Disusun oleh:
(1) Ira Yuniati (Noreg. 7317150073), (2) Unpris Yastanti
(7317150091),
(3)
Tri Rositasari (Noreg. 7317150089), dan (4). Chairunisa (Noreg. 7317150298)
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Yumna Rasyid,
M.Pd. dan Prof. Endang Koenmariati, M.Pd.
Abstrak
Makalah
ini akan mencoba memberikan pemahaman tentang teks,yang berfokus terhadap sikap produser
(pembicara atau penulis) dalam penyampaian pesan dan maksud
kepada lawan bicara atau pembaca atau disebut juga intentionality serta akan membahas bagaimana sikap
pendengar atau pembaca dalam keberterimaan terhadap pesan atau maksud yang
didapat sehingga tujuan komunikasi dapat tercapai dengan baik.
Kata
kunci: Intensionalitas dan Akseptabilitas.
A.
Pendahuluan
Bidang linguistik teks adalah cabang dari bidang linguistik yang terakhir, di mana teks sebagai sistem komunikasi.
Dalam menganalis suatu kalimat hal penting yang harus dipahami adalah
keseluruhan pemahaman mengenai isi teks, maka dalam menganalisis suatu kalimat
tidak lepas dari teks dan wacana.
Suatu wacana yang benar-benar
komunikatif mestilah menampakkan pertalian (connection)
di antara bagian-bagiannya. Apa yang dimaksudkan dengan pertalian adalah
ciri-ciri ketekstualan yang perlu ada dalam bagian-bagian teks. Teks dapat berbentuk lisan
dan tertulis. Teks dan wacana saling berhubungan karena teks berada dalam suatu
wacana.
Sebagai sebuah peristiwa komunikatif (communicative
occurrence), sebuah teks menurut de Beaugrande &
Dressler haruslah memiliki unsur-unsur yang mendukung, diantaranya:
1.
Kohesi (Cohesion)
Kohesi
merujuk kepada hubungan yang wujud di antara unsur-unsur dalam sesuatu
teks. Hubungan berkenaan terhasil apabila interpretasi terhadap sesuatu unsur
bergantung kepada unsur yang lain.
2.
Koherensi (Coherence)
Keheren
merujuk kepada hubungan diantara teks dengan pengetahua di luar teks yang
diandaikan dimiliki oleh pendengar atau pembaca.
3.
Intensionalitas (Intentionality)
Intensionalitas merupakan
cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan
melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi
wajah. Intensionalitas berkaitan dengan akseptabilitas (penerimaan informasi).
4.
Keberterimaan (Acceptability)
Keberterimaan bermakna teks yang dihasilkan dalam
sebuah wacana mestilah dirasakan logis oleh pendengar atau
pembaca.
5.
Informativitas: mengacu pada kuantitas informasi yang baru atau yang
diharapkan dalam teks
6.
Situasionalitas: konstelasi-pembicaraan dan situasi tuturan memainkan
peran penting dalam pemroduksian teks
7.
Intertekstualitas: teks berkait dengan wacana atau teks sebelumnya, dan
adanya kriteria tertentu yang menghubungkan teks-teks lain dalam genre-genre
atau jenis teks tertentu.
Di dalam makalah ini, akan akan membahas lebih dalam mengenai intensionalitas dan akseptabilitas, serta contoh-contohnya.
Selain itu,
pembahasan dalam makalah ini diharapkan memberikan manfaat sebagai tugas mata
kuliah Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa sehingga mampu mengembangkan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang wacana dan menjadi bahan diskusi bagi mahasiswa
PPs UNJ Program Pendidikan Bahasa jenjang strata tiga (S3) Kelas A Tahun Ajaran
2015/2016.
B.
Pembahasan
1.
Hubungan antara Teks dan Konteks
dalam Intensionalitas dan Akseptabilitas
Teks adalah pesan-pesan atau ide-ide yang ingin
disampaikan penulis atau pembicara kepada pembaca atau pendengar. Haliday
(1985, p. 290) menyatakan bahwa “text is something that happens, in the form
of talking or writing, listening or reading.” Hal ini berarti bahwa teks
dapat berbentuk lisan dan tertulis.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Brown dan Yule, teks merupakan sepotong
bahasa yang dipergunakan untuk suatu tujuan komunikatif dalam bentuk tertulis
atau lisan.
Menurut Johns dalam Safnil (2010: 15), konteks bukan
hanya mengacu pada lingkungan linguistik dari sebuah teks seperti koran, novel,
makalah, laporan, atau buku, melainkan juga mengacu pada lingkungan
non-linguistik terkait yang mempengaruhi proses penulisa atau pengucapan dan
proses pemahaman dari sebuah teks seperti penulis, pembicara, waktu, tempat,
tujuan, dan keadaan pembaca atau pendengar, contoh sebuah teks lisan beserta
konteksnya, apabila seseorang berbicara pada orang lain, maka ucapannya dan
hal-hal yang terjadi pada saat itu dapat mempengaruhi proses berbicara dan proses
pendengarannya. Jadi, konteks dari sebuah teks bukan hanya teks itu sendiri
atau unsur-unsur linguistik yang berada di sekitar teks tersebut, melainkan
juga segala sesuatu yang berada di luar teks yang berbentuk non-linguistik dan
diperlukan dalam proses pemahaman dan penciptaan sebuah teks tertentu.
Celce-Murcia dan Olshtain (2000) membuat perbedaan antara
konteks dan ko-teks. menurut mereka, konteks adalah semua faktor atau elemen
non-linguistik atau non-tekstual yang mempengaruhi interaksi komunikatif, sedangkan
ko-teks adalah semua aspek atau elemen kebahasaan yang mempengaruhi makna
sebuah teks.
Hubungan antara teks dan konteks sangat menentukan proses
penulisan dan pemahaman sebuah teks. Teks muncul dari suatu situasi sosial khusus dan dibentuk
berdasarkan tujuan komunikatif tertentu oleh seorang penutur ataupun penulis.
Makna sebuah teks terbentuk dari situasi di luar fisik teks tersebut, sedangkan
makna awalnya berasal dari pembicara ataupun penulisnya.
2.
Intensionalitas
Teks-teks yang dihasilkan harus disesuaikan dengan
tujuan yang ingin disampaikan. Teks yang dihasilkan ini tentunya berkaitan
dengan si pembicara atau penulis. Teks yang dihasilkan harus dapat diterima
oleh pembaca atau pendengar. Jika kohesi dan
koherensi berpusat pada teks, intensionalitas berpusat pada pengguna (user).
Intensionalitas
atau kebermaksudan adalah sikap pengujar (penghasil teks) mengenai serangkaian
peristiwa pengujarannya. Intensionalitas merupakan
cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan
melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah.
Dari
sudut pandang produksi, jelas bahwa bahasa lisan dan tulis agak berbeda
tuntutannya pada para produser bahasa. Pembicara dapat membuat segala macam
efek ‘kualitas suara’ (dan juga ekspresi muka, isyarat, serta sikap tubuh).
Dengan senjata-senjata itu ia selalu dapat mengendalikan pengaruh kata-kata
yang diucapkannya. Jadi, pembicara yang mengatakan “Saya benar-benar ingin”
sambil mencondongkan badan kemuka, tersenyum, dengan kualitas suara yang
‘hangat dan dengan nafas panjang’, jauh lebih besar kemungkinannya ditafsirkan
bahwa ia memang mempunyai maksud sesuai dengan apa yang dikatakannya, daripada
pembicara lain yang mengucapkan kata-kata yang sama, sambil mencondongkan
badannya kebelakang, dengan alis berkerut dan kualitas suara ‘sengau dan
bernada mengejek’.
Penulis
sebaliknya, mungkin tidak memperhatikan apa yang sudah ditulisnya, berhenti di
antara setiap kata tanpa takut disela oleh kawan bicaranya, menyisihkan
waktunya untuk memilih sebuah kata tertentu, bahkan mencarinya dalam kamus jika
perlu, dan bahkan mengubah tulisanya mengenai apa yang ingin dikatakannya.
Apabila pembicara mengalami tekanan berat untuk terus berbicara selama jangka
waktu yang diberikan kepadanya, penulis secara khas tidak mengalami tekanan
seperti itu. Apabila pembicara tahu bahwa kata-kata apa saja yang keluar lewat
bibirnya akan didengar oleh kawan bicaranya dan jika itu bukan yang
dimaksudkannya, ia harus melakukan ‘perbaikan’ yang aktif secara terbuka,
penulis dapat mencoret dan menulis lagi dalam keadaan tenang di kamar kerjanya.
Dalam sikap tersebut,
peristiwa-peristiwa ujarannya dibuat sedemikian rupa sehingga memenuhi
persyaratan keinstrumenan teks yang terpadu dan berpadu untuk memenuhi
maksudnya. Sebagai contoh adalah peristiwa komunikasi dalam penulisan dan
penyajian makalah ini. Segala hal terkait penulisan dan penyajian makalah ini
dirancang sedemikian rupa sehingga menyatu dan menyambung serta berakhir pada
pemahaman konsep yang cenderung sama dan benar. Intensionalitas adalah
keadaan yang di dalamnya penulis dan pengujar harus secara sadar memiliki
maksud mencapai tujuan tertentu dengan pesannya.
Intensionalitas
berkenaan dengan sikap penghasil teks (text producer’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkannya bersifat konstitutif (wajib)
untuk mencapai teks yang kohesif dan koheren. Dengan demikian, ada kesengajaan
penghasil teks dalam memenuhi tujuan itu. Misalnya, penghasil teks bertujuan
untuk menyebarkan pengetahuan, memaparkan sebuah konsep baru, meyakinkan
penikmat teks tentang suatu hal, mempengaruhi agar para pembaca mengikuti
pendapat kita, dan sebagainya. Berikut contoh teks percakapan yang koherensi tetapi
tidak kohesi:
(85) : Namun – kemudian anda pergi ke Fred.
(86) : Apakah Anda - Apa yang anda tertawakan?
(87) : Apakah anda ingin mendengarkan saya – ehhh – saudara perempuan
saya memberi tahu saya sebuah cerita tadi malam.
(88) : ketika saya mengatakan saya
ingin menjadi sesuatu, bukan hanya saya ingin
menjadi ini, yaitu
hanya-saya-saya-saya- satu hal yang ingin saya katakan pada orang bahwa saya ingin menjadi
seorang artis.
Dari contoh teks di atas, memang secara gramatikal
teks tersebut sulit untuk dipahami, tetapi hal ini biasa terjadi jika antara
pembicara dan pendengar sudah saling memahami konteks pembicaraan dan tentunya
didukung oleh cara atau sikap pembicara dalam menyampaikan ujaran.
Berikut contoh teks percakapan dilihat dari unsur
kohesif dan koherensif:
“Ira dan Tri
segera berangkat kuliah karena mereka harus masuk kelas pukul 8.00 pagi.”
Keterangan: Kalimat ini dikatakan
kohesif dan koherensif karena “mereka”
jelas acuannya, yakni “Ira dan Tri.”
Kohesi berkenaan dengan berbagai cara di
mana komponen-komponen teks lahir (surface text), misalnya kata-kata aktual yang kita dengar
atau lihat-saling
berhubungan dalam sebuah urutan.
Jika kohesi berkenaan dengan perpautan
bentuk, koherensi berkenaan dengan perpautan makna. Meskipun kohesi dan koherensi umumnya
berpautan, tidaklah berarti bahwa kohesi harus ada agar wacana menjadi koheren.
Ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya kohesi, tetapi tidak koheren.
Demikian juga sebaliknya, ada wacana yang ditinjau dari segi teks lahirnya
tidak kohesi, tetapi koheren.
Contoh berikut adalah kohesif, tetapi
tidak koheren:
“Dengan mendapat BPPDN, Nisa
membeli Mazda baru. Mobil itu berwarna biru. Biru tua
menjadi idam-idaman warna mobil pemuda sekarang.
Modernisasi memang telah banyak
mengubah keadaan dalam waktu singkat.
Waktu ini manusia seakan-akan
di persimpangan jalan. Jalan ke sorga atau ke neraka rupanya
tidak dipedulikan lagi. Sorga
dunia dituntutnya dengan itikad neraka
yang penuh dengan kebobrokan.”
Keterangan: Pada contoh kekohesian tampak pada kata Mazda--mobil, warna bitu--biru
tua, sekarang--modernisasi, waktu singkat--waktu ini, jalan--jalan, sorga--sorga--neraka.
Akan tetapi, apa yang didapatkan adalah kekusutan pikiran semata-mata sehingga
sukar menggambarkan contoh tersebut menjadi sebuah wacana.
Sebaliknya, contoh berikut ini tidak kohesif tetapi
koheren:
A Unpris : Ra, tolong ambil foto copy kita di depan ya.
B
Ira : Aduh, lagi tanggung,
Mbak.
Jika ditinjau dari kata-katanya, tidak ada perpautan
antara A dan B. Akan tetapi, kedua kalimat itu adalah koheren karena maknanya
berkaitan. Perkaitan itu disebabkan oleh adanya kata-kata yang tersembunyi yang
tidak diucapkan. Kalimat B sebenarnya dapat berbunyi “Maaf Mbak, saya tidak
dapat mengambil foto copyan itu karena saya lagi tanggung, mengetik tugas.”
Pada poin yang sama, yang mana koherensinya kurang
maka teks yang dihasilkan akan membingungkan dan tidak konsisten sehingga
tujuan yang dimaksud tidak tercapai. Contonya:
(89): “baik tuan”, kata polisi, ”dia adalah laki-laki yang kami cari, itu benar, dan dia bukan laki-laki yang kami cari. Karena laki-laki yang kami cari sakit dan dia laki-laki yang bukan kami inginkan, tuan, jika anda mengerti cara-cara saya setiap
harinya.
(Hardly 1977: 30)
Keterkaiaatan kohesi dan koherensi dengan
intensionalitas dapat menyebabkan situasi yang rumit. Misalnya: sebuah teks
yang mungkin ingin menyembunyikan beberapa informasi namun dalam prosesnya hal
tersebut secara tidak langsung terungkap karena intensionalitas dari si
pengujar tidak mendukung. Misalnya:
(91)”Saya melihat bahwa salah satu yang besar adalah orang spanyol yang
tuli dan bisu, dan orang spanyol itu bersumpah ia akan merusak penampilannya
seperti yang saya ceritakan kepada anda dan anda berdua”
“Apa? Lelaki yang bisu dan buta itu mengatakan itu semua?”Huck telah
membuat kesalahan yang mengerikan!
Pada dasarnya, teks yang akan dihasilkan harus
disesuaikan antara apa yang akan dikatakan dengan cara mengucapkannya agar apa
yang akan disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Dalam menyampaikan teks,
baik lisan maupun tulisan, ada empat hal yang perlu diperhatikan agar apa yang
disampaikan dapat diterima dengan baik, diantaranya: (a) Ucapan bertindak:
pemilihan kata-kata atau kalimat yang tepat; (b) Propesional bertindak: apa
yang disampaikan sesuai dengan konten dan rujukan, tidak terkesan mengada-ada;
(c) Ilokusi bertindak: menyatakan, mendengarkan, menggambarkan karena berucap
itu sendiri merupakan tindakan; dan (d) Perlokusi bertindak: si penerima dapat
merasakan efek dari apa yang disampaikan pembicara atau penulis.
Dalam istilah yang lebih luas,
instensionalitas berkaitan dengan teks yang dihasilkan sesuai dengan tujuan
diberbagai disiplim ilmu. Misalnya teks yang berkaitan dengan sosiologi, psikologi,
filsafat. Banyak aturan yang harus
dipatuhi dalam percakapan, baik menyangkut aspek kebahasaan sampai aspek
sosial. Kita dapat mengutip prinsip
kerjasama dan prinsip kesantunan.
Kedua prinsip itu mengatur bagaimana orang berkomunikasi.
Dari prinsip kerjasama yang bersifat umum itu
selanjutnya dijabarkan ke dalam sub-prinsip yang disebut maksim. Ada empat
maksim yang rumusannya secara lengkap dikemukakan berikut ini:
1.
Maksim kuantitas
“Berikan bantuanmu seinformatif yang dibutuhkan.
Jangan memberikan bantuan lebih informatif daripada yang dibutuhkan”.
Maksim ini menyatakan bahwa sebagai pembicara,
informasi yang kita berikan haruslah seinformatif mungkin, tetapi jangan lebih
dan jangan kurang informatif daripada yang diperlukan. Kalau informasinya kurang
lengkap akan terjadi salah paham. Perhatikan contoh berikut:
A : Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi sama
perempuan.
B : Ah, masa. Apa nggak takut ketahuan istrinya?
C : Ya, nggaklah, ‘kan perempuan itu istrinya’.
Dalam percakapan ini ada
pelanggaran maksim kuantitas karena informasi yang diberikan oleh A kurang dari
yang seharusnya. Karena kurangnya informasi ini maka B menjadi salah mengerti.
Seharusnya A berkata “Tadi malam saya lihat Pak Mulyadi bersama istrinya”.
2.
Maksim kualitas
“Jangan mengatakan sesuatu apabila kamu yakin hal itu
salah. Jangan berkata apabila kamu kekurangan bukti yang cukup.”
Maksim ini membimbing orang untuk tidak mengatakan apa
yang menurut dia tidak benar; kita juga hendaknya tidak mengatakan sesuatu yang
tidak ada bukti kebenarannya. Sebagai contoh, kalau pembicara tahu bahwa Pak
Wijoyo tidak ada di Jakarta karena dia sedang berada di Surabaya, maka kalimat
berikut ini melanggar maksim kualitas.
“Pak Wijoyo sekarang ada di
Jakarta”.
Begitu pula kalau dia tidak tahu di mana Pak Wijoyo
berada, maka kalimat tersebut juga melanggar maksim kualitas.
3.
Maksim hubungan (Relation)
“Berbicaralah yang relevan.” Maksim hubungan dapat
dikatakan relevan apabila memiliki sekurang-kurangnya dua aspek, yaitu 1) jenis
pengetahuan yang sesuai dengan topik dan 2) jenis pengetahuan yang bermanfaat
dalam mencapai tujuan.
Pada maksim ini kita diharapkan untuk memberikan
informasi yang relevan terhadap tujuan percakapan. Seandainya kita baru saja
diterima di sebuah universitas, dan kita ingin menceritakan jurusan apa saja
yang ada di universitas tersebut.
“.......ini salah satu universitas negeri di Jakarta.
Kampusnya asri dan sejuk. Banyak pohon-pohon besar sehingga
membuat suasana kampus menjadi sejuk. Kampusnya juga luas dan memiliki ruang
kelas yang nyaman....dst.
Informasi mengenai suasana, pohon, ruang kelas, dsb
itu tidak relevan. Gambaran seperti ini telah keluar dari tujuan percakapan
tadi.
Begitu juga kalau menurut pembicara si pendengar tidak
tahu siapa yang dibicarakan, maka kalimat berikut ini tidak mempunyai makna
bagi pendengar.
“Unpris bekerja di Universitas Negeri Jakarta sebagai
seorang dosen”.
Baru setelah ditambah dengan
informasi yang relevan, komunikasi menjadi tidak terganggu.
“Unpris, kakak saya, bekerja sebagai seorang dosen di
UNJ”.
Jadi, dapat disimpulkan maksim
hubungan ini berkaitan dengan kesesuaian antara topik yang ingin diceritakan
dengan isi cerita, selain itu apa yang dibicarakan antara pembicara dan
pendengar harus saling mengetahui.
4.
Maksim cara
“Sajikanlah dengan jelas”
“Hindarilah ketidakjelasan pernyataan”
“Hindarilah kedwiartian”
“Singkatlah”
“Teraturlah”
Dalam berkomunikasi, orang juga harus mengungkapkan
pikirannya secara jelas. Pemilihan kata yang tepat, agar tidak terjadi
kesalahan dalam memahami apa yang disampaikan. Selain itu, dalam menyampaikan
informasi, sebaiknya satu topik pembahasan, agar apa yang disampaikan dapat
dipahami pendengar dengan baik. Jadi, maksim cara ini berkaitan dengan
ketepatan pemilihan kata dan kekonsistenan dalam berbicara agar tidak terjadi
kesalahan dalam penafsiran.
Kepatuhan peserta konversasi terhadap prinsip dan
maksim akan berujung pada terciptanya komunikasi yang efektif. Sebaliknya,
pelanggaran terhadap prinsip dan maksim mengakibatkan terciptanya
kesalahpahaman komunikasi, yang berarti tidak tercipta komunikasi yang efektif.
Pertanyaannya adalah “Apakah dalam
komunikasi semata-mata hanya mengejar keefektifan dan efisiensi komunikasi?”
Jawabnya adalah tidak. Terdapat
tujuan lain yang juga menjadi bagian integral percakapan, yakni sopan santun
percakapan. Dalam konteks ini, kita dapat memanfaatkan prinsip kesantunan yang terdiri dari enam maksim yang
rumusannya berikut ini:
1. Maksim kebijaksanaan
Buatlah kerugian orang lain sekecil
mungkin, dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Gagasan dasar maksim kebijaksanaan dalam
prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang
pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur
yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan
sebagai orang santun. Apabila di dalam
bertutur orang berpegang teguh pada maksim kebijaksanaan, ia akan dapat
menghindarkan sikap dengaki, iri hati, dan sikap-sikap lain yang kurang santun
terhadap mitra tutur. Rasa sakit hati dalam sebuah pertuturan juga dapat
diminimalisir dengan maksim ini.
2. Maksim kedermawanan
Kurangi keuntungan diri sendiri dan
tambahi pengorbanan diri sendiri.
Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Jika setiap orang melaksanakan inti pokok maksim kedermawanan dalam ucapan dan perbuatan dalam pergaulan sehari-hari, maka kedengakian, iri hati, sakit hati antara sesama dapat terhindar. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
3. Maksim penghargaan
Kurangi cacian pada orang lain. Tambahi
pujian pada orang lain.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para perserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Perserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tidakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya.
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para perserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Perserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan bertutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian karena tindakan mengejek merupakan tidakan tidak menghargai orang lain. Karena merupakan perbuatan tidak baik, perbuatan itu harus dihindari dalam pergaulan sesungguhnya.
4. Maksim kesederhanaan
Kurangi pujian pada diri sendiri,
tambahi cacian pada diri sendiri.
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, keserderhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai paremeter penilaian kesantunan seseorang.
5. Maksim permufakatan
Kurangi ketidaksesuaian antara diri
sendiri dengan orang lain. Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan
orang lain.
Maksim permufakatan seringkali disebut
dengan maksim kecocokan. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para pererta
tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan
bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan
mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat
dikatakan bersikap santun.
6. Maksim simpati
Kurangi antipasti antara diri sendiri
dengan orang lain.
Perbesar simpati antara diri sendiri
dengan orang lain.
Di dalam maksim kesimpatisan, diharapkan
agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang
satu dengan pihak lainnya. Sikap antipasti terhadap salah seorang peserta tutur
akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Masyarakat tutur Indonesia, sangat
menjunjung tinggi rasa kesimpatisan terhadap orang lain ini di dalam komunikasi
kesehariaanya. Orang yang bersikap antipasi terhadap orang lain, apalagi sampai
bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu
sopan santun di dalam masyarakat.
Kepatuhan pelaku percakapan terhadap maksim kesantunan
berujung pada hasil komunikasi yang santun, komunikasi yang dapat “meminyaki”
relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra kita terhormat dan tidak sakit hati,
komunikasi yang dapat “menyelamatkan muka”. Sebaliknya, pelanggaran terhadap
maksim kesantunan mengakibatkan terciptanya komunikasi yang tidak santun,
komunikasi yang dapat meretakkan relasi sosial, komunikasi yang membuat mitra
kita terhina dan sakit hati, komunikasi yang dapat “mengancam muka”.
Walaupun teori dari tutur kata telah membuat
kontribusi yang mengesankan untuk kajiaan pragmatik dalam arti kata. Teori tindak tutur kata memiliki beberapa batasan yang
melekat, ada perbedaan yang besar antara relatif baik didefinisikan kisah
seperti menjanjikan atau mengancam dan menyatakan, menegaskan, menggambarkan,
atau mempertanyakan semua ini dikelompokkan menjadi satu sebagai ilokusi tindakan (Searle, 1969: 23). Tidak ada cara yang jelas untuk
menetapkan keadaan dan tujuan yang mana harus diberikan pada pernyataan atau
menerangkan menurut kriteria yang disediakan pada tindakan dari menjanjikan.
Jika seseorang mengatakan:
1) Aku janji dan
2) Aku meminta maaf.
Teks ini cukup transparan karena mengucapkan itu sendiri adalah tindakan. Kata kerja untuk
tindakan-tindakan tersebut sering disebut performatif. Dan penggunaan mereka
yang umum dalam bidang hukum dan parlemen.
Contoh: 1 Dengan ini saya menunda pertemuan
2) Sekarang saya mengucapkan anda sebagai
suami dan istri,
Namun komunikasi sehari-hari jauh
lebih beragam dan sangat kurang transparan. Banyak hal yang
diucapkan secara eksplisit. Orang-orang tidak mungkin untuk mengatakan hal
seperti ini.
Contoh: 1) Dengan ini saya
mencoba untuk mendapatkan anda untuk memenuhi rencana saya dan
2) Dengan ini saya mencoba untuk membujuk anda untuk menghasilkan pandangan yang paling berguna
untuk saya.
Jadi, sebagai pembicara atau menulis, sangat dituntut
untuk dapat menerapkan intensioanlitas yang tepat dalam menghasilkan sebuah
teks, baik itu lisan maupun tulisan agar apa yang ingin disampaikan dapat
diterima baik oleh pendengar atau pembicara.
2. Akseptabilitas
Keberterimaan (acceptability). Aseptabilitas adalah kebalikan dari standar intensionalitas.
Keberterimaan, menurut de Beaugrande
& Dressler (1986:7) berkenaan dengan sikap penikmat atau penerima
teks (text receiver’s) dalam memandang bahwa teks yang dihasilkan oleh
penghasil teks yang bersifat konstitutif yang semata-mata untuk mencapai teks
yang kohesif dan koheren itu mempunyai kegunaan dan relevansi bagi penikmat.
Munculnya rumusan tesis atau tujuan secara eksplisit dalam karya ilmiah,
misalnya, memudahkan penikmat atau penerima teks dalam menerima apa yang
dihasilkan oleh penghasil teks. Dengan demikian, ada kemudahaan pada diri
penerima untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai oleh penghasil teks.
Dalam arti yang lebih luas dari istilah,
"penerimaan" akan menggolongkan penerimaan sebagai kesediaan aktif
untuk berpartisipasi dalam wacana dan berbagi tujuan. Dengan demikian Penerimaan merupakan tindakan dalam haknya sendiri (van
Dijk 1977c), dan termasuk interaksi wacana, dengan segala konsekuensi yang
ada. Menolak penerimaan secara
konvensional dilakukan dengan sinyal eksplisit, sebagai contoh:
[110] Saya terlalu sibuk untuk berbicara sekarang.
[111] Saya tidak peduli untuk membicarakannya
Dalam hal ini, dapat diasumsikan untuk
menyiratkan penerimaan.
Penerimaan dari tujuan orang lain
mungkin timbul dari motivasi yang beragam. Komunikasi yang sukses sangat
menuntut kemampuan penerima dalam mendeteksi atau menyimpulkan tujuan pesan
dari peserta lain dengan berdasarkan apa yang telah mereka katakan. Dengan cara
yang sama, penghasil teks harus mampu mengantisipasi tanggapan dari penerima
akan kah mendukung ataukah bertentangan dengan apa yang telah direncanakan,
atau penghasil teks harus mampu berspekulasi tentang sikap penerima teks yang memaksimalkan probabilitas
bahwa penerima akan merespon seperti yang diinginkan oleh produsen/ penghasil teks. Dalam hal ini, konteks sangat memegang
peranan penting dalam intensionalitas dan penerimaan dalam berkomunikasi.
C. Kesimpulan
Ø Jika kohesi dan koherensi berpusat pada teks,
intensionalitas berpusat pada pengguna (user). Intensionalitas
atau kebermaksudan adalah sikap pengujar (penghasil teks) mengenai serangkaian
peristiwa pengujarannya. Intensionalitas merupakan
cara-cara atau usaha-usaha untuk menyampaikan maksud atau pesan pembicaraan
melalui sikap bicara, intonasi, dan ekspresi wajah.
Ø Akseptabilitas berkaitan dengan penerima teks. apakah pesan
dan tujuan yang disampaikan oleh
pembicara atau penulis dapat dipahami
dengan baik dan benar oleh pendengar atau pembacara pesan tersebut,
sehingga komunikasi dapat tercapai dengan baik.
Ø Sebagai Contoh:
A Unpris : Ra, tolong ambil foto copy kita di depan ya.
B Ira :
Aduh, lagi tanggung, Mbak.
Keteragan:
Intensionalitas dari contoh ini
terletak pada saat Unpris mengucapkan kalimat tersebut, tentunya didukung oleh
intonasi, eksperesi wajah, dan gerak tubuh yang tepat, sehingga Ira sebagai
penerima teks dapat memahami apa maksud dan tujuan dari teks tersebut. Sehingga
keberterimaan teks tersebut dapat dipahami oleh Ira.
Dalam menghasilkan teks, tentunya
ada teks lisan dan teks tertulis. Dalam teks lisan, intensionalitas dapat
dituangkan melalui cara bicara dengan intonasi yang tepat, ekspresi wajah, dan
gerak tubuh yang sesuai dengan ujaran yang akan dihasilkan. Sedangkan dalam
teks tertulis, intensionalitas dapat dituangkan melalui penggunaan tanda baca
yang tepat, dan pemilihan kata yang tepat, sehingga antar kalimat, antar
paragraf dapat dimengerti oleh pembaca. Sehingga apa yang disampaikan, baik itu
teks tertulis maupun teks llisan yang dihasilkan oleh penguajar dapat diterima
dan dipahami oleh pembaca atau pendengar.
DAFTAR
PUSTAKA
Brown, Gillian dan
George Yule, 1996 (di Indonesiakan oleh I. Soetikno). Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dardjowidjojo, Soenjono,
2010. Psikolinguistik: Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
De Beaugrande, R. and
Dressler, 1981. Introduction to Text
Linguistics. London: Longman.
Safnil, 2010. Pengantar Analisis Retorika Teks.
Bengkulu: FKIP UNIB Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar