai sebuah peristiwa komunikatif (communicative occurrence), sebuah teks menurut de Beaugrande & Dressler haruslah memiliki unsur-unsur yang mendukung, diantaranya:



1.  Kohesi (Cohesion)
Kohesi merujuk kepada hubungan yang wujud di antara unsur-unsur dalam sesuatu teks. Hubungan berkenaan terhasil apabila interpretasi terhadap sesuatu unsur bergantung kepada unsur yang lain.
2.  Koherensi (Coherence)
Keheren merujuk kepada hubungan diantara teks dengan pengetahua di luar teks yang diandaikan dimiliki oleh pendengar atau pembaca.
3.  Intensionalitas (Intentionality)
Intensionalitas merupakan cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah. Intensionalitas berkaitan dengan akseptabilitas (penerimaan informasi).
4.  Keberterimaan (Acceptability)
Keberterimaan bermakna teks yang dihasilkan dalam sebuah wacana mestilah dirasakan logis oleh pendengar atau pembaca.
5.  Informativitas: mengacu pada kuantitas informasi yang baru atau yang diharapkan dalam teks
6.  Situasionalitas: konstelasi-pembicaraan dan situasi tuturan memainkan peran penting dalam pemroduksian teks
7.  Intertekstualitas: teks berkait dengan wacana atau teks sebelumnya, dan adanya kriteria tertentu yang menghubungkan teks-teks lain dalam genre-genre atau jenis teks tertentu.
Di dalam makalah ini, akan akan membahas lebih dalam mengenai intensionalitas dan akseptabilitas, serta contoh-contohnya.
Selain itu, pembahasan dalam makalah ini diharapkan memberikan manfaat sebagai tugas mata kuliah Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa sehingga mampu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang wacana dan menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa PPs UNJ Program Pendidikan Bahasa jenjang strata tiga (S3) Kelas A Tahun Ajaran 2015/2016.
B. Pembahasan
1. Hubungan antara Teks dan Konteks dalam Intensionalitas dan Akseptabilitas
Teks adalah pesan-pesan atau ide-ide yang ingin disampaikan penulis atau pembicara kepada pembaca atau pendengar. Haliday (1985, p. 290) menyatakan bahwa “text is something that happens, in the form of talking or writing, listening or reading.” Hal ini berarti bahwa teks dapat berbentuk lisan dan tertulis. Sejalan dengan pendapat tersebut, Brown dan Yule, teks merupakan sepotong bahasa yang dipergunakan untuk suatu tujuan komunikatif dalam bentuk tertulis atau lisan.
Menurut Johns dalam Safnil (2010: 15), konteks bukan hanya mengacu pada lingkungan linguistik dari sebuah teks seperti koran, novel, makalah, laporan, atau buku, melainkan juga mengacu pada lingkungan non-linguistik terkait yang mempengaruhi proses penulisa atau pengucapan dan proses pemahaman dari sebuah teks seperti penulis, pembicara, waktu, tempat, tujuan, dan keadaan pembaca atau pendengar, contoh sebuah teks lisan beserta konteksnya, apabila seseorang berbicara pada orang lain, maka ucapannya dan hal-hal yang terjadi pada saat itu dapat mempengaruhi proses berbicara dan proses pendengarannya. Jadi, konteks dari sebuah teks bukan hanya teks itu sendiri atau unsur-unsur linguistik yang berada di sekitar teks tersebut, melainkan juga segala sesuatu yang berada di luar teks yang berbentuk non-linguistik dan diperlukan dalam proses pemahaman dan penciptaan sebuah teks tertentu.
Celce-Murcia dan Olshtain (2000) membuat perbedaan antara konteks dan ko-teks. menurut mereka, konteks adalah semua faktor atau elemen non-linguistik atau non-tekstual yang mempengaruhi interaksi komunikatif, sedangkan ko-teks adalah semua aspek atau elemen kebahasaan yang mempengaruhi makna sebuah teks.
Hubungan antara teks dan konteks sangat menentukan proses penulisan dan pemahaman sebuah teks. Teks muncul dari suatu situasi sosial khusus dan dibentuk berdasarkan tujuan komunikatif tertentu oleh seorang penutur ataupun penulis. Makna sebuah teks terbentuk dari situasi di luar fisik teks tersebut, sedangkan makna awalnya berasal dari pembicara ataupun penulisnya.

2. Intensionalitas
Teks-teks yang dihasilkan harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin disampaikan. Teks yang dihasilkan ini tentunya berkaitan dengan si pembicara atau penulis. Teks yang dihasilkan harus dapat diterima oleh pembaca atau pendengar. Jika kohesi dan koherensi berpusat pada teks, intensionalitas berpusat pada pengguna (user). Intensionalitas atau kebermaksudan adalah sikap pengujar (penghasil teks) mengenai serangkaian peristiwa pengujarannya. Intensionalitas merupakan cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah.
Dari sudut pandang produksi, jelas bahwa bahasa lisan dan tulis agak berbeda tuntutannya pada para produser bahasa. Pembicara dapat membuat segala macam efek ‘kualitas suara’ (dan juga ekspresi muka, isyarat, serta sikap tubuh). Dengan senjata-senjata itu ia selalu dapat mengendalikan pengaruh kata-kata yang diucapkannya. Jadi, pembicara yang mengatakan “Saya benar-benar ingin” sambil mencondongkan badan kemuka, tersenyum, dengan kualitas suara yang ‘hangat dan dengan nafas panjang’, jauh lebih besar kemungkinannya ditafsirkan bahwa ia memang mempunyai maksud sesuai dengan apa yang dikatakannya, daripada pembicara lain yang mengucapkan kata-kata yang sama, sambil mencondongkan badannya kebelakang, dengan alis berkerut dan kualitas suara ‘sengau dan bernada mengejek’.
Penulis sebaliknya, mungkin tidak memperhatikan apa yang sudah ditulisnya, berhenti di antara setiap kata tanpa takut disela oleh kawan bicaranya, menyisihkan waktunya untuk memilih sebuah kata tertentu, bahkan mencarinya dalam kamus jika perlu, dan bahkan mengubah tulisanya mengenai apa yang ingin dikatakannya. Apabila pembicara mengalami tekanan berat untuk terus berbicara selama jangka waktu yang diberikan kepadanya, penulis secara khas tidak mengalami tekanan seperti itu. Apabila pembicara tahu bahwa kata-kata apa saja yang keluar lewat bibirnya akan didengar oleh kawan bicaranya dan jika itu bukan yang dimaksudkannya, ia harus melakukan ‘perbaikan’ yang aktif secara terbuka, penulis dapat mencoret dan menulis lagi dalam keadaan tenang di kamar kerjanya.
Dalam sikap tersebut, peristiwa-peristiwa ujarannya dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan keinstrumenan teks yang terpadu dan berpadu untuk memenuhi maksudnya. Sebagai contoh adalah peristiwa komunikasi dalam penulisan dan penyajian makalah ini. Segala hal terkait penulisan dan penyajian makalah ini dirancang sedemikian rupa sehingga menyatu dan menyambung serta berakhir pada pemahaman konsep yang cenderung sama dan benar. Intensionalitas  adalah keadaan yang di dalamnya penulis dan pengujar harus secara sadar memiliki maksud mencapai tujuan tertentu dengan pesannya.
Intensionalitas berkenaan dengan sikap penghasil teks (text producer’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkannya bersifat konstitutif (wajib) untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren. Dengan demikian, ada kesengajaan penghasil teks dalam memenuhi tujuan itu. Misalnya, penghasil teks bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan, memaparkan sebuah konsep baru, meyakinkan penikmat teks tentang suatu hal, mempengaruhi agar para pembaca mengikuti pendapat kita, dan sebagainya. Berikut contoh teks percakapan yang koherensi tetapi tidak kohesi:
(85)   : Namun – kemudian anda pergi ke Fred.
(86)   : Apakah Anda - Apa yang anda tertawakan?
(87)   : Apakah anda ingin mendengarkan saya – ehhh – saudara perempuan saya memberi tahu saya sebuah cerita tadi malam.
(88)   : ketika saya mengatakan saya ingin menjadi sesuatu, bukan hanya  saya ingin menjadi ini, yaitu hanya-saya-saya-saya- satu hal yang ingin saya katakan pada orang bahwa saya ingin menjadi seorang artis.
Dari contoh teks di atas, memang secara gramatikal teks tersebut sulit untuk dipahami, tetapi hal ini biasa terjadi jika antara pembicara dan pendengar sudah saling memahami konteks pembicaraan dan tentunya didukung oleh cara atau sikap pembicara dalam menyampaikan ujaran.
Berikut contoh teks percakapan dilihat dari unsur kohesif dan koherensif:
Ira dan Tri segera berangkat kuliah karena mereka harus masuk kelas pukul 8.00 pagi.”
Keterangan: Kalimat ini dikatakan kohesif dan koherensif karena “mereka” jelas acuannya, yakni “Ira dan Tri.”
Kohesi berkenaan dengan berbagai cara di mana komponen-komponen teks lahir (surface text), misalnya kata-kata aktual yang kita dengar atau lihat-saling berhubungan dalam sebuah urutan.
Jika kohesi berkenaan dengan perpautan bentuk, koherensi berkenaan dengan perpautan makna. Meskipun kohesi dan koherensi umumnya berpautan, tidaklah berarti bahwa kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren. Ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya kohesi, tetapi tidak koheren. Demikian juga sebaliknya, ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya tidak kohesi, tetapi koheren.
Contoh berikut adalah kohesif, tetapi tidak koheren:
“Dengan mendapat BPPDN, Nisa membeli Mazda baru. Mobil itu berwarna biru. Biru tua menjadi idam-idaman warna mobil pemuda sekarang. Modernisasi memang telah banyak mengubah keadaan dalam waktu singkat. Waktu ini manusia seakan-akan di persimpangan jalan. Jalan ke sorga atau ke neraka rupanya tidak dipedulikan lagi. Sorga dunia dituntutnya dengan itikad neraka yang penuh dengan kebobrokan.”
Keterangan: Pada contoh kekohesian tampak pada kata Mazda--mobil, warna bitu--biru tua, sekarang--modernisasi, waktu singkat--waktu ini, jalan--jalan, sorga--sorga--neraka. Akan tetapi, apa yang didapatkan adalah kekusutan pikiran semata-mata sehingga sukar menggambarkan contoh tersebut menjadi sebuah wacana.
Sebaliknya, contoh berikut ini tidak kohesif tetapi koheren:
A Unpris : Ra, tolong ambil foto copy kita di depan ya.
B  Ira       : Aduh, lagi tanggung, Mbak.
Jika ditinjau dari kata-katanya, tidak ada perpautan antara A dan B. Akan tetapi, kedua kalimat itu adalah koheren karena maknanya berkaitan. Perkaitan itu disebabkan oleh adanya kata-kata yang tersembunyi yang tidak diucapkan. Kalimat B sebenarnya dapat berbunyi “Maaf Mbak, saya tidak dapat mengambil foto copyan itu karena saya lagi tanggung, mengetik tugas.”
Pada poin yang sama, yang mana koherensinya kurang maka teks yang dihasilkan akan membingungkan dan tidak konsisten sehingga tujuan yang dimaksud tidak tercapai. Contonya:
(89): “baik tuan, kata polisi, ”dia adalah laki-laki yang kami cari, itu benar, dan dia bukan laki-laki yang kami cari. Karena laki-laki yang kami cari sakit dan dia laki-laki yang bukan kami inginkan, tuan, jika anda mengerti cara-cara saya setiap harinya.
(Hardly 1977: 30)
Keterkaiaatan kohesi dan koherensi dengan intensionalitas dapat menyebabkan situasi yang rumit. Misalnya: sebuah teks yang mungkin ingin menyembunyikan beberapa informasi namun dalam prosesnya hal tersebut secara tidak langsung terungkap karena intensionalitas dari si pengujar tidak mendukung. Misalnya:
(91)”Saya melihat bahwa salah satu yang besar adalah orang spanyol yang tuli dan bisu, dan orang spanyol itu bersumpah ia akan merusak penampilannya seperti yang saya ceritakan kepada anda dan anda berdua”
“Apa? Lelaki yang bisu dan buta itu mengatakan itu semua?”Huck telah membuat kesalahan yang mengerikan!
Pada dasarnya, teks yang akan dihasilkan harus disesuaikan antara apa yang akan dikatakan dengan cara mengucapkannya agar apa yang akan disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Dalam menyampaikan teks, baik lisan maupun tulisan, ada empat hal yang perlu diperhatikan agar apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik, diantaranya: (a) Ucapan bertindak: pemilihan kata-kata atau kalimat yang tepat; (b) Propesional bertindak: apa yang disampaikan sesuai dengan konten dan rujukan, tidak terkesan mengada-ada; (c) Ilokusi bertindak: menyatakan, mendengarkan, menggambarkan karena berucap itu sendiri merupakan tindakan; dan (d) Perlokusi bertindak: si penerima dapat merasakan efek dari apa yang disampaikan pembicara atau penulis.
Dalam istilah yang lebih luas, instensionalitas berkaitan dengan teks yang dihasilkan sesuai dengan tujuan diberbagai disiplim ilmu. Misalnya teks yang berkaitan dengan sosiologi, psikologi, filsafat. Banyak aturan yang harus dipatuhi dalam percakapan, baik menyangkut aspek kebahasaan sampai aspek sosial. Kita dapat mengutip prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. Kedua prinsip itu mengatur bagaimana orang berkomunikasi.
Dari prinsip kerjasama yang bersifat umum itu selanjutnya dijabarkan ke dalam sub-prinsip yang disebut maksim. Ada empat maksim yang rumusannya secara lengkap dikemukakan berikut ini:
1.    Maksim kuantitas
“Berikan bantuanmu seinformatif yang dibutuhkan. Jangan memberikan bantuan lebih informatif daripada yang dibutuhkan”.
Maksim ini menyatakan bahwa sebagai pembicara, informasi yang kita berikan haruslah seinformatif mungkin, tetapi jangan lebih dan jangan kurang informatif daripada yang diperlukan. Kalau informasinya kurang lengkap akan terjadi salah paham. Perhatikan contoh berikut:
A  :    Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi sama perempuan.
B  :    Ah, masa. Apa nggak takut ketahuan istrinya?
C  :    Ya, nggaklah, ‘kan perempuan itu istrinya’.
Dalam percakapan ini ada pelanggaran maksim kuantitas karena informasi yang diberikan oleh A kurang dari yang seharusnya. Karena kurangnya informasi ini maka B menjadi salah mengerti. Seharusnya A berkata “Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi bersama istrinya”.
2.    Maksim kualitas
“Jangan mengatakan sesuatu apabila kamu yakin hal itu salah. Jangan berkata apabila kamu kekurangan bukti yang cukup.”
Maksim ini membimbing orang untuk tidak mengatakan apa yang menurut dia tidak benar; kita juga hendaknya tidak mengatakan sesuatu yang tidak ada bukti kebenarannya. Sebagai contoh, kalau pembicara tahu bahwa Pak Wijoyo tidak ada di Jakarta karena dia sedang berada di Surabaya, maka kalimat berikut ini melanggar maksim kualitas.
“Pak Wijoyo sekarang ada di Jakarta”.
Begitu pula kalau dia tidak tahu di mana Pak Wijoyo berada, maka kalimat tersebut juga melanggar maksim kualitas.
3.    Maksim hubungan (Relation)
“Berbicaralah yang relevan.” Maksim hubungan dapat dikatakan relevan apabila memiliki sekurang-kurangnya dua aspek, yaitu 1) jenis pengetahuan yang sesuai dengan topik dan 2) jenis pengetahuan yang bermanfaat dalam mencapai tujuan.
Pada maksim ini kita diharapkan untuk memberikan informasi yang relevan terhadap tujuan percakapan. Seandainya kita baru saja diterima di sebuah universitas, dan kita ingin menceritakan jurusan apa saja yang ada di universitas tersebut.
“.......ini salah satu universitas negeri di Jakarta. Kampusnya asri dan sejuk. Banyak pohon-pohon besar sehingga membuat suasana kampus menjadi sejuk. Kampusnya juga luas dan memiliki ruang kelas yang nyaman....dst.
Informasi mengenai suasana, pohon, ruang kelas, dsb itu tidak relevan. Gambaran seperti ini telah keluar dari tujuan percakapan tadi.
Begitu juga kalau menurut pembicara si pendengar tidak tahu siapa yang dibicarakan, maka kalimat berikut ini tidak mempunyai makna bagi pendengar.
“Unpris bekerja di Universitas Negeri Jakarta sebagai seorang dosen”.
Baru setelah ditambah dengan informasi yang relevan, komunikasi menjadi tidak terganggu.
“Unpris, kakak saya, bekerja sebagai seorang dosen di UNJ”.
Jadi, dapat disimpulkan maksim hubungan ini berkaitan dengan kesesuaian antara topik yang ingin diceritakan dengan isi cerita, selain itu apa yang dibicarakan antara pembicara dan pendengar harus saling mengetahui.
4.    Maksim cara
“Sajikanlah dengan jelas”
“Hindarilah ketidakjelasan pernyataan”
“Hindarilah kedwiartian”
“Singkatlah”
“Teraturlah”
Dalam berkomunikasi, orang juga harus mengungkapkan pikirannya secara jelas. Pemilihan kata yang tepat, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami apa yang disampaikan. Selain itu, dalam menyampaikan informasi, sebaiknya satu topik pembahasan, agar apa yang disampaikan dapat dipahami pendengar dengan baik. Jadi, maksim cara ini berkaitan dengan ketepatan pemilihan kata dan kekonsistenan dalam berbicara agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran.
Kepatuhan peserta konversasi terhadap prinsip dan maksim akan berujung pada terciptanya komunikasi yang efektif. Sebaliknya, pelanggaran terhadap prinsip dan maksim mengakibatkan terciptanya kesalahpahaman komunikasi, yang berarti tidak tercipta komunikasi yang efektif. Pertanyaannya adalah “Apakah dalam komunikasi semata-mata hanya mengejar keefektifan dan efisiensi komunikasi?” Jawabnya adalah tidak. Terdapat tujuan lain yang juga menjadi bagian integral percakapan, yakni sopan santun percakapan. Dalam konteks ini, kita dapat memanfaatkan prinsip kesantunan yang terdiri dari enam maksim yang rumusannya berikut ini:
1.  Maksim kebijaksanaan
Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Apabila di dalam bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat diminimalisir dengan maksim ini.
2.  Maksim kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri.
Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
3.  Maksim penghargaan
Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi pujian pada orang lain.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para perserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Perserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tidakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya.
4.  Maksim kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri, tambahi cacian pada diri sendiri.
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.


5.  Maksim permufakatan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Maksim permufakatan seringkali disebut dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para pererta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun.
6.  Maksim simpati
Kurangi antipasti antara diri sendiri dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain.
Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.
Kepatuhan pelaku percakapan terhadap maksim kesantunan berujung pada hasil komunikasi yang santun, komunikasi yang dapat “meminyaki” relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhormat dan tidak sakit hati, komunikasi yang dapat “menyelamatkan muka”. Sebaliknya, pelanggaran terhadap maksim kesantunan mengakibatkan terciptanya komunikasi yang tidak santun, komunikasi yang dapat meretakkan relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhina dan sakit hati, komunikasi yang dapat “mengancam muka”.
Walaupun teori dari tutur kata telah membuat kontribusi yang mengesankan untuk kajiaan pragmatik dalam arti kata. Teori tindak tutur kata memiliki beberapa batasan yang melekat, ada perbedaan yang besar antara relatif baik didefinisikan kisah seperti menjanjikan atau mengancam dan menyatakan, menegaskan, menggambarkan, atau mempertanyakan semua ini dikelompokkan menjadi satu sebagai ilokusi tindakan (Searle, 1969: 23). Tidak ada cara yang jelas untuk menetapkan keadaan dan tujuan yang mana harus diberikan pada pernyataan atau menerangkan menurut kriteria yang disediakan pada tindakan dari menjanjikan. Jika seseorang mengatakan:
1) Aku janji dan
2) Aku meminta maaf.
Teks ini cukup transparan karena mengucapkan itu sendiri adalah tindakan. Kata kerja untuk tindakan-tindakan tersebut sering disebut performatif. Dan penggunaan mereka yang umum dalam bidang hukum dan parlemen.
Contoh: 1 Dengan ini saya menunda pertemuan
2) Sekarang saya mengucapkan anda sebagai suami dan istri,
Namun komunikasi sehari-hari jauh lebih beragam dan sangat kurang transparan. Banyak hal yang diucapkan secara eksplisit. Orang-orang tidak mungkin untuk mengatakan hal seperti ini.
Contoh: 1) Dengan ini saya mencoba untuk mendapatkan anda untuk memenuhi rencana saya dan
2) Dengan ini saya mencoba untuk membujuk anda untuk menghasilkan pandangan yang paling berguna untuk saya.
Jadi, sebagai pembicara atau menulis, sangat dituntut untuk dapat menerapkan intensioanlitas yang tepat dalam menghasilkan sebuah teks, baik itu lisan maupun tulisan agar apa yang ingin disampaikan dapat diterima baik oleh pendengar atau pembicara.


2. Akseptabilitas
 Keberterimaan (acceptability). Aseptabilitas adalah kebalikan dari standar intensionalitas. Keberterimaan, menurut de Beaugrande & Dressler (1986:7) berkenaan dengan sikap penikmat atau penerima teks (text receiver’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkan oleh penghasil teks yang bersifat konstitutif yang semata-mata untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren itu mempunyai kegunaan dan relevansi bagi penikmat. Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah, misalnya, memudahkan penikmat atau penerima teks dalam menerima apa yang dihasilkan oleh penghasil teks. Dengan demikian, ada kemudahaan pada diri penerima untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai oleh penghasil teks. 
            Dalam arti yang lebih luas dari istilah, "penerimaan" akan menggolongkan penerimaan sebagai kesediaan aktif untuk berpartisipasi dalam wacana dan berbagi tujuan. Dengan demikian Penerimaan merupakan tindakan dalam haknya sendiri (van Dijk 1977c), dan termasuk interaksi wacana, dengan segala konsekuensi yang ada. Menolak penerimaan secara konvensional dilakukan dengan sinyal eksplisit, sebagai contoh:
[110] Saya terlalu sibuk untuk berbicara sekarang.
[111] Saya tidak peduli untuk membicarakannya
Dalam hal ini, dapat diasumsikan untuk menyiratkan penerimaan.
Penerimaan dari tujuan orang lain mungkin timbul dari motivasi yang beragam. Komunikasi yang sukses sangat menuntut kemampuan penerima dalam mendeteksi atau menyimpulkan tujuan pesan dari peserta lain dengan berdasarkan apa yang telah mereka katakan. Dengan cara yang sama, penghasil teks harus mampu mengantisipasi tanggapan dari penerima akan kah mendukung ataukah bertentangan dengan apa yang telah direncanakan, atau penghasil teks harus mampu berspekulasi tentang sikap penerima teks yang memaksimalkan probabilitas bahwa penerima akan merespon seperti yang diinginkan oleh produsen/ penghasil teks. Dalam hal ini, konteks sangat memegang peranan penting dalam intensionalitas dan penerimaan dalam berkomunikasi.

C. Kesimpulan
Ø  Jika kohesi dan koherensi berpusat pada teks, intensionalitas berpusat pada pengguna (user). Intensionalitas atau kebermaksudan adalah sikap pengujar (penghasil teks) mengenai serangkaian peristiwa pengujarannya. Intensionalitas merupakan cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah.
Ø  Akseptabilitas berkaitan dengan penerima teks. apakah pesan dan tujuan yang disampaikan oleh pembicara atau penulis dapat dipahami dengan baik dan benar oleh pendengar atau pembacara pesan tersebut, sehingga komunikasi dapat tercapai dengan baik.
Ø Sebagai Contoh:
A Unpris      : Ra, tolong ambil foto copy kita di depan ya.
B  Ira             : Aduh, lagi tanggung, Mbak.
Keteragan:
Intensionalitas dari contoh ini terletak pada saat Unpris mengucapkan kalimat tersebut, tentunya didukung oleh intonasi, eksperesi wajah, dan gerak tubuh yang tepat, sehingga Ira sebagai penerima teks dapat memahami apa maksud dan tujuan dari teks tersebut. Sehingga keberterimaan teks tersebut dapat dipahami oleh Ira.
Dalam menghasilkan teks, tentunya ada teks lisan dan teks tertulis. Dalam teks lisan, intensionalitas dapat dituangkan melalui cara bicara dengan intonasi yang tepat, ekspresi wajah, dan gerak tubuh yang sesuai dengan ujaran yang akan dihasilkan. Sedangkan dalam teks tertulis, intensionalitas dapat dituangkan melalui penggunaan tanda baca yang tepat, dan pemilihan kata yang tepat, sehingga antar kalimat, antar paragraf dapat dimengerti oleh pembaca. Sehingga apa yang disampaikan, baik itu teks tertulis maupun teks llisan yang dihasilkan oleh penguajar dapat diterima dan dipahami oleh pembaca atau pendengar.



























DAFTAR PUSTAKA

Brown, Gillian dan George Yule, 1996 (di Indonesiakan oleh I. Soetikno). Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Dardjowidjojo, Soenjono, 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

De Beaugrande, R. and Dressler, 1981. Introduction to Text Linguistics. London: Longman.


Safnil, 2010. Pengantar Analisis Retorika Teks. Bengkulu: FKIP UNIB Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar