Kamis, 08 September 2016

INTERTEKSTUAL

HUBUNGAN INTERTEKSTUAL ANTARA FILM DAN NOVEL
‘NEGERI 5 MENARA’ (N5M)  KARYA A. FUADI
=============================================================
Bejo Sutrisno (7317150069)
bjs_sutrisno@yahoo.co.id

ABSTRAK


Bagaimana unsur Novel dan Film itu berhubungan, maka perlu ditelusuri mengenai analisis intertekstual. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan/ intertekstualitas antara novel dan film Negeri 5 Menara (N5M) karya Ahmad Fuadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentuk kualitatif, yaitu mendeskripsikan hubungan intertekstual yang terdapat dalam novel  dan film Negeri 5 Menara (N5M) karya Ahmad Fuadi. Berdasarkan analisis data dalam novel dan film Negeri 5 Menara (N5M) karya Ahmad Fuadi  didapati adanya hubungan intertekstual secara structural baik dari alur, tema, latar maupun tokoh dan penokohan.

Kata Kunci: intertekstual, alur, tema, novel, film.


A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bentuk dari apresiasi karya seni yang paling banyak digemari oleh pencinta karya seni adalah novel dan film, baik novel maupun film sama-sama memiliki pencinta yang cukup banyak meskipun untuk zaman sekarang ini masyarakat khususnya kaum muda lebih banyak menyukai film. Namun bukan berarti tidak banyak yang menyukai novel. Tidak sedikit cerita yang ada di novel karena saking menariknya dan layak untuk difilmkan akhirnya cerita tersebut diangkat kedua perfilman. Meskipun demikian tidak selamanya cerita yang ada di film akan sama bagusnya atau bahkan lebih bagus atau lebih menarik ketimbang cerita yang ada di novel. Novel lebih mengandalkan kata-kata yang tertuang dalam tulisan bagaiman si penulis dapat membawa imajinasi si pembaca ke arah cerita yang dituangkannya dalam tulisan. Tentunya hal ini tidak mudah karena memerlukan kecerdasan bagaiman mengolah kata-kata dalam bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti sehingga pembaca mudah untuk menghayatinya.  Sementra film lebih mengedepankan unsur visual, bagaimana gambar-gambar itu membentuk kesan tersendiri dan memiliki daya tarik kepada penonton dan bagaimana penonton dapat terbawa kearah cerita yang di tayangkan di layar. Berbeda dengan novel yang lebih mengndalkan indera penglihatan untuk membacanya, pada tataran film, yang menjadi penekanan tidak hanya indra mata tetapi juga indra telinga. Dengan gambar yang menarik dan suara yang jelas untuk didengar. Baik novel maupun film merupakan sama-sama hasil dari  pemenuhan apresiasi sastra.
Seperti yang akan dibahas pada penelitian kecil ini yaitu novel ‘Negeri 5 Menara’ yang dikarang oleh A. Fuadi yang pertama terbit tahun 2009 dan tiga tahun kemudian novel tersebut karena banyak peminatnya kemudian diangkat ke layar lebar. Seperti yang dipaparkan di atas bahwa tidak selamanya cerita yang ada di novel sama persis atau sama menariknya setelah diangkat menjadi film. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk membandingkan kedua karya seni tersebut dari segi intertekstual dari unsur struktur dan plot dari kedua media novel dan film.
Menurut Umar Junus (1985:89) bahwa Intertekstualitas bukanlah sekadar fenomena yang berkaitan dengan pengidentifikasian kehadiran teks pada teks lain, melainkan juga berkaitan dengan masalah interpretasi. Dikatakan demikian karena kehadiran teks lain dalam suatu teks akan memberi corak atau warna tertentu pada teks itu. Interpretasi itu setidaknya berkaitan dengan pertanyaan mengapa teks lain diserap, apa fungsinya, bagaimana sikap pengarang terhadap teks lain yang diserap, dan apakah pengarang menerima, menegaskan, menentang, ataukah menolak. Di sinilah kemudian muncul maksud atau ideologi tertentu berkenaan dengan teks yang ditulisnya. Jika ditinjau lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan itu sesungguhnya berhubungan dengan proses resepsi (penerimaan) teks, yaitu bagaimana seseorang (pengarang) memperlakukan teks. Oleh sebab itu, intertekstualitas pada dasarnya identik dengan teori resepsi sastra, yaitu teori yang menitikberatkan pada respon pembaca.
Mengenai bagaimana unsur Novel dan Film itu berhubungan, maka perlu ditelusuri mengenai teori intertekstual. Menurut Culler (dalam Ratna : 2005) terdapat konsep pemahaman intertekstual berkaitan dengan aplikasi dari proses pembacaan. Konsepkonsep tersebut antara lain: recuperation (prinsip penemuan kembali), naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi biasa), motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak arbitrer atau tidak koheren), dan vraisemblation (prinsip integrasi dari satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain).
Dengan mempergunakan teori intertekstual, penelitian ini akan menganalisis bentuk transformasi dari bentuk novel ke bentuk film. Menurut Ratna (2005:221-222), teori intertekstual menganggap segala sesuatu sebagai teks. Oleh karena itu, teori intertekstual menembus batas pemisah antardisiplin. Analisis dalam penelitian ini mengangkat film yang mengambil sumber dari novel. Dengan perubahan bentuk tersebut, dapat diketahui pula fungsi perubahan yang dilakukan sebagai hasil interpretasi dari kerja intertektual. Melalui perubahan fungsi tersebut, keutuhan makna dari suatu karya, baik novel maupun film dapat tercapai.
Berkaitan dengan respon pembaca, peneliti sebagai pembaca novel ‘Negeri 5 Menara’ dan penikmat filmnya yang ditayangkan pada tahun 2012 serta dapat ditonton berulang-ulang melalui Windows Media Player, ingin membandingkan intertekstual antara novel dan film dari ‘Negeri 5 Menara tersebut dari segi struktur dan plot.
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti ingin mengangkat rumusan masalah tentang struktur dan plot yang terdapat dalam film ‘Negeri 5 Menara’ berdasar novel asli selaku hipogramnya dengan meninjau sistem sastra dan sistem filmnya. Penelitian ini juga berusaha menelaah perubahan fungsi dengan mendasarkan pada perubahan struktur dan plot yang terjadi sebagai suatu interpretasi dari analisis intertekstual antara film adaptasi dan novel aslinya dari Negeri 5 Menara’ karya Ahmad Fuadi.
2. Tujuan Penelitian                                                    
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah hubungan intertekstual alur yang terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi dengan film Negeri 5 Menara serta bagaimanakah hubungan intertekstual tema, latar, tokoh dan penokohan yang terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi dengan film Negeri 5 Menara.

3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari penelitian ini, yaitu:
1)    Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi untuk mengembangkan ilmu sastra khususnya yang berkaitan dengan intertekstualitas pada karya sastra.
2)    Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan pemahaman bagi pembaca tentang pemahaman kajian tentang hubungan intertekstualitas.

4. Kajian Teori
4.1 Pengertian Intertekstual
Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:67) bahwa Intertekstual adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain sering mendasari teks yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas yang diilhami oleh ide-ide M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan sebagainya. Selanjutnya, dalam semiotik, istilah intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang melingkungi kita (kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai sebuah ‘teks’. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain tersebut. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan. Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain.
Menurut Miller (1985:19-20), sebagai suatu istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi suatu kemajemukan konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan dalam berbagai macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam istilah teoretis dan disebarkan dalam strategi metodologi. Bagaimanapun, untuk tetap memakai bentuk tunggal untuk menandainya, meskipun hal itu tidak menyatukan konsep, merupakan variasi bentuk yang menyenangkan, apa yang disebut Wittgenstein dengan ‘pertalian keluarga’. Dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa salah satu gagasan tentang interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa ciri-ciri umum, tetapi ditemukan dalam seluruh gagasan kata. Secara singkat, tidak ada keistimewaan unsur pokok, memuaskan bagi seluruhnya, yang mengijinkan kita untuk mendefinisikan istilah tersebut.
Ratna (2010:211-212) menyatakan bahwa Interteks berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks, barasal  dari kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian, intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya.
Rohman (2012:84-85) mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek kajian yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan. Dasar asumsinya bahwa tidak ada sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya.  Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema ,bentuk, aliran, ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut (Rohman ,2012:84-85):
1)    Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel berjuta -  juta dari Deli (2006) karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856) Karya Multatuli.
2)    Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memilikin pengaruh, tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita itu sama-sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung.
Masalah lain yang perlu ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran bahwa tiruan tidak harus lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian. Penolakan terhadap tiruan dan objek lain yang dikaegorikan sebagai ‘tidak asli’ sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh adanya oposisi biner, dengan konsekuensi logis salah satu diantaranya dianggap sebagai inferior. Demikian pula halnya karya-karya yang dianggap sebagai bersumber dari karya lain, termasuk terjamahan, salinan, saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori dikategorikan sebagai bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan memanfaatkan konsep perbedaan (differance) Derridean, memandang kedua aspek sebagai memiliki dua aspek yang sejajar, tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa aspek tersebut dibicarakan.
Dalam praktik analisis interteks perlu dibedakan pengertian antara naskah, teks, dan wacana. Menurut Barthes naskah atau karya adalah bahan kasar seperti bentuk buku, lontar, disket, dan bentuk-bentuk yang dapat ditaruh di rak buku. Naskah atau karya merupakan objek studi filologi. Teks dan wacana pada umumnya merupakan sinonim. Meskipun demikian, menurut Barthes, teks hanya eksis melalui wacana. Secara praktis, teks digunakan dalam bidang sastra, wacana dalam bidang linguistik.  Masyarakat luas lebih mengenal istilah wacana (diskursus).
Teori intertekstual sangat penting dalam memahami sastra. Tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya, tidak ada karya yang tidak diciptakan dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Dalam proses interteks, konsep yang memegang peranan penting adalah hypogram. Menurut Rifaterre, hypogram sebagai struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks.
Dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual adalah sebuah teori yang berusaha untuk menemukan hubungan antara satu teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, karya sastra yang baru merupakan sebuah transformasi dari karya sastra yang telah lahir sebelumnya. Seorang pengarang ketika menulis karyanya pasti sudah terpengaruh oleh karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks yang sedang ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain. Namun pengarang tidak semata-mata hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan atau merombaknya menjadi sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang berbeda. Pada intinya, kajian intertekstual disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang muncul kemudian.

4.2   Prinsip-prinsip Intertekstual
Menurut Endraswara (2012:213) Intertekstual mengimplikasikan intersubjektifitas, pengetahuan terbagi yang diaplikasikan dalam proses membaca. Menurut para strukturalis, Culler  menyatakan ada beberapa konsep penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara maksimal. Konsep-konsep yang dimaksud, diantaranya:
1)    Recuperation (prinsip penemuan kembali),
2)    Naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi biasa),
3)    Motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak tidak arbitrer atau tidak koheren),
4)    Vriasemblation, (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain).
Todorov menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan   Ciri-ciri vriasemblation, yaitu:
a.    Sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang disebut opini umum,
b.    Hubungan teks dengan genre tertentu,
c.    Kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkannya untuk menghubungkannya dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri.
Senada dengan Todorov, Culler menjalaskan bahwa vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori interteks. Culler kemudian memberikan lima tingkat vriasemlations, lima cara untuk menghubungkan teks dengan teks lain sehingga dapat dimengerti, teks-teks yang dimaksudkan yaitu:
a.  Teks yang diambil langsung dari dunia nyata,
b.  Teks cultural general, teks dunia nyata itu sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk terhadap pola-pola kebudayaan tertentu,,
c.   Teks sebagai konvensi genre, sebagai teks artifisial literal sehingga terjadi perjanjian antara penulis dan pembaca,
d.  Teks yang dikutip baik secara implisit maupun eksplisit dari genre-genre di atas, dengaan menambah otoritas makna dan kulitas otoritasnya, dan
e.  Interekstual secara khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik pijak proses kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi.
Vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam interteks. Vriasemlation memberikan intensitas pada model-model kultural sebagai sumber makna dan koherensi. Puisi-puisi kontemporer seperti karangan Sutardji, dapat dibaca dan dimengerti dengan menemukan kembali, menaturalisasikan, menyesuaikan, dan mengintegrasikan .
Abram (1981:200) menyatakan bahwa prinsip intertekstualitas digunakan untuk memberi makna berbagai cara yang terdapat dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara terbuka, tertutup, tersamar dalam kiasankiasan atau dengan asimilasi dari karya tersebut, dari suatu teks yang lebih awal oleh teks yang lebih muda atau hanya dengan partisipasi dalam sebuah perbendaharaan umum dari kode-kode kesusasteraan dan konvensi.

4.3 Hubungan Intertekstual
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah antara karya sezaman yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah ini baik berupa persamaan ataupun pertentangan. Dengan hal demikian ini, sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubunganya dengan karya sezaman, sebelum, atau sesudahnya (Abram, 1981:200).
Menurut Pradopo (2008:167) Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi kosong kebudayaanya, termasuk dalam situasi sastranya. Dalam hal ini, karya sastra dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada, yaitu meneruskan konvensi sastra yang ada, disamping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta menyimpangi ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada.
Hubungan intertekstual berarti adanya hubungan antara satu teks dengan teks lain. Penciptaan sebuah teks selalu membutuhkan teks lain sebagai teladan dan kerangka, baik untuk penciptaan maupun pemahaman. Hubungan intertekstual dapat diketahui apabila terdapat bentuk-bentuk hubungan tertentu atau ada persamaan antara novel yang satu dengan yang lain.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertekstualitas. Hal ini ditunjukan oleh Riffatere dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubunganya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dikemukakan Riffatere bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya sesudahnya itu disebut hipogram. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam karya sastra setelahnya. Dalam kesusastraan Indonesia modern pun dapat kita jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa maupun puisi.
Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh struktur intrinsiknya saja. Latar sosial, budaya, dan kesejarahan juga merupakan unsur penting dalam menentukan hubungan intertekstual antara karya sastra yang satu dengan yang lainya. Hal ini disebabkan oleh karya sastra ditulis oleh seorang pengarang yang tidak mungkin terlepas dari latar sosial dan budaya pada waktu dia menulis. Karya sastra tidak ditulis dalam situasi kekosongan budaya. Adanya hubungan intertekstual dalam karya satu dengan karya lain mungkin disadari oleh pengarang, namun bisa jadi pengarang tidak menyadari bahwa karyanya merupakan pengaruh dari karya orang lain. Pada dasarnya seorang pengarang pasti tidak mau apabila karyanya disebut sebagai pengaruh dari karya orang lain. Namun dalam hal ini ada dua kemungkinan, yang pertama saat proses penulisan pengarang menjadikan teks lain sebagai kiblat atau acuan dalam menulis karyanya dan mengembangkan dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Kedua, ideologi atau pemikiran seorang pengarang tersebut sama dengan pengarang lain, jadi ketika imajinasinya dituangkan melalui karya sastra teks-teks yang terkandung di dalamnya hampir sama dengan karya sebelum atau sesudahnya.
Meskipun sebuah karya sastra menyerap unsur-unsur dari teks lain yang kemudian diolah kembali dengan bentuk yang berbeda, karya yang dihasilkan itu tetap mencerminkan karya yang mendahuluinya. Karena kehadiran suatu teks itu bukanlah suatu yang polos, yang tidak melibatkan suatu proses dan pemaknaan. Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual dapat membantu pembaca untuk mencari hubungan sejarah atau keterkaitan karya sastra yang lahir kemudian dengan karya sastra yang telah ada sebelumnya. Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Maka sesungguhnya, pemahaman makna hubungan intertekstual menghantarkan pembaca untuk lebih intensif dalam memahami karya sastra.

4.2  Novel Negeri 5 Menara (N5M)
Cerita fiksi merupakan sebuah cerita yang di dalamnya terkandung maksud untuk menghibur kepada pembaca, di samping adanya unsur estetis, membaca sebuah fiksi bisa menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel Negeri 5 Menara merupakan kategori novel nonfiksi yang menceritakan kisah pribagi penulis yaitu Ahmad Fuadi yang pernah menjadi salah satu murid di Pondok Madani Gontor. Dalam pengalamannya yang penuh dengan lika-liku dari awal kisah yang hendak ingin meneruskan sekolah menengah atas di sekolah negeri namun dari pihak orang tuanya ingin anaknya sekolah di sekolah Islam dengan dengan harapan bisa mendapatkan akhlak yang mulia selain ilmu agama dan ilmu duniawi yang didaperolehnya di sekolah pesantren tersebut.
Novel ini menceritakan berbagai kisah sederhana kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang sederhana namun mengena. PM berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini para murid dilatih untuk menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari hukuman. PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.
Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani. Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu sisi ada kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi: masuk universitas di ITB. Pertanyaan “jadi apa aku nanti?” terus terngiang dalam kepalanya mengingat ijazah PM tidak diakui walaupun sangat diakui di luar negeri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat menarik. Ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, Perancis, Inggris dan Arab. Tidak tertinggal catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga terdapat dalam penulisannya, seperti “man jadda wajada” yang paling sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.” Ungkapan-ungkapan seperti ini sangat penting dalam sebuah novel karena mampu memberikan semacam trade mark yang membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca.

5. Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1)  Hubungan Intertekstual Antara Film dan Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy. Oleh Suseno Dan U’um Qomariyah Fakultas Bahasa Dan Seni Unnes. Pada penelitian ini peneliti menyimpulkan hasil temuannya yaitu secara umum, novel dan film Ayat-Ayat Cinta (AAC) mempunyai alur yang hampir sama meskipun jika dirinci keduanya sedikit berbeda; misalnya adanya pengurangan peristiwa, penambahan peristiwa, atau pengubahan letak urutan peristiwa. Sedangkan perbedaan tokoh dan penokohan antara film dan novel AAC lebih terletak pada penggambaran dan pengimajian. Dalam novel, penggmbaran tokoh begitu kuat dan ini tidak terlihat jelas dalam film. Begitu juga dengan penggambaran setting. Meskipun pengambilan gambar di film AAC disamakan dengan novelnya, namun kekuatan narasi bahasa novel sepertinya sulit divisualisasikan dalam film. Perbedaan cerita film dan novel menunjukkan bahwa semua itu dilakukan dalam rangka fungsi. Fungsi-fungsi tersebut berangkat dari media dan konsumen yang berbeda.
2)  Intertekstual  dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi  dengan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata oleh Herna Yuanita, Abdul Jalil, dan Charlina, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Riau.  Penelitian ini membahas tentang Intertekstual dalam Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dengan Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Hasil penelitian ini sebagai bentuk pendokumentasian hubungan intertekstual yang terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dengan Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Peristiwa-peristiwa dan penokohan yang terdapat pada kedua novel ini memiliki persamaan dan perbedaan.

6. Metodologi Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Terkait dengan rumusan masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini, maka data-data yang terkait dikumpulkan dari objek kajian dengan cara pembacaan secara berulang-ulang hingga menemukan makna semantis yang sesuai dengan rumusan masalah. Untuk mendapatkan keabsahan data, penelitian ini menggunakan validitas semantis, yakni mengetahui keabsahan lewat pemaknaan data. Pemaknaan data didasarkan atas teori intertekstual yang digunakan sebagai analisisnya. Hasil temuan dipercaya sebagai data setelah dilakukan pembacaan secara berulangulang.
Tahapan analisisnya adalah yang pertama, melihat proses perubahan bentuk. Perubahan bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dari Novel ke Film. Kedua, tahapan selanjutnya adalah intertekstual. Dalam tahapan ini, dilakukan perbandingan antara bentuk asal dengan bentuk perubahannya. Dengan berdasarkan pada persaman, perbedaan, maupun variasi-variasi dari perubahan tersebut, akan diketahui perubahan fungsi serta nilai estetiknya sebagai suatu pemahaman karya. Melalui metode intertekstual ini, suatu karya akan mencapai keutuhan maknanya.
Data dalam penelitian ini berupa konstruksi yang merupakan analisis intertekstual dari kedua cerita pada novel dan film Negeri 5 Menara. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah unsur-unsur structural dan alur yang diproduksi dalam Novel Negeri 5 Menara (N5M) karya A.Fuadi. 

6.1  Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analysis). Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.    Membaca dan menonton secara intensif novel dan film Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi;
b.    mengidentifikasi dan mencatat data yang ada dalam novel dan film tersebut;
c.    mengklasifikasikan data yang sudah diidentifikasi dalam kelompok;
d.    menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi gejala kebahasaan tersebut, serta fungsi yang melingkupinya.
6.2  Analisis Data
Dalam analisisnya, pertama, dipergunakan metode ekranisasi untuk dapat melihat proses perubahan bentuk. Perubahan bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dari novel ke film. Kedua, metode selanjutnya adalah intertekstual. Dalam metode ini, dilakukan perbandingan antara bentuk asal dengan bentuk perubahannya. Dengan berdasarkan pada persaman, perbedaan, maupun variasi-variasi dari perubahan tersebut, akan diketahui perubahan fungsi serta nilai estetiknya sebagai suatu pemahaman karya. Melalui metode intertekstual ini, suatu karya akan mencapai keutuhan maknanya. Analisis struktur menjadi mutlak diperlukan dalam kaitannya dengan perubahan bentuk yang terjadi ketika sebuah novel difilmkan. Analisis struktur yang dibahas difokuskan pada alur, tokoh dan penokohan, setting. Pemfokusan pembahasan struktur pada ketiga hal tersebut didasarkan pada aspek keurgenan dalam menentukan struktur fungsi novel dan film N5M.

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Negeri 5 Menara (N5M) adalah novel pertama dari sebuah trilogi karya A. Fuadi yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada Juli 2009, merupakan cetakan pertama dengan ketebalan 423 halaman. Terinspirasi dari kisah nyata perjalanan hidupnya mulai dari masa kecil di ranah Minang, lalu merantau ke tanah Jawa untuk menuntut ilmu agama di Pondok Modern Gontor, hingga belajar di luar negeri. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi.
Selain itu, Negeri 5 Menara juga telah di filmkan dengan judul yang sama dengan mengambil latar tempat langsung di Pondok Modern Gontor. Diputar secara serentak di bioskop tanah air pada 1 Maret 2012 lalu. 
                                                                                                                                  
1. Hubungan intertekstual Struktur Alur Film Dan Novel N5M
Plot atau alur cerita merupakan unsur fiksi yang penting. Kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Ada berbagai macam plot jika dilihat dari sudut pandang tertentu. Sering ditemui sebuah karya sastra atau film memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan efek keindahan sebuah karya. Demikian juga dengan novel dan film N5M, plot yang dikembangkan semakin memperindah jalannya cerita. Dalam film, plot yang digunakan adalah flash back (regresif). Urutan kejadian yang dikisahkan dalam novel ini tidak bersifat kronologis, cerita diawali dari masa kini kemudian berbalik ke masa lalu dan kembali lagi ke masa kini. Hal ini berbeda jika dibandingkan dalam Filmnya yang mempunyai plot cenderung berurutan yang diakhiri dengan pertemuan Alif dan kedua sahabatnya yaitu Atang dan Raja di atas sebuah gedung di kota London.
Alur dalam film dan novel keduanya menunjukkan hal yang tidak berlawanan. Namun banyak alur dalam Novel yang tidak termuat dalam Film yang cenderung lebih singkat. Hal ini karena keterbatasan waktu yang membuat banyak alur yang terpotong sehingga tidak selengkap cerita pada Novel. Misalnya pada awal cerita alur di Novel diawali dengan keberadaan Alif di Washigton DC kemudian flashback ke masa silam dan  kemudian baru mulai dengan awal cerita tentang Alif yang baru lulus SMP yang kemudian mengalami kegalauan karena keinginan untuk meneruskan sekolah di tingkat SMA non Islam tidak dapat terlaksana dikrenakan Amak (Ibu) ingin anaknya (Alif) untuk meneruskan sekolah di Madrasah untuk dapat meneruskan jejak kakek yang merupakan orang yang terpandang dalam keagamaannya.
Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan meskipun tidak begitu signifikan diantara keduanya namun adanya sesuatu yang missing atau hilang. Perbedaan novel dan film lebih terletak pemotongan beberapa peristiwa kecil atau dialog kecil dalam film. Dalam film, penguraian kata-kata di beberapa peristiwa tidak bisa ditampilkan dalam film sehingga bisa dikatakan bahwa dalam film mengalami pengurangan beberapa peristiwa dan dialog tertentu namun hal ini tidak mengubah secara keseluruhan alur utama cerita pada film. Alur keduanya secara umum adalah sama, hanya beberapa peristiwa yang letaknya ditempatkan di posisi yang berlainan. Penambahan dalam novel disebabkan karena pemaparan dalam novel harus lebih detail; dibandingkan film. Selain itu, dalam film terbatas durasi waktu, biaya sehingga peristiwa dibuat seefektif mungkin dan dipilih sesuai dengan peristiwa penting yang diinginkan.
Peristiwaperistwa dalam film juga mempunyai fungsi keterjalinan makna. Jika cerita dalam novel itu difilmkan persis menurut aslinya, maka bisa dimungkinkan seorang sutradara akan merasa kesulitan ketika menuangkannya dalam bentuk gambar gerak dan suara. Hal inilah yang menyebabkan, seorang sutradara film akan lebih menekankah pada keterjalinan cerita dan kelogisan makna.
Hal di atas diperkuat dengan pernyatan Bluestone (1957:31) bahwa perbedaan bahan mentah antara novel dan film tidak dapat sepenuhnya dijelaskan berdasar perbedaan isi. Setiap medium mensyaratkan suatu keistimewaan, melalui heterogenitas dan overlapping, kondisi permintaan audiens dan bentuk artistiknya. Selain itu, faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan para pekerja film harus kreatif untuk dapat memilah dan memilih peristiwa-peristiwa yang penting untuk difilmkan. Sementara menurut Nugroho (1998:157) dalam proses adaptasi terkandung konsep konversi, memilih dan memfokuskan, rekonsepsi dan rethinking sekaligus disertai pemahaman terhadap karakter yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lain.

2. Hubungan Intertekstual Tema yang Terdapat dalam Novel dan film Negeri 5 Menara (N5M).
Menurut Nurgiantoro (2009:67), tema diartikan sebagai pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak dan sebagainya. Menurut, Stanton tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita yang secara khusus didasarkan pada sebagian besar unsur-unsurnya dengan cara paling sederhana.
Tema dalam novel Negeri 5 Menara adalah pendidikan, hal ini dapat dilihat dari latar tempat yaitu di pesantren dimana kegiatan utama yang dilakukan sehari-hari oleh tokoh utama adalah belajar. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan novel berikut.
Belum pernah dalam hidupku melihat orang belajar bersama dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap sudut dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggilabegitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampaui limit normal untuk menemukan limit baru yang jauh lebih tinggi.” (Fuady, 2009:200)

Dari kutipan di atas, terlihat dengan jelas bahwa kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan sangat dijunjung tinggi di PM. Semua orang yang berada di PM dengan jumlah yang banyak, dapat belajar di setiap sudut ruang dan waktu. Di mana pun mereka berada mereka selalu belajar. Mereka sanggup membaca buku sambil berjalan, mengendarai sepeda, antri mandi, antri makan, sambil makan bahkan sambil mengantuk. Hal tersebut merupakan hal yang sangat langka dan sulit kita temukan di lembaga pendidikan lainnya. Tema tentang pendidikan dengan sendirinya akan melahirkan setting berupa sekolah yang dalam novel ini berupa pesantren sebagai fasilitas untuk menjalani proses pendidikan.

3. Hubungan Intertekstual Tokoh dan Penokohan yang Terdapat dalam Novel dan film Negeri 5 Menara (N5M).
Tokoh, menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspersikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Sementara itu, penokohan menurut Jones adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Ahmad menggunakan istilah watak untuk individu rekaan yang mengalami peristiwa/berkelakuan di dalam berbagai peristiwa cerita.
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Pada dasarnya antara novel dan film memiliki kesamaan dalam penokohan, apa yang tertuang dalam novel terjumpai juga dalam film meskipun di film Nampak jelas beberapa tokoh pendukung yang tidak ditemui di novel. Itu dikarenakan di film karena visual jadi perlu penokohan pendukung guna memperjelas ceritanya. Sementara di novel hanya mengandalkan imaji dalam cerita tersebut.

C. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di Bab IV dapat disimpulkan bahwa antara novel dan film N5M mempunyai kesamaan dan perbedaan. Namun, perbedaan itu tidak terlalu mencolok karena film N5M secara umum novel yang terbit terlebih dahulu. Hal itu dapat dilihat dari alur penceritaan. Dalam film, ada beberapa peristiwa yang ditambahkan dan dibalik posisinya, peristiwa yang satu mendahului peristiwa yang lain. Selain itu dialog juga diperkuat untuk mencitakan efek latar. Tokoh dan penokohan keduanya juga hampir sama. Bedanya, dalam film, tokoh dan penokohan lebih terasa konkret karena divisualisasikan melalui gerak dan gambar. Begitu juga dengan setting kejadian. Antara film dan novel mempunyai perbedaan yang keduanya mempunyai kelebihan masing-masing.
Perbedaan cerita film dan novel menunjukkan bahwa semua itu dilakukan dalam rangka fungsi. Tidak ada sebuah karya yang kosong tanpa makna, semua dilakukan karena ada fungsi-fungsi yang memenuhinya. Fungsi-fungsi tersebut berangkat dari media dan konsumen yang berbeda. Film lebih berorientasi bisnis sehingga banyak pertimbangan lain terutama masalah financial atau dana. Selain itu, media, pembaca, dan situasi juga merupakan fungsi-fungsi yang membentuk wujud sastra tersendiri.

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, hal – hal yang dapat disarankan sebagai ber : ikut:
1.    Bagi mahasiswa hendaknya menjadikan penelitian ini sebagai salah satu bahan untuk meningkatkan pengetahuan bahasa Indonesia khususnya dalam bidang telaah sastra dan pengajaran bahasa.
2.    Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini hanya terbatas pada intertekstualitas sehingga perlu pengembangan lebih lanjut untuk menciptakan cita rasa hasil penelitian yang lebih bermanfaat bagi pengetahuan khususya mengenai kesastraan.
3.    Penelitian tentang intertekstual dalam novel dan film dapat diterima baik bagi pembaca novel maupun penikmat film sehingga tidak adanya perbedaan yang signifikan antara novel dan film.




DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston
Bluestones, G. 1957. Novels Into Film. Berkeley and Los Angeles: University of California Press
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Endraswara, Suwardi, 2002. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Jakarta: CAPS.
Fuadi, Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hartoko, Dick dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius,
Junus, Umar. 1985. Ikhtisar dan Analisa Novel novel Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Miller, Owen. 1985. “Intertextual Identity’ dalam Identity of The Literary Text. Ed. By Mario J. Valdes and Owen Miller. London: University of Toronto Press.
Nugroho, G. 1998. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Bentang Budaya
Nyoman Kutha Ratna, 2010. Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pradopo. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ratna, Ny. K. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Saifur Rohman, 2012. Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar