HUBUNGAN
INTERTEKSTUAL ANTARA FILM DAN NOVEL
‘NEGERI 5 MENARA’ (N5M) KARYA
A. FUADI
=============================================================
Bejo Sutrisno (7317150069)
bjs_sutrisno@yahoo.co.id
ABSTRAK
Bagaimana
unsur Novel dan Film itu berhubungan, maka perlu ditelusuri mengenai analisis
intertekstual. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan/
intertekstualitas antara novel dan film Negeri
5 Menara (N5M) karya Ahmad Fuadi. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif dengan bentuk kualitatif, yaitu mendeskripsikan hubungan
intertekstual yang terdapat dalam novel dan film Negeri 5 Menara (N5M) karya Ahmad
Fuadi. Berdasarkan analisis data dalam novel dan film Negeri 5 Menara (N5M)
karya Ahmad Fuadi didapati adanya
hubungan intertekstual secara structural baik dari alur, tema, latar maupun
tokoh dan penokohan.
Kata Kunci: intertekstual, alur, tema,
novel, film.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bentuk dari apresiasi karya seni yang paling banyak
digemari oleh pencinta karya seni adalah novel dan film, baik novel maupun film
sama-sama memiliki pencinta yang cukup banyak meskipun untuk zaman sekarang ini
masyarakat khususnya kaum muda lebih banyak menyukai film. Namun bukan berarti
tidak banyak yang menyukai novel. Tidak sedikit cerita yang ada di novel karena
saking menariknya dan layak untuk difilmkan akhirnya cerita tersebut diangkat
kedua perfilman. Meskipun demikian tidak selamanya cerita yang ada di film akan
sama bagusnya atau bahkan lebih bagus atau lebih menarik ketimbang cerita yang
ada di novel. Novel lebih mengandalkan kata-kata yang tertuang dalam tulisan bagaiman
si penulis dapat membawa imajinasi si pembaca ke arah cerita yang dituangkannya
dalam tulisan. Tentunya hal ini tidak mudah karena memerlukan kecerdasan
bagaiman mengolah kata-kata dalam bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti
sehingga pembaca mudah untuk menghayatinya.
Sementra film lebih mengedepankan unsur visual, bagaimana gambar-gambar
itu membentuk kesan tersendiri dan memiliki daya tarik kepada penonton dan bagaimana
penonton dapat terbawa kearah cerita yang di tayangkan di layar. Berbeda dengan
novel yang lebih mengndalkan indera penglihatan untuk membacanya, pada tataran
film, yang menjadi penekanan tidak hanya indra mata tetapi juga indra telinga.
Dengan gambar yang menarik dan suara yang jelas untuk didengar. Baik novel
maupun film merupakan sama-sama hasil dari
pemenuhan apresiasi sastra.
Seperti yang akan dibahas pada penelitian kecil ini yaitu
novel ‘Negeri 5 Menara’ yang dikarang oleh A. Fuadi yang pertama terbit tahun
2009 dan tiga tahun kemudian novel tersebut karena banyak peminatnya kemudian
diangkat ke layar lebar. Seperti yang dipaparkan di atas bahwa tidak selamanya
cerita yang ada di novel sama persis atau sama menariknya setelah diangkat
menjadi film. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk membandingkan kedua
karya seni tersebut dari segi intertekstual dari unsur struktur dan plot dari
kedua media novel dan film.
Menurut
Umar Junus (1985:89) bahwa Intertekstualitas bukanlah sekadar fenomena yang
berkaitan dengan pengidentifikasian kehadiran teks pada teks lain, melainkan
juga berkaitan dengan masalah interpretasi. Dikatakan demikian karena kehadiran
teks lain dalam suatu teks akan memberi corak atau warna tertentu pada teks
itu. Interpretasi itu setidaknya berkaitan dengan pertanyaan mengapa teks lain
diserap, apa fungsinya, bagaimana sikap pengarang terhadap teks lain yang
diserap, dan apakah pengarang menerima, menegaskan, menentang, ataukah menolak.
Di sinilah kemudian muncul maksud atau ideologi tertentu berkenaan dengan teks
yang ditulisnya. Jika ditinjau lebih jauh lagi, beberapa pertanyaan itu
sesungguhnya berhubungan dengan proses resepsi (penerimaan) teks, yaitu
bagaimana seseorang (pengarang) memperlakukan teks. Oleh sebab itu,
intertekstualitas pada dasarnya identik dengan teori resepsi sastra, yaitu
teori yang menitikberatkan pada respon pembaca.
Mengenai
bagaimana unsur Novel dan Film itu berhubungan, maka perlu ditelusuri mengenai
teori intertekstual. Menurut Culler (dalam Ratna : 2005) terdapat konsep pemahaman
intertekstual berkaitan dengan aplikasi dari proses pembacaan. Konsepkonsep tersebut
antara lain: recuperation (prinsip penemuan kembali), naturalization (prinsip
untuk membuat yang semula asing menjadi biasa), motivation (prinsip
penyesuaian, bahwa teks tidak arbitrer atau tidak koheren), dan vraisemblation
(prinsip integrasi dari satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain).
Dengan
mempergunakan teori intertekstual, penelitian ini akan menganalisis bentuk
transformasi dari bentuk novel ke bentuk film. Menurut Ratna (2005:221-222),
teori intertekstual menganggap segala sesuatu sebagai teks. Oleh karena itu,
teori intertekstual menembus batas pemisah antardisiplin. Analisis dalam penelitian
ini mengangkat film yang mengambil sumber dari novel. Dengan perubahan bentuk tersebut,
dapat diketahui pula fungsi perubahan yang dilakukan sebagai hasil interpretasi
dari kerja intertektual. Melalui perubahan fungsi tersebut, keutuhan makna dari
suatu karya, baik novel maupun film dapat tercapai.
Berkaitan
dengan respon pembaca, peneliti sebagai pembaca novel ‘Negeri 5 Menara’ dan
penikmat filmnya yang ditayangkan pada tahun 2012 serta dapat ditonton
berulang-ulang melalui Windows Media
Player, ingin membandingkan intertekstual antara novel dan film dari ‘Negeri
5 Menara tersebut dari segi struktur dan plot.
Berdasarkan
latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti ingin mengangkat rumusan
masalah tentang struktur dan plot yang terdapat dalam film ‘Negeri 5 Menara’
berdasar novel asli selaku hipogramnya dengan meninjau sistem sastra dan
sistem filmnya. Penelitian ini juga berusaha menelaah perubahan fungsi dengan
mendasarkan pada perubahan struktur dan plot yang terjadi sebagai suatu
interpretasi dari analisis intertekstual antara film adaptasi dan novel aslinya
dari Negeri 5 Menara’ karya Ahmad Fuadi.
2.
Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimanakah hubungan intertekstual alur
yang terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi dengan film
Negeri 5 Menara serta bagaimanakah hubungan intertekstual tema, latar, tokoh
dan penokohan yang terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad Fuadi
dengan film Negeri 5 Menara.
3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapat dari
penelitian ini, yaitu:
1) Secara teoritis, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi untuk mengembangkan ilmu sastra khususnya yang berkaitan
dengan intertekstualitas pada karya sastra.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat
memberikan kontribusi dan pemahaman bagi pembaca tentang pemahaman kajian
tentang hubungan intertekstualitas.
4.
Kajian Teori
4.1
Pengertian
Intertekstual
Menurut Hartoko dan Rahmanto (1986:67) bahwa Intertekstual
adalah teks yang ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks lain sering
mendasari teks yang bersangkutan. Dalam alam pikiran intertekstualitas yang
diilhami oleh ide-ide M.Bakhtin, sebuah teks dipandang sebagai tulisan sisipan
atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain. Dalam kerangka keseluruhan itu
teks yang bersangkutan merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran,
idealisasi, pemecahan, dan sebagainya. Selanjutnya, dalam semiotik, istilah
intertekstual dipergunakan menurut arti yang lebih luas. Segala sesuatu yang
melingkungi kita (kebudayaan, politik, dan sebagainya) dapat dianggap sebagai
sebuah ‘teks’. Teks yang berbahasa ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain
tersebut. Proses terjadinya sebuah teks diumpamakan dengan proses tenunan.
Setiap arti ditenunkan ke dalam suatu pola arti lain.
Menurut Miller (1985:19-20), sebagai suatu
istilah, intertekstual menunjuk pada dirinya sendiri bagi suatu kemajemukan
konsep. Dikatakannya, seseorang dapat memberikan pandangan dalam berbagai
macam, seperti interteks meliputi bermacam cara yang disusun dalam istilah
teoretis dan disebarkan dalam strategi metodologi. Bagaimanapun, untuk tetap
memakai bentuk tunggal untuk menandainya, meskipun hal itu tidak menyatukan
konsep, merupakan variasi bentuk yang menyenangkan, apa yang disebut
Wittgenstein dengan ‘pertalian keluarga’. Dengan hal tersebut dimaksudkan bahwa
salah satu gagasan tentang interteks mungkin bagian yang lain dengan beberapa
ciri-ciri umum, tetapi ditemukan dalam seluruh gagasan kata. Secara singkat,
tidak ada keistimewaan unsur pokok, memuaskan bagi seluruhnya, yang mengijinkan
kita untuk mendefinisikan istilah tersebut.
Ratna (2010:211-212) menyatakan bahwa Interteks
berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di)
antara, dalam hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks, barasal dari kata textus
(Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian,
intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks
yang lain. Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam
kaya penulis tunggal, transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural,
yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode ucapan, dan genre literer, kulit buku,
ilustrasi dan sebagainya.
Rohman (2012:84-85) mendefenisikan metode intertektual
sebagai teknik mengolah dua objek kajian yang dilandasi pada asumsi adanya
keterpengaruhan. Dasar asumsinya bahwa tidak ada sebuah karya sastra
yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya. Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan
dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya sastra itu biasa dikaji dalam
sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema ,bentuk, aliran,
ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal
berikut (Rohman ,2012:84-85):
1)
Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan
asumsi ada satu karya yang memberikan kaitan sebab akibat dengan karya
sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya sesudahnya banyak sedikit
pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur frasa, kalimat,
frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi
Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk.
Novel berjuta - juta dari Deli (2006)
karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max Havelaar (1856)
Karya Multatuli.
2)
Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak
memilikin pengaruh, tetapi bisa jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu
jelas sebuah kebetulan karena alam kesadaran manusia bisa terhubung melalui
mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat Dayang Sumbi tidak memiliki
kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya sama. Dua cerita
itu sama-sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi ibunya. Dua
cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa
saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara
langsung.
Masalah lain yang perlu
ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran bahwa tiruan tidak harus
lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian. Penolakan terhadap tiruan
dan objek lain yang dikaegorikan sebagai ‘tidak asli’ sebagian atau seluruhnya
diakibatkan oleh adanya oposisi biner, dengan konsekuensi logis salah satu
diantaranya dianggap sebagai inferior. Demikian pula halnya karya-karya yang
dianggap sebagai bersumber dari karya lain, termasuk terjamahan, salinan,
saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori dikategorikan
sebagai bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan memanfaatkan
konsep perbedaan (differance)
Derridean, memandang kedua aspek sebagai memiliki dua aspek yang sejajar,
tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa aspek tersebut
dibicarakan.
Dalam praktik analisis interteks
perlu dibedakan pengertian antara naskah, teks, dan wacana. Menurut Barthes
naskah atau karya adalah bahan kasar seperti bentuk buku, lontar, disket, dan
bentuk-bentuk yang dapat ditaruh di rak buku. Naskah atau karya merupakan objek
studi filologi. Teks dan wacana pada umumnya merupakan sinonim. Meskipun
demikian, menurut Barthes, teks hanya eksis melalui wacana. Secara praktis,
teks digunakan dalam bidang sastra, wacana dalam bidang linguistik. Masyarakat luas lebih mengenal istilah wacana
(diskursus).
Teori intertekstual
sangat penting dalam memahami sastra. Tidak ada karya yang asli dalam
pengertian yang sesungguhnya. Artinya, tidak ada karya yang tidak diciptakan
dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Dalam proses interteks, konsep
yang memegang peranan penting adalah hypogram. Menurut Rifaterre, hypogram
sebagai struktur prateks, generator teks puitika yang mungkin merupakan
kata-kata tiruan, kutipan, kompleks tematik, kata-kata tunggal, atau
keseluruhan teks.
Dapat disimpulkan bahwa
teori intertekstual adalah sebuah teori yang berusaha untuk menemukan hubungan
antara satu teks dengan teks-teks lain. Dengan kata lain, karya sastra yang
baru merupakan sebuah transformasi dari karya sastra yang telah lahir sebelumnya.
Seorang pengarang ketika menulis karyanya pasti sudah terpengaruh oleh
karya-karya yang lain. Jadi tidak dapat dipungkiri bahwa dalam teks yang sedang
ditulisnya pasti mengandung teks-teks yang lain. Namun pengarang tidak
semata-mata hanya mencontoh saja, akan tetapi mengembangkan atau merombaknya
menjadi sebuah karya yang baru dengan bahasa dan gaya yang berbeda. Pada
intinya, kajian intertekstual disini berusaha untuk menemukan aspek-aspek
tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya sastra yang
muncul kemudian.
4.2 Prinsip-prinsip Intertekstual
Menurut Endraswara (2012:213) Intertekstual
mengimplikasikan intersubjektifitas, pengetahuan terbagi yang diaplikasikan
dalam proses membaca. Menurut para strukturalis, Culler menyatakan ada beberapa konsep penting yang
harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara
maksimal. Konsep-konsep yang dimaksud, diantaranya:
1)
Recuperation (prinsip penemuan
kembali),
2) Naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi
biasa),
3)
Motivation (prinsip
penyesuaian, bahwa teks tidak tidak arbitrer atau tidak koheren),
4)
Vriasemblation, (prinsip integrasi
antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain).
Todorov menunjukkan tiga model
hubungan teks dalam kaitannya dengan
Ciri-ciri vriasemblation,
yaitu:
a.
Sebagai model
hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang
disebut opini umum,
b. Hubungan teks dengan genre tertentu,
c.
Kedok yang menutupi
teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkannya untuk menghubungkannya dengan realitas,
bukan pada hukum-hukumnya sendiri.
Senada dengan Todorov, Culler
menjalaskan bahwa vriasemblation
merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori
interteks. Culler kemudian memberikan lima tingkat vriasemlations, lima cara untuk menghubungkan teks dengan teks lain
sehingga dapat dimengerti, teks-teks yang dimaksudkan yaitu:
a.
Teks yang diambil
langsung dari dunia nyata,
b.
Teks cultural general, teks dunia nyata itu
sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk terhadap pola-pola kebudayaan
tertentu,,
c.
Teks sebagai konvensi
genre, sebagai teks artifisial literal sehingga terjadi perjanjian antara
penulis dan pembaca,
d.
Teks yang dikutip
baik secara implisit maupun eksplisit dari genre-genre di atas, dengaan
menambah otoritas makna dan kulitas otoritasnya, dan
e.
Interekstual secara
khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik pijak proses
kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi.
Vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting
dalam interteks. Vriasemlation
memberikan intensitas pada model-model kultural sebagai sumber makna dan
koherensi. Puisi-puisi kontemporer seperti karangan Sutardji, dapat dibaca dan
dimengerti dengan menemukan kembali, menaturalisasikan, menyesuaikan, dan
mengintegrasikan .
Abram (1981:200) menyatakan bahwa prinsip
intertekstualitas digunakan untuk memberi makna berbagai cara yang terdapat
dalam teks sastra, atau yang berhubungan dengan teks lain, baik secara terbuka,
tertutup, tersamar dalam kiasankiasan atau dengan asimilasi dari karya
tersebut, dari suatu teks yang lebih awal oleh teks yang lebih muda atau hanya
dengan partisipasi dalam sebuah perbendaharaan umum dari kode-kode
kesusasteraan dan konvensi.
4.3 Hubungan Intertekstual
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa, mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman yang mendahuluinya atau yang kemudian. Hubungan sejarah
ini baik berupa persamaan ataupun pertentangan. Dengan hal demikian ini,
sebaiknya membicarakan karya sastra itu dalam hubunganya dengan karya sezaman,
sebelum, atau sesudahnya (Abram, 1981:200).
Menurut Pradopo (2008:167) Karya sastra ini tidak lahir dalam situasi
kosong kebudayaanya, termasuk dalam situasi sastranya. Dalam hal ini, karya
sastra dicipta berdasarkan konvensi sastra yang ada, yaitu meneruskan konvensi
sastra yang ada, disamping juga sebagai sifat hakiki sastra, yaitu sifat
kreatif sastra, karya sastra yang timbul kemudian itu dicipta menyimpangi
ciri-ciri dan konsep estetik sastra yang ada.
Hubungan intertekstual berarti adanya hubungan antara satu teks dengan
teks lain. Penciptaan sebuah teks selalu membutuhkan teks lain sebagai teladan
dan kerangka, baik untuk penciptaan maupun pemahaman. Hubungan intertekstual
dapat diketahui apabila terdapat bentuk-bentuk hubungan tertentu atau ada
persamaan antara novel yang satu dengan yang lain.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip
intertekstualitas. Hal ini ditunjukan oleh Riffatere dalam bukunya Semiotics of
Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubunganya dengan sajak
lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Dikemukakan
Riffatere bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar penciptaan karya
sesudahnya itu disebut hipogram. Karena tidak ada karya sastra yang lahir itu
mencontoh atau meniru karya sebelumnya yang diserap dan ditransformasikan dalam
karya sastra setelahnya. Dalam kesusastraan Indonesia modern pun dapat kita
jumpai hubungan intertekstual antara karya sastra, baik prosa maupun puisi.
Makna karya sastra tidak semata-mata ditentukan oleh struktur
intrinsiknya saja. Latar sosial, budaya, dan kesejarahan juga merupakan unsur
penting dalam menentukan hubungan intertekstual antara karya sastra yang satu
dengan yang lainya. Hal ini disebabkan oleh karya sastra ditulis oleh seorang
pengarang yang tidak mungkin terlepas dari latar sosial dan budaya pada waktu
dia menulis. Karya sastra tidak ditulis dalam situasi kekosongan budaya. Adanya
hubungan intertekstual dalam karya satu dengan karya lain mungkin disadari oleh
pengarang, namun bisa jadi pengarang tidak menyadari bahwa karyanya merupakan
pengaruh dari karya orang lain. Pada dasarnya seorang pengarang pasti tidak mau
apabila karyanya disebut sebagai pengaruh dari karya orang lain. Namun dalam
hal ini ada dua kemungkinan, yang pertama saat proses penulisan pengarang
menjadikan teks lain sebagai kiblat atau acuan dalam menulis karyanya dan
mengembangkan dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Kedua, ideologi atau
pemikiran seorang pengarang tersebut sama dengan pengarang lain, jadi ketika
imajinasinya dituangkan melalui karya sastra teks-teks yang terkandung di
dalamnya hampir sama dengan karya sebelum atau sesudahnya.
Meskipun sebuah karya sastra menyerap unsur-unsur dari teks lain yang
kemudian diolah kembali dengan bentuk yang berbeda, karya yang dihasilkan itu
tetap mencerminkan karya yang mendahuluinya. Karena kehadiran suatu teks itu
bukanlah suatu yang polos, yang tidak melibatkan suatu proses dan pemaknaan.
Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat
dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan
estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan
karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari
karya-karya lain yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan,
tentulah masih dapat dikenali.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa teori intertekstual
dapat membantu pembaca untuk mencari hubungan sejarah atau keterkaitan karya
sastra yang lahir kemudian dengan karya sastra yang telah ada sebelumnya.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori resepsi. Pada
dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak adanya kaitan antara teks
yang satu dengan teks yang lain itu berdasarkan persepsi, pemahaman,
pengetahuan, dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Maka
sesungguhnya, pemahaman makna hubungan intertekstual menghantarkan pembaca
untuk lebih intensif dalam memahami karya sastra.
4.2
Novel Negeri 5 Menara (N5M)
Cerita fiksi merupakan sebuah cerita
yang di dalamnya terkandung maksud
untuk menghibur kepada pembaca, di samping adanya
unsur estetis, membaca
sebuah fiksi bisa menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan
batin. Novel Negeri 5 Menara merupakan kategori novel nonfiksi yang
menceritakan kisah pribagi penulis yaitu Ahmad Fuadi yang pernah menjadi salah
satu murid di Pondok Madani Gontor. Dalam pengalamannya yang penuh dengan
lika-liku dari awal kisah yang hendak ingin meneruskan sekolah menengah atas di
sekolah negeri namun dari pihak orang tuanya ingin anaknya sekolah di sekolah
Islam dengan dengan harapan bisa mendapatkan akhlak yang mulia selain ilmu
agama dan ilmu duniawi yang didaperolehnya di sekolah pesantren tersebut.
Novel ini menceritakan berbagai kisah
sederhana kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung
Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang
sederhana namun mengena. PM berbeda dengan sekolah agama lainnya karena di sini
para murid dilatih untuk menjadi intelektual dan mampu menganalisa berbagai
ilmu dari sudut pandang Islam. Sehari-harinya mereka wajib menggunakan bahasa
Arab dan bahasa Inggris. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari
hukuman. PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.
Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif
mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup
persahabatannya dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap
Alif dan 5 teman lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di
Pondok Madani. Mereka adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat
yang dijalin bersama sangat cukup menjadi penghiburan bagi Alif. Tapi di satu
sisi ada kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA
terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan
penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi: masuk
universitas di ITB. Pertanyaan “jadi apa aku nanti?” terus terngiang dalam
kepalanya mengingat ijazah PM tidak diakui walaupun sangat diakui di luar
negeri.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini
sangat menarik. Ringan, deskriptif, dan mengalir serta mampu memperkaya
kosakata dan wawasan berbagai macam bahasa daerah. Di dalam novel ini terdapat
bahasa daerah Maninjau, Medan, Sunda, Perancis, Inggris dan Arab. Tidak
tertinggal catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata
tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa juga terdapat dalam penulisannya,
seperti “man jadda wajada” yang
paling sering dicantumkan. “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.”
Ungkapan-ungkapan seperti ini sangat penting dalam sebuah novel karena mampu
memberikan semacam trade mark yang
membuat novel ini lebih terkenang di hati pembaca.
5. Tinjauan Pustaka
Beberapa
penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1) Hubungan Intertekstual Antara Film dan Novel Ayat-Ayat
Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy. Oleh Suseno Dan U’um Qomariyah
Fakultas Bahasa Dan Seni Unnes. Pada penelitian ini peneliti menyimpulkan hasil
temuannya yaitu secara umum, novel dan film Ayat-Ayat Cinta
(AAC) mempunyai alur yang hampir sama meskipun jika dirinci keduanya sedikit
berbeda; misalnya adanya pengurangan peristiwa, penambahan peristiwa, atau
pengubahan letak urutan peristiwa. Sedangkan perbedaan tokoh dan penokohan
antara film dan novel AAC lebih terletak pada penggambaran dan pengimajian.
Dalam novel, penggmbaran tokoh begitu kuat dan ini tidak terlihat jelas dalam
film. Begitu juga dengan penggambaran setting. Meskipun pengambilan gambar di
film AAC disamakan dengan novelnya, namun kekuatan narasi bahasa novel
sepertinya sulit divisualisasikan dalam film. Perbedaan cerita film dan novel
menunjukkan bahwa semua itu dilakukan dalam rangka fungsi. Fungsi-fungsi
tersebut berangkat dari media dan konsumen yang berbeda.
2) Intertekstual dalam
Novel Negeri 5 Menara Karya Ahmad
Fuadi dengan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata oleh Herna Yuanita, Abdul
Jalil, dan Charlina, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Seni, Universitas Riau. Penelitian
ini membahas tentang Intertekstual dalam Novel Negeri 5 Menara karya
Ahmad Fuadi dengan Novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Hasil
penelitian ini sebagai bentuk pendokumentasian hubungan intertekstual yang
terdapat dalam Novel Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi dengan Novel Sang
Pemimpi karya Andrea Hirata. Peristiwa-peristiwa dan penokohan yang
terdapat pada kedua novel ini memiliki persamaan dan perbedaan.
6. Metodologi Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Terkait dengan rumusan masalah yang menjadi kajian dalam
penelitian ini, maka data-data yang terkait dikumpulkan dari objek kajian
dengan cara pembacaan secara berulang-ulang hingga menemukan makna semantis
yang sesuai dengan rumusan masalah. Untuk mendapatkan keabsahan data,
penelitian ini menggunakan validitas semantis, yakni mengetahui keabsahan lewat
pemaknaan data. Pemaknaan data didasarkan atas teori intertekstual yang
digunakan sebagai analisisnya. Hasil temuan dipercaya sebagai data setelah
dilakukan pembacaan secara berulangulang.
Tahapan analisisnya adalah yang pertama, melihat
proses perubahan bentuk. Perubahan bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dari Novel ke Film. Kedua, tahapan selanjutnya adalah intertekstual.
Dalam tahapan ini, dilakukan perbandingan antara bentuk asal dengan bentuk perubahannya.
Dengan berdasarkan pada persaman, perbedaan, maupun variasi-variasi dari
perubahan tersebut, akan diketahui perubahan fungsi serta nilai estetiknya
sebagai suatu pemahaman karya. Melalui metode intertekstual ini, suatu karya
akan mencapai keutuhan maknanya.
Data dalam penelitian ini berupa konstruksi yang
merupakan analisis intertekstual dari kedua cerita pada novel dan film Negeri 5
Menara. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah unsur-unsur
structural dan alur yang diproduksi dalam Novel Negeri 5 Menara (N5M) karya A.Fuadi.
6.1 Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dokumen (content analysis). Langkah-langkah pengumpulan data yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Membaca
dan menonton secara intensif novel dan film
Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi;
b. mengidentifikasi dan mencatat data yang ada dalam novel dan film tersebut;
c. mengklasifikasikan data
yang sudah diidentifikasi dalam kelompok;
d. menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi gejala kebahasaan tersebut, serta fungsi yang melingkupinya.
6.2
Analisis Data
Dalam
analisisnya, pertama, dipergunakan metode ekranisasi untuk dapat melihat
proses perubahan bentuk. Perubahan bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah dari novel ke film. Kedua, metode selanjutnya adalah intertekstual.
Dalam metode ini, dilakukan perbandingan antara bentuk asal dengan bentuk perubahannya.
Dengan berdasarkan pada persaman, perbedaan, maupun variasi-variasi dari perubahan
tersebut, akan diketahui perubahan fungsi serta nilai estetiknya sebagai suatu pemahaman
karya. Melalui metode intertekstual ini, suatu karya akan mencapai keutuhan maknanya.
Analisis struktur menjadi mutlak diperlukan dalam kaitannya dengan perubahan
bentuk yang terjadi ketika sebuah novel difilmkan. Analisis struktur yang
dibahas difokuskan pada alur, tokoh dan penokohan, setting. Pemfokusan
pembahasan struktur pada ketiga hal tersebut didasarkan pada aspek keurgenan
dalam menentukan struktur fungsi novel dan film N5M.
B.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Negeri 5 Menara (N5M) adalah novel pertama dari sebuah trilogi karya A. Fuadi
yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta pada Juli 2009,
merupakan cetakan pertama dengan ketebalan 423 halaman. Terinspirasi dari
kisah
nyata perjalanan hidupnya mulai dari masa kecil di ranah Minang, lalu merantau ke tanah Jawa untuk menuntut ilmu agama di Pondok Modern Gontor, hingga belajar di luar negeri. Karya fiksinya dinilai dapat menumbuhkan semangat untuk berprestasi.
Selain itu, Negeri 5
Menara juga telah di filmkan dengan judul yang sama
dengan mengambil latar tempat langsung di Pondok Modern Gontor. Diputar secara serentak di bioskop tanah air pada 1 Maret 2012 lalu.
1. Hubungan intertekstual Struktur
Alur Film Dan Novel N5M
Plot atau alur cerita merupakan unsur fiksi yang penting.
Kejelasan tentang kaitan antar peristiwa yang dikisahkan secara linier akan mempermudah
pemahaman pembaca terhadap cerita yang ditampilkan. Ada berbagai macam plot jika
dilihat dari sudut pandang tertentu. Sering ditemui sebuah karya sastra atau
film memanfaatkan plot dan teknik pemplotan sebagai salah satu cara untuk
mendapatkan efek keindahan sebuah karya. Demikian juga dengan novel dan film N5M,
plot yang dikembangkan semakin memperindah jalannya cerita. Dalam film, plot
yang digunakan adalah flash back (regresif). Urutan kejadian yang
dikisahkan dalam novel ini tidak bersifat kronologis, cerita diawali dari masa
kini kemudian berbalik ke masa lalu dan kembali lagi ke masa kini. Hal ini
berbeda jika dibandingkan dalam Filmnya yang mempunyai plot cenderung berurutan
yang diakhiri dengan pertemuan Alif dan kedua sahabatnya yaitu Atang dan Raja
di atas sebuah gedung di kota London.
Alur dalam film dan novel keduanya menunjukkan hal yang
tidak berlawanan. Namun banyak alur dalam Novel yang tidak termuat dalam Film
yang cenderung lebih singkat. Hal ini karena keterbatasan waktu yang membuat
banyak alur yang terpotong sehingga tidak selengkap cerita pada Novel. Misalnya
pada awal cerita alur di Novel diawali dengan keberadaan Alif di Washigton DC
kemudian flashback ke masa silam dan
kemudian baru mulai dengan awal cerita tentang Alif yang baru lulus SMP
yang kemudian mengalami kegalauan karena keinginan untuk meneruskan sekolah di
tingkat SMA non Islam tidak dapat terlaksana dikrenakan Amak (Ibu) ingin anaknya
(Alif) untuk meneruskan sekolah di Madrasah untuk dapat meneruskan jejak kakek
yang merupakan orang yang terpandang dalam keagamaannya.
Hal inilah yang menyebabkan adanya perbedaan meskipun
tidak begitu signifikan diantara keduanya namun adanya sesuatu yang missing atau hilang. Perbedaan novel dan
film lebih terletak pemotongan beberapa peristiwa kecil atau dialog kecil dalam
film. Dalam film, penguraian kata-kata di beberapa peristiwa tidak bisa
ditampilkan dalam film sehingga bisa dikatakan bahwa dalam film mengalami
pengurangan beberapa peristiwa dan dialog tertentu namun hal ini tidak mengubah
secara keseluruhan alur utama cerita pada film. Alur keduanya secara umum
adalah sama, hanya beberapa peristiwa yang letaknya ditempatkan di posisi yang berlainan.
Penambahan dalam novel disebabkan karena pemaparan dalam novel harus lebih
detail; dibandingkan film. Selain itu, dalam film terbatas durasi waktu, biaya
sehingga peristiwa dibuat seefektif mungkin dan dipilih sesuai dengan peristiwa
penting yang diinginkan.
Peristiwaperistwa dalam film juga mempunyai fungsi keterjalinan
makna. Jika cerita dalam novel itu difilmkan persis menurut aslinya, maka bisa dimungkinkan
seorang sutradara akan merasa kesulitan ketika menuangkannya dalam bentuk gambar
gerak dan suara. Hal inilah yang menyebabkan, seorang sutradara film akan lebih
menekankah pada keterjalinan cerita dan kelogisan makna.
Hal di atas diperkuat dengan pernyatan Bluestone (1957:31)
bahwa perbedaan bahan mentah antara novel dan film tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
berdasar perbedaan isi. Setiap medium mensyaratkan suatu keistimewaan, melalui
heterogenitas dan overlapping, kondisi permintaan audiens dan bentuk
artistiknya. Selain itu, faktor film yang terikat dengan durasi menyebabkan
para pekerja film harus kreatif untuk dapat memilah dan memilih
peristiwa-peristiwa yang penting untuk difilmkan. Sementara menurut Nugroho
(1998:157) dalam proses adaptasi terkandung konsep konversi, memilih dan
memfokuskan, rekonsepsi dan rethinking sekaligus disertai pemahaman
terhadap karakter yang berbeda antara media yang satu dengan media yang lain.
2. Hubungan
Intertekstual Tema yang Terdapat dalam Novel dan film Negeri 5 Menara (N5M).
Menurut Nurgiantoro (2009:67), tema diartikan sebagai pokok pikiran atau dasar cerita yang dipercakapkan dan dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak
dan sebagainya. Menurut, Stanton tema adalah makna
yang dikandung oleh sebuah cerita yang secara khusus didasarkan pada sebagian besar unsur-unsurnya dengan cara
paling sederhana.
Tema dalam novel Negeri 5
Menara adalah pendidikan, hal ini dapat dilihat dari latar tempat yaitu di pesantren dimana kegiatan utama yang dilakukan sehari-hari oleh tokoh utama adalah belajar. Hal ini dapat
dibuktikan melalui kutipan novel
berikut.
“Belum pernah dalam hidupku melihat orang
belajar bersama
dalam jumlah yang banyak di satu tempat. Di PM, orang belajar di setiap
sudut
dan waktu. Kami sanggup membaca buku sambil berjalan, sambil bersepeda, sambil antri mandi, sambil antri makan,
sambil makan bahkan sambil mengantuk. Animo belajar ini semakin menggilabegitu masa ujian datang. Kami mendesak diri melampaui limit
normal untuk menemukan limit baru yang jauh
lebih tinggi.” (Fuady, 2009:200)
Dari
kutipan di atas, terlihat dengan jelas bahwa kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan sangat dijunjung tinggi di PM. Semua
orang yang berada di PM dengan jumlah yang banyak, dapat belajar di
setiap
sudut ruang dan waktu. Di mana pun mereka berada mereka
selalu
belajar. Mereka sanggup membaca buku sambil berjalan,
mengendarai sepeda, antri mandi, antri makan, sambil makan bahkan
sambil
mengantuk. Hal tersebut merupakan hal yang sangat langka dan sulit kita temukan
di lembaga pendidikan lainnya. Tema tentang
pendidikan dengan sendirinya akan melahirkan setting berupa sekolah yang dalam novel ini berupa pesantren sebagai fasilitas untuk menjalani
proses pendidikan.
3. Hubungan
Intertekstual Tokoh dan Penokohan yang Terdapat dalam Novel dan film Negeri
5 Menara (N5M).
Tokoh, menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspersikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Sementara itu, penokohan menurut Jones adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita. Ahmad menggunakan istilah watak untuk individu rekaan yang mengalami
peristiwa/berkelakuan di dalam
berbagai
peristiwa cerita.
Dengan demikian, istilah penokohan lebih luas pengertiannya
daripada tokoh dan perwatakan sebab ia sekaligus mencakup masalah
siapa
tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan
dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Tokoh cerita menempati posisi
strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca.
Pada dasarnya antara novel dan film memiliki kesamaan
dalam penokohan, apa yang tertuang dalam novel terjumpai juga dalam film
meskipun di film Nampak jelas beberapa tokoh pendukung yang tidak ditemui di
novel. Itu dikarenakan di film karena visual jadi perlu penokohan pendukung
guna memperjelas ceritanya. Sementara di novel hanya mengandalkan imaji dalam
cerita tersebut.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis di Bab IV dapat disimpulkan bahwa
antara novel dan film N5M mempunyai kesamaan dan perbedaan. Namun,
perbedaan itu tidak terlalu mencolok karena film N5M secara umum novel
yang terbit terlebih dahulu. Hal itu dapat dilihat dari alur penceritaan. Dalam
film, ada beberapa peristiwa yang ditambahkan dan dibalik posisinya, peristiwa
yang satu mendahului peristiwa yang lain. Selain itu dialog juga diperkuat untuk
mencitakan efek latar. Tokoh dan penokohan keduanya juga hampir sama. Bedanya,
dalam film, tokoh dan penokohan lebih terasa konkret karena divisualisasikan
melalui gerak dan gambar. Begitu juga dengan setting kejadian. Antara film dan novel
mempunyai perbedaan yang keduanya mempunyai kelebihan masing-masing.
Perbedaan cerita film dan novel menunjukkan bahwa semua
itu dilakukan dalam rangka fungsi. Tidak ada sebuah karya yang kosong tanpa
makna, semua dilakukan karena ada fungsi-fungsi yang memenuhinya. Fungsi-fungsi
tersebut berangkat dari media dan konsumen yang berbeda. Film lebih
berorientasi bisnis sehingga banyak pertimbangan lain terutama masalah
financial atau dana. Selain itu, media, pembaca, dan situasi juga merupakan
fungsi-fungsi yang membentuk wujud sastra tersendiri.
B. Saran
Berdasarkan hasil
penelitian, hal – hal yang dapat disarankan sebagai ber : ikut:
1. Bagi
mahasiswa hendaknya menjadikan penelitian ini sebagai salah satu bahan untuk
meningkatkan pengetahuan bahasa Indonesia khususnya dalam bidang telaah sastra
dan pengajaran bahasa.
2. Bagi
peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini hanya terbatas pada intertekstualitas
sehingga perlu pengembangan lebih lanjut untuk menciptakan cita rasa hasil
penelitian yang lebih bermanfaat bagi pengetahuan khususya mengenai kesastraan.
3. Penelitian tentang intertekstual dalam novel dan film dapat diterima
baik bagi pembaca novel maupun penikmat film sehingga tidak adanya perbedaan
yang signifikan antara novel dan film.
DAFTAR
PUSTAKA
Abrams,
M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and
Winston
Bluestones,
G. 1957. Novels Into Film. Berkeley and Los Angeles: University of
California Press
Burhan
Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Endraswara,
Suwardi, 2002. Metodologi Penelitian
Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Jakarta: CAPS.
Fuadi,
Ahmad. 2009. Negeri 5 Menara,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Hartoko,
Dick dan B.Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius,
Junus,
Umar. 1985. Ikhtisar dan Analisa Novel novel Melayu. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka
Miller,
Owen. 1985. “Intertextual Identity’ dalam Identity of The Literary Text.
Ed. By Mario J. Valdes and Owen Miller. London: University of Toronto Press.
Nugroho,
G. 1998. Kekuasaan dan Hiburan. Yogyakarta: Bentang Budaya
Nyoman
Kutha Ratna, 2010. Sastra dan Culturaln
Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pradopo.
2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Ratna,
Ny. K. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Saifur
Rohman, 2012. Pengantar Metodologi
Pengajaraan Sastra, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar