Kamis, 14 Juli 2016

PENDEKATAN STRUKTURAL DAN TEORI TINDAK TUTUR

Oleh: Agus Supriyadi, Dian Kardijan, dan Marlon Irwan Ranti

Abstrak
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pendekatan structural dalam analisis wacana kritis dan teori tindak tutur. Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Kalimat “Disini panas sekali!” dapat memiliki bermacam arti di berbagai situasi berbeda. Bisa jadi, si penutur hanya menyatakan fakta keadaan udara saat itu, meminta orang lain membukakan jendela atau menyalakan AC, atau bahkan keluhan/complain. Oleh karena itu, kemampuan sosiolinguistik, termasuk pemahaman mengenai tindak tutur sangat diperlukan dalam berkomunikasi karena anusia akan sering dihadapkan dengan kebutuhan untuk memahami dan menggunakan berbagai jenis tindak tutur, dimana masing-masing jenis tersebut dapat diwujudkan melalui berbagai macam strategi.

Kata Kunci: Wacana kritis, structural, dan tindak tutur


LATAR BELAKANG
1.    PENDEKATAN
            Pemahaman dasar Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks. Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi dan kekuasaan. Tujuan utama analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman dalam wacana yang berkontribusi pada penghasilan hubungan yang tidak imbang antar peserta wacana. Analisis tidak hanya bertumpu pada satu ancangan tunggal, melainkan selalu multidisiplin. Analisis wacana kritis berusaha menyingkap ideologi berdasarkan strategi penggambaran positif terhadap diri sendiri (positive self-representation) dan penggambaran negatif terhadap pihak lain (negative other-representation).
Analisis wacana kritis adalah masalah yang berorientasi pada transdisciplinary suatu teori dan metode yang telah banyak digunakan dalam penelitian pendidikan. Mungkin ini begitu umum karena banyak bidang keahlian yang ada diantara penelitian pendidikan dan analisis wacana kritis. Untuk memulai, berikut beberapa pertimbangannya. Pertama, praktik pendidikan dianggap peristiwa komunikatif; oleh karena itu masuk akal bahwa analisis wacana akan berguna untuk menganalisis cara di mana teks-teks, tuturan, dan interaksi semiotik lainnya yang akan dikaji berdasarkan waktu dan konteks. Kedua, studi wacana menyediakan cara tertentu sebagai konseptualisasi interaksi yang kompatibel dengan perspektif sosial budaya dalam penelitian pendidikan (GutiƩrrez, 2008; Lewis, Enciso, & Moje, 2007).
Asumsi bersama adalah bahwa wacana dapat dipahami sebagai praktek sosial multimodal. Artinya, wacana mencerminkan dan membangun dunia sosial melalui banyak sistem tanda yang berbeda. Karena sistem makna yang terjebak dalam formasi politik, sosial, ras, ekonomi, agama, dan budaya yang terkait dengan praktek-praktek didefinisikan secara sosial yang membawa kurang lebih istimewa dan nilai dalam masyarakat, mereka tidak dapat dianggap netral (lihat BLOMMAERT 2005; Fairclough & Wodak, 1997).
Sebuah wilayah ketiga commensurability adalah bahwa studi wacana dan penelitian pendidikan keduanya paradigma berkomitmen sosial yang membahas masalah melalui berbagai perspektif teoritis. Pendekatan penting untuk analisis wacana mengakui bahwa penyelidikan pembuatan makna selalu juga di eksplorasi ke dalam kekuasaan. Banyak masalah yang dibahas, terutama dalam sistem dunia global, harus dilakukan dengan kekuasaan dan ketidaksetaraan. CDA menyediakan alat untuk mengatasi kompleksitas gerakan di situs pendidikan, praktek, dan sistem di dunia di mana kesenjangan dalam lingkup global. Karena kecenderungan refleksif wacana kritis studi-berakar dalam hubungan konstitutif antara wacana dan sosial dimana bidang tertentu terus tumbuh dan berubah, menanggapi masalah dengan cara yang berbeda dalam memandang, pemahaman dan, sebagai praktisi berharap untuk bertindak.
 
Sebuah Catatan Tentang Terminologi
Ada banyak pendekatan untuk analisis wacana kritis. Beberapa ahli menyebut pendekatan mereka sebagai Analisis Wacana Kritis (CDA, dalam huruf kapital semua). Ini adalah varietas yang cenderung dikaitkan dengan Norman Fairclough dan orang-orang yang bekerja dalam tradisi itu. Ada berbagai teori dan metode yang terkait dengan pertanyaan kritis dalam praktik bahasa yang dapat disebut analisis kritis wacana (cda, huruf kecil). Karya ini berbagi asumsi bahwa karena bahasa adalah praktek sosial dan karena tidak semua praktek-praktek sosial diciptakan dan diperlakukan sama, semua analisis bahasa secara inheren penting.
           Dengan demikian, kita mungkin merujuk pada pendekatan penting untuk analisis wacana (BLOMMAERT, 2005; Gee, 2004). 
Mengambil Stok Pendekatan Kritis untuk Analisis Wacana Lebih dari tiga dekade telah berlalu sejak penerbitan buku yang berpengaruh, Bahasa dan Kontrol oleh Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (1979) dan Bahasa dan Ideologi oleh Gunther Kress dan Robert Hodge (1979). 
               Beberapa pendekatan yang terkenal untuk analisis wacana kritis meliputi: metode wacana-historis (van Leeuwen & Wodak, 1999; Wodak, 2001; Wodak, 2005); linguistik fungsional sistemik (Fairclough, 2003; Kress, 1976; van Leeuwen, 2008); Studi sociocognitive (van Dijk, 1993); analisis wacana Perancis (mis Foucault, 1972; Pecheux, 1975); semiotika sosial (Hodge & Kress, 1988; Kress, 2009; Lemke, 2002; van Leeuwen, 2008); dan etnografi kritis komunikasi (BLOMMAERT, 2001; Collins & Blot, 2003). Sementara individu cenderung untuk mendapatkan hubungan dengan pendekatan tertentu.

2.      TEORI TINDAK TURUR
Tindak tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Bahasa merupakan alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Bahasa selalu muncul dalam bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.  Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi (fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya.
 Dilihat dari segi pendengar atau teman bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini, bahasa itu tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, atau permintaan.
Dua orang filosofi John Austin dan John Searle mengembangkan bentuk teori tindak tutur sebagai pijakan dasar yang menyatakan bahwa bahasa digunakan untuk melakukan tindakan, jadi pundamental pemahamannya terfokus pada bagaimana makna dan tindakan yang dihubungkan dengan bahasa. Pentingnya keberadaan teori tindak tutur memberikan bimbingan terhadap analisis wacana, misalnya, bagaimana suatu tuturan dapat mengungkapkan lebih dari satu tindak tutur dalam satu waktu, dan bagaimana hubungan antara konteks dan daya ilokusi.[1]
Teori tindak tutur menurut Austin merupakan pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Austin (1962), mengemukakan mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadin karena kebanyakan ujaran merupakan tindak tutur yang mempunyai daya. Daya tersebut terangkum dalam tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary acts), tindak ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary acts). Selanjutnya, Searle (1969) mengembangkan tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi yang merupakan ide-ide dari Austin digabungkan ke dalam teori linguistic dengan tataran kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang terkandung pada kata, frasa, dan kalimat.
Dalam makalah ini akan dibahas konsep dan ide-ide Austin dan Searle dalam bentuk wacana dengan tahapan yang berbeda tetapi berhubungan dalam aplikasi teori tindak tutur pada analisis wacana yang menganalaisis bagaimana mengidentifikasi tuturan sebagai tindak tutur dan bagaimana menganalisis urutan dari tindak tutur yang selanjutnya mengaji beberapa hal yang muncul dari analisis tersebut sehingga dapat disimpulkan sebagai ancangan tindak tutur pada wacana.

3.    DEFINISI TEORI TINDAK TUTUR
Ide-ide yang disampaikan Austin berkaitan dengan teori tindak tutur digabungakan ke dalam teori linguistik yang dikembangkan oleh Searle dengan memunculkan pentingnya inventarisasi/klasifikasi tindakan secara tunggal dapat diasosiasikan lebih dari satu tindakan yang mengarah pada teori tindak tutur pada tataran makna, penggunaan, dan tindakan yang akan membimbing pada suatu analisis tertentu.
a.      Austin : dari Performatif ke Tindak Tutur
Ide Austin dalam buku How to Do Things with Words (1962) bersifat argumentatif dan provokatif yang pada awalnya membedakan tuturan deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Austin berpendapat bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah (dengan pengetahuan secara luas), sedangkan performatif tidak dievaluasi sebagai benar-salah tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Catatan Austin bahwa beberapa tuturan tampak seperti bukan mengarah pada pernyataan yang tidak menggambarkan sesuatu, tetapi tuturan berupa kalimat, atau bagian kalimat untuk melakukan suatu tindakan yang tidak lazim dideskripsikan untuk menyatakan sesuatu. Perbedaan yang mendasar sebagai tuturan performatif atau tuturan konstatif yaitu pernyataan deklaratif benar atau tidaknya dapat diukur. Berikut contoh tuturan yang bersifat performatif :
I do (take this women to be my lawful wadded wife)- as uttered in the course of t he marriage ceremony.
(saya putuskan (memilih wanita ini sebagai istri yang sah) – seperti ungkapan pada upacara pernikahan.

Contoh di atas memberikan beberapa kualitas yang mencakup jenis kata kerja tertentu (kata kerja performatif) menunjukkan tindakan tertentu bila dituturkan dalam konteks tertentu yang mencakup latar (dalam upacara perkawinan, mengucap janji).

I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana)
Performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan hadir di sana)

Ciri-ciri tindak performatif sebagai berikut : a) Diucapkan oleh orang pertama; b)  Orang yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu; c)  Bersifat indikatif (mengandung pernyataan tertentu);  d) Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan tersebut.
Tindak performatif tidak hanya membutuhkan kondisi yang sesuai saja tetapi memerlukan penggunaan bahasa yang tepat. Jadi performatif biasanya sesuai dengan konteks tertentu dan kondisi teks. Tuturan performatif (performative utterance) adalah tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan si pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga. Austin mengklasifikasikan kondisi yang menyertai tuturan dari tindakan sebagai performatif yang sesuai dengan keadaan yang menyelaraskan tuturan dengan kondisi yang dimaksud. Kondisi tersebut menyebabkan suatu tindakan yang bervariasi meliputi eksistensi prosedur konvensioanl yang berdampak pada konvensional tertentu; adanya orang pada kondisi tertentu; prosedur yang tepat dan lengkap; serta pikiran, perasaan dan maksud tertentu.
Contoh tindak performatif:
“Saya memberikan dan mewariskan jam kepunyaan saya ini kepada saudara saya.”

 “the cat is on the mat”
“I promise to be there”
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti, masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah, apakah si penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk melontarkan ucapan seperti itu.
Contoh tindak konstatif :
“Saya melihat seekor kuda nil di kebun binatang Ragunan Jakarta”

Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Kita dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki, atau mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan si penutur kepada kita. Oleh karena itu Austin menegaskan bahwa pada hakekatnya ucapan konstatif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan histori atau peristiwa nyata.
Perlu digarisbawahi bahwa konstatif dan performatif merupakan hal yang berbeda. Konstatif merupakan deklaratif yang kebenarannya dapat ditentukan, sementara performartif merupakan deklaratif yang melakukan tindakan. Dapat disimpulkan bahwa semua perkataan mempunyai kualitas yang dengan mudah dapat dilihat pada karakteristik konstatif dan performatif yang perhatiannya tidak pada tataran kalimat lagi, tetapi pada isu sebuah tuturan dalam situasi tuturan.
Perbedaan konstatif dan performatif yang dikemukakan oleh Austin pada dasarnya merupakan kondisi yang menentukan satu jenis tuturan yang diaplikasikan dengan baik, dan jenisnya dapat dibedakan dengan petunjuk formal. Jadi perbedaan konstatif dan performatif menurut Austin dapat membantu mengungkapkan pandangan pada dua aspek kondisi yang mempengaruhi tindak tutur: Konteks (yang membuat tuturan benar dan sesuai), dan Teks (bagaimana yang dituturkan sesuai dengan yang dilakukan). Penerapan konstatif yaitu benar / salah  sementara penerapan performatif yaitu tepat / tidak tepat. Jadi kondisi performatif untuk menjadi tepat mempunyai hubungan kebenaran yang sama dengan tuturan performatif yang dalam pernyataan konstatif dengan makna lain.
Dapat dipahami bahwa performatif sesuai dengan kondisi kontekstual dan tekstual tertentu. Kondisi kontekstual bagi performatif tidak berbeda jenisnya dari konstatif yang mencakup benar dan salah. Austin menetapkan analisis performatifnya dengan suatu bahasan kata kerja performatif. Perbedaan antara performatif eksplisit (dengan kata kerja) dan performatif pokok (tanpa kata kerja) Austin menyatakan bahwa walaupun kata kerja performatif tidaklah perlu bagi tuturan performatif, hanya dengan membuat ciri-ciri situasi tuturan tertentu yang eksplisit melalui tuturan sebuah performatif tidaklah mempunyai kata kerja oleh tindakan tertentu. Kata kerja performatif masih memegang peranan penting dalam kerangka Austin.
Austin membagi tindak tutur ke dalam komponen-komponen tindakan. Secara khusus dalam teori tindak tutur dibahas tentang “tindakan” dan ada tiga tindakan yang mempengaruhi isu dari sebuah tuturan. Tindak lokusi mencakup ekspresi tuturan dengan menggunakan suara dan kata-kata dengan makna. Hal ini tampaknya mencakup keseluruhan kelompok konstantif, misalnya “mengatakan sesuatu”. Tindak ilokusi merupakan tindakan yang dilakukan dalam wujud perkataan yang mencakup tindakan dipandang sebagai performatif. Tindak Perlokusi adalah efek nyata yang berhubungan dari tuturan dan interlokutornya. Jadi semua tindakan tersebut merupakan tindakan yang menghasilkan tindak tutur total dengan kata-kata yang digunakan dijelaskan oleh konteks dimana hal tersebut dijadikan percakapan nyata dalam perubahan antar bahasa.

b.    Searle : dari Kondisi sampai Kaidah
Searle mengenalkan beberapa ide yang memberikan pentingnya penerapan teori tindak tutur terhadap wacana yang menyatakan bahwa tindak tutur merupakan unit dasar dari komunikasi yang prinsipnya menggabungkan teori tindak tutur dengan teori bahasa. Prinsip/teori tersebut sangatlah mungkin  bagi penutur untuk dapat mengatakan dengan tepat apa yang dia maksud dengan pengetahuan bahasanya.
Prinsip pengungkapan mempunyai beberapa dampak yang berbeda yang menyebabkan makna, ketidakjelasan, makna ganda dan ketidaklengkapan keluar dari makna dalam komunikasi bahasa. Jadi tindak tutur dipandang sebagai unit komunikasi dasar yang secara eksplisit menggabungkan tindak tutur dengan studi bahasa (produksi dan interpretasi) dan makna (makna tuturan dan makna bahasa). Artinya terdapat hubungan antara maksud dari tindak tuturan, apa yang dimaksud penutur, apa makna kalimat yang dituturkan (elemen bahasa), apa keinginan penutur, apa yang dimengerti kawan penutur dan apa kaidah yang mengatur elemen bahasa.
Kaidah tindak tutur merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang dapat digunakan dalam tindak tutur, sehingga orang dapat membagi kaidah untuk membentuk perkataan sesuai makna. Searle menyatakan berbicara dalam suatu bahasa akan membentuk tingkah laku yang diatur sebagai keahlian dalam penuturan sesuai kalimat yang diharapkan berhasil terungkap dengan kaidah khusus yang disebut konstitutif. Sementara kaidah regulative berlawanan (secara bebas dengan bentuk-bentuk tingkah laku). Bentuk dua jenis kaidah tersebut mencerminkan status mereka yang berbeda. Kaidah regulative dinyatakan sebagai imperative, tetapi kaidah konstitutif lebih rinci sesuai dengan konteks.
Searle mengelompokkan kondisi dan kaidah menurut kebutuhan mereka sesuai dengan jenis kondisi yang berbeda menurut aspek teks dari konteks yang dipakai dalam kondisi atau kaidah kondisi yang berbeda juga melebihi sebagian daripada komponen tindak tutur yang berbeda. Ungkapan kata (morfem dan kalimat) merupakan suatu tindak tuturan yang acuannya adalah proposisional seperti pada tindakan menyatakan, menanyakan, memerintahkan dan menjanjikan yang semuanya itu merupakan tindak ilokusi yang diatur oleh kaidah bahwa mereka mempunyai maksud, mempunyai sebuah nama, dan mereka adalah pembicara yang sedang melakukan tuturan dengan teman bicara dalam kata-kata. Efek tindak ilokusi yaitu efek tindakan, pikiran, dan keyakinan kawan tutur merupakan tindak perlokusi.
Kondisi atau kaidah proposisional sangat tekstual yang berisi untuk perjanjian. Kondisi atau kaidah yang penting adalah maksud tuturan. Jadi setiap kaidah menekankan pada perbedaan aspek. Kaidah proposisional hanya menekankan pada kandungan tekstual, kaidan persiapan menekankan pada kondisi latar belakang, kaidah kejujuran menekankan pada psikologikal pembicara, dan kaidah yang esensial menekankan pada ilokusi terhadap apa yang dikatakan.
Sebelumnya Searle menyatakan hubungan antara maksud pembicara pada makna tuturan kalimat yang diinginkan pembicara walaupun maksud dan tujuan tuturan terkadang terpisah dari makna kalimat. Dalam analisis penggunaan harus mencakup aspek tujuan dan konvensional dari makna yang terdapat hubungan diantaranya. Berdasarkan urutan kata, tekanan intonasi, tanda baca, kata kerja dan kata kerja performatif dapat mendukung kondisi dimana mengatakan sesuatu akan menyebabkan jenis perbuatan tertentu.
Dalam tataran belajar bahasa, makna dan komunikasi, Searle menempatkan tindak tutur sebagai unit dasar komunikasi bahasa manusia dalam kegiatannya. Tindak tutur dilakukan melalui penggunaan prosedur konvensional yang digunakan melalui kegiatan yang menunjukkan alat mereka terbentuk oleh kaidah konstitutif (pengetahuan merupakan bagian dari kemampuan berbahasa). Jadi, teori tindak tutur menganalisis cara makna dan kegiatan yang dikomunikasikan dalam bahasa. Struktur semantic bahasa dianggap sebagai penggunaan konvensional dari suatu kaidah konstitutif dan tindak tutur merupakan kegiatan yang dilakukan dengan tuturan yang sesuai dengan kaidah konstitutif.

c.    Taksonomi Tindak Tutur
Searle berpendapat bahwa kategori tindak ilokusi merupakan bagian teori tindak tutur yang penting. Identitas tindak tutur merupakan hasil dari kaidah konstitutif yang mengelompokkan tindak tutur dan tipe tindak tutur pada hubungan antar aturan dan hubungan antar tindakan yang merupakan pusat komunikasi bahasa.
Selanjutnya, untuk mencerminkan jenis kondisi yang berbeda Searle mengkategorikan berdasarkan prinsip taksonomi ke dalam lima kelompok tindak tutur: 1) representatif (misalnya “menuntut”); 2) komisif (misalnya “janji”), 3) direktif (misalnya “permintaan”), 4) ekspresif (misalnya “terima kasih”), dan 5) deklaratif (misalnya “penunjukkan”). Dalam kelompok ini, ada tiga prinsip yang sama dan selebihnya dibedakan oleh prinsip yang digunakan sedikit komprehensif.
Prinsip taksonomi yang berhubungan dengan bagian maksud percakapan. Bagian direktif (misalnya, permintaan, memesan) merupakan bentuk usaha oleh pembicara untuk menyuruh kawan tutur melakukan sesuatu. Bagian komisif (misalnya, janji) berupaya menyertakan pembicara terhadap kegiatan mendatang. Representatif dibentuk atas kata-kata yang sesuai dengan keadaan, misalnya mendesak, menyatakan yang disesuaikan dengan keadaan. Secara psikologi pernyataan yang dinyatakan oleh representatif misalnya “keyakinan”. Pernyataan direktif psikologi adalah “ingin”, dan pernyataan komisif psikologis adalah “maksud”. Satu prinsip yang membedakan dari kategori umum adalah pertama direktif, misalnya “mendesak” dan “menyarankan” dan kedua adalah komisif, misalnya, “sumpah” dan “menerka”. Prinsip lainnya berdasarkan pada proposisional.
Singkatnya dapat disimpulkan bahwa tindak tutur dapat dikelompokkan menjadi criteria kelompok dan subkelompok dengan prinsip. Komunikasi bersandar pada pemahaman nama dan jenis tinda tutur. Bagaimana Petutur dan kawan petutur dikenal dan tuturan dikelompokkan sebagai jenis tindakan tertentu sebagai unit bahasa yang dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan kaidah yang baku.

d.    Fungsi Ganda dan Tindak Tak Langsung
Berdasarkan klasifikasi tindak ilokusi, Searle menunjukkan ada beberapa hal terbatas yang kita lakukan dengan bahasa. “kita berpendapat bagaimana orang berpikir sesuatu, kita mencoba memperoleh apa yang dikerjakannya, kita berusaha menyuruhnya untuk melakukan berbagai hal, kita berbuat sendiri, kita menyatakan perasaan, sikap kita dan mengubahnya melalui ujaran”. Dalam analisisnya, kalimat tidak langsung menggambarkan tentang kondisi yang mendasari tindak tutur. Suatu tindak tutur tak langsung dinyatakan sebagai satu perkataan dimana satu tindakan dilakukan dengan cara penggunaan tindakan lainnya (tindakan harfiah).
Suatu tindak tutur dapat melakukan lebih dari satu hal. Beberapa tuturan mempunyai fungsi ganda, karena dalam satu tindakan dilakukan oleh orang lain. Hal tersebut merupakan ungkapan kalimat tidak langsung. Kondisi yang mendasari tindak tutur memberikan suatu sumber analisis tidak langsung, kondisi tersebut memungkinkan mempunyai peranan kritis dalam pengetahuan jenis tindak tutur. Apabila lebih dari satu tindakan dan dilakukan oleh satu tuturan, maka kondisi tuturan itu mempunyai hubungan yang sistematis satu dengan yang lainnya. Jadi, hubungan antara kondisi yang menyebabkan tuturan untuk melakukan lebih dari satu hal pada saat yang sama.

e.    Ringkasan : Makna, Penggunaan dan Tindakan
Teori tindak tutur pada dasarnya berhubungan dengan apa yang “dilakukan” oleh orang dengan bahasa dengan fungsi bahasa itu sendiri. Akan tetapi, fungsi yang ditekankan adalah sama dengan maksud dari komunikasi yang dilakukan melalui prosedur konvensional yang diberi tanda. Dalam tindakan yang dilakukan secara baik ini, mungkin tindak yang dilakukan satu tuturan tidaklah mudah untuk diketahui. Karena beberapa tuturan sedikit muncul kemiripan pada permukaan sebagai dorongan ilokusi yang mendasarinya.
Pada tataran penekanan fungsi bahasa, teori tindak tutur sedikit berterima dengan tuturan secara actual daripada dengan jenis tuturan. Bahasa dapat melakukan sesuatu hal – melakukan tindakan, karena orang menggunakan kaidah baku yang membuat tindak dan menyebabkan menandai tuturan sebagai jenis tindak tertentu. Hal ini merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang menggambarkan keadaan masyarakat sebagai “fakta sosial” (misalnya pengetahuan tentang sosial, kewajiban, identitas), juga pengetahuan tentang tata bahasa.

4.  ANALISIS CONTOH: PERTANYAAN, PERMINTAAN, PENAWARAN
Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan salah satu bagian fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian bahasa interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal balik. Dalam kegiatan sehari-hari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan, mengontrol percakapan, dan lain-lain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi, izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik pembicaraan, (3) meminta penjelasan, pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih terinci, dan (4) mengembangkan percakapan.
Pertanyaan, sebagai satuan kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat tertentu, dapat dikaji berdasarkan kaidah linguistik dan kaidah pragmatik. Kaidah linguistik yang dimaksud di sini adalah kaidah-kaidah yang berlaku menurut system internal bahasa tertentu, misalnya menyangkut tata bahasa dan tata bunyi. Sementara kaidah pragmatik menyangkut sisi eksternal bahasa yang mengemban suatu fungsi tertentu seperti fungsi pesan (meminta informasi, saran, konfirmasi, dan lain-lain), mengemban tatahubungan, interaksi, dan konteks penggunaan bahasa (Searle, 1969).
Masalah yang diangkat dalam tulisan ini merupakan bagian dari ilmu pragmatik, yaitu mengkaji fungsi pragmatik yang terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh peserta percakapan. Masalah ini akan dikaji dengan menggunakan teori tindak tutur Searle. Tindak tutur yang dimaksud adalah seperti yang diutarakan oleh Searle (1969) dan Austin (1962) bahwa “...speaking a language is performing speech acts, acts such as making statements, giving commands, asking questions, making promises, and so on.”
Beberapa pendapat dan konsep inti yang kritis terhadap teori tidak tutur sudah kita bahas, mari kita lihat bagaimana itu diaplikasikan dalam analisis tidak tutur. Teori tindak tutur memberikan kerangka acuan kerja untuk mengetahui kondisi yang mendasari proses produksi dan pemahanan tuturan yang dilakukan sebagai tindakan. Tuturan memperlihatkan tindakan yang berbeda sebab situasi (Austin) dan oleh karena pengetahuan yang kita miliki mengenai situasi dan aturan yang merancang tindakan lain.
Menurut Austin (1962:100) menyatakan bahwa kata-kata merupakan hal yang mesti di jelaskan melalui konteks dimana pemakaian antar bahasa dibentuk dan digunakan. Sementara ahli bahasa yang lain (seperti, Cole dan Morgan 1975) mengandalkan pada tuturan untuk menganalisis tindak tutur melalui tuturan yang ia buat sebagai data hipotesis yang sesuai dengan konteknya (dalam hal ini, ia mengikuti pendapat Searle (1969:50).

4.1 Mengidentifikasi Tuturan sebagai Tindak Tutur
Dalam bagian ini, akan ditunjukan bagaimana kalimat Henry “Anda ingin sebuah permen?” dapat dimaknai sebagai sebuah pertanyaan (3.1.1), suatu permintaan (3.1.2), dan suatu tawaran 3.1.3). Bagian ketiga aspek ini terhubung masing-masing (3.1.4). Pada bagian ini yang ditekankan adalah proses pengenalan ungkapan sebagai urutan tindak tutur. Terdapat dua alasan yang mengarah pada topik dan masalah yang nampaknya agak sulit jika diberikan suatu pertanyaan penting terkait dua alas an itu, yaitu: 1). Menganalisis proses tindak tutur sebagaimana yang diketahui adalah merupakan bagian kritis dari teori tindak tutur. 2). Cara para ahli dalam menganalisis proses ini dapat membentuk suatu bagian inti dari tindak tutur berbahasa terhadap analisis tuturan.

4.1.1 Anda ingin sebuah permen? Sebagai suatu pertanyaan
Sebagaimana kita ketahui bahwa teori tindak tutur menentukan kondisi dasar yang berfokus pada ujaran yang digunakan untuk merealisasikan secara jeli terhadap tindak tutur tersebut. Sesuai dengan konteksnya, kaidah ini sangat memerlukan pertimbangan mengenai apa yang hendak ia katakana, misalnya, karena janji merupakan suatu kewajiban yang harus ditepai pada waktu yang akan datang maka mitra atau kawan tutur menganggap bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu janji yang menggunakan kata kerja bentuk lampau, tidak bisa melakukan sesuatu di waktu yang akan dating juga dianggap merugikan kawan bicara atau tutur dan ini merupakan masalah social dan nilai individu.
           Untuk mengidentifikasi pertanyaan Anda ingin sebuah permen? Sebagai sebuah pertanyaan, kita perlu mempertimbangkan bagaimana kaidah linguistic sesuai dengan konteksnya. Kita mulai dengan kaidah Searle (1969:66) untuk pertanyaan, kemudian mempertimbangkan bagaimana kita berargumen bahwa Henry menggunakan kaidah tersebut. Berikut kaidah Searle.
Question               ‘Pertanyaan”
Types of rule        “tipe kaidah”

Proposional contents   : Any proposition or propositional function

Preparatory      a




Persiapan         a




                         b


                         b
S does not know “the answer” i.e. does not know if the preposition is true, or in the case of the propositional function, does not know the information needed to complete the preposition truly.

S tidak tau “jawaban” yaitu tidak tahu apakah preposisi itu benar, atau dalam hal fungsi proposional, tidak mengetahui informasi yang diperlukan untuk melengkapi preposisi yang benar.

it is not obvious to both S and H that H will  provide the information at that time without being asked.

ini tidak jelas bagi keduanya antara S dan H bahwa H akan memberikan sebuah informasi yang tidak ditanyakan.

Sincerely               : S wants this information
“kejujuran              : S ingin informasi ini
Essential               : Counts as an attempt to elicit this information from H
“Esensi                  : upaya untuk mendapatkan informasi dari H
Kaidah tersebut diatas menunjukan bahwa sebuah pertanyaan diatur dengan tatacara sebagai berikut: Pembicara kurang mengetahui hubungan tertentu dan ingin mendapatkan pengetahuan melalui informasi yang diberikan oleh mitra tutur. Kemudian, mari kita kaji apakah bentuk “kamu ingin permen?” merupakan sebuah pertanyaan. a. pertimbangkan bahwa akan membantu jika “Anda ingin sebuah permen?” dapat dipertimbangkan sebagai bentuk pertanyaan. Kalimat pertanyaan berfungsi sebagai pertanyaan sebab kalimat Tanya proposisinya tidak lengkap, ia memenuhi aturan preparatory Searle.
           Ada dua jenis pertanyaan yaitu pertanyaan tertutup dan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah subjek dan kata kerjanya terbalik (Contoh: Apakah Andi ingin pergi? Apakah Betty disana?. Pertanyaan ini tidak lengkap, sebab preposisinya tidak benar atau kurang lengkap. (Kita tidak mengetahui secara pasti apakah “Andi ingin pergi” benar atau tidak. Sehingga dapat diasumsikan dengan ya atau tidak. Sedangkan pertanyaan terbuka juga mempunyai inversi subjek/kata kerja bantu yang diawali dengan WH (who, what, when, which, how, where, why) yang menentukan apakah kalimat itu lengkap atau tidak. Contoh pertanyaan misalnya “siapa di sana”, menjelaskan bentuk yang belum lengkap. Sebab, pertanyaan ini bersifat terbuka karena penutur kekurangan informasi yang cukup terkait dengan kelengkapan preposisi yang benar.          Tetapi, beda halnya dengan kalimat ini” Anda ingin permen? Dengan disertai tanda Tanya. Ini menandakan bahwa intonasi naik dibagian akhirnya. Penelitian mengenai intonasi menyatakan bahwa intonasi naik pada beberapa jenis kalimat pertanyaan. Menurut Bolinger (1982), menyatakan bahwa intonasi naik manakala menyampaikan ketidaklengkapan unsur –unsur lain khususnya tentang pemahaman mitra tutur.
           Fungsi intonasi naik dapat dikaitkan dengan kondisi yang melatarbelakangi sebuah pertanyaan. Contoh:
Telepon bordering:
a.    Hello? Hello?
b.    Yeh, hi. This is Debby, David’s mother?
c.    Oh hi…how are you.

Intonasi naik pada kata 'Hello?' (a) dibuat untuk fungsi ganda sebagai jawaban dan pertanyaan tersebut kepada siapa ditujukan (Schegloff, 1972), intonasi naik dengan mengidentifikasi penelepon (ibunya David?) (b) menyatakan fungsi gandanya sebagai jawaban terhadap Hello? Dan, usaha untuk memperoleh pengenalan diri.
(5) adalah contoh dari telepon di mana saya memberikan jumlah keamanan sosial saya terhadap agen perusahaan asuransi.
(5)    DEBBY   One two four? 'Satu dua empat?'
 AGEN   Um’' Um'
 DEBBY      Three two? 'Tiga dua?'
 AGEN   Okay. ' Oke'
 DEBBY      Nine four six six. 'Sembilan empat enam enam'

Dalam percakapan (5), saya membagi jumlah urutan dan me­nunjukkan intonasi naik pada dua segmen pertama. Segmen terakhir mempunyai intonasi menurun.

Contoh terakhir adalah (6).

(6) ZELDA
(a)
The following year, his son, who ha-was eighteen years

DEBBY
(b)
(c)
(d)
old just graduating from high school. 'Tahun depan, anaknya, yang berusia 18 tahun baru saja lulus dari sekolah tinggi'.
We walking through the em ... the fourntain, Logan Square
Library?
'Sedang berjalan melaluinya Perpustakaan Logan
Square?'
Y'know that fountain? 'Anda tahu sumber air itu?'
Yell. 'Ya'
ZELDA
(e)
Bare footed,and stepped om a-a bare wire.


'Kaki telanjang dan menginjak kabel telanjang'.

Dalam percakapan (6), Zelda menceritakan kepada saya tentang dokter tetang­ganya (Schiffrin 1988 b) dan mengatur posisi penting pada poin inti dalam ceritanya. Dia menunjukkan bahwa informasi dalam (b) dan (c) dengan intonasi naik untuk memperoleh pengenalan lokasi. Walaupun untuk beberapa makna tertentu dengan intonasi naik, dalam contoh berikut ini dibedakan sebagai berikut: S mendapat dari H, respons tentang sesuatu yang responsnya telah S teruskan terhadap ketidakpastian dari H, kemudian S berupaya mencapai tujuan atau tindakan lainnya yang tergantung pada informasi yang diterima oleh H. Fungsi intonasi naik ini mendekati pemenuhan kejujuran preparatori dan kondisi pertanyaan yang penting. Intonasi naik menan­dakan ketidakpastian S tentang bagaimana informasi yang akan diberikan H. Jadi apa yang S inginkan adalah informasi tentang penerimaan infor­masi H yang tidak dipunyai S dan S berusaha memperoleh dari H.
Perhatikan kembali kalimat, Anda ingin permen? Intonasi yang digunakan dalam kalimat ini menggunakan preparatori, ke­jujuran, dan kaidah pertanyaan lainnya. Selain itu juga mengacu pada makna kata 'ingin' sebab kata-kata seperti ingin (suka, merasa) menjabarkan pernyataan internal terhadap orang yang dapat diduga. Kemudian, karena 'ingin' adalah subjektif, maka sebuah pernyataan merupakan sesuatu yang mesti ditanggapi. Sehingga apabila S menanyakan keinginan H, tergantung H setuju atau tidak (Labov dan Fanshel 1977).
Lebih lanut, Anda ingin permert? yang disampaikan oleh S memberiknn informasi (kaidah awal) dan dihihung sebagai upaya untuk memperoleh informasi dari H (kaidah utama). Analisis kalimat tentang Anda ingin permen? Kalau kita perhatikan bahwa  tuturan ini bentuknya adalah pe­ngurangan kalimat tanya. Sebab kita sering menekankan pada kualitas bahasa lainnya, Anda ingin permen? Yaitu intonasi dan makna yang tampak­nya sebagai indikator aturan yang sama. Jadi, pertimbangan ter­hadap kualitas bahasa dari 'Anda ingin permen?' bermakna bahwa tuturan Henry menggunakan salah satu kaidah per­tanyaan (S tidak tahu jawabannya).
Dalam sebuah diskusi S, setiap berbicara tentang tanggung jawab H untuk memberikan infor­masi pada S, kita dapat mengubah kaidah persiapan menuju kaidah utama dari pertanyaan-alasannya bahwa Anda ingin permen? merupa­kan usaha S untuk memperoleh informasi dari H. Kemudian sebuah ekspresi yang tidak menentu yang tidak diceritakan kepada kita bahwa Anda ingin permen? merupakan usaha untuk memperoleh informasi dari H: orang sering berekspresi tidak menentu tentang suatu pekerjaan tanpa mencoba untuk memperoleh informasi dari orang lain untuk dapat memutuskan yang tidak menentu itu: Karena H mengonfirmasi­kan (atau tidak) apa yang telah dikatakan oleh S tentangnya, bahwa Anda ingin permen? merealisasikan aturan atau persiapan awal dan aturan-aturan utama tentang pertanyaan.

4.1.2 "Anda ingin permen?" sebagai permintaan informasi
Selain sebagai pertanyaan, kalimat ini juga mengidentifikasi bentuk direktif, khususnya permintaan informasi. Tetapi perlu diketahui bahwa permintaan dan pertanyaan memiliki tautan yang mirip dan rumit dalam teori tindak tutur. 1) menekankan pada perbedaannya, perlu di ingat bahwa direktif berbeda dengan pertanyaan, struktur sintaktik sering dianggap yang paling jelas petunjuknya yaitu imperatif (contohnya, Kemarilah) sedangkan struk­tur dasar pertanyaan dianggap sebagai kalimat tanya. Hubungan problematik antara pertanyaan dan permintaan digambarkan oleh fakta bahwa Inti dari analisis permintaan seperti 'Bisakah Anda memberiku garam?' adalah bagaimana kaidah itu dapat dipahami.
Sehingga jelaslah bahwa untuk beberapa direktif memiliki bentuk yang langsung. Seseorang dapat mengatakan; Saya minta Anda datang pukul 9.00, saya minta Anda membayar pajak, Saya ingatkan Anda untuk tinggal jauh dari sini. Jadi, permintaan ini dilakukan dalam beberapa cara yang berbeda (Ervin Tripp 1976; Gordon dan Lakoff 1975; Pufahl 1988; Searle 1975).  Sekarang lihat pada contoh "Y' want a piece of candy?" untuk mengetahui bahwa pertanyaan itu menjadi permintaan. Marilah kita mulai dengan kondisi berterima (felicity conditioats) Searle (1969:66):


PERMINTAAN
Jenis kaidah
Proposional :


Future act A of H
'Kegiatan A tindakan dari H'.
Preparatory
(a)


H is able to do A. S believes H is able to do A.

(b)
'H dapat melakukan A. S yakin H dapat melakukan
A.'
It is not obvious to both S and H that H will do A in the
normal course of events of his own accord.
'Tidak jelas bagi S dan H bahwa H akan melaku­
kan A dalam keadaan normal'.

Sincerity         : S wants H to do A.
'S ingin H melakukan A'.
Esential                      Counts as an attetnpt to get H fo do A.
'Sebagai usaha menyuruh H melakukan A'.


Kaidah untuk permintaan harus jelas: kaidah tersebut sangat umum apalagi kaidah pertanyaan. Permintaan dan pertanyaan sama-sama memberikan beberapa kondisi yang sama,

Preparatory
It is not obvious to both S and H that H will:
do A in the normal course of                       provide the information at that
events of his own accord        time without being asked
'Tidak jelas bagi S dan H bahwa H akan:
melakukan A sesuai keinginannya        memberikan informasi tanpa
[permintaan]                                       ditanya [pertanyaan].
Sincerity S wants:
H to do A                                                                this information
'S ingin H melakukan A                                  'informasi ini' permintaan'
[permintaan]                                                         [pertanyaan] Essential
-Cowits as an attempt to elicit this information from H
Mengharapkan sebagai usaha memperoleh informasi dari (H).'

Contoh perbandingan tersebut menunjukkan bahwa preparatori, sinseriti, dan kondisi esensinya bagi kalimat tanya dan permintaan adalah sama. Per­bedaan antara pertanyaan dan permintaan adalah apa yang pembicara inginkan melalui permintaan ('melakukan A').
Kesimpulannya bahwa 'Anda ingin permen?' adalah pertanyaan dan permintaan. Kemudian kita melihat di bagian berikutnya "Anda ingin permen?" masih mempunyai identitas yaitu sebagai penawaran.
4.1.3 "Anda ingin permen?" sebagai suatu penawaran
Pertanyaan yang berkaitan dengan "Anda ingin permen?" adalah pertanyaan (3.1.1) dan permintaan sebuah informasi (3.1.2), kalimat tersebut juga menyatakan sebagai tawaran. Untuk menemukan label berbahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengelompokkan daya ilokusi adalah penting. Ahli analisis bahasa mengatakan bahwa mitra tutur pada dasarnya setuju dengan bahasa yang dilakukan dengan tuturan tertentu. Secara detailnya yaitu dengan menemukan unit yang diinginkan oleh S, bahwa H dapat me­lakukan tindak berikutnya.
Kemudian, kalimat "Anda ingin permen?" dapat berwujud sebagai suatu penawaran jika terikat dengan fungsinya sebagai pertanyaan dan permintaan. Hubungan antara pertanyaan/permintaan dan penawaran juga menggambarkan adanya aspek penting dalam penerapan teori berbahasa pada kalimat: kedua fungsi tersebut adalah banyak karena memiliki hubungan antara kondisi dasarnya.
Mari kita perhatikan perbedaan antara direktif dan komisif; direktif adalah usaha oleh S untuk menyuruh H melakukan A. Komisif adalah komitmen dari S untuk melakukan A bagi H. Bebe­rapa tuturan bisa sebagai permintaan tetapi bukan penawaran. Bila saya minta Anda memberikan garam, saya belum memaksakan diri terhadap kegiatan apa pun. Walaupun Searle (1979: 11) dan Leech (1983: 217) menganggap bahwa undangan itu sebagai direktif, hal itu juga dapat dianalisis sebagai permintaan dan penawaran. Selanjutnya, jika saya mengundang Anda ke rumah saya untuk pesta, Saya akan menawari Anda secara berulang-ulang (Schiffrin 1981 b; 239, 40). Sehingga yang perlu dicatat  adalah Searle (1979: 11-12) menentukan arah kesesuaian yang sama kepada komisif dan direktif, akan lebih sederhana bila itu kategorinya sama. (Lihat juga pendapat Leech bahwa direktif dan komisif digabungkan ke dalam; ('Kelompok super').

4.2. Mengenal Urutan Tindak Tutur
Hadirnya situasi yang menyenangkan untuk sebuah pertanyaan, permin­taan, dan penawaran merupakan kebutuhan dari suatu respons mitra tutur. Yang harus diingat banwa pertanyaan dan permintaan adalah penting. Penawaran menghendaki H menunjukkan kesenangan tentang keinginan untuk melakukan A. Seperti ddiungkapkan oleh Taylor dan Cameron (1987: 58) "pertanyaan tentang bagaimana sebuah kalimat yang berurutan prosesnya bukanlah sesuatu yang kelihatan menonjol dalam kehidupan seorang ahli filosofi, namun bagi analis yang bekerja dengan data merupakan suatu hal yang terkait dengan klasifikasi dan identifikasi". Sehingga walaupun identifikasi kalimat perse merupakan pusat penerapan teori bahasa dan bagi teori tindak tutur sendiri, maka kombinasi tindak tutur dan urutan yang dibentuk dengan baik menjadi sangat penting untuk sebuah analisis wacana.
Walaupun dalam bagian ini berfokus pada urutan, saya memulai lagi dengan problem identifikasi unit-unit, waktu sekarang merupakan urutan unit kedua. Kita lihat bahwa sekarang juga "diidentifikasi" isu dari beberapa pendapat yang berbeda secara dramatis dari unit pada: "tempat pertama" sederhana karena unit pada "tempat kedua" menyediakan beberapa in­formasi sentral untuk mengidentifikasi unit selanjutnya. Lebih lanjut kalimat "Anda ingin permen" dapat dianalisis sebagai tiga tindak tutur yang berbeda: pertanyaan, permintaan, dan penawaran. Kesan-kesan yang ditimbulkan yakni mengikuti "Anda ingin sebuah permen? Dapat juga diklasifikasikan lebih dari satu cara yang melaku­kan respons sebagai penawaran yang multifungsional dari tawaran itu sendiri. Saya mempertimbangkan tiga respons: Irene's TIDAK (3.2.1), Zelda dia sedang diet (3.2.2), dan Irene bercerita tentang dietnya (3.2.3)'=.

4.2.1 "Tidak"-nya Irene: Jawaban, Persetujuan, dan Penolakan
Kita lihat di atas bahwa Irene mengatakan TIDAK segera setelah Henry mengatakan Anda ingin permen? Ini sagnat mudah mengidentifikasi TIDAK sebagai sebuah jawaban. Kita sebagai mitra tutur dan penganalis mengetahui isi dari sebuah pertanyaan dan untuk mengetahui bahwa dia memberikan polaritas yang terbuka. Irene memberikan informasi bahwa ia tidak ingin permen. Dia tidak menerima (menolak) tawaran permen. Meskipun tidak sesuai dengan kaidah suatu permintaan informasi, respons positif atau negatif kelihatannya belum lengkap. Andaikan Irene menjawab ya misal­nya dia mungkin disuruh menunggu Henry untuk menawarkan per­mennya atau mengambil permen. Dan jawabannya pun tampaknya tidak ada tanda kesopanan atau penjelasan.
Tetapi dalam urutannya, mengapa Irene menjawab TIDAK? Walaupun banyak analis bahasa telah menyampaikan jawaban terhadap pertanyaan ini (misalnya, Davison 1975; Green 1975). Suatu jawaban yang lebih luas dari analisis yang lebih berorientasi sosial (dibahas bab 4).


4.2.2 Kalimat Zelda "Dia sedang diet": Ekspansi dan Cerita
Setelah Irene menyatakan tidak pada Henry, Zelda mengatakan pada dia sedang diet.
(1)  Henry      :(a) Y"want apiece of candy? 'Anda ingin permen?'
Irene           : (b) No.                                   'Tidak.'
Zelda       :(c) zShes oni a diet.       'Dia sedang diet.'

Pembahasan kita tentang jawaban Zelda akan menimbulkan dua pertanyaan kritis, pertanyaan seperti ini langsung merujuk pada teori tindak tutur, untuk beberapa tindakan yang sudah kita bahas dalam bagian ini bukanlah tindakan yang termasuk dalam taksonomi yang kuno yang menekankan pada tindakan yang dinyatakan oleh kata kerja performatif (2.3). Kedua, apakah sesuatu yang dikatakan dalam urutan yang baik? Den-an kata lain apakah kita harus mengatur setiap kalimat yang mem­punyai hubungan dengan tindak tutur lainnya. Pertanyaan ini juga men­jadi pusat teori tindak tutur. Pendapat bahwa tindak tutur adalah unit dasar komunikasi meninggalkan sedikit ruangan bagi komunikasi oleh tuturan yang bukan tindak tutur.

4.2.3 Cerita "Saya sedang diet" Irene: Ekspansi dan emberitahuan
Walaupun Zelda memberitahukan penolakan Irene atas tawaran permen Henry, Irene juga menambah pemberitahuannya, pertama dengan saya sedang diet pada (e), dan selanjutnya dengan mengatakan cerita (a sampai u) tentang dietnya: Irene  : (e)
Seperti yang saya tulis di atas, di situ tidak ada kalimat saya sedang diet sebagai pelengkap pemberitahuan, tapi sejumlah cerita Irene tentang dietnya. Sajian cerita sebagai tindak tutur menumbuhkan isu penting untuk pengaplikasian teori wacana - sejak hal itu secara tidak lang­sung termasuk dalam unit wacana dapat menunjukkan tindak tutur: (saya mempertimbangkan konsekuensi pergeseran ini dalam bentuk unit pada bagian 3.3) kami proses melalui pengujian konten cerita Irene sebagai rangkaian tindak tutur dengan dunia cerita; kami juga memer­hatikan bagaimana cerita yang secara linguistik dijahit untuk dunia percakapan, yakni sebagai laporan penolakan tawaran.



4.3. Kesimpulan Analisis Sampel

Berikut adalah perbedaan tiga tuturan: Anda Ingin sebungkus permenya Henry (Henry’s y’wants a piece of candy?, Tidakah Irene (Irene’s No), Dia melakukan dietnya Zelda (Zelda’s She’s on a diet), dan cerita “Saya sedang diet’nya Irene (Irene’s “I’m on a diet” story).

 4.3.1. Tuturan dan Tindakan

Bagaimana cara mengaplikasikan tindakan dan tuturan yang dihubungkan dengan konteks kalimat Anda ingin sebungkus permen? Adalah pertanyaan, permintaan dan penawaran. Dalam menganalisis ini modelnya bervariasi. Dalam mengidentifikasi sebuah masalah, symbol-simbol linguistic perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan kerancuan. Permintaan dan penawaran berfungsi untuk memutuskan fungsi komunikatif.
        Tautan antara satu bentuk dengan berbagai fungsi yang lain tidak hanya menyoroti problem implisit dalam teori tindak tutur, tetapi juga membentuk problem baru. Contoh, kamu mau sebungkus permen?
4.3.2. Urutan Tindak Tutur

Pada bagian ini bagaimana cara kita untuk memfokuskan pada pengobservasian yang bergantung pada proses bagaimana cara memulai permulaan tindak tutur, panjang dari suatu item dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya.

5.  TEORI TINDAK TUTUR SEBAGAI ANCANGAN WACANA
Menurut Searle (1969:21), esensi dari kesadaran teori tindak tutur adalah proses untuk menampilkan tindak komunikasi melalui kata-kata. Hipotesisnya adalah setiap tindak tutur memiliki unit dasar komunikatif yang saling berkaitan dengan prinsip ekspresibilitas (apakah dapat dikatakan bermakna), mengesankan terhadap satu hubungan analitik antara tpenutur.



KESIMPULAN
Teori tindak tutur menurut Austin merupakan pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Austin (1962), mengemukakan mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat kejadin karena kebanyakan ujaran merupakan tindak tutur yang mempunyai daya.
Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan salah satu bagian fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian bahasa interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal balik. Dalam kegiatan sehari-hari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan, mengontrol percakapan, dan lain-lain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi, izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik pembicaraan, (3) meminta penjelasan, pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih terinci, dan (4) mengembangkan percakapan.



REFERENSI

Fairclough, Norman, 1995. Critical Discoure Analysis: The Critical Studi of Language. New York: Longman Group Ltd.

Roger, Rebecca, 2004. An Introduction to Critical Discourse in Education. UK: Lawrence Erlbaum Associates, Inc

Searle, John R. 1969. Speech Acts. An Essay in the Philosophy of Language.
Cambridge: Cambridge University Press.
Schiffrin, Deborah,1994. Approaches to Discourse. USA: Cambridge, Maasachusetts.



[1] Deborah Schiffrin. Approaches to Discourse. (Cambridge : Blackwell Publisher, 1994), h. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar