Oleh: Agus
Supriyadi, Dian Kardijan, dan Marlon Irwan Ranti
Abstrak
Tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk mengetahui pendekatan structural dalam analisis wacana kritis
dan teori tindak tutur. Tindak
tutur merupakan gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya. Kalimat “Disini panas sekali!” dapat memiliki bermacam arti di
berbagai situasi berbeda. Bisa jadi, si penutur hanya menyatakan fakta keadaan
udara saat itu, meminta orang lain membukakan jendela atau menyalakan AC, atau
bahkan keluhan/complain. Oleh karena itu, kemampuan sosiolinguistik, termasuk
pemahaman mengenai tindak tutur sangat diperlukan dalam berkomunikasi karena
anusia akan sering dihadapkan dengan kebutuhan untuk memahami dan menggunakan
berbagai jenis tindak tutur, dimana masing-masing jenis tersebut dapat
diwujudkan melalui berbagai macam strategi.
Kata Kunci: Wacana kritis, structural, dan tindak tutur
LATAR BELAKANG
1.
PENDEKATAN
Pemahaman
dasar Analisis Wacana Kritis (AWK) adalah wacana tidak dipahami semata-mata
sebagai objek studi bahasa. Bahasa tentu digunakan untuk menganalisis teks.
Bahasa tidak dipandang dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa dalam
analisis wacana kritis selain pada teks juga pada konteks bahasa sebagai alat
yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi dan
kekuasaan. Tujuan utama analisis wacana kritis adalah menyingkapkan keburaman
dalam wacana yang berkontribusi pada penghasilan hubungan yang tidak imbang
antar peserta wacana. Analisis tidak hanya bertumpu pada satu ancangan tunggal,
melainkan selalu multidisiplin. Analisis wacana kritis berusaha menyingkap
ideologi berdasarkan strategi penggambaran positif terhadap diri sendiri (positive
self-representation) dan penggambaran negatif terhadap pihak lain (negative
other-representation).
Analisis wacana kritis
adalah masalah yang berorientasi pada transdisciplinary suatu teori
dan metode yang telah banyak digunakan dalam penelitian pendidikan. Mungkin ini
begitu umum
karena banyak bidang keahlian yang ada diantara penelitian
pendidikan dan analisis wacana kritis. Untuk memulai, berikut
beberapa pertimbangannya. Pertama, praktik
pendidikan dianggap peristiwa komunikatif; oleh karena itu masuk akal bahwa
analisis wacana akan berguna untuk menganalisis cara di mana teks-teks, tuturan, dan interaksi semiotik lainnya yang akan
dikaji berdasarkan waktu dan konteks. Kedua, studi wacana menyediakan cara
tertentu sebagai konseptualisasi
interaksi yang kompatibel dengan perspektif sosial budaya dalam penelitian
pendidikan (GutiƩrrez, 2008; Lewis, Enciso, & Moje, 2007).
Asumsi bersama adalah
bahwa wacana dapat dipahami sebagai praktek sosial multimodal. Artinya, wacana
mencerminkan dan membangun dunia sosial melalui banyak sistem tanda yang
berbeda. Karena sistem makna yang terjebak dalam formasi politik, sosial, ras,
ekonomi, agama, dan budaya yang terkait dengan praktek-praktek didefinisikan
secara sosial yang membawa kurang lebih istimewa dan nilai dalam masyarakat,
mereka tidak dapat dianggap netral (lihat BLOMMAERT 2005; Fairclough &
Wodak, 1997).
Sebuah wilayah ketiga
commensurability adalah bahwa studi wacana dan penelitian pendidikan keduanya
paradigma berkomitmen sosial yang membahas masalah melalui berbagai perspektif
teoritis. Pendekatan penting untuk
analisis wacana mengakui bahwa penyelidikan pembuatan makna selalu juga di eksplorasi ke dalam kekuasaan. Banyak masalah yang dibahas,
terutama dalam sistem dunia global, harus dilakukan dengan
kekuasaan dan ketidaksetaraan. CDA menyediakan alat untuk mengatasi
kompleksitas gerakan di situs pendidikan, praktek, dan sistem di dunia di mana
kesenjangan dalam lingkup global. Karena kecenderungan refleksif wacana kritis
studi-berakar dalam hubungan konstitutif antara wacana dan sosial dimana bidang tertentu terus tumbuh dan
berubah, menanggapi masalah dengan cara yang berbeda dalam memandang, pemahaman
dan, sebagai praktisi berharap untuk bertindak.
Sebuah Catatan Tentang Terminologi
Ada banyak pendekatan untuk analisis wacana kritis. Beberapa ahli menyebut pendekatan mereka sebagai Analisis Wacana Kritis (CDA, dalam huruf kapital semua). Ini adalah varietas yang cenderung dikaitkan dengan Norman Fairclough dan orang-orang yang bekerja dalam tradisi itu. Ada berbagai teori dan metode yang terkait dengan pertanyaan kritis dalam praktik bahasa yang dapat disebut analisis kritis wacana (cda, huruf kecil). Karya ini berbagi asumsi bahwa karena bahasa adalah praktek sosial dan karena tidak semua praktek-praktek sosial diciptakan dan diperlakukan sama, semua analisis bahasa secara inheren penting.
Dengan demikian, kita mungkin merujuk pada pendekatan penting untuk analisis wacana (BLOMMAERT, 2005; Gee, 2004).
Mengambil Stok Pendekatan Kritis untuk Analisis Wacana Lebih dari tiga dekade telah berlalu sejak penerbitan buku yang berpengaruh, Bahasa dan Kontrol oleh Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew (1979) dan Bahasa dan Ideologi oleh Gunther Kress dan Robert Hodge (1979).
Beberapa pendekatan yang terkenal untuk analisis wacana kritis meliputi: metode wacana-historis (van Leeuwen & Wodak, 1999; Wodak, 2001; Wodak, 2005); linguistik fungsional sistemik (Fairclough, 2003; Kress, 1976; van Leeuwen, 2008); Studi sociocognitive (van Dijk, 1993); analisis wacana Perancis (mis Foucault, 1972; Pecheux, 1975); semiotika sosial (Hodge & Kress, 1988; Kress, 2009; Lemke, 2002; van Leeuwen, 2008); dan etnografi kritis komunikasi (BLOMMAERT, 2001; Collins & Blot, 2003). Sementara individu cenderung untuk mendapatkan hubungan dengan pendekatan tertentu.
2.
TEORI TINDAK TURUR
Tindak tutur merupakan
gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungan ditentukan oleh
kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Bahasa merupakan
alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi
manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan,
maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Bahasa selalu muncul dalam
bentuk tindakan atau tingkah tutur individual. Dalam tindak tutur lebih dilihat
pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau
pribadi (fungsi emotif). Maksudnya, si penutur menyatakan sikap terhadap apa
yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa,
tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya.
Dilihat dari segi pendengar atau teman bicara,
maka bahasa itu berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar.
Dalam hal ini, bahasa itu tidak hanya membuat pendengar melakukan sesuatu,
tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal
ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang
menyatakan perintah, himbauan, atau permintaan.
Dua orang filosofi John
Austin dan John Searle mengembangkan bentuk teori tindak tutur sebagai pijakan
dasar yang menyatakan bahwa bahasa digunakan untuk melakukan tindakan, jadi
pundamental pemahamannya terfokus pada bagaimana makna dan tindakan yang
dihubungkan dengan bahasa. Pentingnya keberadaan teori tindak tutur memberikan
bimbingan terhadap analisis wacana, misalnya, bagaimana suatu tuturan dapat
mengungkapkan lebih dari satu tindak tutur dalam satu waktu, dan bagaimana
hubungan antara konteks dan daya ilokusi.[1]
Teori tindak tutur
menurut Austin merupakan pembedaan tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Austin
(1962), mengemukakan mengucapkan
sesuatu adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk
membuat kejadin karena kebanyakan
ujaran merupakan tindak tutur yang mempunyai daya. Daya tersebut terangkum
dalam tiga tindakan secara bersamaan, yaitu (a) tindak lokusi (locutionary
acts), tindak ilokusi (illocutionary acts) dan tindak perlokusi (perlocutionary
acts). Selanjutnya,
Searle (1969) mengembangkan tindak lokusi, tindak ilokusi dan tindak perlokusi
yang merupakan ide-ide dari Austin digabungkan ke dalam teori linguistic dengan
tataran kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang terkandung pada kata,
frasa, dan kalimat.
Dalam makalah ini akan
dibahas konsep dan ide-ide Austin dan Searle dalam bentuk wacana dengan tahapan
yang berbeda tetapi berhubungan dalam aplikasi teori tindak tutur pada analisis
wacana yang menganalaisis bagaimana mengidentifikasi tuturan sebagai tindak
tutur dan bagaimana menganalisis urutan dari tindak tutur yang selanjutnya
mengaji beberapa hal yang muncul dari analisis tersebut sehingga dapat
disimpulkan sebagai ancangan tindak tutur pada wacana.
3.
DEFINISI TEORI TINDAK
TUTUR
Ide-ide yang disampaikan Austin berkaitan dengan teori tindak tutur
digabungakan ke dalam teori linguistik yang dikembangkan oleh Searle dengan
memunculkan pentingnya inventarisasi/klasifikasi tindakan secara tunggal dapat
diasosiasikan lebih dari satu tindakan yang mengarah pada teori tindak tutur
pada tataran makna, penggunaan, dan tindakan yang akan membimbing pada suatu
analisis tertentu.
a.
Austin : dari
Performatif ke Tindak Tutur
Ide
Austin dalam buku How to Do Things with Words (1962) bersifat argumentatif dan provokatif yang pada awalnya membedakan tuturan deskriptif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif.
Austin berpendapat bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah (dengan pengetahuan
secara luas), sedangkan performatif tidak
dievaluasi sebagai benar-salah tetapi sebagai tepat atau tidak tepat (dengan prinsip kesahihan). Catatan Austin bahwa
beberapa tuturan tampak seperti bukan mengarah pada pernyataan yang tidak
menggambarkan sesuatu, tetapi tuturan berupa kalimat, atau bagian kalimat untuk
melakukan suatu tindakan yang tidak lazim dideskripsikan untuk menyatakan
sesuatu. Perbedaan yang mendasar sebagai tuturan performatif atau tuturan
konstatif yaitu pernyataan deklaratif benar atau tidaknya dapat diukur. Berikut
contoh tuturan yang bersifat performatif :
I do (take this women to be my lawful wadded
wife)- as uttered in the course of t he marriage ceremony.
(saya
putuskan (memilih wanita ini sebagai istri yang sah) – seperti ungkapan pada
upacara pernikahan.
Contoh di atas memberikan beberapa kualitas yang mencakup jenis kata
kerja tertentu (kata kerja performatif) menunjukkan tindakan tertentu bila
dituturkan dalam konteks tertentu yang mencakup latar (dalam upacara perkawinan,
mengucap janji).
I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan
hadir di sana)
Performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan
hadir di sana)
Ciri-ciri
tindak performatif sebagai berikut : a) Diucapkan oleh orang pertama; b) Orang
yang mengucapkannya hadir dalam situasi tertentu; c) Bersifat
indikatif (mengandung pernyataan tertentu);
d) Orang yang mengucapkannya terlibat secara aktif dengan isi pernyataan
tersebut.
Tindak performatif tidak hanya membutuhkan kondisi yang
sesuai saja tetapi memerlukan penggunaan bahasa yang tepat. Jadi performatif
biasanya sesuai dengan konteks tertentu dan kondisi teks. Tuturan performatif (performative utterance) adalah tuturan yang
memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan si pembicara dan bahwa
dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
Austin mengklasifikasikan kondisi yang menyertai tuturan dari tindakan sebagai
performatif yang sesuai dengan keadaan yang menyelaraskan tuturan dengan
kondisi yang dimaksud. Kondisi tersebut menyebabkan suatu tindakan yang
bervariasi meliputi eksistensi prosedur konvensioanl yang berdampak pada
konvensional tertentu; adanya orang pada kondisi tertentu; prosedur yang tepat
dan lengkap; serta pikiran, perasaan dan maksud tertentu.
Contoh tindak performatif:
“Saya memberikan dan mewariskan jam kepunyaan
saya ini kepada saudara saya.”
“the cat is on the mat”
“I promise to be
there”
Dari contoh di atas, kita melihat bahwa peranan si
penutur (saya) bertautan erat dengan apa yang diucapkannya. Ini berarti,
masalah utama yang terkandung dalam ucapan performatif adalah, apakah si
penutur mempunyai wewenang (kewajaran atau kelaikan) untuk melontarkan ucapan
seperti itu.
Contoh tindak konstatif :
“Saya melihat seekor
kuda nil di kebun binatang Ragunan Jakarta”
Pernyataan di atas merupakan ucapan konstatif, sebab
menggambarkan keadaan faktual atau peristiwa yang dapat diperiksa benar atau
salahnya. Ujaran konstatif memiliki daya untuk menjadi benar atau salah. Kita
dapat membuktikan kebenaran ucapan seperti itu dengan melihat, menyelidiki,
atau mengalami sendiri hal-hal yang telah diucapkan si penutur kepada kita.
Oleh karena itu Austin menegaskan bahwa pada hakekatnya ucapan konstatif itu
berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan histori atau peristiwa
nyata.
Perlu digarisbawahi bahwa konstatif dan performatif
merupakan hal yang berbeda. Konstatif merupakan deklaratif yang kebenarannya
dapat ditentukan, sementara performartif merupakan deklaratif yang melakukan
tindakan. Dapat disimpulkan bahwa semua perkataan mempunyai kualitas yang
dengan mudah dapat dilihat pada karakteristik konstatif dan performatif yang
perhatiannya tidak pada tataran kalimat lagi, tetapi pada isu sebuah tuturan
dalam situasi tuturan.
Perbedaan konstatif dan performatif yang dikemukakan
oleh Austin pada dasarnya merupakan kondisi yang menentukan satu jenis tuturan
yang diaplikasikan dengan baik, dan jenisnya dapat dibedakan dengan petunjuk
formal. Jadi perbedaan konstatif dan performatif menurut Austin dapat membantu
mengungkapkan pandangan pada dua aspek kondisi yang mempengaruhi tindak tutur: Konteks (yang membuat tuturan benar dan
sesuai), dan Teks (bagaimana yang
dituturkan sesuai dengan yang dilakukan). Penerapan konstatif yaitu benar /
salah sementara penerapan performatif
yaitu tepat / tidak tepat. Jadi kondisi performatif untuk menjadi tepat
mempunyai hubungan kebenaran yang sama dengan tuturan performatif yang dalam
pernyataan konstatif dengan makna lain.
Dapat dipahami bahwa performatif sesuai dengan kondisi
kontekstual dan tekstual tertentu. Kondisi kontekstual bagi performatif tidak
berbeda jenisnya dari konstatif yang mencakup benar dan salah. Austin
menetapkan analisis performatifnya dengan suatu bahasan kata kerja performatif.
Perbedaan antara performatif eksplisit (dengan kata kerja) dan performatif
pokok (tanpa kata kerja) Austin menyatakan bahwa walaupun kata kerja
performatif tidaklah perlu bagi tuturan performatif, hanya dengan membuat
ciri-ciri situasi tuturan tertentu yang eksplisit melalui tuturan sebuah
performatif tidaklah mempunyai kata kerja oleh tindakan tertentu. Kata kerja
performatif masih memegang peranan penting dalam kerangka Austin.
Austin membagi tindak tutur ke dalam komponen-komponen
tindakan. Secara khusus dalam teori tindak tutur dibahas tentang “tindakan” dan
ada tiga tindakan yang mempengaruhi isu dari sebuah tuturan. Tindak lokusi mencakup ekspresi tuturan
dengan menggunakan suara dan kata-kata dengan makna. Hal ini tampaknya mencakup
keseluruhan kelompok konstantif, misalnya “mengatakan sesuatu”. Tindak ilokusi merupakan tindakan yang
dilakukan dalam wujud perkataan yang mencakup tindakan dipandang sebagai
performatif. Tindak Perlokusi adalah
efek nyata yang berhubungan dari tuturan dan interlokutornya. Jadi semua
tindakan tersebut merupakan tindakan yang menghasilkan tindak tutur total
dengan kata-kata yang digunakan dijelaskan oleh konteks dimana hal tersebut
dijadikan percakapan nyata dalam perubahan antar bahasa.
b.
Searle : dari Kondisi
sampai Kaidah
Searle
mengenalkan beberapa ide yang memberikan pentingnya penerapan teori tindak
tutur terhadap wacana yang menyatakan bahwa tindak tutur merupakan unit dasar
dari komunikasi yang prinsipnya menggabungkan teori tindak tutur dengan teori
bahasa. Prinsip/teori tersebut sangatlah mungkin bagi penutur untuk dapat mengatakan dengan
tepat apa yang dia maksud dengan pengetahuan bahasanya.
Prinsip
pengungkapan mempunyai beberapa dampak yang berbeda yang menyebabkan makna,
ketidakjelasan, makna ganda dan ketidaklengkapan keluar dari makna dalam
komunikasi bahasa. Jadi tindak tutur dipandang sebagai unit komunikasi dasar
yang secara eksplisit menggabungkan tindak tutur dengan studi bahasa (produksi
dan interpretasi) dan makna (makna tuturan dan makna bahasa). Artinya terdapat
hubungan antara maksud dari tindak tuturan, apa yang dimaksud penutur, apa
makna kalimat yang dituturkan (elemen bahasa), apa keinginan penutur, apa yang
dimengerti kawan penutur dan apa kaidah yang mengatur elemen bahasa.
Kaidah
tindak tutur merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang dapat digunakan
dalam tindak tutur, sehingga orang dapat membagi kaidah untuk membentuk
perkataan sesuai makna. Searle menyatakan berbicara dalam suatu bahasa akan
membentuk tingkah laku yang diatur sebagai keahlian dalam penuturan sesuai
kalimat yang diharapkan berhasil terungkap dengan kaidah khusus yang disebut
konstitutif. Sementara kaidah regulative berlawanan (secara bebas dengan
bentuk-bentuk tingkah laku). Bentuk dua jenis kaidah tersebut mencerminkan
status mereka yang berbeda. Kaidah regulative dinyatakan sebagai imperative,
tetapi kaidah konstitutif lebih rinci sesuai dengan konteks.
Searle
mengelompokkan kondisi dan kaidah menurut kebutuhan mereka sesuai dengan jenis
kondisi yang berbeda menurut aspek teks dari konteks yang dipakai dalam kondisi
atau kaidah kondisi yang berbeda juga melebihi sebagian daripada komponen
tindak tutur yang berbeda. Ungkapan kata (morfem dan kalimat) merupakan suatu
tindak tuturan yang acuannya adalah proposisional seperti pada tindakan
menyatakan, menanyakan, memerintahkan dan menjanjikan yang semuanya itu
merupakan tindak ilokusi yang diatur
oleh kaidah bahwa mereka mempunyai maksud, mempunyai sebuah nama, dan mereka
adalah pembicara yang sedang melakukan tuturan dengan teman bicara dalam
kata-kata. Efek tindak ilokusi yaitu efek tindakan, pikiran, dan keyakinan
kawan tutur merupakan tindak perlokusi.
Kondisi atau
kaidah proposisional sangat tekstual yang berisi untuk perjanjian. Kondisi atau
kaidah yang penting adalah maksud tuturan. Jadi setiap kaidah menekankan pada
perbedaan aspek. Kaidah proposisional hanya menekankan pada kandungan tekstual,
kaidan persiapan menekankan pada kondisi latar belakang, kaidah kejujuran
menekankan pada psikologikal pembicara, dan kaidah yang esensial menekankan
pada ilokusi terhadap apa yang dikatakan.
Sebelumnya
Searle menyatakan hubungan antara maksud pembicara pada makna tuturan kalimat
yang diinginkan pembicara walaupun maksud dan tujuan tuturan terkadang terpisah
dari makna kalimat. Dalam analisis penggunaan harus mencakup aspek tujuan dan
konvensional dari makna yang terdapat hubungan diantaranya. Berdasarkan urutan
kata, tekanan intonasi, tanda baca, kata kerja dan kata kerja performatif dapat
mendukung kondisi dimana mengatakan sesuatu akan menyebabkan jenis perbuatan
tertentu.
Dalam
tataran belajar bahasa, makna dan komunikasi, Searle menempatkan tindak tutur
sebagai unit dasar komunikasi bahasa manusia dalam kegiatannya. Tindak tutur
dilakukan melalui penggunaan prosedur konvensional yang digunakan melalui
kegiatan yang menunjukkan alat mereka terbentuk oleh kaidah konstitutif
(pengetahuan merupakan bagian dari kemampuan berbahasa). Jadi, teori tindak
tutur menganalisis cara makna dan kegiatan yang dikomunikasikan dalam bahasa.
Struktur semantic bahasa dianggap sebagai penggunaan konvensional dari suatu
kaidah konstitutif dan tindak tutur merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
tuturan yang sesuai dengan kaidah konstitutif.
c.
Taksonomi Tindak Tutur
Searle
berpendapat bahwa kategori tindak ilokusi merupakan bagian teori tindak tutur
yang penting. Identitas tindak tutur merupakan hasil dari kaidah konstitutif
yang mengelompokkan tindak tutur dan tipe tindak tutur pada hubungan antar
aturan dan hubungan antar tindakan yang merupakan pusat komunikasi bahasa.
Selanjutnya,
untuk mencerminkan jenis kondisi yang berbeda Searle mengkategorikan
berdasarkan prinsip taksonomi ke dalam lima kelompok tindak tutur: 1)
representatif (misalnya “menuntut”); 2) komisif (misalnya “janji”), 3) direktif
(misalnya “permintaan”), 4) ekspresif (misalnya “terima kasih”), dan 5)
deklaratif (misalnya “penunjukkan”). Dalam kelompok ini, ada tiga prinsip yang
sama dan selebihnya dibedakan oleh prinsip yang digunakan sedikit komprehensif.
Prinsip
taksonomi yang berhubungan dengan bagian maksud percakapan. Bagian direktif
(misalnya, permintaan, memesan) merupakan bentuk usaha oleh pembicara untuk
menyuruh kawan tutur melakukan sesuatu. Bagian komisif (misalnya, janji)
berupaya menyertakan pembicara terhadap kegiatan mendatang. Representatif
dibentuk atas kata-kata yang sesuai dengan keadaan, misalnya mendesak,
menyatakan yang disesuaikan dengan keadaan. Secara psikologi pernyataan yang
dinyatakan oleh representatif misalnya “keyakinan”. Pernyataan direktif
psikologi adalah “ingin”, dan pernyataan komisif psikologis adalah “maksud”.
Satu prinsip yang membedakan dari kategori umum adalah pertama direktif,
misalnya “mendesak” dan “menyarankan” dan kedua adalah komisif, misalnya,
“sumpah” dan “menerka”. Prinsip lainnya berdasarkan pada proposisional.
Singkatnya
dapat disimpulkan bahwa tindak tutur dapat dikelompokkan menjadi criteria
kelompok dan subkelompok dengan prinsip. Komunikasi bersandar pada pemahaman
nama dan jenis tinda tutur. Bagaimana Petutur dan kawan petutur dikenal dan
tuturan dikelompokkan sebagai jenis tindakan tertentu sebagai unit bahasa yang
dihasilkan dan diinterpretasikan berdasarkan kaidah yang baku.
d.
Fungsi Ganda dan Tindak
Tak Langsung
Berdasarkan
klasifikasi tindak ilokusi, Searle menunjukkan ada beberapa hal terbatas yang
kita lakukan dengan bahasa. “kita berpendapat bagaimana orang berpikir sesuatu,
kita mencoba memperoleh apa yang dikerjakannya, kita berusaha menyuruhnya untuk
melakukan berbagai hal, kita berbuat sendiri, kita menyatakan perasaan, sikap
kita dan mengubahnya melalui ujaran”. Dalam analisisnya, kalimat tidak langsung
menggambarkan tentang kondisi yang mendasari tindak tutur. Suatu tindak tutur
tak langsung dinyatakan sebagai satu perkataan dimana satu tindakan dilakukan
dengan cara penggunaan tindakan lainnya (tindakan harfiah).
Suatu tindak
tutur dapat melakukan lebih dari satu hal. Beberapa tuturan mempunyai fungsi
ganda, karena dalam satu tindakan dilakukan oleh orang lain. Hal tersebut
merupakan ungkapan kalimat tidak langsung. Kondisi yang mendasari tindak tutur
memberikan suatu sumber analisis tidak langsung, kondisi tersebut memungkinkan
mempunyai peranan kritis dalam pengetahuan jenis tindak tutur. Apabila lebih
dari satu tindakan dan dilakukan oleh satu tuturan, maka kondisi tuturan itu
mempunyai hubungan yang sistematis satu dengan yang lainnya. Jadi, hubungan
antara kondisi yang menyebabkan tuturan untuk melakukan lebih dari satu hal
pada saat yang sama.
e.
Ringkasan : Makna,
Penggunaan dan Tindakan
Teori tindak
tutur pada dasarnya berhubungan dengan apa yang “dilakukan” oleh orang dengan
bahasa dengan fungsi bahasa itu sendiri. Akan tetapi, fungsi yang ditekankan
adalah sama dengan maksud dari komunikasi yang dilakukan melalui prosedur
konvensional yang diberi tanda. Dalam tindakan yang dilakukan secara baik ini,
mungkin tindak yang dilakukan satu tuturan tidaklah mudah untuk diketahui.
Karena beberapa tuturan sedikit muncul kemiripan pada permukaan sebagai
dorongan ilokusi yang mendasarinya.
Pada tataran
penekanan fungsi bahasa, teori tindak tutur sedikit berterima dengan tuturan
secara actual daripada dengan jenis tuturan. Bahasa dapat melakukan sesuatu hal
– melakukan tindakan, karena orang menggunakan kaidah baku yang membuat tindak
dan menyebabkan menandai tuturan sebagai jenis tindak tertentu. Hal ini
merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang menggambarkan keadaan masyarakat
sebagai “fakta sosial” (misalnya pengetahuan tentang sosial, kewajiban,
identitas), juga pengetahuan tentang tata bahasa.
4.
ANALISIS CONTOH: PERTANYAAN, PERMINTAAN,
PENAWARAN
Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan
salah satu bagian fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian
bahasa interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal
balik. Dalam kegiatan sehari-hari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh
informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan,
mengontrol percakapan, dan lain-lain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh
Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi,
izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik pembicaraan, (3) meminta penjelasan,
pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih
terinci, dan (4) mengembangkan percakapan.
Pertanyaan, sebagai satuan kebahasaan yang
digunakan oleh suatu masyarakat tertentu, dapat dikaji berdasarkan kaidah
linguistik dan kaidah pragmatik. Kaidah linguistik yang dimaksud di sini adalah
kaidah-kaidah yang berlaku menurut system internal bahasa tertentu, misalnya menyangkut
tata bahasa dan tata bunyi. Sementara kaidah pragmatik menyangkut sisi
eksternal bahasa yang mengemban suatu fungsi tertentu seperti fungsi pesan
(meminta informasi, saran, konfirmasi, dan lain-lain), mengemban tatahubungan,
interaksi, dan konteks penggunaan bahasa (Searle, 1969).
Masalah yang diangkat dalam tulisan ini
merupakan bagian dari ilmu pragmatik, yaitu mengkaji fungsi pragmatik yang
terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh peserta percakapan.
Masalah ini akan dikaji dengan menggunakan teori tindak tutur Searle. Tindak
tutur yang dimaksud adalah seperti yang diutarakan oleh Searle (1969) dan
Austin (1962) bahwa “...speaking a language is performing speech acts, acts
such as making statements, giving commands, asking questions, making promises,
and so on.”
Beberapa pendapat dan konsep inti yang kritis
terhadap teori tidak tutur sudah kita bahas, mari kita lihat bagaimana itu
diaplikasikan dalam analisis tidak tutur. Teori tindak tutur memberikan
kerangka acuan kerja untuk mengetahui kondisi yang mendasari proses produksi
dan pemahanan tuturan yang dilakukan sebagai tindakan. Tuturan memperlihatkan
tindakan yang berbeda sebab situasi (Austin) dan oleh karena pengetahuan yang
kita miliki mengenai situasi dan aturan yang merancang tindakan lain.
Menurut Austin (1962:100) menyatakan bahwa
kata-kata merupakan hal yang mesti di jelaskan melalui konteks dimana pemakaian
antar bahasa dibentuk dan digunakan. Sementara ahli bahasa yang lain (seperti,
Cole dan Morgan 1975) mengandalkan pada tuturan untuk menganalisis tindak tutur
melalui tuturan yang ia buat sebagai data hipotesis yang sesuai dengan
konteknya (dalam hal ini, ia mengikuti pendapat Searle (1969:50).
4.1 Mengidentifikasi Tuturan sebagai Tindak
Tutur
Dalam
bagian ini, akan ditunjukan bagaimana kalimat Henry “Anda ingin sebuah permen?”
dapat dimaknai sebagai sebuah pertanyaan (3.1.1), suatu permintaan (3.1.2), dan
suatu tawaran 3.1.3). Bagian ketiga aspek ini terhubung masing-masing (3.1.4).
Pada bagian ini yang ditekankan adalah proses pengenalan ungkapan sebagai
urutan tindak tutur. Terdapat dua alasan yang mengarah pada topik dan masalah
yang nampaknya agak sulit jika diberikan suatu pertanyaan penting terkait dua
alas an itu, yaitu: 1). Menganalisis proses tindak tutur sebagaimana yang
diketahui adalah merupakan bagian kritis dari teori tindak tutur. 2). Cara para
ahli dalam menganalisis proses ini dapat membentuk suatu bagian inti dari
tindak tutur berbahasa terhadap analisis tuturan.
4.1.1 Anda ingin sebuah permen? Sebagai suatu
pertanyaan
Sebagaimana
kita ketahui bahwa teori tindak tutur menentukan kondisi dasar yang berfokus
pada ujaran yang digunakan untuk merealisasikan secara jeli terhadap tindak
tutur tersebut. Sesuai dengan konteksnya, kaidah ini sangat memerlukan
pertimbangan mengenai apa yang hendak ia katakana, misalnya, karena janji
merupakan suatu kewajiban yang harus ditepai pada waktu yang akan datang maka
mitra atau kawan tutur menganggap bahwa seseorang tidak dapat membuat suatu
janji yang menggunakan kata kerja bentuk lampau, tidak bisa melakukan sesuatu
di waktu yang akan dating juga dianggap merugikan kawan bicara atau tutur dan
ini merupakan masalah social dan nilai individu.
Untuk mengidentifikasi
pertanyaan Anda ingin sebuah permen? Sebagai sebuah pertanyaan, kita perlu
mempertimbangkan bagaimana kaidah linguistic sesuai dengan konteksnya. Kita
mulai dengan kaidah Searle (1969:66) untuk pertanyaan, kemudian
mempertimbangkan bagaimana kita berargumen bahwa Henry menggunakan kaidah
tersebut. Berikut kaidah Searle.
Question ‘Pertanyaan”
Types of rule “tipe kaidah”
Proposional contents : Any proposition or propositional function
Preparatory a
Persiapan a
b
b
|
S
does not know “the answer” i.e. does not know if the preposition is true, or
in the case of the propositional function, does not know the information
needed to complete the preposition truly.
S tidak tau “jawaban” yaitu tidak tahu
apakah preposisi itu benar, atau dalam hal fungsi proposional, tidak
mengetahui informasi yang diperlukan untuk melengkapi preposisi yang benar.
it
is not obvious to both S and H that H will
provide the information at that time without being asked.
ini tidak jelas bagi keduanya antara S dan
H bahwa H akan memberikan sebuah informasi yang tidak ditanyakan.
|
Sincerely : S wants
this information
“kejujuran :
S ingin informasi ini
Essential : Counts as
an attempt to elicit this information from H
“Esensi :
upaya untuk mendapatkan informasi dari H
Kaidah tersebut diatas menunjukan bahwa sebuah pertanyaan diatur dengan
tatacara sebagai berikut: Pembicara kurang mengetahui hubungan tertentu dan
ingin mendapatkan pengetahuan melalui informasi yang diberikan oleh mitra
tutur. Kemudian, mari kita kaji apakah bentuk “kamu ingin permen?” merupakan sebuah pertanyaan. a. pertimbangkan
bahwa akan membantu jika “Anda ingin sebuah permen?” dapat dipertimbangkan
sebagai bentuk pertanyaan. Kalimat pertanyaan berfungsi sebagai pertanyaan
sebab kalimat Tanya proposisinya tidak lengkap, ia memenuhi aturan preparatory
Searle.
Ada dua jenis pertanyaan yaitu pertanyaan tertutup dan terbuka.
Pertanyaan tertutup adalah subjek dan kata kerjanya terbalik (Contoh: Apakah
Andi ingin pergi? Apakah Betty disana?. Pertanyaan ini tidak lengkap, sebab
preposisinya tidak benar atau kurang lengkap. (Kita tidak mengetahui secara
pasti apakah “Andi ingin pergi” benar atau tidak. Sehingga dapat diasumsikan
dengan ya atau tidak. Sedangkan pertanyaan terbuka juga mempunyai inversi subjek/kata
kerja bantu yang diawali dengan WH (who, what, when, which, how, where, why)
yang menentukan apakah kalimat itu lengkap atau tidak. Contoh pertanyaan
misalnya “siapa di sana”, menjelaskan bentuk yang belum lengkap. Sebab,
pertanyaan ini bersifat terbuka karena penutur kekurangan informasi yang cukup
terkait dengan kelengkapan preposisi yang benar. Tetapi, beda halnya dengan kalimat ini” Anda ingin permen?
Dengan disertai tanda Tanya. Ini menandakan bahwa intonasi naik dibagian
akhirnya. Penelitian mengenai intonasi menyatakan bahwa intonasi naik pada
beberapa jenis kalimat pertanyaan. Menurut Bolinger (1982), menyatakan bahwa
intonasi naik manakala menyampaikan ketidaklengkapan unsur –unsur lain
khususnya tentang pemahaman mitra tutur.
Fungsi
intonasi naik dapat dikaitkan dengan kondisi yang melatarbelakangi sebuah
pertanyaan. Contoh:
Telepon bordering:
a.
Hello? Hello?
b.
Yeh, hi. This is Debby, David’s mother?
c.
Oh hi…how are you.
Intonasi naik pada kata
'Hello?' (a) dibuat untuk fungsi ganda sebagai jawaban dan pertanyaan tersebut
kepada siapa ditujukan (Schegloff, 1972), intonasi naik dengan mengidentifikasi
penelepon (ibunya David?) (b) menyatakan fungsi gandanya sebagai jawaban terhadap Hello? Dan, usaha untuk
memperoleh pengenalan diri.
(5) adalah contoh dari telepon di
mana saya memberikan jumlah keamanan sosial saya
terhadap agen perusahaan asuransi.
(5) DEBBY One two four? 'Satu dua empat?'
AGEN Um’' Um'
DEBBY Three two? 'Tiga dua?'
AGEN Okay. ' Oke'
DEBBY Nine four six six. 'Sembilan empat enam enam'
Dalam percakapan (5),
saya membagi jumlah urutan dan menunjukkan intonasi naik pada dua segmen pertama.
Segmen terakhir mempunyai intonasi menurun.
Contoh terakhir adalah (6).
(6) ZELDA
|
(a)
|
The following year, his son, who ha-was eighteen years
|
DEBBY
|
(b)
(c)
(d)
|
old just graduating
from high school. 'Tahun depan, anaknya,
yang berusia 18 tahun baru saja lulus dari
sekolah tinggi'.
We walking through the em ... the fourntain, Logan Square
Library?
'Sedang berjalan melaluinya Perpustakaan Logan
Square?'
Y'know that fountain? 'Anda tahu sumber air itu?'
Yell. 'Ya'
|
ZELDA
|
(e)
|
Bare footed,and stepped om a-a bare wire.
|
|
|
'Kaki telanjang dan menginjak kabel telanjang'.
|
Dalam percakapan (6), Zelda menceritakan
kepada saya tentang dokter tetangganya (Schiffrin 1988 b) dan mengatur posisi
penting pada poin inti dalam ceritanya. Dia menunjukkan bahwa informasi dalam (b) dan (c)
dengan intonasi naik untuk memperoleh pengenalan lokasi. Walaupun untuk
beberapa makna tertentu dengan intonasi naik, dalam contoh berikut ini dibedakan sebagai
berikut: S mendapat dari H, respons tentang sesuatu yang responsnya telah S teruskan terhadap
ketidakpastian dari H, kemudian S berupaya mencapai tujuan atau tindakan
lainnya yang tergantung pada informasi yang diterima oleh H. Fungsi intonasi naik ini
mendekati pemenuhan kejujuran preparatori dan kondisi pertanyaan yang penting.
Intonasi naik menandakan ketidakpastian S tentang bagaimana informasi yang
akan diberikan H. Jadi apa yang S inginkan adalah informasi tentang penerimaan informasi H
yang tidak dipunyai S dan S berusaha memperoleh dari H.
Perhatikan kembali
kalimat, Anda ingin permen? Intonasi yang digunakan dalam kalimat ini menggunakan
preparatori, kejujuran, dan kaidah pertanyaan lainnya. Selain itu juga mengacu pada
makna kata 'ingin' sebab
kata-kata seperti ingin (suka, merasa) menjabarkan pernyataan internal
terhadap orang yang dapat diduga. Kemudian, karena 'ingin' adalah subjektif, maka sebuah
pernyataan merupakan
sesuatu yang mesti ditanggapi. Sehingga apabila S menanyakan keinginan H, tergantung H setuju
atau tidak (Labov dan Fanshel 1977).
Lebih lanut, Anda ingin permert?
yang disampaikan oleh S memberiknn informasi (kaidah awal) dan dihihung sebagai upaya
untuk memperoleh informasi dari H (kaidah utama). Analisis kalimat
tentang Anda
ingin permen? Kalau kita perhatikan bahwa tuturan ini bentuknya adalah pengurangan
kalimat tanya. Sebab kita sering menekankan pada kualitas bahasa lainnya, Anda
ingin permen? Yaitu intonasi dan
makna yang tampaknya sebagai indikator aturan yang sama.
Jadi, pertimbangan terhadap kualitas
bahasa dari 'Anda ingin permen?' bermakna bahwa tuturan Henry menggunakan salah satu kaidah pertanyaan (S tidak tahu jawabannya).
Dalam sebuah diskusi S,
setiap berbicara tentang tanggung jawab H untuk memberikan informasi pada S, kita dapat
mengubah kaidah persiapan menuju kaidah utama dari pertanyaan-alasannya bahwa Anda ingin permen? merupakan usaha S untuk memperoleh informasi dari
H. Kemudian sebuah ekspresi yang tidak
menentu yang tidak diceritakan kepada kita bahwa Anda ingin permen? merupakan usaha untuk memperoleh informasi dari H: orang sering berekspresi tidak menentu tentang
suatu pekerjaan tanpa mencoba untuk
memperoleh informasi dari orang lain untuk dapat memutuskan yang tidak menentu itu: Karena H mengonfirmasikan
(atau tidak) apa yang telah dikatakan oleh S tentangnya, bahwa Anda ingin permen? merealisasikan aturan atau persiapan awal dan aturan-aturan utama tentang pertanyaan.
4.1.2 "Anda
ingin permen?"
sebagai permintaan informasi
Selain sebagai
pertanyaan, kalimat ini juga mengidentifikasi bentuk direktif, khususnya
permintaan informasi. Tetapi perlu diketahui bahwa permintaan dan pertanyaan
memiliki tautan yang mirip dan
rumit dalam teori tindak tutur. 1) menekankan pada perbedaannya, perlu di ingat bahwa
direktif berbeda dengan pertanyaan, struktur sintaktik sering dianggap yang paling jelas petunjuknya yaitu
imperatif (contohnya, Kemarilah) sedangkan struktur dasar pertanyaan dianggap
sebagai kalimat tanya. Hubungan problematik antara pertanyaan dan permintaan digambarkan oleh
fakta bahwa Inti
dari analisis permintaan seperti 'Bisakah Anda memberiku garam?' adalah bagaimana kaidah
itu dapat dipahami.
Sehingga jelaslah bahwa
untuk beberapa direktif memiliki bentuk yang langsung. Seseorang dapat mengatakan; Saya minta Anda
datang pukul 9.00, saya minta Anda membayar
pajak, Saya ingatkan Anda untuk tinggal jauh dari sini. Jadi, permintaan ini dilakukan dalam beberapa cara
yang berbeda (Ervin Tripp 1976;
Gordon dan Lakoff 1975; Pufahl 1988; Searle 1975). Sekarang
lihat pada contoh "Y' want a piece of candy?" untuk
mengetahui bahwa pertanyaan itu menjadi permintaan. Marilah kita mulai dengan kondisi berterima (felicity conditioats) Searle (1969:66):
PERMINTAAN
Jenis kaidah
Proposional :
|
|
|
Future act A of H
'Kegiatan A tindakan dari H'.
|
||
Preparatory
|
(a)
|
H is able to do A. S believes H is able to do A.
|
|
(b)
|
'H dapat melakukan A. S yakin H dapat melakukan
A.'
It is not obvious to both S and H that H will do A in the
normal course of events of his own accord.
'Tidak jelas bagi S dan H bahwa H akan melaku
kan A dalam keadaan normal'.
|
Sincerity : S wants
H to do A.
'S
ingin H melakukan A'.
Esential : Counts as an attetnpt to get H fo do A.
'Sebagai
usaha menyuruh H melakukan A'.
Kaidah untuk permintaan
harus jelas: kaidah tersebut sangat umum apalagi kaidah pertanyaan. Permintaan dan pertanyaan
sama-sama memberikan
beberapa kondisi yang sama,
Preparatory
It
is not obvious to both S and H that H will:
do A in the normal course of provide the information
at that
events of his own accord time without being asked
'Tidak
jelas bagi S dan H bahwa H akan:
melakukan A sesuai keinginannya memberikan informasi tanpa
[permintaan] ditanya [pertanyaan].
Sincerity S wants:
H to do A this information
'S ingin H melakukan A 'informasi ini' permintaan'
[permintaan] [pertanyaan] Essential
-Cowits as an attempt to elicit this information from H
Mengharapkan sebagai usaha memperoleh informasi dari (H).'
Contoh perbandingan
tersebut menunjukkan bahwa preparatori, sinseriti, dan kondisi esensinya bagi
kalimat tanya dan permintaan adalah sama. Perbedaan antara pertanyaan dan
permintaan adalah apa yang pembicara inginkan melalui permintaan ('melakukan A').
Kesimpulannya bahwa
'Anda ingin permen?' adalah
pertanyaan dan permintaan. Kemudian kita melihat di bagian berikutnya
"Anda ingin permen?" masih mempunyai identitas yaitu sebagai penawaran.
4.1.3 "Anda ingin permen?" sebagai suatu penawaran
Pertanyaan yang
berkaitan dengan "Anda ingin permen?" adalah pertanyaan (3.1.1) dan permintaan sebuah informasi (3.1.2), kalimat
tersebut juga menyatakan sebagai
tawaran. Untuk menemukan label berbahasa yang digunakan oleh seseorang dalam mengelompokkan daya ilokusi adalah
penting. Ahli analisis bahasa
mengatakan bahwa mitra tutur pada dasarnya setuju dengan bahasa yang dilakukan dengan tuturan tertentu.
Secara detailnya yaitu dengan menemukan
unit yang diinginkan oleh S, bahwa H dapat melakukan tindak berikutnya.
Kemudian, kalimat
"Anda ingin permen?" dapat berwujud sebagai suatu penawaran jika terikat
dengan fungsinya sebagai pertanyaan dan permintaan. Hubungan antara
pertanyaan/permintaan dan penawaran juga menggambarkan adanya aspek penting dalam
penerapan teori berbahasa pada kalimat: kedua fungsi tersebut adalah banyak karena
memiliki hubungan antara kondisi dasarnya.
Mari kita perhatikan
perbedaan antara direktif dan komisif; direktif adalah usaha oleh S untuk menyuruh
H melakukan A.
Komisif adalah komitmen dari S untuk melakukan A bagi H. Beberapa tuturan bisa sebagai
permintaan tetapi bukan penawaran. Bila saya minta Anda memberikan garam, saya belum memaksakan diri
terhadap kegiatan apa pun. Walaupun Searle
(1979: 11) dan Leech (1983: 217) menganggap
bahwa undangan itu sebagai direktif, hal itu juga dapat dianalisis sebagai permintaan dan penawaran. Selanjutnya, jika saya
mengundang Anda ke rumah saya untuk
pesta, Saya akan menawari Anda secara berulang-ulang (Schiffrin 1981 b; 239, 40). Sehingga yang perlu dicatat adalah Searle (1979: 11-12) menentukan arah kesesuaian yang sama kepada komisif dan
direktif, akan lebih sederhana bila
itu kategorinya sama. (Lihat juga pendapat Leech bahwa direktif dan komisif digabungkan ke dalam; ('Kelompok super').
4.2. Mengenal Urutan
Tindak Tutur
Hadirnya situasi yang
menyenangkan untuk sebuah pertanyaan, permintaan, dan penawaran merupakan
kebutuhan dari suatu respons mitra tutur. Yang harus diingat banwa pertanyaan dan permintaan
adalah penting. Penawaran menghendaki
H menunjukkan kesenangan tentang keinginan untuk melakukan A. Seperti ddiungkapkan oleh Taylor dan Cameron (1987: 58) "pertanyaan
tentang bagaimana sebuah kalimat yang berurutan prosesnya bukanlah sesuatu yang kelihatan menonjol dalam kehidupan
seorang ahli filosofi, namun bagi analis yang bekerja dengan
data merupakan suatu hal yang terkait dengan klasifikasi
dan identifikasi". Sehingga walaupun identifikasi kalimat perse merupakan pusat penerapan teori bahasa dan bagi teori tindak
tutur sendiri, maka kombinasi tindak
tutur dan urutan yang dibentuk dengan baik menjadi sangat penting untuk sebuah analisis wacana.
Walaupun dalam bagian
ini berfokus pada urutan, saya memulai lagi dengan problem identifikasi
unit-unit, waktu sekarang merupakan urutan unit kedua. Kita lihat bahwa sekarang
juga "diidentifikasi" isu dari beberapa pendapat yang berbeda
secara dramatis dari unit pada: "tempat pertama" sederhana karena unit
pada "tempat kedua" menyediakan beberapa informasi sentral untuk
mengidentifikasi unit selanjutnya. Lebih lanjut kalimat "Anda ingin
permen" dapat dianalisis sebagai tiga tindak tutur yang berbeda: pertanyaan, permintaan,
dan penawaran. Kesan-kesan yang ditimbulkan yakni mengikuti "Anda ingin sebuah permen? Dapat juga
diklasifikasikan lebih dari satu cara yang melakukan respons sebagai
penawaran yang multifungsional dari tawaran itu sendiri. Saya mempertimbangkan tiga
respons: Irene's TIDAK (3.2.1), Zelda dia
sedang diet (3.2.2),
dan Irene bercerita tentang dietnya (3.2.3)'=.
4.2.1 "Tidak"-nya
Irene:
Jawaban, Persetujuan, dan Penolakan
Kita lihat di atas
bahwa Irene mengatakan TIDAK segera setelah Henry mengatakan Anda ingin
permen? Ini sagnat mudah mengidentifikasi TIDAK sebagai sebuah jawaban.
Kita sebagai mitra tutur dan penganalis mengetahui isi dari sebuah pertanyaan dan untuk mengetahui bahwa dia
memberikan polaritas yang terbuka.
Irene memberikan informasi bahwa ia tidak ingin permen. Dia tidak menerima (menolak) tawaran permen. Meskipun
tidak sesuai dengan kaidah suatu permintaan informasi, respons positif atau negatif kelihatannya belum lengkap. Andaikan
Irene menjawab ya misalnya dia
mungkin disuruh menunggu Henry untuk menawarkan permennya atau mengambil permen. Dan jawabannya pun
tampaknya tidak ada tanda kesopanan
atau penjelasan.
Tetapi dalam urutannya,
mengapa Irene menjawab TIDAK? Walaupun banyak analis bahasa telah menyampaikan jawaban terhadap
pertanyaan ini (misalnya, Davison 1975; Green 1975). Suatu jawaban yang lebih
luas dari analisis yang lebih berorientasi sosial (dibahas bab 4).
4.2.2 Kalimat Zelda "Dia sedang diet": Ekspansi
dan Cerita
Setelah
Irene menyatakan tidak pada Henry, Zelda mengatakan pada dia sedang diet.
(1) Henry :(a) Y"want
apiece of candy? 'Anda ingin
permen?'
Irene : (b) No. 'Tidak.'
Zelda :(c) zShes oni a diet. 'Dia sedang diet.'
Pembahasan kita tentang
jawaban Zelda akan menimbulkan dua pertanyaan kritis, pertanyaan seperti ini langsung
merujuk pada teori tindak tutur, untuk beberapa tindakan yang sudah kita bahas
dalam bagian ini bukanlah tindakan yang termasuk dalam taksonomi yang kuno yang menekankan pada
tindakan yang dinyatakan oleh kata kerja performatif (2.3). Kedua,
apakah sesuatu yang dikatakan dalam urutan yang baik? Den-an kata lain apakah kita harus mengatur
setiap kalimat yang mempunyai
hubungan dengan tindak tutur lainnya. Pertanyaan ini juga menjadi pusat teori tindak tutur. Pendapat bahwa
tindak tutur adalah unit dasar komunikasi meninggalkan sedikit ruangan bagi
komunikasi oleh tuturan yang bukan
tindak tutur.
4.2.3 Cerita
"Saya sedang diet" Irene: Ekspansi dan emberitahuan
Walaupun Zelda memberitahukan penolakan Irene
atas tawaran permen Henry, Irene juga
menambah pemberitahuannya, pertama dengan
saya sedang diet pada (e), dan
selanjutnya dengan mengatakan cerita
(a sampai u) tentang dietnya: Irene : (e)
Seperti yang saya tulis
di atas, di situ tidak ada kalimat saya sedang diet sebagai pelengkap
pemberitahuan, tapi sejumlah cerita Irene tentang dietnya. Sajian cerita
sebagai tindak tutur menumbuhkan isu penting untuk pengaplikasian teori wacana - sejak hal itu secara tidak
langsung termasuk dalam
unit wacana dapat menunjukkan tindak tutur: (saya mempertimbangkan konsekuensi pergeseran ini dalam bentuk unit pada bagian 3.3)
kami proses melalui pengujian konten cerita Irene sebagai rangkaian tindak tutur dengan dunia cerita;
kami juga memerhatikan bagaimana
cerita yang secara linguistik dijahit
untuk dunia percakapan, yakni sebagai
laporan penolakan tawaran.
4.3. Kesimpulan
Analisis Sampel
Berikut adalah
perbedaan tiga tuturan: Anda Ingin sebungkus permenya Henry (Henry’s y’wants a
piece of candy?, Tidakah Irene (Irene’s No), Dia melakukan dietnya Zelda
(Zelda’s She’s on a diet), dan cerita “Saya sedang diet’nya Irene (Irene’s “I’m
on a diet” story).
4.3.1. Tuturan dan Tindakan
Bagaimana
cara mengaplikasikan tindakan dan tuturan yang dihubungkan dengan konteks
kalimat Anda ingin sebungkus permen? Adalah
pertanyaan, permintaan dan penawaran. Dalam menganalisis ini modelnya
bervariasi. Dalam mengidentifikasi sebuah masalah, symbol-simbol linguistic
perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan kerancuan. Permintaan dan penawaran
berfungsi untuk memutuskan fungsi komunikatif.
Tautan antara satu bentuk dengan
berbagai fungsi yang lain tidak hanya menyoroti problem implisit dalam teori
tindak tutur, tetapi juga membentuk problem baru. Contoh, kamu mau sebungkus permen?
4.3.2. Urutan Tindak
Tutur
Pada bagian ini
bagaimana cara kita untuk memfokuskan pada pengobservasian yang bergantung pada
proses bagaimana cara memulai permulaan tindak tutur, panjang dari suatu item
dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya.
5.
TEORI TINDAK TUTUR
SEBAGAI ANCANGAN WACANA
Menurut Searle (1969:21), esensi dari kesadaran
teori tindak tutur adalah proses untuk menampilkan tindak komunikasi melalui
kata-kata. Hipotesisnya adalah setiap tindak tutur memiliki unit dasar
komunikatif yang saling berkaitan dengan prinsip ekspresibilitas (apakah dapat
dikatakan bermakna), mengesankan terhadap satu hubungan analitik antara
tpenutur.
KESIMPULAN
Teori tindak tutur menurut Austin merupakan pembedaan tindak lokusi,
ilokusi dan perlokusi. Austin (1962), mengemukakan mengucapkan sesuatu
adalah melakukan sesuatu dan bahasa atau tutur dapat dipakai untuk membuat
kejadin karena kebanyakan ujaran merupakan
tindak tutur yang mempunyai daya.
Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan salah satu bagian
fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian bahasa
interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal balik.
Dalam kegiatan sehari-hari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh
informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan,
mengontrol percakapan, dan lain-lain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh
Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi,
izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik pembicaraan, (3) meminta penjelasan,
pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih
terinci, dan (4) mengembangkan percakapan.
REFERENSI
Fairclough, Norman,
1995. Critical Discoure Analysis: The
Critical Studi of Language. New York: Longman Group Ltd.
Roger, Rebecca,
2004. An Introduction to Critical
Discourse in Education. UK: Lawrence
Erlbaum Associates, Inc
Searle, John R. 1969. Speech Acts. An
Essay in the Philosophy of Language.
Cambridge:
Cambridge University Press.
Schiffrin,
Deborah,1994. Approaches to Discourse. USA:
Cambridge, Maasachusetts.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar